Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas
Nyeri Reumatoid Arthritis
SKRIPSI
Oleh
Ayu Wisdanora
051101021
Skripsi
Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Judul : Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis
Peneliti : Ayu Wisdanora
NIM : 051101021
Jurusan : Fakultas Keperawatan
Tahun : 2010
Abstrak
Reumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun, yang ditandai oleh sinovitis yang bersifat erosif, mengenai beberapa sendi yang simetris dan kadang-kadang melibatkan banyak sistem. Sebagian besar perjalanan penyakit ini bersifat kronis fluktuatif dan dapat diderita selama dekade kehidupan, sehingga bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, menimbulkan deformitas dan disabilitas yang mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup. Reumatoid arthritis juga meningkatkan resiko kematian terutama pada penyakit Reumatoid Arthritis yang berat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis dengan menggunakan desain quasi eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 14 orang masing-masing kelompok intervensi dan kontrol terdiri dari 7 responden. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri pre dan post kompres dingin kirbat es dianalisa dengan menggunakan statistik parametrik yaitu paired t-test.
Berdasarkan hasil uji statistik hitung penelitian menunjukkan bahwa kompres dingin kirbat es tidak efektif digunakan dalam mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis dimana p value > 0,05 sehingga Ho diterima. Uji statistik hitung untuk menilai perbedaan intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi dan kontrol juga menyimpulkan bahwa Ho diterima yaitu kompres dingin tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA (p value > 0,05). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kompres dingin efektif digunakan dalam mengurangi nyeri RA. Dengan adanya penelitian ini kompres dingin belum dapat dibuktikan mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri RA sehingga perawat belum bisa menggunakan kompres dingin sebagai terapi alternatif.
Judul : Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es Terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis
Nama : Ayu Wisdanora
NIM : 051101021
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2010
Tanggal sidang :Rabu, 23 Juni 2010
Pembimbing Penguji I
Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp, MNS Rosina Tarigan S.Kp. M.Kep. Sp. KMB NIP : 19740826 200 212 1002 NIP : 19731021 200112 2 002
Penguji II
Erniyati, S.Kp. MNS NIP : 196771208 199903 2 001
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S. Kep).
Medan, Juli 2010
Pembantu Dekan I
PRAKATA
Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Kompres Dingin Kirbat
Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arhtritis”.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini,
sebagai berikut:
1. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Hrp. S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing dan
Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan USU
2. Ibu Rosina Tarigan S.Kp, MKEP Sp.KMB selaku dosen penguji I
3. Ibu Erniyati S.Kp.MNS selaku dosen penguji II dan Pembantu Dekan I
Fakultas Keperawatan USU
4. Ibu Salbiah S.Kp.MNS selaku dosen pembimbing akademik
Medan, Juli 2010
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABLE ... viii
DAFTAR SKEMA ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ...1
2. Masalah Penelitian ... 5
3. Tujuan Penelitian ... 5
4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Arthritis Reumatoid ...7
1.1 Pengertian Reumatoid Arthritis ...7
1.2 Klasifikasi Reumatoid Artritis ...8
1.3 Respon Penderita Reumatoid Arthritis ... 11
1.4 Penatalaksanaan ... 12
1.4.1 Penatalaksanaan Farmakologis ... 12
1.4.2 Penatalaksanaan Non Farmakologis ... 14
2. Konsep Nyeri ... 16
2.1 Pengertian Nyeri ... 16
2.2 Klasifikasi Nyeri ... 17
2.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan ... 17
2.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Organ ... 19
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 20
2.4 Mekanisme Nyeri ... 21
2.5 Respon Klien Terhadap Nyeri ... 23
2.6 Pengukuran Nyeri ... 24
3. Nyeri Reumatoid Arthritis ... 26
3.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis ... 26
3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Atrhritis ... 28
3.3 Mekanisme Pengurangan Nyeri Reumatoid Artritis ... 29
4. Terapi Dingin ... 29
4.1 Pengertian Terapi Dingin ... 29
4.2 Teknik Aplikasi Terapi Dingin ... 30
4.2.1 Terapi Dingin ice packs ... 30
4.2.2 Terapi Dingin cold gel packs ... 30
4.2.3 Terapi Dingin ice immersion ... 30
4.2.4 Terapi Dingin ice massage ... 31
4.2.5 Terapi Dingin vapocoolant spray ... 31
4.3 Prinsip Terapi Dingin ... 31
4.4 Manfaat Terapi Dingin ... 32
5. Terapi Dingin Pada Nyeri Reumatoid Artrhritis ... 33
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 35
2. Definisi Operasional ... 36
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian ... 38
2. Populasi Penelitian ... 38
3. Sampel Penelitian ...38
4. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39
5. Pertimbangan Etik Penelitian ... 40
6. Instrumen Penelitian ... 41
7. Alat dan Bahan ... 42
8. Prosedur Pengumpulan Data ... 42
9. Analisa Data ... 44
BAB 5 HASIL DAN PAMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 47
2. Pembahasan ... 53
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan ... 59
2. Rekomendasi ... 60
LAMPIRAN
1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian
2. Kuesioner Data Demografi dan Data Demografi Responden
3. Protokol Cara Mengukur nyeri
4. Protokol Panduan Kompres dingin
5. Taksasi Dana
6. Hasil Analisa Data
7. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU
8. Surat Izin Penelitian dari RSUP H. Adam Malik Medan
DAFTAR TABLE
Hal
Table 1. Penyakit bukan Reumatoid Arthritis ...9
Table 2. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi ... 18
Table 3. Efek Terapi Dingin ... 32
Table 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik
Demografi Responden ... 48
Table 5. Test normality pada Kelompok Intervensi ... 49
Table 6. Test normality pada Kelompok Kontrol ... 50
Table 7. Hasil Uji Paired t-test untuk Perbedaan Intensitas Nyeri RA pre
dan post Intervensi pada Kelompok Kontrol dan Intervensi ... 50
Table 8. Hasil uji paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre
dan post intervensi pada kelompok kontrol ... 51
Table 9. Hasil uji paired t-test untuk perbedaan intensitas nyeri RA pre dan
post intervensi pada kelompok kontrol ... 52
Table 10. Hasil Uji Independent t-test antara Kelompok Intervensi dan
DAFTAR SKEMA
1.Skema Hal
Judul : Pengaruh Kompres Dingin Kirbat Es terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Arthritis
Peneliti : Ayu Wisdanora
NIM : 051101021
Jurusan : Fakultas Keperawatan
Tahun : 2010
Abstrak
Reumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun, yang ditandai oleh sinovitis yang bersifat erosif, mengenai beberapa sendi yang simetris dan kadang-kadang melibatkan banyak sistem. Sebagian besar perjalanan penyakit ini bersifat kronis fluktuatif dan dapat diderita selama dekade kehidupan, sehingga bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, menimbulkan deformitas dan disabilitas yang mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup. Reumatoid arthritis juga meningkatkan resiko kematian terutama pada penyakit Reumatoid Arthritis yang berat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri Reumatoid Arthritis dengan menggunakan desain quasi eksperimen. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 14 orang masing-masing kelompok intervensi dan kontrol terdiri dari 7 responden. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri pre dan post kompres dingin kirbat es dianalisa dengan menggunakan statistik parametrik yaitu paired t-test.
