• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian (Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian (Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD

BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian

Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)

TESIS

Oleh

FEBRINA

087011045/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD

BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian

Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

FEBRINA

087011045/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)

Nama : Febrina

Nomor Pokok : 087011045 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 22 Desember 2010

___________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

(5)

ABSTRAK

Hubungan antara PT.Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca Bayar (Flexiclassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT. Telkom. Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan dengan asas itikad baik,karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Ada beberapa permasalahan yang timbul dari hal tersebut, yakni antara lain: bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”, bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian berlangganan sambungan telekomunikasi Telkom Flexi dengan Pelanggan, dan Bagaimana pertanggung jawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula baku.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas pengguna jasa berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” dilihat dari hukum positif secara umum dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan unsur-unsur keperdataan serta akibat yang timbul apabila klausul baku yang dimuat dalam perjanjian merugikan konsumen, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).

(6)

Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku. Itikad Baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan dapat pula menentukan isi perjanjian itu.dalam prakteknya akibat adanya klausula baku yang memuat berbagai pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada “TELKOMFlexi” sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesain dengan menggunakan jalan melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok.

Disarankan kepada pelaku usaha untuk berperan aktif menerangkan isi, maksud dan tujuan dari perjanjian baku (Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”) agar setiap konsumen yang ingin berlangganan dengan pelaku usaha benar-benar mengerti isi dari perjanjian tersebutt, untuk menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran dan pengertian Pasal 6 ayat (3) perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” hendaknya diubah menjadi: ”pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan telekomunikasi dapat dilakukan oleh TELKOM dengan terlebih dahulu memberikan pemberitahuan atau peringatan secara tertulis dan atau lisan kepada Pelanggan apabila Pelanggan melanggar salah satu atau lebih ketentuan kontrak ini dan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional disarankan agar mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 atau dimasa yang akan datang Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatur secara khusus mengenai BPSK dalam penggunaan jasa alat telekomunikasi.

(7)

ABSTRACT

Relationship between PT. Telkom and the customers of Post-Paid TELKOM Flexi (Flexi classy) is formed through a subscription agreement or contract made by PT. Telkom in a standard form. This form of agreement inflicts unfairness to the customers because all contents of the agreement were unilaterally decided by PT. Telkom. The existence of exoneration clauses in the standard contract is regarded against the principle of good intention because the party/company that provide the contract can include the beneficial stipulations to limit the responsibility of their company when a wanprestasi (one of the parties signed a contract does not keep the promise they state in the contract) or problems inflicting loss to each or each or both parties occur by transferring the responsibility to the consumers. Based on this condition, the purpose of this study was to find out how the principle of freedom of making contract was applied in TELKOM Flexi Subscription Agreement, how the principle of good intention was applied in the making and implementation of TELKOM Flexi Subscription Agreement, and what is the responsibility of TELKOM Flexi Service Provider toward the application of the principle of good intention under the standard clauses.

This analytical descriptive study with normative juridical method was conducted to describe and analyze the consumer’s rights of those subscribing TELKOM Flexi service based on the positive law and Law on Consumer Protection, civil elements and the consequences existing if the standard clauses stated in the agreement/contract inflict loss to the consumers referring to the legal norms stated in the regulation of legislation. The data for this study were mostly obtained through library research.

(8)

why good intention and appropriateness can also decide the contents of an agreement. In practice, the standard clauses containing various exceptions make it easy for the business practitioners avoid from their responsibility. The action taken by the consumers to counter the unilateral action taken by the business practitioners based on the standard clauses in an agreement is by filing their complaints to TELKOM Flexi as a service provider to obtain their rights the users of service provided while the solution through court of law has not been taken either individually or in group.

The business practitioners are suggested to actively describe the contents and purpose of the standard clauses (TELKOM Flexi Subscription Agreement) that any consumer who to subscribe through the business practitioners do understand the contents of the agreement that a misunderstanding in translating Article 6 (3) of TELKOM Flexi Subscription Agreement can be avoided. The content of Article 6 (3) should be changed into “imposing any sanction in the forms of isolating and deactivating telecommunication connection can be done by TELKOM through providing the customers with an initial oral or written warning if the customers violate one or more stipulations in this contract agreement. The management of National Consumer Protection Board is suggested to socialize the Consumer Dispute Settlement Board (BPSK) as regulated in Article 34 of Law No.8/1999 on Consumer Protection to the members of society or to make a special regulation concerning BPSK in the use of telecommunication equipment service in the future.

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahhi Wabarakatuu.

