• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri

2.1.1.Pengertian

Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat sulit untuk didefenisikan karena nyeri adalah suatu pengalaman yang sangat subjektif dan sangat personal (Black & Hawks, 2009). Nyeri adalah sebuah sensasi subjektif sehingga tidak ada dua orang yang berespon dengan cara yang sama (Kozier, et al., 2010). McCaffery (1999 dalam Ignatavicius & Workman, 2009) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaanya diketahui hanya jika orang itu pernah mengalaminya.

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for The Study of Pain [IASP], dalam Lewis, et al., 2011).

2.1.2.Teori pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

2.1.3.Proses Nyeri

Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus mendeteksi kerusakan jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi nyeri disebut nosiseptor (Kozier, et. al., 2010).

Proses yang berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi (Kozier, et al., 2010), dimana terdapat empat proses yang terlibat dalam nosisepsi yaitu:

1. Transduksi

Tranduksi adalah proses dimana stimulus berbahaya (cedera jaringan) memicu pelepasan mediator kimia (misal., prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin) yang mensensitasi nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga menyebabkan pergerakan ion-ion menembus membran sel, yang membangkitkan nosiseptor. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat produksi prostaglandin (misal., ibuprofen) atau dengan menurunkan ion-ion menembus membran sel (Paice, 2002 dalam Kozier, et al., 2010).

Menurut Lewis, et al., (2011) transduksi terjadi saat konversi stimulus mekanik, termal, atau kimia beracun menjadi sinyal listrik yang disebut potensial aksi. Stimulus berbahaya yang timbul saat adanya kerusakan jaringan, suhu (misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya, sayatan bedah) atau rangsangan kimia (misalnya, zat beracun), menyebabkan pelepasan berbagai bahan kimia ke dalam jaringan yang rusak. Bahan kimia lainnya dikeluarkan oleh sel mast (misalnya, serotonin, histamin, bradikinin, dan prostaglandin) dan makrofag

(misalnya, interleukin, dan tumor necrosis factor (TNF). Bahan kimia ini mengaktifkan nosiseptor, yang merupakan reseptor khusus atau ujung saraf bebas yang menanggapi stimulus menyakitkan hasil aktivasi nociceptors dalam potensial aksi yang dibawa dari nosiseptor ke sumsum tulang belakang terutama melalui saraf kecil dengan cepat, serat delta-A yang bermielin dan secara perlahan-lahan oleh serat C yang tidak bermielin.

2. Transmisi

Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan dari bagian perifer ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke otak. Dimana potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke spinal cord kemudian dari spinal cord diteruskan ke otak dan hipotalamus, kemudian dari hipotalamus diteruskan ke korteks untuk kemudian diproses (Lewis, et. al., 2011).

Proses ini meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier. et al.,

2010) yaitu:

a. Segmen pertama

Impuls nyeri berjalan dari serabut saraf tepi ke medulla spinalis. Zat P bertindak sebagai neurotransmitter yang meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron afferen primer ke neuron ordo ke dua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medula spinalis yaitu serabut C, yang mentranmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan serabut A delta yang mentranmisikan nyeri tajam dan lokal.

b. Segmen kedua

Segmen ini meliputi transmisi dari medula spinalis dan asendens melalui traktus spinotalamikus ke batang otak dan talamus.

c. Segmen ketiga

Melibatkan tranmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri.

3. Persepsi

Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri. Pada tahap ini individu akan berespon terhadap adanya nyeri dengan memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010).

Menurut Lewis, et al., (2011) persepsi terjadi ketika nyeri diakui, didefinisikan, dan ditanggapi oleh individu mengalami rasa sakit. Di otak, masukan nociceptive dirasakan sebagai nyeri. tidak ada satupun lokasi yang tepat di mana persepsi nyeri ini terjadi, sebaliknya, persepsi nyeri melibatkan beberapa struktur di otak.