Berdasarkan hasil uji statistik hitung penelitian menunjukkan bahwa kompres dingin kirbat es tidak efektif digunakan dalam mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis dimana p value > 0,05 sehingga Ho diterima. Uji statistik hitung untuk menilai perbedaan intensitas nyeri RA pada kelompok intervensi dan kontrol juga menyimpulkan bahwa Ho diterima yaitu kompres dingin tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA (p value > 0,05). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kompres dingin efektif digunakan dalam mengurangi nyeri RA. Dengan adanya penelitian ini kompres dingin belum dapat dibuktikan mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri RA sehingga perawat belum bisa menggunakan kompres dingin sebagai terapi alternatif.
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Reumatoid Arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun yang
menyerang persendian dan menyebabkan inflamasi yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri, serta bisa menyebabkan kerusakan sendi dan deformitas sendi
progresif yang menyebabkan disabilitas dan kematian dini (Dwijayanti, 2007).
Sebagian besar perjalanan penyakit ini bersifat kronis fluktuatif dan dapat diderita
selama beberapa dekade kehidupan, sehingga bila tidak diobati dapat menyebabkan
deformitas dan disabilitas yang mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup. RA juga
meningkatkan resiko kematian terutama pada penyakit RA berat Goodson et al, 2002;
Navaro-Cano et al, 2003 (dalam Darwin 2007).
Seseorang yang mengalami reumatik mengalami beberapa gejala berikut yakni nyeri,
inflamasi, kekakuan sendi di pagi hari, hambatan gerak persendian, terbentuknya
nodul-nodul, pada kulit diatas sendi yang terkena, teraba lebih hangat dan bengkak (Santoso,
2003). Penyakit ini juga menyebabkan sinovitis, kerusakan sendi, dan gangguan fungsional
kadang-kadang diikuti oleh kelelahan yang sangat hebat, anoreksia dan berat badan menurun
(Rubenstein,
2003). RA menyerang persendian kecil, 90 % keluhan utama penderita RA adalahnyeri sendi
dan kaku sendi (Turana, 2005).
Bebas dari nyeri merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
manusia. Nyeri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenyamanan tubuh
(Aziz & Musrifatul, 2004). Jika seseorang menderita nyeri maka akan mempengaruhi
fisiologis dan psikologis dari orang tersebut. Seseorang dapat menjadi mudah marah,
Nyeri pada RA merupakan nyeri yang disebabkan oleh inflamasi. Nyeri RA
ini akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur membaik pada siang hari
dan lebih berat pada malam hari. Nyeri ini akan bertambah berat seiring dengan
beratnya penyakit dan ambang nyeri dari penderita. Makin bertambah berat
penyakitnya maka akan semakin bertambah pula rasa nyerinya. Bila perjalanan
penyakitnya dihentikan pada RA maka rasa nyeri akan berkurang (Isbagio, 2006).
Dalam pengobatan Reumatoid Arthritis diperlukan pendekatan yang
multidisipliner. Dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja
sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan
masing-masing dalam pengelolaan penderita RA baik dalam edukasi maupun penatalaksanaan
pengobatan penyakit ini. Biasanya pada RA erosif moderat diberikan terapi okupasi
dan fisioterapi (Tulaar, 2007).
Dalam bidang keperawatan kompres dingin banyak digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri. Tindakan ini dilakukan sebagai latihan penguat dan
pergerakan sendi karena kompres dingin mampu membatasi inflamasi pada RA
(Tulaar, 2007). Pada aplikasi dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan
respon inflamasi, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema, mengurangi rasa
nyeri lokal. Dalam memberikan efek terapetik suhu kompres dingin yang diberikan
berkisar antara 18-270C (Tamsuri, 2006). Jenis pengobatan ini memegang peranan
yang tidak kalah pentingnya dengan pengobatan medikamentosa (Tulaar, 2007).
Tindakan ini merupakan tindakan pencegahan terhadap kecacatan dan bila sudah
terjadi cacat, digunakan untuk rehabilitasi (Waluyo, 2007).
Banyak mitos yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa cuaca
dingin, mandi malam, terlalu sering mandi, berada di ruangan Air Conditioned (AC)
ada terapi dingin sangat baik untuk mengurangi nyeri RA (Broto, 2007). Salah
satunya kompres dingin menggunakan kirbat es suatu cara dapat dilaksanakan secara
praktis, tidak perlu biaya yang mahal, dapat digunakan
sebagai penanganan pertama saat datangnya nyeri. Kompres dingin ini dapat digunaka
n setelah kirbat es diisi dengan potongan-potongan es, kemudian diletakkan ke daerah
yang terasa nyeri (Salbiah dkk, 2007).
Price (2005) menyatakan kompres dingin merupakan salah satu intervensi
yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Kompres dingin kirbat es dapat
menurunkan rasa nyeri, menurunkan suhu panas, membatasi peradangan (Salbiah dkk,
2007). Secara spesifik manfaat kompres dingin kirbat es terhadap nyeri RA adalah
dapat mengurangi nyeri RA dengan menurunkan aliran darah atau vasokontriksi pada
area yang dikompres, serta membatasi inflamasi pada RA sehingga proses inflamasi
tidak menyebar dari sinovitis ke radang sendi, otot dan lain-lainnya.
Pemilihan kirbat es untuk kompres dingin agar suhu kompres dapat dijaga
kestabilannya didalam kirbat sehingga pemakaiannya lebih akurat, es tidak mudah
mencair. Beberapa orang pasien Early RA (yang didiagnosis selama 2 tahun) telah
dilakukan intervensi selama 52 minggu, dengan menggunakan terapi dingin dan
obat-obat RA, hasilnya 50% pasien mengalami kekambuhan, dan 28 % berhasil (Kelly,
2005). Leutz dan Harris ( 1995) melakukan penelitian retrospektif dengan 52 pasien
mengalami nyeri RA, 33 pasien tersebut mendapat terapi dingin kirbat es sedangkan
19 pasien RA yang lain ,tidak menerima terapi dingin. Terapi dingin kirbat es ini
dilakukan selama 3 hari. Selanjutnya terapi dingin ini menggunakan alat elektrik
yang terdiri dari dua bantalan plastik steril yang terhubung oleh pipa karet berisi air
dingin dari suatu unit utama elektris yang menjaga suatu temperatur yang tetap 420F
jumlah penggunaan analgetik, antiinflamasi, atau rumah sakit tinggal antara kedua
kelompok.