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat

dan inayah-Nya, tesis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada

Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)” ini telah

selesai sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, arahan dan

bantuan, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu

kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr Alvi Syahrin,

SH, MS, dan Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI yang telah membimbing

demi selesainya tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Komisi Penguji

Bapak Dr. Pendasteran Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,

MHum atas saran dan masukannya yang sangat membangun terhadap penulisan tesis

(10)

Selanjutnya penulis ucapkan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan

dorongan secara khusus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana Program Studi

Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas sumatera Utara, yaitu kepada:

a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister

Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

(11)

5. Seluruh pihak yang telah memberikan keterangan dan informasi selama penulis

melakukan penelitian di PT. Telkom Tbk Medan.

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suarno dan Ibunda Dewi yang telah

mencurahkan segenap doa, perhatian, cinta kasih, kesabaran dan dukungan, serta

orang yang paling penulis sayangi.

7. Adinda Arde Gunawan, adinda Muhammad Andriano dan adinda Fauzi Arwi

yang juga mencurahkan segenap doa, cinta kasih, kesabaran dan dukungan.

8. Seluruh teman-teman khususnya Kelas B angkatan 2008 atas bantuan dan

perhatiannya.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari

Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita

semua. Amiin.

Medan, Desember 2010

Penulis

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Pribadi

1. Nama : Febrina

2. Tempat/Tanggal Lahir : P.Siantar/13 Februari 1984

3. Alamat : Jalan Raya No 17, P. Siantar

4. Jenis Kelamin : Wanita

5. Umur : 26 Tahun

6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Agama : Islam

8. Nama Orang Tua : a. Ayah : Suarno

b. Ibu : Dewi

9. Saudara Kandung : Arde Gunawan Muhammad Andriano Fauzi Arwi

Latar Belakang Pendidikan

1. Sekolah Dasar : Negeri IV P.Siantar (1990-1996)

2. Sekolah Menengah Pertama : Negeri 2 P.Siantar (1996-1999)

3. Sekolah Menengah Atas : Swasta Sultan Agung P.Siantar (1999-2002)

4. Universitas : S1 Fakultas Hukum Atmadjaya Yogyakarta

(13)

DAFTAR ISI

BAB II ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN SAMBUNGAN TELEKOMUNIKASI ... “TELKOMFLEXI” ... 42

A. Subyek dan Obyek dalam Kontrak Berlangganan ... Sambungan Telekomunikasi “Telkom Flexi” ... 44

B. Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ... “Telkom Flexi“ Sebagai Perdagangan Baku yang ... Sudah Memenuhi Asas Kebebasan Berkontrak ... 49

(14)

BAB III ASAS ITIKAD BAIK DALAM PEMBUATAN DAN ... PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA TELKOMFLEXI

DENGAN PELANGGAN ... 74

A. Kalusul Baku Dalam Perjanjian ... 74

B. Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian ... 85

C. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Antara Telkom Flexi dengan Pelanggan ... 90

BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PELAKU USAHA JASA ... TELEKOMUNIKASI “TELKOM FLEXI” TERHADAP ... PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DENGAN ADANYA ... KALUSUL BAKU ... 101

A. Pelaku Usaha dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 101

B. Hak-hak Konsumen dalam Perjanjian Berlangganan ... ”TelkomFlexi” ... 110

C. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Jasa Telekomunikasi ... Telkom Flexi Terhadap Azas Itikad Baik Dengan Adanya ... Klausul Baku ... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA

(15)

ABSTRAK

Hubungan antara PT.Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca Bayar (Flexiclassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT. Telkom. Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan dengan asas itikad baik,karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Ada beberapa permasalahan yang timbul dari hal tersebut, yakni antara lain: bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”, bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian berlangganan sambungan telekomunikasi Telkom Flexi dengan Pelanggan, dan Bagaimana pertanggung jawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula baku.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas pengguna jasa berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” dilihat dari hukum positif secara umum dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan unsur-unsur keperdataan serta akibat yang timbul apabila klausul baku yang dimuat dalam perjanjian merugikan konsumen, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).

(16)

Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku. Itikad Baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan dapat pula menentukan isi perjanjian itu.dalam prakteknya akibat adanya klausula baku yang memuat berbagai pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada “TELKOMFlexi” sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesain dengan menggunakan jalan melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok.