4. Modulasi

Sering kali digambarkan sebagai sistem desendens, proses ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu dorsalis medula spinalis (Paice, 2002 dalam Kozier, et al., 2010). Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opioid endogen, serotonin dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya impuls yang menyakitkan di kornu dorsalis. Namun,

neurotransmitter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Mc Caffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010).

2.1.4.Dimensi Nyeri

Multidimensionalitas nyeri terdiri atas: 1. Dimensi Fisiologis

Dimensi ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan genetik, anatomi dan fisik dari pengaruh nyeri serta bagaimana stimulasi yang menyakitkan itu di proses, diakui dan di jelaskan (Lewis, et al., 2011).

Menurut National Institute of Nursing Reseach [NINR] (dalam Sauls, 2002) Dimensi ini mencakup aspek struktural, fungsional, dan biokimia dari pengalaman rasa sakit serta berbagai perbedaan jenis nyeri yang termasuk dalam dimensi fisiologis. Persepsi dan transmisi rasa sakit dibawa oleh nosiseptor sepanjang jalur naik dan jalur turun saraf yang difasilitasi oleh mediator neurochemical merupakan komponen penting dari mekanisme fisiologis dari pengalaman nyeri.

Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles, et al., 1983; Davis, 2003 dalam Ardinata, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007).

2. Dimensi Afektif

Adalah suatu respon emosional terhadap nyeri seperti marah, takut, depresi dan cemas. Emosi yang negatif dapat mengurangi kualitas hidup. Hubungan negatif antara depresi dan nyeri dapat menyebabkan kerusakan fungsi (Lewis, et al., 2011).

Tekanan emosional dapat dianggap sebagai komponen atau bagian dari rasa sakit, mungkin juga konsekuensi atau penyebab serta bersamaan dengan fenomena yang termasuk emosi seperti rasa takut, depresi, kecemasan, kemarahan, relief, antisipasi, agresi, dan karakteristik kepribadian. Adanya tanda- tanda gangguan emosi memungkinkan seseorang mengenali adanya nyeri (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

Menurut Ardinata (2007) dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya.

3. Dimensi Sensori

Menurut NINR (dalam Sauls, 2002), dimensi sensorik nyeri mengacu ke lokasi, intensitas, dan kualitas. Ketika menilai lokasi, struktur anatomi dan lokasi ditengarai dapat membantu dalam menentukan etiologi nyeri. Intensitas ketegangan mengacu pada jumlah atau beratnya nyeri yang dialami dan dapat dinilai menggunakan skala penilaian nyeri numerik atau dengan kata-kata dengan

menggunakan istilah-istilah seperti ringan, sedang, dan berat. Faktor-faktor seperti etiologi, toleransi, dan ambang nyeri dapat mempengaruhi intensitas nyeri. Kualitas adalah terkait dengan apa rasa sakit terasa seperti apa dan mungkin dipengaruhi oleh etiologi, menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat memiliki kualitas sensorik yang berbeda.

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Ahles, et al., (1983 dalam Ardinata, 2007) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal ( McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

4. Dimensi Kognitif

Dimensi ini berkaitan dengan suatu kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam berespon terhadap pengaruh nyeri. Penggunaan strategi koping kognitif dan keyakinan saat bernegosiasi dengan nyeri (Lewis, et al., 2011).

Menurut NINR (1994 dalam Sauls, 2002) dimensi kognitif nyeri melibatkan persepsi individu tentang diri; makna penderitaan, pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang rasa sakit dan terapi nyeri; dan preferensi pribadi serta strategi penanggulangan. Dalam dimensi ini juga termasuk tingkat dan kualitas kognisi individu yang berkaitan dengan dirinya atau kemampuannya untuk mentoleransi nyeri. Individu dengan fungsi kognitif terbatas atau yang mengalami gangguan, seperti bayi, orang-orang dengan ketidakmampuan belajar, pasien dengan gannguan jiwa, atau orang-orang dengan demensia, mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan rasa sakit yang mereka alami.

Barkwell (2005dalam Ardinata, 2007) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya.