Adanya dua penelitian diatas mengenai kompres dingin terhadap nyeri RA
keduanya menghasilkan hasil yang belum signifikan dengan teori yang ada. Penelitian
menurut Kelly (2005) kompres dingin yang dilakukan menggunakan cara yang
manual dengan suhu yang tidak terkontrol, sedangkan penelitian Leutz dan Harris
(1995) kompres dingin yang dilakukan dengan dua perlakuan kompres dingin dengan
menggunakan kirbat es dan alat elektris jadi belum dapat disimpulkan kirbat es
berpengaruh terhadap intensitas nyeri RA.
Berdasarkan studi pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti ”
Bagaimana pengaruh kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri pada pasien
Reumatoid Arthritis di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan”.
2. Masalah penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini yaitu, bagaimana pengaruh kompres dingin kirbat
es terhadap intensitas nyeri pada pasien Reumatoid Arthritis di Poli Reumatologi
RSU Adam Malik Medan.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi:
1.1 Intensitas nyeri RA pre dilakukan kompres dingin kirbat es pada
kelompok intervensi dan kontrol.
1.2 Intensitas nyeri RA post dilakukan kompres dingin kirbat es pada
1.3 Perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post dilakukan kompres dingin
kirbat es pada kelompok intervensi.
1.4 Perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post kompres dingin kirbat es
pada kelompok kontrol.
1.5 Perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post kompres dingin antara
kelompok intervensi dan kontrol.
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
4.1 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kegiatan praktikum bagi
mahasiswa untuk pengurangan dan pengobatan nyeri Reumatoid Arthritis dengan
melakukan kompres dingin saat proses belajar mengajar dimulai.
4.2 Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bekal perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan khususnya bagi keperawatan medikal bedah di klinik dengan
memberikan kompres dingin untuk mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis.
4.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan
mengenai pengaruh kompres dingin kirbat es dalam mengurangi rasa nyeri pada
pasien Reumatoid Arthritis sehingga memberikan ide selanjutnya bagi penelitian
keperawatan untuk meneliti perbandingan pengaruh kompres dingin dengan kompres
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Reumatoid Arthritis
1.1 Pengertian Reumatoid Arthritis
Daud (2004) menyatakan bahwa Reumatoid Arthritis (RA) merupakan
penyakit autoimun menyebabkan inflamasi kronik yang ditandai dengan terdapatnya
sinovitis erosif simetrik yang mengenai jaringan persendian ataupun organ tubuh
lainnya. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit
kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan
persendian dan deformitas sendi progresif. Penyakit autoimun terjadi jika sis tem
imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Brunner & Suddarth (2001) menyatakan RA
penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang terjadi di jaringan sinovial.
Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi sehingga kolagen terpecah
dan terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus.
Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.
Pada pasien RA yang kronik dapat terjadi tanpa ada gejala klinis tapi sendi
terus mengalami kerusakan hingga sendi tidak berfungsi lagi (Shiel, 1999). Rematoid
Artritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif, mengenai
jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi kronis yang menyebabkan terlibatnya
sendi pada penderita-penderita penyakit RA ini pada tahap berikutnya setelah
penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya (Adnan,
Waluyo (1993 dalam et Al nasution, 2007) penyakit RA perasaan nyeri dan
kaku dibagian sendi. Pada umumnya RA mempunyai kelainan sendi yakni: RA yang
menyerang sendi dan otot, menyerang sendi, otot dan alat-alat dalam tubuh lainnya,
bersifat sistemik yang menghasilkan nyeri sendi (artralgia) dan nyeri otot (mialgia),
hanya jaringan ikat yang menyebar (difus) yang menyerang sistem sendi, otot, kulit
dan alat-alat dalam.
1.2 Klasifikasi Reumatoid Arthritis
Reumatoid Arthritis dapat dikelompokkan berdasarkan diagnostik sebagai
berikut: kaku pagi hari, nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada
satu sendi, pembengkakan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan
pembesaran tulang), pembengkakan paling sedikit satu sendi dan masa bebas gejala
dari kedua sendi yang terkena tidak lebih dari tiga bulan, pembengkakan sendi yang
simetris dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang timbulnya bersamaan.
Menurut Cecilia, Nasution & Isbagio tahun 2007 mengklasifikasikan RA
sabagai berikut :
1) Reumatoid Klasik
Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan
gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika
ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk RA, maka penderita tidak
dapat digolongkan dalam kelompok ini.
2) Reumatoid Definit
Harus terdapat 5 dari kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala
3) Probable Reumatoid Arthritis
Kemungkinan RA terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari
kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling
sedikit 6 minggu.
4) Possible Reumatoid Arthritis
Diduga RA harus terdapat 2 dari kriteria diatas , dan lamanya gejala sendi
paling sedikit 3 bulan. Termasuk possible Reumatoid Arthritis jika memiliki ciri
sebagai berikut kaku pagi hari, nyeri tekan atau nyeri gerak dengan riwayat rekurensi
atau menetap selama 3 minggu, riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi,
nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) peningkatan Laju Endap Darah atau
C-Reaktif Protein, Iritis.
5) Yang tidak termasuk RA
Penyakit bukan RA Gejala dan Tanda
Butterfly rash yang khas pada
Lupus Eritematosus Sistemik
Konsentrasi LE sel tinggi
Periartritis Nodosa Pada pemeriksaan terdapat nekrosis arterial, kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh, dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis), skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya terbatas pada jari jari
Demam Reumatik Disertai artritis migrasi dan
adanya endokarditis
Artritis Gout Bersifat akut, nyeri dan bengkak pada satu sendi atau lebih terutama bila membaik dengan kolkhisin, toil gout
Artritis Infektif Disebabkan oleh bakteri atau virus disertai demam, menggigil dan artritis akut yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal), pemeriksaan bakteriologik dan histologik ditemukan tuberkulosis pada satu sendi
Sindrom Reiter Uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya berpindah-pindah
Shoulder hand syndrome (reflex sympathetic dystrophy syndrome),
Hypertrophir, osteoarthropathy clubbing jari atau hipertrofi periostitis
sepanjang tulang-tulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau gangguan lain yang berhubungan
Neuroarthropati Kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi dan didapati gangguan neurologik yang sesuai.
Gambaran kulit khas eritema
nodosum, leukemia atau limfoma.