Disarankan kepada pelaku usaha untuk berperan aktif menerangkan isi, maksud dan tujuan dari perjanjian baku (Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”) agar setiap konsumen yang ingin berlangganan dengan pelaku usaha benar-benar mengerti isi dari perjanjian tersebutt, untuk menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran dan pengertian Pasal 6 ayat (3) perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” hendaknya diubah menjadi: ”pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan telekomunikasi dapat dilakukan oleh TELKOM dengan terlebih dahulu memberikan pemberitahuan atau peringatan secara tertulis dan atau lisan kepada Pelanggan apabila Pelanggan melanggar salah satu atau lebih ketentuan kontrak ini dan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional disarankan agar mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 atau dimasa yang akan datang Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatur secara khusus mengenai BPSK dalam penggunaan jasa alat telekomunikasi.

(17)

ABSTRACT

Relationship between PT. Telkom and the customers of Post-Paid TELKOM Flexi (Flexi classy) is formed through a subscription agreement or contract made by PT. Telkom in a standard form. This form of agreement inflicts unfairness to the customers because all contents of the agreement were unilaterally decided by PT. Telkom. The existence of exoneration clauses in the standard contract is regarded against the principle of good intention because the party/company that provide the contract can include the beneficial stipulations to limit the responsibility of their company when a wanprestasi (one of the parties signed a contract does not keep the promise they state in the contract) or problems inflicting loss to each or each or both parties occur by transferring the responsibility to the consumers. Based on this condition, the purpose of this study was to find out how the principle of freedom of making contract was applied in TELKOM Flexi Subscription Agreement, how the principle of good intention was applied in the making and implementation of TELKOM Flexi Subscription Agreement, and what is the responsibility of TELKOM Flexi Service Provider toward the application of the principle of good intention under the standard clauses.

This analytical descriptive study with normative juridical method was conducted to describe and analyze the consumer’s rights of those subscribing TELKOM Flexi service based on the positive law and Law on Consumer Protection, civil elements and the consequences existing if the standard clauses stated in the agreement/contract inflict loss to the consumers referring to the legal norms stated in the regulation of legislation. The data for this study were mostly obtained through library research.

(18)

why good intention and appropriateness can also decide the contents of an agreement. In practice, the standard clauses containing various exceptions make it easy for the business practitioners avoid from their responsibility. The action taken by the consumers to counter the unilateral action taken by the business practitioners based on the standard clauses in an agreement is by filing their complaints to TELKOM Flexi as a service provider to obtain their rights the users of service provided while the solution through court of law has not been taken either individually or in group.

The business practitioners are suggested to actively describe the contents and purpose of the standard clauses (TELKOM Flexi Subscription Agreement) that any consumer who to subscribe through the business practitioners do understand the contents of the agreement that a misunderstanding in translating Article 6 (3) of TELKOM Flexi Subscription Agreement can be avoided. The content of Article 6 (3) should be changed into “imposing any sanction in the forms of isolating and deactivating telecommunication connection can be done by TELKOM through providing the customers with an initial oral or written warning if the customers violate one or more stipulations in this contract agreement. The management of National Consumer Protection Board is suggested to socialize the Consumer Dispute Settlement Board (BPSK) as regulated in Article 34 of Law No.8/1999 on Consumer Protection to the members of society or to make a special regulation concerning BPSK in the use of telecommunication equipment service in the future.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan bertujuan untuk

mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan materil dan

spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Guna mencapai hal tersebut, maka

pembangunan dilaksanakan disegala bidang antara lain: politik, ekonomi, sosial,

budaya, pertahanan dan keamanan, dengan memerlukan kerja sama disemua pihak,

bukan hanya pemerintah sebagai pelaksana, melainkan juga semua lapisan

masyarakat.

Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah

menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan

penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang

dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi

Jerman.

Subekti mengemukakan bahwa suatu sistem adalah suatu susunan atau catatan

yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu

sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil suatu pemikiran untuk

(20)

duplikasi atau tumpang tindih (overlapping). Belleffoid mengatakan pula bahwa

“sistem hukum adalah keseluruhan aturan hukum yang disusun secara terpadu

berdasarkan asas-asas tertentu”.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas

yang terpadu, yang merupakan landasan, dimana dibangun tertib hukum. Asas-asas

ini diperoleh melalui konstruksi yuridis, yaitu dengan menganalisis (mengolah)

data-data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat-sifat yang umum

(kolektif) atau abstrak. Proses ini dapat juga dikatakan mengabstraksi. Asas-asas ini

mempunyai tingkatan jika dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak. Perbedaan antara

berbagai asas ini tidak prinsipil, tetapi gradual. Aturan-aturan hukum membentuk

dirinya dalam sistem hukum dan merupakan suatu “pohon hukum” (Science tree),

yang mempunyai akar, batang, cabang, dahan, ranting, daun, bunga, dan sebagainya.