5. Dimensi Perilaku

Dimensi ini berkaitan dengan suatu perilaku yang dapat diamati sebagai respon atau kontrol terhadap nyeri. Misalnya ekspresi wajah saat menahan nyeri seperti meringis atau mudah marah. Orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengkomunikasikan rasa nyerinya dapat mengalami perubahan perilaku seperti agitasi(Lewis, et al., 2011).

Dimensi perilaku mencakup aspek perilaku nyeri termasuk yang dapat diamati atau diperlihatkan oleh individu yang menunjukkan rasa sakit yang sedang dialami, atau tindakan / upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Perilaku seperti merintih, mengerang, wajah meringis, dan berjalan pincang mungkin merupakan indikator nyeri, sedangkan tindakan seperti berbaring, kegiatan yang tidak aktif, pijat, penggunaan obat-obatan, dan mencari perawatan kesehatan adalah menampilkan upaya untuk mengurangi rasa sakit Perilaku seperti tidur, istirahat, atau kelelahan yang terkait dengan fenomena nyeri juga sesuatu yang dapat diamati (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

Menurut Fordyce (dalam Ardinata, 2007) dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri. Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat.

6. Dimensi Sosiokultural

Dimensi sosiokultural adalah dimensi lainnnya yang mempengaruhi nyeri seperti faktor demografi, usia dan jenis kelamin. Keluarga dan care giver juga dapat mempengaruhi. Penggunaan obat-obatan dan strategi koping juga mempengaruhi terhadap tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang (Lewis, et al., 2011).

Persepsi individu dan tanggapan rasa sakit tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran anggota keluarga serta kemampuan mereka untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Daerah penting untuk menilai meliputi keluarga dan sosialnya, rumah dan lingkungan kerja, sikap dan keyakinan tentang rasa sakit. Tidak hanya variabel-variabel sosial budaya yang berkaitan dengan penderita tetapi juga variabel sosial budaya terkait dengan penyedia layanan akan mempengaruhi penilaian mereka dan manajemen dari pengalaman nyeri sebagai persepsi penderita dan penyedia layanan mungkin berbeda (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

2.1.5.Tipe nyeri

Tipe nyeri dapat dikelompokkan berdasarkan waktu, tempat dan penyebabnya (Kozier et al., 2010)

1. Menurut waktu nyeri

Nyeri menurut waktu disini adalah lamanya nyeri yang dialami seseorang. a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang umumnya berlangsung dalam waktu singkat atau kurang dari enam bulan (Black & Hawks, 2009), memiliki awitan mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefinisikan nyeri akut adalah nyeri yang biasanya berlangsung singkat, terjadi secara tiba-tiba dan terlokalisasi dimana pasien umumnya dapat menjelaskan tentang nyeri yang dirasakan. Nyeri akut umumnya dapat diakibatkan oleh karena adanya trauma (seperti: fraktur, luka bakar, laserasi), luka akibat pembedahan, iskemia atau inflamasi akut.

b. Nyeri kronik

Nyeri yang berlangsung lama, biasanya bersifat kambuhan atau menetap selama enam bulan atau lebih dan mengganggu fungsi tubuh (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefenisikan nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung menetap atau nyeri yang berulang-ulang untuk periode yang tidak tentu, biasanya nyeri berlangsung lebih dari tiga bulan.

Selain itu, Ignatavicius & Workman (2010) juga membagi nyeri kronik kedalam dua jenis, yaitu:

1) Nyeri kronik kanker

Nyeri kronik kanker kebanyakan disebabkan oleh penyakit itu sendiri. Sumber nyeri kanker adalah kompresi pada saraf, pertumbuhan abnormal jaringan kanker, atau metastase tulang. Pengobatan kanker juga dapat menyebabkan terjadinya nyeri sperti tindakan pembedahan dan toksisitas dari terapi kemoterapi atau radioterapi.

2) Nyeri kronik non kanker

Nyeri kronik non kanker dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit kronik seperti low back pain, reumatoid artritis dan osteoporosis.