Sel yang khas dalam darah, sumsum tulang, atau jaringan, agammaglobulinemia.
Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif, mieloma multiple
Peningkatan plasma sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence Jones dalam urine
Sebagai pedoman umum, sampai sekarang masih dipakai kriteria dari ARA
(American Reumatism Association) untuk menegakkan diagnosis RA yang seluruhnya
ada 11 kriteria yakni adanya rasa kaku pada pagi hari (Morning stiffness), penderita
merasa kaku dari mulai bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 2 jam,
pembengkakan jaringan lunak sendi (soft tissue swelling) yang berlangsung sampai 6
minggu, nyeri pada sendi yang terkena bila digerakkan (joint tenderness onmoving)
sekurang-kurangnya didapati pada satu sendi, sekurang-kurangnya pada sebuah sendi
yang lain, poliartritis yang simetris dan serentak (Symmetrical Polyarthritis
Simultaneously). Serentak di sini diartikan jarak antara rasa sakit pada satu sendi
disusul oleh sendi yang lain harus kurang dari 6 minggu, didapati adanya nodulus
reumaticus subkutan, didapati adanya kelainan radiologik pada sendi yang terkena,
sekurang-kurangnya dekalsifikasi, faktor uji rema positif, pengendapan mucin yang
kurang pekat, didapati gambaran histologik yang khas dari sayatan benjolan rheuma
1.3 Respon Penderita Reumatoid Arthritis
Junaidi (2006) menyatakan bahwa Arthritis muncul perlahan dengan manifestasi
umum peradangan berupa demam, rasa lemah, nyeri tubuh, lelah, anoreksia, penurunan berat
badan, pembengkakan sendi. Sekitar 10% RA muncul secara akut sebagai poliarthritis, yang
berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula pada satu
sendi lalu pada banyak sendi. Umumnya penyakit memperlihatkan pola simetris. Sendi antara
telapak tangan dan jari tangan serta pergelangan tangan biasanya merupakan sendi-sendi yang
pertama kali terkena.Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar
1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode peradangan diselingi oleh periode
jeda/remisi.
Rentang gerak menjadi berkurang, timbul deformitas sendi dan kontraksi otot dimana
otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung
mengalami kekakuan dan memendek. Terbentuk benjolan (nodus) rematoid ekstrasinovium
pada sekitar 20% individu pengidap RA. Nodus merupakan pembengkakan yang terdiri dari
sel-sel darah putih dan sisa sel terdapat didaerah trauma atau peningkatan penekanan. Nodus
biasanya terbentuk dijaringan bawah kulit diatas siku dan jaringan.
1.4 Penatalaksanaan
1.4.1 Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS,
coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri
kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut,
diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat
mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang
Pengobatan dengan medikamentosa ini dibagi atas beberapa kelompok pula :
1.4.1.1 Pengobatan secara Simptomatik
Simple analgesik, misalnya : paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti
inflamasi non-steroid, misalnya : Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen, sodium
diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya : prednison. Pada
pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan
progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai
sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang
diperlukannya di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu memilih
obat yang aman dan menilai keadaan darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris
pada waktu-waktu tertentu amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin.
Efek samping yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea,
muntah maupun diare ringan.
Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak
dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam
jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita dapat
mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan penderita yang
memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati infeksi dengan virus.
Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi porotik, iritasi terhadap
lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis
apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada sendi-sendinya. Dalam
keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan steroid, misalnya untuk
menyelamatkan hidup penderita RA yang berat atau pemakaian suntikan setempat
1.4.1.2 Pengobatan Secara Remitif
Cara kerja pengobatan remitif ini menghambat faktor RA menjadi negatif, sehingga
perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau
remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun
tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang
lama sampai berbulan dan diperlukan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium pada
waktu-waktu tertentu.
Penicillamine adalah merupakan hasil pemecahan produk degradasi dari
penicillin sebagai antibiotika. Dengan dipecahnya makroglobulin ini, maka faktor RA
jadi negatif dan dengan demikian perjalanan penyakitnya ikut dihambat dan bila ini
berlangsung dalam jangka waktu yang diperlukan, maka penderita akan sampai pada
stadium remisi yang sempurna (complete remission). Penderita seolah-olah sembuh,
tanpa keluhan, tanpa obat. Kadang-kadang masa remisi ini dapat berlangsung sampai
lebih dari tiga tahun. Efek samping nya adalah urticaria, nausea, muntah, diare,
proteinuria, hilangnya rasa kecap terutama terhadap manis dan asin, dan peninggian
transaminasi (Adnan, 2008). Obat-obat yang mempengaruhi perjalanan
penyakit immuno-suppressant (penekanan zat kekebalan), cytostatic agent (obat
sitostatika) alkylating agent, chelating agent, (penocillamine)
anti malaria (chloroquin), anthelmentica levamisol, chrysothera-py.
1.4.2 Pengobatan Nonfarmakologis
1.4.2.1 Pengobatan Fisioterapi
Fisioterapi perlu dalam menangani kasus RA, yakni mencegah kerusakan
sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi
secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut dan perlahan sehingga
tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang
2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi
secara perlahan (Adnan, 2008). Penderita yang menjadi cacat karena RA dapat menggunakan
alat bantu untuk dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari, contoh sepatu ortopedik khusus
atau sepatu atletik khusus.
1.4.2.2 Pengobatan Pembedahan
Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga dan alasan
untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis
pembedahan ini pada penderita RA umumnya bersifat
ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement, memperbai-ki deviasi
ulnar (Junaidi, 2006).
1.4.2.3 Pengobatan Psikoterapi
Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk
menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak
merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas sehari-hari terutama untuk
mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap
suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008).
1.4.2.4 Panas atau dingin
Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada RA meningkatkan aliran darah ke daerah
sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi
panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga
mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal
(Kusumaastuti, 2008).
Terapi panas dapat menggunakan lilin paraffin, microwave, ultrasound, atau air
panas. Cara menggunakan air panas bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang
ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam dalam
air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena RA
adalah dengan menggunakan kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi
(Junaidi, 2006).
1.4.2.5 Terapi diet
Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan
menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani
aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien RA adalah sayur dengan porsi yang lebih
banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006).
2. Konsep Nyeri
2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang tidak
menyena-ngkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok studi nyeri Perdossi (2000)
menerje-mahkan definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association The Study of
Pain) yang berbunyi “nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut”. Nyeri merupakan masalah
kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang
untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang,
tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et a
l, 1999).