Sistem hukum dapat dijabarkan dalam sub-sub sistem, seperti hukum nasional dapat

dijabarkan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum ekonomi

dan sebagainya. Sub sistem hukum ini dijabarkan lagi secara rinci dalam

bagian-bagian yang lebih kecil misalnya dari sub sistem hukum perdata, dijabarkan dalam

sub sistem hukum kontrak, hukum kontrak internasional, hukum perkreditan dan

sebagainya. Dilihat dari sistem hukum nasional, maka hukum perjanjian adalah sub

(21)

Demikianlah suatu sistem hukum dalam suatu negara tertentu dapat

seterusnya dibagi-bagi kedalam beberapa bagian. Seluruh sub sistem ini satu sama

lain berkaitan dalam hubungan yang harmonis dan serasi, seimbang, tidak tumpang

tindih, tidak berbenturan karena asas-asas yang terpadu. Asas-asas yang terdapat

didalam hukum perdata harus senada, seirama dengan asas-asas yang terdapat dalam

hukum nasional. Demikian juga asas-asas hukum perjanjian harus selaras dengan

asas-asas hukum perdata.

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R.

Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata) bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang

Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang

mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau

pihak-pihak tertentu.1 Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan

kedalam Hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini

merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan

dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang

dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal

sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu

1 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk

(22)

perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain

sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu

perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang

membuatnya.

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua

belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif)

untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum

yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun adakalanya “kedudukan”

dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya

melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu

pihak.2

Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan”

kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau

2 Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama,

(23)

klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu

pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena,

baik perjanjian baku maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin

dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.3 Latar belakang tumbuhnya

perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan pemerintah mengadakan

kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan

syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai

kedudukan (ekonomi) lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya,

hanya menerima apa yang disodorkan.4

Tujuan semula diadakannya perjanjian baku yakni alasan efisiensi dan praktis.

Sebagai contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian: kredit

perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian

konsumen/pelanggan dan PT. Telkom, perjanjian konsumen/pelanggan dan PDAM.

Kemudian perjanjian antara pemilik hotel dan konsumen, perjanjian konsumen

dengan perusahaan chemical laundry, dan sebagainya. Kesemuanya pada dasarnya

selalu membuat perjanjian tersebut tidak mengikutsertakan pelanggan/konsumen

didalam menyusun pasal-pasal didalam isi perjanjian tersebut, sehingga bisa

dikatakan bahwa perjanjian tersebut selalu menguntungkan kepentingan pihak

3 Ibid, hal. 9.

4 Ningrum Natasya Sirait, Intisari Perkuliahan Azas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian

(24)

perusahaan (pembuat perjanjian) tersebut dibanding kepentingan pelanggan. Hal ini

juga terdapat pada sanksi/hukuman yang ada di dalam perjanjian baku tersebut.

Dalam tesis ini lebih meneliti kepada perjanjian berlangganan alat

telekomunikasi pada “TELKOMFlexi” yang dalam hal ini sebagai operator alat

telekomunikasi yang merupakan anak perusahaan PT. Telkom Indonesia, Tbk.

Adapun perjanjian ini teliti dikarenakan dalam kenyatannya sarana telekomunikasi

seperti telepon merupakan sarana yang sangat penting dan sudah menjadi kebutuhan

masyarakat. Disini dapat dilihat bahwa kedudukan masyarakat sebagai pelanggan,

apalagi “TELKOMFlexi” dalam melakukan penawaran berlangganan kepada

masyarakat menggunakan system take it or leave it (ambil atau tinggalkan), jadi

walaupun calon pelanggan memilih untuk menolak kontrak yang ditawarkan, hal itu

tidak akan mempengaruhi penawaran kepada masyarakat secara umum, karena

kebutuhan masyarakat akan telepon masih tetap tinggi. Pada asasnya isi perjanjian

yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.

PT. Telkom sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa

telekomunikasi harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat yang

menggunakan jasanya. Berbagai cara telah digunakan PT. Telkom agar dapat

memberikan yang terbaik untuk konsumen pengguna jasanya. Salah satunya adalah

dengan mengusahakan peningkatan jasa telekomunikasi, sehingga diharapkan dapat

(25)

sehingga pemerataan informasi dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat di

Indonesia. Baik buruknya suatu perusahaan khususnya perusahaan yang bergerak di

bidang jasa akan berhubungan secara langsung dengan masyarakat, demikian juga

dengan PT. Telkom.

Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran pembahasan adalah

“TELKOMFlexi”, yaitu produk dari PT. Telkom yang dapat dimanfaatkan sebagai

fixed wireless digital yang digunakan sebagai telepon rumah (fixed phone) dan

telepon bergerak (mobility), dengan menawarkan fasilitas sekelas seluler, tetapi

dengan tarif pulsa telepon rumah. Untuk saat ini sudah tersedia dua layanan

unggulan, yaitu Pra Bayar (FlexiTrendy) dan Pasca Bayar (FlexyClassy).5

Hubungan antara PT. Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca

Bayar (flexiClassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan.

Perjanjian yang digunakan sebagai alat bukti perikatan antara PT. Telkom dengan

pelanggannya berupa Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi

“TELKOMFlexi”. Dalam perjanjian tersebut terdapat dua pihak yang mengikatkan

dirinya, yaitu PT. Telkom sebagai supplier jasa sambungan telepon atau disebut

sebagai penyelenggara pelayanan (survive provider), dan pelanggan. Perjanjian

Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi” yang dibuat oleh PT.

Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak

berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku (Standart Contract), yaitu suatu bentuk

(26)

perjanjian dimana didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh

salah satu pihak dalam hal ini adalah PT. Telkom dan pihak lain tinggal

menyetujuinya. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi

pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT.

Telkom, sedangkan pihak lain tidak diberi kesempatan untuk ikut mengutarakan

kehendaknya dalam membuat isi perjanjian. Hal ini berarti telah melanggar asas

kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.

Calon pelanggan sebelum mengikatkan diri dalam kontrak berlangganan

dengan PT. Telkom, masih merupakan pihak yang bebas, artinya sebelum adanya

kesepakatan berlangganan dengan PT. Telkom maka kedudukannya belum berubah

menjadi pelanggan sehingga masih tetap mempunyai pilihan untuk menerima tawaran

dari PT. Telkom untuk berlangganan atau tidak. Apabila calon pelanggan menolak

tawaran yang diberikan PT. Telkom karena merasa keberatan dengan isi perjanjian

atau kontrak yang ditawarkan, calon pelanggan tidak dapat melakukan tawar

menawar untuk merubah isi kontrak yang berakibat perjanjian tidak jadi dibuat

karena tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak.

Dalam kenyataannya sarana telekomunikasi seperti telepon merupakan sarana

yang sangat penting dan sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat. Disini dapat

dilihat bahwa kedudukan PT. Telkom sebagai penyedia jasa lebih kuat dibandingkan

(27)

penawaran berlangganan kepada masyarakat menggunakan sistem take it or leave it

(ambil atau tinggalkan), jadi walaupun calon pelanggan memilih untuk menolak

kontrak yang ditawarkan, hal itu tidak akan mempengaruhi penawaran kepada

masyarakat secara umum, karena kebutuhan masyarakat akan telepon masih tetap

tinggi. Pada asasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat

diadakan perundingan lagi.

Penerapan perjanjian baku semacam ini dapat menimbulkan kerugian pada

masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa telepon, karena pihaknya sama sekali

tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan keinginan dan kebebasannya dalam

menentukan isi perjanjian. Pihak yang membuat isi perjanjian bebas dalam membuat

dan menentukan isi perjanjian sehingga dapat sedemikian rupa menempatkan pihak

lain di bawah kekuasaannya, sehingga kedudukan pihak lain tersebut menjadi lemah.

Jenis perjanjian semacam ini akan memberikan keuntungan bagi pihak pembuat

perjanjian, karena untuk semua pelanggan diberlakukan ketentuan dan syarat-syarat

yang sama dan semuanya itu di bawah kekuasaan pihak pembuat isi perjanjian. Bagi

pelanggan penerapan perjanjian yang demikian menimbulkan rasa ketidakadilan,

karena hanya satu pihak saja yang membuat dan menentukan isi dari perjanjian

sedangkan pihak lain hanya tinggal menyetujui saja.

Prinsip kebebasan berkontrak, adalah begitu essensial dalam membuat suatu

(28)

kebebasan mengenai “apa” dan “dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Bilamana

antara para pihak telah diadakan sebuah persetujuan, maka diakui bahwa ada

kebebasan kehendak para pihak tersebut. Bahkan di dalam prinsip kebebasan

berkontrak, dipersangkakan adanya suatu kesetaraan kedudukan antara para pihak.

