TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD
BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian
Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)
TESIS
Oleh
FEBRINA
087011045/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD
BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian
Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
FEBRINA
087011045/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)
Nama : Febrina
Nomor Pokok : 087011045 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah Diuji
Pada Tanggal : 22 Desember 2010
___________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
ABSTRAK
Hubungan antara PT.Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca Bayar (Flexiclassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT. Telkom. Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan dengan asas itikad baik,karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Ada beberapa permasalahan yang timbul dari hal tersebut, yakni antara lain: bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”, bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian berlangganan sambungan telekomunikasi Telkom Flexi dengan Pelanggan, dan Bagaimana pertanggung jawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula baku.
Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas pengguna jasa berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” dilihat dari hukum positif secara umum dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan unsur-unsur keperdataan serta akibat yang timbul apabila klausul baku yang dimuat dalam perjanjian merugikan konsumen, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).
Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku. Itikad Baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan dapat pula menentukan isi perjanjian itu.dalam prakteknya akibat adanya klausula baku yang memuat berbagai pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada “TELKOMFlexi” sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesain dengan menggunakan jalan melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok.
Disarankan kepada pelaku usaha untuk berperan aktif menerangkan isi, maksud dan tujuan dari perjanjian baku (Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”) agar setiap konsumen yang ingin berlangganan dengan pelaku usaha benar-benar mengerti isi dari perjanjian tersebutt, untuk menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran dan pengertian Pasal 6 ayat (3) perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” hendaknya diubah menjadi: ”pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan telekomunikasi dapat dilakukan oleh TELKOM dengan terlebih dahulu memberikan pemberitahuan atau peringatan secara tertulis dan atau lisan kepada Pelanggan apabila Pelanggan melanggar salah satu atau lebih ketentuan kontrak ini dan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional disarankan agar mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 atau dimasa yang akan datang Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatur secara khusus mengenai BPSK dalam penggunaan jasa alat telekomunikasi.
ABSTRACT
Relationship between PT. Telkom and the customers of Post-Paid TELKOM Flexi (Flexi classy) is formed through a subscription agreement or contract made by PT. Telkom in a standard form. This form of agreement inflicts unfairness to the customers because all contents of the agreement were unilaterally decided by PT. Telkom. The existence of exoneration clauses in the standard contract is regarded against the principle of good intention because the party/company that provide the contract can include the beneficial stipulations to limit the responsibility of their company when a wanprestasi (one of the parties signed a contract does not keep the promise they state in the contract) or problems inflicting loss to each or each or both parties occur by transferring the responsibility to the consumers. Based on this condition, the purpose of this study was to find out how the principle of freedom of making contract was applied in TELKOM Flexi Subscription Agreement, how the principle of good intention was applied in the making and implementation of TELKOM Flexi Subscription Agreement, and what is the responsibility of TELKOM Flexi Service Provider toward the application of the principle of good intention under the standard clauses.
This analytical descriptive study with normative juridical method was conducted to describe and analyze the consumer’s rights of those subscribing TELKOM Flexi service based on the positive law and Law on Consumer Protection, civil elements and the consequences existing if the standard clauses stated in the agreement/contract inflict loss to the consumers referring to the legal norms stated in the regulation of legislation. The data for this study were mostly obtained through library research.
why good intention and appropriateness can also decide the contents of an agreement. In practice, the standard clauses containing various exceptions make it easy for the business practitioners avoid from their responsibility. The action taken by the consumers to counter the unilateral action taken by the business practitioners based on the standard clauses in an agreement is by filing their complaints to TELKOM Flexi as a service provider to obtain their rights the users of service provided while the solution through court of law has not been taken either individually or in group.
The business practitioners are suggested to actively describe the contents and purpose of the standard clauses (TELKOM Flexi Subscription Agreement) that any consumer who to subscribe through the business practitioners do understand the contents of the agreement that a misunderstanding in translating Article 6 (3) of TELKOM Flexi Subscription Agreement can be avoided. The content of Article 6 (3) should be changed into “imposing any sanction in the forms of isolating and deactivating telecommunication connection can be done by TELKOM through providing the customers with an initial oral or written warning if the customers violate one or more stipulations in this contract agreement. The management of National Consumer Protection Board is suggested to socialize the Consumer Dispute Settlement Board (BPSK) as regulated in Article 34 of Law No.8/1999 on Consumer Protection to the members of society or to make a special regulation concerning BPSK in the use of telecommunication equipment service in the future.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahhi Wabarakatuu.
Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat
dan inayah-Nya, tesis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada
Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)” ini telah
selesai sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, arahan dan
bantuan, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu
kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr Alvi Syahrin,
SH, MS, dan Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI yang telah membimbing
demi selesainya tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Komisi Penguji
Bapak Dr. Pendasteran Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,
MHum atas saran dan masukannya yang sangat membangun terhadap penulisan tesis
Selanjutnya penulis ucapkan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan
dorongan secara khusus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana Program Studi
Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas sumatera Utara, yaitu kepada:
a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris
Program Studi Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister
Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
5. Seluruh pihak yang telah memberikan keterangan dan informasi selama penulis
melakukan penelitian di PT. Telkom Tbk Medan.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suarno dan Ibunda Dewi yang telah
mencurahkan segenap doa, perhatian, cinta kasih, kesabaran dan dukungan, serta
orang yang paling penulis sayangi.