Mc.Caffery (1979 dalam tamsuri, 2006) mendefinisikan nyeri sebagai kea
daan yang mempengaruhi seseorang dan keberadaannya diketahui jika seseorang
pernah mengalaminya. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan
melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri
(misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan
Kozier & Erb (1983 dalam Tamsuri, 2006) menegaskan bahwa nyeri
merupakan suatu sensasi ketidaknyamanan akibat persepsi jiwa yang nyata, ancaman,
dan fantasi luka. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan
salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri
dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status
sosial, dan pekerjaan (Crombie, et al. 1999).
2.2 Klasifikasi Nyeri
2.2.1 Klasifikasi berdasarkan awitan
Berdasarkan waktu kejadiaan, nyeri dikelompokkan menjadi nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut terjadi dalam waktu yang singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6
bulan. Nyeri akut dibagi atas: Pertama nyeri yang muncul, dimana sebelumnya tidak
ada nyeri kronik. Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba, sebelumnya klien sudah
menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan nyeri kronik.
Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang selama ini diderita
oleh pasien (Tamsuri, 2008).
Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada
pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi. Nyeri
ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan
jaringan penyembuh. Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi
dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut akan
menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin,
prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat
mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung atau tidak langsung.
Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan
Nyeri kronis timbul tidak teratur, intermiten atau bahkan persisten. Nyeri
kronis dibagi 2 yakni nyeri kronik maligna dan nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis
adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah
ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi.
Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri
ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik.
2.2.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi
Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri berdasarkan
lokasi yakni:
LOKASI KARAKTERISTIK CONTOH-CONTOH
PENYEBAB
Jarum suntik, luka potong kecil atau terserasi.
Viseral dalam
Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal
Nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah.
Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung dari organ yang terlibat. sensoris dan organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeripada daerah yang tidak terkena.
Nyeri terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik
Infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, dan bahu kiri, natu empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan.
Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain.
Nyeri serasa akan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat bersifat tungka i dari iritasi saraf skiatik.
2.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Organ
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau
potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya
pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah
nyeri akibat berbagai faktor psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik
seperti cemas dan takut timbul pada klien.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Berger (1992) nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: (1)
lingkungan, (2) umur, (3) kelelahan, (4) riwayat sebelumnya, (5) mekanisme
pemecahan masalah, (6) kepercayaan/agama, (7) budaya, dan (8) orang-orang yang
memberi dukungan.
Lingkungan yang tidak nyaman akan memperkuat persepsi nyeri. Suasana
ribut, panas, dan kotor akan membuat pasien merasa intensitas nyerinya lebih tinggi.
Sebaliknya jika suasana tenang, nyaman, dan bersih akan membantu menciptakan
perasaan rileks sehingga rasa nyeri dapat dikurangi. (Taylor, 1997).
Umur juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri.
Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda
karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya,
Kelelahan dapat membuat orang merasakan nyeri lebih kuat. Hal ini
disebabkan karena kekurangan energi untuk melawan stimulus nyeri Lelah juga
mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap nyeri. Semakin diterima rasa nyeri
akan semakin berkurang begitu juga sebaliknya (Alexander & Hill, 1987).
Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri.
Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima
perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman
pertamanya (Taylor, 1997).
Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi perasaan nyeri seseorang.
Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menurunkan rasa nyeri. Ini sangat
membantu orang tersebut untuk menurunkan nyerinya, misal seseorang terbiasa
membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatiannya
terhadap nyeri (Berger, 1992).
Kepercayaan/agama mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Dalam
agama tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga di mata Tuhan.
Kadang-kadang nyeri dianggap sebagai peringatan sebagai peringatan atas kesalahan yang
telah dibuat sehingga orang tersebut merasa pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor,
1997).
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana
mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang
dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak
merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu
Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap nyeri
yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang
dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang tuanya (Taylor, 1997).
2.4 Mekanisme Nyeri
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang
diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer
melalui spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan terhadap
terjadinya kerusakan jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali
stimulus-stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari.
Apabila terjadi kerusakan jaringan, sistem nosiseptif akan bergeser fungsi dari
fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri
inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan
jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious
ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai
akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang
cidera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi
kerusakan jaringan lebih lanjut.
Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan
respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif atau
Reumatoid Arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi
berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi
adalah menormalkan sensitivitas nyeri. Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan
adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi
sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi
munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi
perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi
struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses
transduksi, transmisi, dan persepsi.
Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator
inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak.
Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf
nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan ) yang bersinaps dengan neuron di kornu
dorsalis medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus
di otak, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan (Brookoff, 2000).
2.5 Respon Klien Terhadap Nyeri
Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang sakit dan ada yang tidak
merasakan respon tingkah laku terhadap nyeri yang dialami (Priharjo, 1996).
2.5.1 Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula
spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga
menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri
skala ringan sampai moderat serta nyeri superficial, tubuh bereaksi membangkitkan
General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem
saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri
yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf
2.5.2 Respon perilaku
Respon prilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menggambarkan 3 fase perilaku
terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan fase pasca nyeri Mc. Caffery (1983
dalam Tamsuri, 2006). Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan
merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu
belajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan
dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau tindakan
ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seseorang
individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan,
menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari.Pada fase pasca nyeri, individu biasa saja
mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil.
2.5.3 Respon psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri
yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu yang mengartikan nyeri sebagai
sesuatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka,
ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya
pada individu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan
menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2006).
2.3 Pengukuran Nyeri Reumatoid Arthritis
Potter & Perry (2005) untuk pengukuran nyeri perlu dilakukan pengkajian
karakteristik umum nyeri untuk membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri
rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan? Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada
waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kambuh?
Kemudian perawat meminta klien untuk menunjukkan lokasi nyeri. Alat
pengkajian skala nyeri berupa numeris, deskriptif, analog visual. Klien menetapkan
suatu titik pada skala yang berhubungan dengan persepsinya tentang tingkat
keparahan nyeri pada waktu melakukan pengkajian.
Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala nyeri,
diantaranya yang dikemukakan oleh AHCPR (Agency for Health Care Policy &
Research) :
Deskripsi Sederhana terdiri dari :
tidak nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat
Visual Analog Scale (VAS)
Digunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri dan daerah
batas yang paling sakit.
Tidak sakit Nyeri sehebat yang terjadi
Verbal Numerical Rating Scale (VNRS)
Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang paling sakit dan kemudian
diberi skala
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Grafik Verbal Rating Scale
Tidak ada nyeri Nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri sangat
Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta
gambaran-gambaran yang diungkapkan atau ditunjukan padanya dapat diseleksi
dengan hati–hati, maka setiap instrument tersebut dapat menjadi valid dan dapat
dipercaya (Potter & Perry, 2005).