Dalam perjanjian baku, seringkali tidak ada kesetaraan kedudukan secara ekonomis

antara para pihak, keadaan yang demikian ini dimanfaatkan pihak yang mempunyai

kedudukan ekonomi yang lebih tinggi, untuk membuat ketentuan-ketentuan yang

menguntungkan pihaknya. Dengan ketidakadaan kesetaraan para pihak dalam

membuat perjanjian, maka nampaknya tidak ada pula kebebasan untuk mengadakan

kontrak.6

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata disebutkan, bahwa semua perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pitlo dalam Purwahid Patrik, pasal

ini berarti bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatutan dan

keadilan. Menafsirkan, berarti menetapkan akibat-akibat dari perjanjian tersebut.

Dengan mengacu pada itikad baik ini, maka para pihak pembuat perjanjian dapat

merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata aslinya.7

Ketentuan-ketentuan yang memberatkan pihak konsumen dalam perjanjian

baku, dapat berupa pencantuman syarat yang membatasi atau bahkan meniadakan

6 Soedjono Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung,

2002, hal 23.

7 Purwahid Patrik, Peranan Perjanjian Baku dalam Masyarakat, Seminar Masalah Standar

(29)

tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian (kreditur atau produsen).

Dicantumkan klausula yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan

tanggung jawab produsen menyebabkan perjanjian baku sering dituding sebagai

perjanjian yang tidak adil. Klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung

jawab kreditur atau produsen atas resiko-resiko tertentu yang mungkin timbul

dikemudian hari. Biasa disebut dengan klausula eksonerasi atau exemption clause.8

Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan

dengan asas itikad baik, karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan

ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung

jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang

menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara

mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Hal ini

akan sangat merugikan pihak konsumen, apabila ternyata masalah yang timbul terjadi

di luar kemampuan dan kekuasaan dari pihaknya.

Adapun di dalam perjanjian antara kedua belah pihak yaitu PT. Telkom

dengan Pelanggan, harus memperhatikan kepentingan Pelanggan di dalam perjanjian

tersebut karena di dalam penerapan perjanjian tersebut antara PT. Telkom dengan

Pelanggan harus bisa lebih menjamin kepentingan Pelanggan, sehingga di dalam

perjanjian antara PT. Telkom dengan Pelanggan harus memperhatikan juga upaya

8 Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implementasinya pada Asas

(30)

perlindungan konsumen yang didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah

diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkat praktis. Dengan

adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memilki dasar

pijakan yang benar-benar kuat. Asas-asas yang terkandung di dalam perlindungan

konsumen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, yaitu :

1. Asas Manfaat.

Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha itu sendiri secara

keseluruhan.

2. Asas Keadilan.

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara

maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk

memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan.

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah dalam arti material atau spiritual.

(31)

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan

kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum.

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum

dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta

negara menjamin kepastian hukum.9

Maka dari itulah penulis terdorong untuk menguji dan meneliti permasalahan

tersebut dengan memberikan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada

Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)”

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pokok permasalahan yang akan

menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian

sangat penting keberadaannya karena akan diteliti. Adapun pokok permasalahan yang

dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan

Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”?

9 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta, 2008,

(32)

2. Bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan

perjanjian pada perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi

”TELKOMFlexi” dengan Pelanggan?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi

“TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula

baku?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang

menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam

perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan

pelaksanaan perjanjian pada perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi

”TELKOMFlexi” dengan Pelanggan.

3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa

telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan

(33)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan penentu apakah penelitian itu berguna atau

tidak, mempunyai nilai atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka

diharapkan manfaat penelitian sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada

umumnya, dan hukum perdata pada khususnya.

b. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

c. Dapat digunakan untuk menambah referensi sebagai bahan acuan bagi

penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya dengan yang

penyusun teliti.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang berkepentingan dalam

penelitian ini.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna mencapai jenjang Magister

Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

c. Untuk melatih penyusun dalam mengungkapkan permasalahan tertentu secara

sistematis dan berusaha menemukan jawaban yang ada tersebut dengan metode

ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah

(34)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,

khususnya pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

belum ada penelitian yang menyangkut masalah, “TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN

(Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom

Flexi)”, belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul penelitian diatas

sebelumnya. Akan tetapi terdapat suatu penelitian tesis yang hampir sama, dilakukan

oleh:

1. Asmadi Lubis, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2008 dengan judul ”Penerapan Asas

Itikad Baik dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Jiwa.”