2. Menurut lokasi nyeri

Nyeri berdasarkan asal lokasi atau sumber nyeri dapat dibagi ke dalam: a. Nyeri kutaneus

Nyeri yang berasal di kulit atau jaringan subkutan. Teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar adalah sebuah contoh nyeri kutaneus (Kozier, et al., 2010).

Nyeri kutaneus dapat ditandai dengan onset mendadak dan tajam atau kualitas tetap atau dengan onset lambat dan kualitas seperti rasa terbakar, tergantung pada jenis serat saraf yang terlibat. Reseptor nyeri kutaneus berakhir tepat di bawah kulit dan karena konsentrasi tinggi dari ujung saraf, maka nyeri ini didefinisikan sebagai nyeri lokal dengan durasi pendek (Black & Hawks, 2009).

b. Nyeri somatic profunda

Nyeri yang berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf. Nyeri somatik profunda menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus. Keseleo pada pergelangan kaki adalah sebuah contoh nyeri somatic profunda (Kozier, et al., 2010).

Nyeri somatik merupakan hasil aktivasi nosiseptors (reseptor sensorik) sensitif terhadap rangsangan zat atau bahan berbahaya di cutaneus atau jaringan lebih dalam. Pengalaman nyeri terlokalisasi yang digambarkan sebagai rasa yang konstan, sakit dan menggerogoti (Gililland, 2008).

c. Nyeri viseral

Nyeri yang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks. Nyeri viseral cenderung menyebar dan seringkali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri viseral seringkali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot (Kozier et al., 2010)..

Nyeri viseral sangat sulit untuk dilokalisasi, dan beberapa cedera pada jaringan visceral terlihat seperti nyeri alih atau referred pain, di mana sensasi terlokalisir pada daerah yang tidak ada hubungannya dengan tempat terjadinya cedera (Black & Hawks, 2009).

Nyeri viseral adalah nyeri yang dimediasi oleh nosiseptor. Nyeri yang digambarkan sebagai nyeri yang mendalam, sakit dan kolik. Sulit untuk dilokalisasi dan sering dirasa pada daerah cutaneus, yang mungkin lembut (Gililland, 2008).

3. Menurut tempat nyeri di rasakan

Nyeri berdasarkan tempat nyeri di rasakan dapat dibagi ke dalam: a. Nyeri menjalar

Nyeri yang dirasakan di sumber nyeri dan meluas ke jaringan – jaringan di sekitarnya. Misalnya, nyeri jantung tidak hanya dapat dirasakan di dada tetapi juga dirasakan di bahu kiri dan turun ke lengan (Kozier, et al., 2010).

b. Nyeri alih

Nyeri alih adalah nyeri yang di rasakan di satu bagian tubuh yang cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya, nyeri yang berasal dari sebuah bagian visera abdomen dapat dirasakan di suatu area kulit yang jauh dari organ yang menyebabkan nyeri (Kozier, et al., 2010).

Nyeri alih adalah bentuk nyeri viseral dan dirasakan di daerah yang jauh dari tempat stimulus. Itu terjadi ketika serat saraf yang melayani area tubuh yang jauh dari tempat stimulus lewat di dekat stimulus. Sensasi nyeri alih mungkin intens, dan mungkin ada sedikit atau tidak ada rasa sakit pada titik stimulus berbahaya (Black & Hawks, 2009).

c. Nyeri tak tertahankan

Nyeri tak tertahankan adalah nyeri yang sangat sulit diredakan. Salah satu contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut (Kozier, et al., 2010). d. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau saraf pusat di masa kini atau masa lalu dan mungkin tidak mempunyai sebuah stimulus, seperti kerusakan jaringan atau saraf untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik

berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul dan nyeri tumpul yang berkepanjangan (Kozier, et al., 2010). Nyeri yang melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer (Gililland, 2008).

e. Nyeri bayangan

Nyeri bayangan adalah sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang telah hilang misal pada kaki yang telah di amputasi. Nyeri bayangan disebut juga dengan phantom pain (Kozier, et al., 2010).