3. Nyeri Reumatoid Arthritis
3.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis
Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang
mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator
kimiawi lainnya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan
dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu
rangsangan/stimulus (Isbagio,1995).
Menurut Junaidi (2006) gejala klinis RA pada saat yang bersamaan bisa
banyak sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris.
Jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga
meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari
kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi yang
meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris, terutama
pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik.
Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi
kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah
kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.
Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom
terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit reu matik yang dikenal
sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang
bagian-bagian tubuh lainnya seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunnert & Suddarth,
2001). Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang berkembang
cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula monoartritis lalu
poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar 1
jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode perandangan diselingi oleh
remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan rematoid ekstra sinovium
(Junaidi, 2006).
Nyeri RA kronis sakit adalah melibatkan keduanya antara peripheral dan
sekeliling, prosesnya meliputi: adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P, serotonin),
pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh prostaglandins, TNF,
yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-linked pada afferent
berhubungan dengan neurons, glutamate menyebabkan kerusakan dorsal,
neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate (NMDAa)-RECEPTOR
yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005).
3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Arthritis
Pada RA nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses imunologik
pada sinovial (Harry,2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen kemudian
terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan antigen sehingga
menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di persendian sebagai sinovitis.
Inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi merupakan proses
sekunder.Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi prostaglandin memecah
kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri melalui proses edema, proliferasi
membaran sinovial, pembentukan pannus, penghancuran kartilago dan erosi tulang
Harry (2008) mentatakan bahwa nyeri pada penyakit RA dapat terjadi
akibat:
1) Rangsangan pada nociceptors di dalam komponen perangkat biomekanik,
misalnya perangsangan nociceptors pada otot, sendi, tendon dan ligamen. Nyeri
jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik, sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau terjadinya kerusakan.
Oleh karena adanya nyeri ini, maka bagian yang terserang akan
diistirahatkan/imobilisasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.
2) Penekanan saraf atau serabut saraf (radiks).
3) Perubahan postur yang menyebabkan fungsi untuk mengatur kontraksi otot tidak
sempurna.
4) Mekanisme psikosomatik.
3.3 Mekanisme Pengurangan Nyeri Reumatoid Artritis
Tujuan pengobatan RA adalah menghilangkan rasa sakit, meredakan
inflamasi, mempertahankan luas gerakan sendi, mencegah kecacatan dan membantu
penderita dalam mengatasi problema psikologis yang timbul sebagai akibat dari
penyakit kronis yang meninggalkan kecacatan ini. Pada prinsipnya terapi yang
dilakukan meliputi sendi yang meradang diistirahatkan karena penggunaan sendi yang
terkena akan memperberat peradangan. Selama periode pengobatan diperlukan
istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin, diberikan obat nyeri, obat
antiinflamasi nonsteroid atau steroid sistemik atau pemberian logam emas, atau
tindakan pembedahan untuk memperbaiki deformitas. Mengistirahatkan sendi secara
rutin membantu mengurangi nyeri. Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan
Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat pada saat istirahat, sehingga
penderita dapat terbangun dari tidur atau bahkan sulit tidur. Oleh karena itu, cara-cara
mengurangi nyeri sangat berharga bagi penderita, misalnya dengan kompres dingin
atau penggunaan obat antinyeri jangka panjang. Penderita RA sekurang-kurangnya
harus beristirahat 10-12 jam pada malam hari dengan penambahan satu waktu
istirahat pada siang hari (Nainggolan, 2004).
4. Terapi Dingin
4.1 Pengertian Terapi Dingin
Terapi dingin atau cold therapy atau cryotherapy merupakan modalitas terapi
fisik yang menggunakan sifat fisik dingin untuk terapi berbagai kondisi, termasuk
penyakit reumatik (Bambang, 2003). Terapi dingin pada RA pada suhu 300C atau
lebih rendah dapat menurunkan enzim kolagenase, enzim yang sangat berperan dalam
perjalanan penyakit RA.
4.2 Teknik aplikasi terapi dingin
4.2.1 Terapi dingin ice packs
Pecahan es dibungkus dengan handuk kering atau basah atau dimasukkan
kedalam kirbat es, diaplikasikan 10-15 menit untuk daerah superficial dan 15-20
menit untuk jaringan yang lebih dalam. Kompres dingin ice packs sering digunakan
untuk kompres dingin nyeri RA sehingga dapat mengurangi bengkak dan edema..
4.2.2 Terapi dingin cold gel packs
Berisi zat kental (gel) yang tetap efektif sampai 45-60 menit setelah
didinginkan. Disimpan di unit pendingin pada suhu 0-100 F. Dapat digunakan
berulang kali dan dapat dibentuk sesuai daerah yang akan diterapi. Penggunaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan frosbite. Suhu yang tidak tepat kemungkinan tidak
dengan aplikasi hydrocollator pack kulit langsung menjadi dingin, jaringan subkutan
beberapa menit sesudahnya, dan otot sedalam 2 cm menjadi dingin sekitar 50C setelah
20 menit.
4.2.3 Terapi dingin ice immersion
Digunakan untuk mengobati bagian distal ekstremitas. Penampung (container)
yang cukup menampung ekstremitas diisi dengan es dan air kemudian bagian
ekstremitas yang akan diterapi direndam. Suhu berkisar antara 13-180 C untuk terapi
yang berlangsung 10-20 menit.
4.2.4 Terapi dingin ice massage
Balok es yang dibentuk dalam gelas plastik atau pada batang kayu dan diusap
pada daerah yang akan diterapi, biasanya daerah kecil dengan radang jaringan atau
spasme otot. Arah aplikasi harus sejajar dengan serabut otot, dan usapan
terus-menerus selama 3-10 menit sampai tercapai rasa kebas / anastesi.
4.2.5 Terapi dingin vapocoolant spray
Digunakan zat flouromethan atau kloretil atau nitrogen cair vaporasi. Apabila
disemprotkan pada kulit akan memberikan akan memberikan pendinginan yang
bermakna melalui evaporasi. Kaleng semprotan dipegang sekitar 50 cm dari bagian
tubuh yang akan diterapi, arah semprotan membentuk sudut sekitar 300 C, hanya satu
arah dari origo ke insersi otot, dengan kecepatan 10 cm perdetik, sekitar 4 garis
sejajar, menggunakan 1-2 sweep sambil mempertahankan regangan pasif.
4.3 Prinsip Terapi Dingin
Memberikan rasa dingin dengan menggunakan kirbat es atau kain yang dingin
pada tempat yang terasa nyeri. Tujuannya untuk mengurangi inflamasi yang terjadi
pada tempat yang terserang nyeri sehingga sensasi nyeri pasien pun berkurang
dengan skala numeris. Terapi ini diberikan saat pasien mengalami nyeri. Kompres
dingin diberikan pada lokasi yang terkena nyeri kemudian ukur kembali skala nyeri
pasien dengan skala numeris.