Dimana permasalahan dalam penelitian tersebut berbeda dengan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini

adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggungjawabkan kebenarannya secara

(35)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

atau pegangan teoritis dalam penelitian.10 Suatu kerangka teori bertujuan untuk

menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan

mengimplementasikan hasil penelitian dan menghubungkannya dengan

hasil-hasil terdahulu.11 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa

konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian

hukum.12

Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berpikir

dan mengukur sesuatu berdasarkan variabel yang tersedia. Sebelum peneliti

mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti perlu mengetahui terlebih

dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah

mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang

luas.13

10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet ke I, Bandar Maju, Bandung, 1994,

hal. 80.

11 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,

hal. 23.

12 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Edisi I Cet ke VII, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 7.

(36)

Dalam hal ini menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori

diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kasual yang logis di antara

perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai

kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani

permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.14

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel

bebas tertentu yang dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori

tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak

bebas atau merupakan salah satu penyebab.15

Dari beberapa pengertian teori tersebut di atas maka dapat disimpulkan

bahwa kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan

dokumen serta pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta

pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai

lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan

dalam proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan

adanya gejala-gejala yang timbul. Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus

14 Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan

Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hal. 12.

15 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,

(37)

atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan

teoritis.16

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perubahan masyarakat harus

diikuti dengan perubahan hukum.17 Hukum berkembang sesuai dengan

perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum

perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan

pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis.18

Dalam teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam

penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen.19 Segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan yang

akan mengakibatkan ketidakpastian hukum.

Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian

hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan

masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam

16 M. Solly Lubis, op.cit., hal. 13.

17 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hal. 102.

18 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,

Bandung, 2006, hal. 18.

(38)

bidang hukum privat (Perdata), maupun hukum publik (Hukum Pidana dan

Hukum Administrasi Negara).20

Selanjutnya asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari

Pancasila, sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional

(struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas

konsepsional (politis) dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis).

Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa suatu sistem adalah

kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana

dibangun tertib hukum. Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari

gradasi sifatnya yang abstrak.21

Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan

idiil (filosafis) hukumnya pada sila kelima yaitu: ”Keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya

terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama

(equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum

dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan

oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka

20 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hal. 1-2.

(39)

pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari

gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.22

Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan

gugatan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak

hukum.23 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia

berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen

terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan

keadilan sebagai konsumen di sisi lain.

Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu,

adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya

(kepentingan non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus

bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda,

diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan),

dan juga membantu mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari.

Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan

produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan

sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda

pula.

22 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan

Raisul Muttaqien, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, hal. 152.

(40)

Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan

komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana

mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana

memproduksinya, mengangkut dan memasarkannya, termasuk di dalamnya

bagaimana menghadapi persaingan usaha. Harus ada peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan usaha itu.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dinyatakan persaingan haruslah

berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan, sehingga

mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkatkan

pendapatannya, bahkan dapat mati usahanya. Sekalipun diakui bahwa persaingan

merupakan suatu yang biasa dalam dunia usaha, tetapi persaingan antar kalangan

pelaku usaha itu haruslah sehat dan terkendali.

Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus

diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan

pelaku usaha terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka

dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian

dan keseimbangan diantara keduanya.

Pasal 1233 KUH Perdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari

(41)

perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan

konsumen di dalamnya.24

Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa

perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang

disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan

dalih melakukan wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada

perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata,

yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam

konsepsi perbuatan melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk

menggugat, sepanjang dipenuhi tiga unsur yaitu, adanya unsur kesalahan

(dilakukan pihak lain/tergugat), ada kerugian (diderita si penggugat), dan ada

hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.25 Selain ditinjau dari

bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua

macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip

pengaturan di bidang perlindungan konsumen.

Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan

yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

24 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1.

(42)

2. Asas Keadilan, Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan, Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah dalam arti material atau spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum, Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.26

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK, demikian pula penjelasannya,

tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara

kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan

konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. Asas kepastian hukum.27

26 Happy Susanto, Op Cit, hal.17-18.

(43)

BPHN Departemen Kehakiman, Januari 1989 maka disepakati sejumlah asas

dalam hukum kontrak antara lain:

1. Asas Konsensualisme : asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 KUH Perdata didalamnya ditemukan istilah ”semua”. Kata-kata ”semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keingininnya, yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

2. Asas Kepercayaan: seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. 3. Asas Kekuatan Mengikat : demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa

didalam perjanjian tercantum suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan yang juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki kebiasaan dan kepatuhan, dan kebiasaan akan mengikat para pihak.

