• Tidak ada hasil yang ditemukan

konsep Utang dalam Islam

Dalam dokumen Buku Bisnis Ala Nabi (Halaman 133-140)

Dalam sistem ekonomi Islam, konsep utang dapat dibagi dalam dua hal, yakni utang melalui pinjaman yang biasa dise­

Ekonomi Antiriba

99

but dengan qardl dan utang melalui pembiayaan yang disebut dengan ad­dayn.

Qardl secara bahasa berarti ‘memotong’. Sebab, orang yang meminjamkan berarti “memotong” hartanya untuk di­ berikan kepada peminjam. Secara istilah, qardl bermakna ‘menyerahkan harta kepada orang lain untuk digunakan dan dikembalikan pada masa yang ditentukan’. utang me­ lalui pinjaman berarti utang yang muncul disebabkan adanya pinjaman, baik barang maupun uang. Secara lahiriah, utang jenis ini biasa disebut dengan bantuan atau utang yang diper­ untukkan untuk tolong­menolong yang biasa disebut dengan

tabarru’. Pinjaman dalam jenis qardl ini terdiri atas barang komoditas yang dapat diukur dan dikembalikan persis se suai dengan jumlah atau besarnya yang dipinjam. Karenanya, pin­ jaman model ini bukan mencari keuntungan, tetapi hanya ber­ orientasi ibadah, mencari keridaan­Nya.

Dasar pijakan utang jenis ini terdapat dalam al­Quran,

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman

yang baik (menakahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah

akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak, dan Allah menyempitkan dan melapang­ kan (rezeki) dan kepada­Nya­lah kamu dikembalikan (QS al­ Baqarah [2]: 245).

utang jenis kedua disebut dengan ad­dayn, yakni utang dalam bentuk pembiayaan dengan maksud penundaan tang­ gung jawab yang muncul dari suatu kontrak yang melibatkan pertukaran nilai. Dengan kata lain, utang dalam makna ad­ dayn adalah harta yang terdapat dalam pertanggungan orang

100

Bisnis Ala Nabi

lain dan termasuk dalam penundaan tanggung jawab yang menyebabkan pertukaran nilai. Dalam konteks uang, misal­ nya, peminjaman uang berarti berpindahnya pertanggung­ jawaban yang menyebabkan pertukaran nilai. Pertukaran ni­ lai yang dimaksud adalah pertukaran nilai setelah dilakukan usaha dalam uang tersebut.

Nah, yang menarik sekaligus penting untuk dibahas da­ lam konteks ini adalah utang dalam bentuk uang. Sebab, di sinilah titik rawan dalam persentuhan utang dengan riba, yak­ ni riba fadl.1 Yang perlu dipertegas di sini adalah bahwa uang

dalam perspektif Islam merupakan sebuah faktor produksi. uang yang jika dilakukan secara produktif akan menghasil­ kan nilai lebih, dan jika uang tersebut gagal diproduksi akan menghasilkan nilai rendah. Yang menjadi salah adalah jika pengembalian utang dalam bentuk uang telah ditentukan di awal. Prinsip yang harus selalu dipegang bagi kita adalah bahwa balasan dalam jumlah dan bentuk apa pun dari modal tanpa melihat produktivitasnya adalah sesuatu yang dilarang dan dipandang sebagai riba.

Dengan kata lain, modal yang dipinjamkan kepada pihak kedua tidak dapat diklaim sebagai pengembalian uang secara baik tanpa melihat produktivitasnya. Maka, segala bentuk transaksi yang menjamin sebuah pengembalian yang pasti

1 Riba fadl adalah riba yang imbul akibat pertukaran barang sejenis yang idak

memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuanitasnya (sawâan bi sawâin), dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Riba ini mengandung gharar, yaitu keidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai seiap ba-

rang yang dipertukarkan. Keidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap

Ekonomi Antiriba

101

berarti telah melakukan riba. Sampai di sini, prinsip utang dalam bentuk uang telah nyata dan tegas.

akan tetapi, pertanyaan mendasarnya adalah cara eko­ nomi Islam mampu “mengimbangi” sistem utang gaya ren­ tenir yang biasa dihadapi masyarakat. Padahal, gaya ren tenir dalam menggunakan konsep utangnya kepada masyarakat itu dikemas dengan sangat menarik. Selain mudah untuk mendapatkan pinjaman, masyarakat juga dipermudah men­ dapatkan akses barang dan tentu dengan uang pengembalian yang berlipat­lipat itu.