Kompres dingin dapat menimbulkan reaksi sistemik dan lokal. Respon
sistemik terjadi melalui mekanisme pengilang panas sedangkan respon lokal
menimbulkan stimulasi ujung saraf dari perifer ke hipotalamus, yang akan
menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap suhu lokal dan memicu timbulnya respon
adaptif untuk mempertahankan suhu tubuh normal. Tubuh dapat mentoleransi suhu
dalam rentang tertentu. Suhu normal permukaan kulit 340C, tetapi reseptor suhu dapat
beradaptasi dengan suhu lokal antara 150-450C. Jika suhu terlalu dingin dapat
menyebabkan mati rasa sebelum rasa nyeri. Hal ini berbahaya karena dapat
menyebabkan cedera jaringan yang serius (Potter & Perry, 2005).
4.4 Manfaat Terapi Dingin
Kompres dingin digunakan untuk mengurangi nyeri, peradangan, mencegah
edema, menurunkan suhu tubuh dan mengontrol pendarahan dengan meningkatkan
vasokontriksi. Kompres dingin tidak boleh digunakan pada area yang sudah terjadi
edema, karena efek vasokontriksi menurunkan reabsorpsi cairan. Kompres dingin
tidak boleh diteruskan apabila nyeri semakin bertambah atau edema meningkat atau
terjadi kemerah-merahan berat pada kulit. Untuk mencapai hasil yang maksimal maka
kompres idngin dipasang ditempat selama 20 menit kemudian diambil, dan beri
Potter & Perry (2005) menyatakan efek terapi dingin sebagai berikut:
Respon fisiologis Keuntungan terapeutik Contoh kondisi yang diobati
Vasokontriksi Menurunkan aliran darah ke daerah tubuh yang mengalami cedera, mencegah terbentuknya edema, menurangi inflamasi.
Trauma langsung (keseleo, ketegangan, fraktur, spasme otot), luka tusuk, luka bakar
minor, nyeri, penyuntikan, artrhritis
dan trauma sendi.
Anastesi lokal Mengurangi nyeri lokal
Metabolisme sel
Meningkatkan koagulasi darah pada temapat yang cidera.
Ketegangan otot menurun
Menghilangkan nyeri
5. Terapi Dingin Pada Nyeri Reumatoid Arthritis
Kompres dingin pada sendi reumatoid akan menghambat aktivitas kolagenase
di dalam sinovium dan mengurangi spasme otot. Pemberian terapi dingin pada pasien
RA sangat mudah diaplikasikan baik oleh pihak tenaga kesehatan ataupun oleh
pasien. Terapi ini mudah digunakan, tidak mahal, dan dapat diaplikasikan. Aplikasi
dingin pada kulit menyebabkan vasokontriksi kutan segera melalui mekanisme reflek
dengan rangsangan saraf simpatetik dan secara langsung merangsang kontraksi otot
polos.
Vasokontriksi awal diperkirakan akibat peningkatan afinitas reseptor alfa
adrenergik pascaperbatasan terinduksi dingin, terhadap norepinefrin yang ada yang
ada dalam otot polos vaskuler. Terjadi vasodilatasi reaktif karena pendinginan lebih
Tindakan yang dilakukan adalah siapkan semua peralatan, cuci tangan, isi
kirbat es dengan kepingan es. Keluarkan udara dan kencangkan penutupnya.
Keringkan bagian luar dan periksa adanya kebocoran. Beritahu pasien, jaga harga
diri pasien, buka area yang akan dipasang kompres, atur posisi sesuai dengan
kebutuhan, letakkan kirbat es pada area yang dikehendaki, ikat bila diperlukan, bantu
pasien mengatur posisi yang nyaman, bereskan peralatan, kembalikan pada tempatnya
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Nyeri secara serius menyebabkan ketidakmampuan dan imobilisasi pada
individu, sehingga kondisi ini akan merusak kemampuan individu untuk melakukan
aktivitas perawatan diri. Nyeri juga menyebabkan isolasi sosial, depresi, dan
perubahan konsep diri. Konsep nyaman memiliki subjektivitas yang sama dengan
nyeri. Setiap individu memiliki karakteristik fisiologis, sosial,
spiritual, psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi cara mereka
menginter-pretasikan dan merasakan nyeri. Kolcaba (1992 dalam Potter & Perry, 2005)
menyatakan bahwa kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman
subjektif klien.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka peneliti merumuskan kerangka
penelitian berdasarkan konsep Nyeri (1989 dalam Potter & Perry, 2005). Tentang
faktor kenyamanan yang menjadi kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
makanya konsep ini tepat dijadikan panduan dalam penelitian untuk melihat pengaruh
kompres dingin kirbat es terhadap intensitas nyeri RA.
Skema 1. Kerangka Penelitian Efektivitas Kompres Dingin Terhadap
Penurunan Skala Nyeri pada Penderita Reumatoid Arthritis Post
Nyeri RA Kirbat
2. Defenisi Operasional
2.1 Nyeri reumatoid
Nyeri dalam penelitian ini didefenisikan sebagai sensasi sakit yang
ditimbulkan pada sendi sendi kaki, pergelangan kaki, pergelangan tangan dan siku
yang diakibatkan inflamasi dengan kategori nyeri ringan dan nyeri sedang pada
penderita nyeri Reumatoid Arthritis. Intensitas nyeri tersebut diidentifikasi
berdasarkan skala pengukuran nyeri yaitu skala numerik (Numerical Rating Scale)
dengan rentang skala 0-10.
2.2 Kompres dingin kirbat es
Kompres dingin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terapi dingin
menggunakan kirbat es. Kompres dilakukan dengan rentang suhu 15-27oC pada
pergelangan kaki, pergelangan tangan dan siku yang terasa nyeri pada pagi hari
dilakukan dalam waktu 20 menit dengan frekuensi 3 kali.
3. Hipotesa Penelitian
3.1 Terdapat perbedaan intensitas nyeri RA pre dan post kompres dingin
kirbat es pada kelompok intervensi.
3.2 Terdapat perbedaan intensitas nyeri RA antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol setelah perlakuan.
Hipotesa dalam penelitian ini adalah gagal menolak hipotesa Hadan menolak hipotesa
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimen dengan
pre dan post-test untuk mengidentifikasi pengaruh kompres dingin terhadap intensitas
nyeri Reumatoid Artrhritis. Penelitian ini menggunakan dua kelompok yaitu
kelompok intervensi yang diberi kompres dingin kirbat es dan kelompok kontrol yang
tidak diberi perlakuan. Pada kedua kelompok diawali dengan pengukuran intensitas
nyeri (pre-test). Kemudian kelompok intervensi dilakukan kompres dingin selama 20
menit dengan frekuensi 3 kali, sedangkan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan.