4. Asas Persamaan Hak : asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuaasan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan.

5. Asas Keseimbangan : asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menunjuk pelunasan prestasi, melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 6. Asas Moral : asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan

sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat didalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaiakan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam pasal 1339 KUHPerdata.

(44)

kepatuhan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

8. Asas Kebiasaan : asas ini diatur dalam pasal 1339 Jo 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur dalam keadaan yang diikuti.

9. Asas Kepastian Hukum : Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak.28

Pada perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi TELKOMFlexi, antara

pelaku usaha dan konsumen telah terjadi suatu perikatan yang lahir dari butir-butir

perjanjian yang telah tertulis pada blanko perjanjian yang telah disediakan secara

sepihak oleh pelaku usaha. Dalam hal ini konsumen hanya menandatangani atau tidak

sebagai bentuk persetujuan atas berbagai klausul yang termuat dalam perjanjian.

Dengan adanya perjanjian yang terdapat pada blanko perjanjian tersebut,

mengikat pelaku usaha dan konsumen, bukan hanya pada saat transaksi berlangsung

tetapi juga pada pasca transaksi, sampai jangka waktu perjanjian berakhir atau dengan

kata lain salah satu pihak memutuskan perjanjian.

Mengenai aspek perlindungan konsumen bagi konsumen jasa berlangganan

telekomunikasi “TELKOMFlexi” yang juga menggunakan perjanjian baku (standar)

yang memuat klausul baku dapat ditinjau dari Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan

(kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan

(45)

itu, Mariam Darus Badrulzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.29

Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa ”semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian dalam bentuk apapun

yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Dengan demikian perjanjian yang telah menjelma menjadi undang-undang bagi

mereka yang membuatnya wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak dengan itikad baik

(Pact Sunt Servanda). Pasal 1338 alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan

kepastian hukum.30

Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan

menimbulkan tuntutan/gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan

campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka bila

salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Disini

hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan

sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Pasal

1338 alinea 3 mengatakan: ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Kalau Pasal 1338 alinea pertama dipandang sebagai suatu tuntutan kepastian hukum,

29 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Perjanjian

Baku (standar), Bina Cipta, 1986, hal. 58 dalam Sidharta, hal. 119.

(46)

maka Pasal 1338 alinea ketiga sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai

suatu tuntutan keadilan bagi pihak yang dirugikan.31

Memperhatikan uraian tentang asas-asas hukum perlindungan konsumen

tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perlindungan konsumen

berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud,

mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus, yaitu aspek hukum publik dan aspek

hukum privat, dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas

hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud di atas.

Di dalam asas hukum tersebut mengandung nilai-nilai untuk melindungi

berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas utama

dari hukum ekonomi yang bersumber dari asas-asas hukum publik antara lain; asas

keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara

terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum

perdata dan/atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak

di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu

dimana harus menghormati ”hak dan kepentingan pihak lain”.32

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dilaksanakannya

perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 3 UUPK, adalah sebagai berikut:

31 Ibid

32 Sri Redjeki Hartono, Menyongsong Sistem Hukum Ekonomi Yang Berwawasan Asas

(47)

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

2. Konsepsi

Agar tidak menjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang

dipergunakan dalam penelitian ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian

konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

1. Asas itikad baik: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang

subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang

subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu

perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat

diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang

obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan

pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut memberi gambaran, bahwa semakin banyak faktor-faktor pendukung dalam meningkatkan minat baca, maka kemampuan membaca pemahaman akan meningkat, sebaliknya semakin

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana menerapkan algoritma Classification based on Predictive Association

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas model Problem Based Learning dan Problem Solving terhadap kemampuan berpikir kritis siswa

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif maka dari itu dalam penelitian ini akan menggambarkan secara rinci tentang Implementasi Peraturan

Luhur dan Sari (2012) menyatakan biaya pembelian solar menjadi komponen terbesar dari total biaya operasional per trip penangkapan yang harus dikeluarkan nelayan sehingga

Hasil pengukuran penentuan kurva kalibrasi dalam sampel ikan Nila pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan atom dapat dilihat pada

Dari tujuh indikator yang dikemukakan oleh Gibson Strategi dan kebijakan yang ditetapkan sudah bejalan baik hanya saja kejelasan tujuannya tidak pada pokok dasar

Skripsi dengan judul “ Pengaruh Persepsi Nasabah Tentang Konsep Pembiayaan Murabahah dan Aspek Pendidikan Terhadap Motivasi Berwirausaha Nasabah Pada BMT