Dalam konteks ini, penulis melihat ada dua cara yang dapat dilakukan dengan menggunakan konsep utang. Per­ tama, secara ideal, bentuk utang jenis ad­dayn ini adalah cara utang yang paling baik, yakni utang yang diberikan dalam kerangka pembiayaan yang bernilai produktif. Pinjaman yang produktif diejawantahkan dalam bentuk akad musyarakah,

murabahah, muzara’ah, musaqah. Inilah cara paling ideal yang bisa dilakukan semua orang. Pihak pemberi pinjaman bertin­ dak sebagai pemilik modal (shahibul mal), sementara para petani sebagai mudharbi­nyadiakhiri dengan bagi hasil di an­ tara kedua belah pihak.

Sedangkan utang dalam bentuk qardl adalah bentuk pinjaman yang bersifat sosial tanpa boleh mendapatkan ha­ sil tambahan kepada pemberi utang. Kondisi ini biasa terjadi dalam bentuk pinjaman yang konsumtif. utang dalam bentuk ini tidak mempunyai celah untuk melakukan bisnis. Tambahan dari pihak peminjam kepada orang yang berpiutang di situ adalah atas dasar kesukarelaan dan berbentuk hadiah tanpa

102

Bisnis Ala Nabi

didahului perjanjian. Itu pun tentunya harus dilakukan secara hati­hati agar tidak terjadi salah paham di antara kedua belah pihak.

Kalaupun ada celah untuk memberi pinjaman dengan tambahan untuk sekadar tidak merugikan pihak yang berpi­ utang adalah nilai uang saat dipinjam disamakan dengan nilai uang saat dikembalikan. hal ini memungkinkan karena uang pada masa Rasulullah Saw. adalah dinar atau dirham yang berlapis emas. Seperti diketahui, emas adalah alat tukar yang

relatif kebal terhadap inlasi. Dengan kata lain, nilai uang di­ nar lima tahun ke depan relatif sama dengan saat ini. Berbeda dengan uang kartal (kertas) yang sangat rentan terhadap in­

lasi.

Jadi, kalaupun pembayaran utang disertai dengan tam­ bahan, adalah dalam rangka untuk tidak merugikan orang yang berpiutang, bukan mencari keuntungan. Namun, yang jelas, cara yang terbaik untuk menolong dan memperbaiki kondisi umat adalah dengan utang model ad­dayn dengan menggunakan cara­cara kerja sama yang produktif seperti

musyarakah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah.

Pada keempat bentuk kerja sama inilah yang sering diisti­ lahkan dengan berbagi dalam untung­rugi atau proit and loss

sharing (PlS). PlS merupakan jantung dari sistem moneter Islam dan diyakini lebih mencerminkan keadilan bagi pelaku bisnis. Mengapa untung­rugi harus dibagi dalam kerja sama

bisnis? Sebab, untung-rugi merupakan itrah bisnis. Tidak ada

bisnis yang selalu untung dan tidak ada satu bisnis pun yang tidak punya risiko. Kemungkinannya selalu ada. Oleh karena

Ekonomi Antiriba

103

itu, dalam sistem kerja sama harus berbagi keduanya, entah untung atau rugi. Secara umum, implementasi konsep ini ter­ dapat dalam mudharabah dan musyarakah, sedangkan dalam pertanian ada muzara’ah dan musaqah.

Secara sederhana musyarakah, mudharabah, muzara’ah,

dan musaqah adalah akad kerja sama yang membutuhkan

baik harta maupun skill dalam membuat suatu usaha. Selan­ jutnya, keempat konsep itu digunakan untuk sebuah tran­ saksi perkongsian dalam bisnis antara dua pihak atau lebih un­ tuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif. Dengan kesepakatan, bahwa keuntungan akan dibagikan se­ suai porsi yang disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerja sama pula.