Setelah kompres dingin kirbat es pada kelompok intervensi, diakhiri dengan
pengukuran kembali intensitas nyeri RA pada kedua kelompok (post-test).
2. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan penderita Reumatoid
Arthtritis yang memungkinkan untuk diteliti dengan nyeri ringan (intensitas
nyerinya 2-3) dan sedang (intensitas nyerinya 4-5) di Poli RSU Adam Malik
Medan.
3. Sampel Penelitian
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu
teknik penetapan sampel dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut
dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam,
2003).
Penentuan jumlah sampel diambil dengan menggunakan tabel “power
analysis” karena jumlah sampel dalam populasi ini tidak diketahui. Dalam penelitian
effect size (γ) sebesar 0.80. Dari tabel Power Analysis ditetapkan 9 orang subjek
penelitian untuk masing-masing kelompok intervensi dan kontrol. (Pollit & Hungler,
1995). Besar sampel dalam kelompok intervensi sama dengan kelompok kontrol
sehingga total subjek dalam penelitian ini adalah 18 orang.
Adapun kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.1Penderita nyeri RA dengan nyeri ringan (skala nyerinya 2-3) dan nyeri
sedang (skala nyerinya 4-5).
3.2Responden bersedia meminum obat sebelum kompres dingin kirbat es.
3.3Bersedia mengikuti intervensi kompres dingin kirbat es selama 20
menit/nyeri selama 2 minggu sesuai jadwal pada kelompok intervensi.
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poli Reumatologi RSU Adam Malik Medan.
Alasan peneliti memilih lokasi ini sebagai tempat penelitian karena tempat ini
merupakan rumah sakit rujukan nasional yang menerima pasien. Masyarakat yang
masuk rumah sakit ini memiliki penyakit yang beraneka ragam dan merupakan rumah
sakit rujukan. Terlebih lagi pengobatan Reumatologi bukan untuk menghambat
perjalanan penyakit tapi untuk mengurangi simptomatik penyakit RA, jadi pasien ini
sering dirawat jalan. Penelitian ini dilaksanakan selama mulai
dari tanggal 8 Mei sampai 20 Juli 2009 dan berlanjut tanggal 25 Mei sampai 9 Juli
2010.
5. Pertimbangan Etik Penelitian
Penelitian ini mempertimbangkan etik penelitian yaitu dengan terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari responden kemudian memberi penjelasan kepada
penelitian yaitu pelaksanaan kompres dingin pada kelompok intervensi dan tanpa
perlakuan pada kelompok kontrol. Responden yang bersedia barulah melakukan
penelitian dengan menekankan pertimbangan etik yang meliputi :
a. Informed consent
Lembar persetujuan akan diberikan kepada responden yang akan diteliti, bila
responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati
hak-hak pasien.
b. Anonimity (tanpa nama)
Pasien yang menjadi responden penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya
dengan tidak mencantumkan nama responden pada lembar instrumen
penelitian ini atau dokumentasi apapun dalam penelitian ini. Peneliti
selanjutnya hanya mencantumkan kode tertentu untuk memudahkan
pentabulasian data.
c. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti. Data atau informasi yang
diberikan responden hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian ini dan
tidak akan dibuka untuk selain penelitian ini.
Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang menjadi
responden. Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga peneliti dan data-data
yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Kompres dingin kirbat es ini akan segera dihentikan jika nyeri bertambah berat dan
responden bisa segera meminum obat RA nya. Lembar persetujuan dalam penelitian
6. Instrumen penelitian
6.1 Data demografi
Data demografi meliputi kode responden, usia, jenis kelamin, suku, agama,
riwayat medis sekarang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan analgetik dan
antiinflamasi. Data demografi ini berguna untuk membantu peneliti mengetahui latar
belakang dari responden yang bisa berpengaruh terhadap penelitian ini. Data
demografi ini dapat dilihat pada lampiran .
6.2 Lembar observasi nyeri pre dan post intervensi
Hasil pengukuran nyeri pre dan post intervensi disajikan dalam bentuk lembar
observasi pada masing-masing kelompok dengan skala nyeri yang dapat dilihat pada
lampiran dengan tujuan untuk melihat pengaruh kompres dingin terhadap intensitas
nyeri Reumatoid Arthritis .
Instrumen intensitas nyeri yang digunakan yaitu Numerical Rating Scale
dengan panjang 0 sampai 10. Skala 0 berarti tidak ada nyeri dan 10 berarti nyeri
hebat. Pengukuran skala intensitas nyeri RA dilakukan ketika nyeri timbul pada sore
dan malam hari. Sebelum diberikan kompres dingin(pre- test), pada kedua kelompok
subjek diukur intensitas nyerinya dengan skala pengukuran nyeri dan setelah
diberikan kompres dingin (post-test), intensitas nyeri diukur kembali untuk
mengetahui perubahan skala pengukuran nyeri. Durasi pemberian kompres dingin
selama 20 menit untuk masing-masing subjek dengan frekuensi 3 kali. Kompres
dingin diberikan dengan menggunakan kirbat es yang berisi air es dengan ketepatan
7. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nyeri Verbal
Numerical Rating Scale (VNRS) point 1-10, lembar cara mengukur skala nyeri, kirbat
es biasa ukuran ± 30 cm , potongan es, termometer Safety Hg.
8. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
8.1 Mengajukan permohonan izin kepada bagian Pendidikan Fakultas
Keperawatan USU Universitas Sumatera Utara.
8.2 Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada Pimpinan
Rumah Sakit Umum Adam Malik Medan.
8.3 Mendata pasien RA yang mau menjadi responden ke poli Reumatologi
setiap senin dan jumat jam 09:00-13:00 pagi.
8.4 Menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur pengumpulan data pada calon
responden dan jadwal kontrak kegiatan dimana pada kelompok intervensi
dilakukan kompres dingin kirbat es sedangkan pada kelompok kontrol
tidak diberikan perlakuan.
8.5 Mengelompokkan responden ke dalam dua kelompok yaitu 9 orang
kelompok intervensi dan 9 orang kelompok kontrol
8.6 Memberikan informed consent kepada kedua kelompok responden.
8.7 Memberikan alat dan bahan kepada kelompok intervensi serta menjelaskan
prosedur kompres dingin kirbat es kepada responden agar mereka dapat
membantu peneliti melakukan kompres dingin terhadap dirinya dengan