• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Konsepsi

Agar tidak menjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

1. Asas itikad baik: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam

diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakan oleh Muhammad Faiz bahwa "Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".33

2. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, yang menimbulkan hubungan hukum yang dinamakan perikatan antara dua orang yang membuatnya dan bentuknya berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.34

3. Perjanjian Berlangganan Sambungan telekomunikasi adalah kontrak antara PT. TELKOM dengan PELANGGAN yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan berlangganan sambungan telekomunikasi yang tertuang dalam perjanjian, permohonan, dan prosedur yang disampaikan PT. TELKOM pada PELANGGAN yang merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari perjanjian.

4. Telkom Flexi adalah layanan jasa telekomunikasi berupa suara dan data yang berbasis akses tanpa kabel dengan teknologi Code Devision Multiple Access

(CDMA).

33 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 112.

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1338 KUH Perdata itu sendiri juga menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam hal suatu kontrak ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum.35 Secara historis kebebasan berkontrak mengandung makna adanya 5 (lima) macam kebebasan, yaitu:

1. Kebebasan bagi para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak; 2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak; 3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak;

4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak;

5. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak.36

35 Setiawan, Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak, PPH Newsletter, 2003, hal. 1.

36 Johannes Gunawan, dalam Bernadette M. Waluyo, Hukum Perjanjian sebagai Ius Constituendum (Lege Ferenda)” dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, diedit oleh Ida Susanti dan Bayu Seto, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 60-61.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya, sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio Interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana take it or leave it (ambil atau tinggalkan). Menurut hukum perjanjian Indonesia, seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya.

Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik merupakan salah satu asas yang terkandung di dalam suatu hukum perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal

sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

Itikad baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Mengenai itikad baik dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat 3 dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUH Perdata dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”. Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.

Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak". Itikad baik seharusnya dimiliki oleh

setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri, kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada “kesengajaan sebagai bentuk kesalahan” pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut.

Seperti yang telah diuraikan, pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu

negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku. Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

standart contract. Standart contract merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Agar perjanjian standar dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat perjanjian standar harus diterapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir, kemudian digandakan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulir-formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain.

Dikatakan bersifat ”baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.

Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang ”kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya

kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.37

Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan standart contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan, yang ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomisnya) kuat. 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian.

3. Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu. 4. Bentuk tertentu (tertulis)

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.38 Unsur-unsur kontrak baku, yaitu : 1. Diatur oleh kreditur atau ekonomi kuat. 2. Dalam bentuk sebuah formulir

3. Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.39

Dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position konsumen pada prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha, maka Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau

37 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 53.

38 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 285.

39 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 147.

perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai :

”Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”40

Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku dan Pasal 18 ayat (2) mengatur ”bentuk” atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang.

Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana klausula baku tersebut akan mengakibatkan :

a. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau yang memiliki format sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut.

Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini.41

“TELKOMFlexi” adalah layanan jasa telekomunikasi suara dan data berbasis akses tanpa kabel dengan teknologi CDMA yang sangat hemat karena biaya pemakaiannya mengacu pada tarif telepon rumah (PSTN TELKOM). Hemat pula bagi yang melakukan panggilan ke “TELKOMFlexi”, karena layaknya telepon

rumah, pelanggan tidak dikenakan biaya airtime. Didukung teknologi terkini CDMA-2000 (IX), membuat “TELKOMFlexi” memiliki kualitas suara yang sangat jernih dan radiasi yang rendah. Jenis terminalnya juga beragam, pelanggan bebas memilih untuk menggunakan terminal mobile atau fixed.

G. Metode Penelitian