Seseorang yang sudah menjalani amputasi bagian tubuh, dapat terus mengalami atau merasakan sensasi di bagian tubuh yang sudah diamputasi seolah- olah bagian tersebut masih ada atau melekat. Serabut saraf yang melayani bagian ini terus meluas ke bagian perifer, yang berakhir di lokasi sayatan (Black & Hawks, 2009).

f. Breakthrough pain

Breakthrough pain adalah nyeri yang datang tiba-tiba untuk jangka waktu yang singkat serta tidak dapat diatasi dengan manajemen nyeri yang normal oleh pasien. Hal ini sering terjadi pada pasien kanker yang sering memiliki tingkat latar belakang nyeri yang dikendalikan oleh obat-obatan (Black & Hawks, 2009).

2.1.6.Pengkajian nyeri

Pengkajian nyeri menurut Smeltzer (2002) dilakukan untuk memperoleh data yang akurat tentang nyeri yang meliputi:

1. Intensitas nyeri

Pengukuran intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala verbal dan skala perilaku (behavioral).

a. Intensitas nyeri dengan skala verbal.

Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala intensitas nyeri numerik (pain numerical rating scale atau PNRS), dimana 0 sama dengan tidak nyeri dan 10 sama dengan nyeri hebat yang dikembangkan oleh McCafferey & Beebe (1993).

Gambar 2.1. Pain Numerical Rating Scale (McCafferey & Beebe, 1993)

Keterangan:

b. Intensitas nyeri dengan skala perilaku

Pengukuran nyeri juga dapat dilakukan dengan menggunakan skala perilaku atau behavioral pain assessment scale, dengan skor 0 – 10. Skor total

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

diantara 0, yang menyatakan tidak ada perilaku nyeri, hingga 10 yang menyatakan adanya perilaku nyeri yang berat (Scott & McDonald, 2007).

Tabel. 2.1 Behavioral Pain Assesment Scale (Campbell, 2000 dalam Scott & McDonald, 2007) Wajah 0 Otot wajah rileks 1 Otot wajah tegang, mengerut, mimic wajah kesakitan 2 Sering ke selalau mengerutkan wajah, dagu mengepal Face score: Restlessness 0 Diam, tampilan rileks, pergerakan normal 1 Kadang-kadang gerakan gelisah, posisi tegang 2 Sering memperlihatkan gerakan kegelisahan Restlessness score: Tonus Otot 0 Tonus otot normal 1 Tonus meningkat, fleksi jari dan tumit 2 Tonus kaku Muscle tone score: Vocalisasi 0 Tidak ada suara abnormal 1 Kadang-kadang berguman, menangis, atau menggerutu 2 Sering berguman, menangis dan menggerutu Vocalisation score: Consolability (Kenyamanan) 0 rileks 1 Nyaman bila disentuh, distractible 2

Sulit untuk merasa nyaman baik dengan sentuhan atau perbincangan

Consolability score:

2. Karakteristik nyeri

Meliputi letak atau lokasi dimana nyeri dirasakan, durasi atau waktu nyeri berlangsung (menit, jam, hari, bulan dan sebagainya), irama (misal terus menerus, hilang timbul) dan kualitas nyeri (misal nyeri seperti ditusuk, seperti terbakar, sakit, nyeri seperti digencet.

3. Faktor-faktor yang meredakan nyeri

Meliputi gerakan, istirahat, obat-obatan dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.

4. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

Meliputi efek nyeri terhadap tidur, napsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitas-aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.

5. Kekahawatiran individu tentang nyeri

Meliputi berbagai masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

2.1.7.Manajemen nyeri 1. Farmakologi

Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau obat penghilang rasa sakit (Blacks & Hawks, 2009).

Penatalaksanaan farmakalogi adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam:

a. Analgesik opioid (narkotik)

Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein. Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan (Kozier, et al., 2010).

Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).

b. Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid (non steroid

Dokumen terkait