Mudharabah dan musyarakah pada hakikatnya adalah kerja sama bisnis di atas. Perbedaannya hanya pada kepemi­ likan modal dan pelaku bisnis. Jika pada musyarakah modal dan aktivitas bisnis dilakukan secara bersama, pada mudhara­ bah kerja sama dilakukan antara pemilik modal (shahib al­ mal) dan pelaku bisnis (mudharib). Sistem kerja sama dalam bidang pertanian disebut dengan muzara’ah, sedangkan di bidang perkebunan disebut dengan musaqah.

adapun dasar atau dalil yang mendasarkan keuntungan

adalah irman Allah Swt. sebagai berikut, Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa (berapa) hasil usahanya besok (QS luqman [31]: 34). ayat ini merupakan lan­ dasan konsep bagi hasil (untung atau rugi) sebab tidak ada yang dapat memastikan apa yang terjadi pada masa datang. Karena, pada hakikatnya, hanya allah­lah yang mengetahui

104

Bisnis Ala Nabi

hasilnya pada masa depan. Konsep ini bertentangan dengan konsep bunga yang memastikan jumlah hasil investasi pada

masa depan. Kepastian tersebut bertentangan dengan itrah bisnis untung dan rugi. Besarnya keuntungan juga berluktua­ si sehingga tidak bisa dipatok pada angka tertentu.

Dalam konteks kasus seperti yang disebut di atas terkait cara mengempang praktik rentenir yang terjadi di tengah­te­ ngah masyarakat, konsep mudharabah lebih tepat digunakan. Para pelaku bisnis syariah, baik pelaku bisnis pribadi maupun lembaga keuangan seperti koperasi atau perbankan dapat mengucurkan modal kepada masyarakat dengan konsep bagi hasil. Para petani atau masyarakat tidak membayar utang, tetapi berbagi keuntungan dengan pihak pemberi dana se­ suai dengan penghasilan yang diperoleh.

Seorang petani yang membutuhkan alat pengolah ta­ nah atau sawah, biaya pemupukan, biaya perstisida, misal­ nya, dapat diberi bantuan dana oleh pihak lain dengan pem­ bayaran bagi hasil saat petani panen dengan porsi yang adil dan transparan. Karenanya, tidak terdapat konsep utang yang dibayar secara lebih, bahkan berlipat, tetapi konsep “utang” dalam bentuk kerja sama seperti yang dijelaskan di atas. Bu­ kan utang membelit, tetapi “utang” (baca: kerja sama) yang produktif. Wallahualam.[]

D

alaM Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke­ 27 yang digelar di universitas Muhammadiyah Malang, 1­4 april 2010 diputuskan satu fatwa tentang ekonomi, yakni fatwa tentang keharaman bunga bank. Musyawarah nasional yang dihadiri oleh lebih dari 162 ulama Muhammadiyah dan para intelektual dari ormas Islam lainnya memutuskan bahwa bunga bank dikategorikan sebagai riba. Sungguh, keharaman tentang bunga bank bukanlah “barang baru” di lingkungan Muhammadiyah. Fatwa ini sekadar mempertegas fatwa keha­ raman bunga bank yang telah diputuskan sebelumnya. Selain itu, fatwa ini juga diharapkan menjadi sumbangsih organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dalam rangka mem­booming­ kan industri bank syariah di Indonesia.

Tentu munculnya fatwa itu bukanlah berasal dari ruang hampa yang nihil makna. Namun, fatwa tersebut keluar me­ lalui kajian dan analisis yang mendalam terhadap fenomena

bunga bank saat ini dalam perspektif ikih muamalah. Tak

heran memang jika persoalan bunga bank hingga kini ma­

MEnAkAR DAMPAk FAtwA

Dalam dokumen Buku Bisnis Ala Nabi (Halaman 133-140)