7. Adinda Arde Gunawan, adinda Muhammad Andriano dan adinda Fauzi Arwi
yang juga mencurahkan segenap doa, cinta kasih, kesabaran dan dukungan.
8. Seluruh teman-teman khususnya Kelas B angkatan 2008 atas bantuan dan
perhatiannya.
Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari
Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Amiin.
Medan, Desember 2010
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
1. Nama : Febrina
2. Tempat/Tanggal Lahir : P.Siantar/13 Februari 1984
3. Alamat : Jalan Raya No 17, P. Siantar
4. Jenis Kelamin : Wanita
5. Umur : 26 Tahun
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Agama : Islam
8. Nama Orang Tua : a. Ayah : Suarno
b. Ibu : Dewi
9. Saudara Kandung : Arde Gunawan Muhammad Andriano Fauzi Arwi
Latar Belakang Pendidikan
1. Sekolah Dasar : Negeri IV P.Siantar (1990-1996)
2. Sekolah Menengah Pertama : Negeri 2 P.Siantar (1996-1999)
3. Sekolah Menengah Atas : Swasta Sultan Agung P.Siantar (1999-2002)
4. Universitas : S1 Fakultas Hukum Atmadjaya Yogyakarta
DAFTAR ISI
BAB II ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN SAMBUNGAN TELEKOMUNIKASI ... “TELKOMFLEXI” ... 42
A. Subyek dan Obyek dalam Kontrak Berlangganan ... Sambungan Telekomunikasi “Telkom Flexi” ... 44
B. Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ... “Telkom Flexi“ Sebagai Perdagangan Baku yang ... Sudah Memenuhi Asas Kebebasan Berkontrak ... 49
BAB III ASAS ITIKAD BAIK DALAM PEMBUATAN DAN ... PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA TELKOMFLEXI
DENGAN PELANGGAN ... 74
A. Kalusul Baku Dalam Perjanjian ... 74
B. Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian ... 85
C. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Perjanjian Antara Telkom Flexi dengan Pelanggan ... 90
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PELAKU USAHA JASA ... TELEKOMUNIKASI “TELKOM FLEXI” TERHADAP ... PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DENGAN ADANYA ... KALUSUL BAKU ... 101
A. Pelaku Usaha dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 101
B. Hak-hak Konsumen dalam Perjanjian Berlangganan ... ”TelkomFlexi” ... 110
C. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Jasa Telekomunikasi ... Telkom Flexi Terhadap Azas Itikad Baik Dengan Adanya ... Klausul Baku ... 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 122
A. Kesimpulan ... 122
B. Saran ... 123
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Hubungan antara PT.Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca Bayar (Flexiclassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT. Telkom. Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan dengan asas itikad baik,karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Ada beberapa permasalahan yang timbul dari hal tersebut, yakni antara lain: bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”, bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian berlangganan sambungan telekomunikasi Telkom Flexi dengan Pelanggan, dan Bagaimana pertanggung jawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula baku.
Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas pengguna jasa berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” dilihat dari hukum positif secara umum dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan unsur-unsur keperdataan serta akibat yang timbul apabila klausul baku yang dimuat dalam perjanjian merugikan konsumen, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).
Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku. Itikad Baik dan kepatutan dapat pula merubah atau melengkapi perjanjian. Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian, tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan dapat pula menentukan isi perjanjian itu.dalam prakteknya akibat adanya klausula baku yang memuat berbagai pengecualian pelaku usaha dengan mudah mengelah dari tanggung jawabnya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan sepihak pelaku usaha dengan adanya klausul baku dalam perjanjian hanyalah dengan mengajukan komplain kepada “TELKOMFlexi” sebagai penyedia jasa layanan guna memperoleh haknya sebagai konsumen pengguna jasa layanan sedangkan penyelesain dengan menggunakan jalan melalui pengadilan sampai saat ini tidak pernah dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok.
Disarankan kepada pelaku usaha untuk berperan aktif menerangkan isi, maksud dan tujuan dari perjanjian baku (Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”) agar setiap konsumen yang ingin berlangganan dengan pelaku usaha benar-benar mengerti isi dari perjanjian tersebutt, untuk menghindari adanya kesalahan dalam penafsiran dan pengertian Pasal 6 ayat (3) perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” hendaknya diubah menjadi: ”pengenaan sanksi berupa pengisoliran dan Deaktifasi sambungan telekomunikasi dapat dilakukan oleh TELKOM dengan terlebih dahulu memberikan pemberitahuan atau peringatan secara tertulis dan atau lisan kepada Pelanggan apabila Pelanggan melanggar salah satu atau lebih ketentuan kontrak ini dan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional disarankan agar mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 atau dimasa yang akan datang Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatur secara khusus mengenai BPSK dalam penggunaan jasa alat telekomunikasi.
ABSTRACT
Relationship between PT. Telkom and the customers of Post-Paid TELKOM Flexi (Flexi classy) is formed through a subscription agreement or contract made by PT. Telkom in a standard form. This form of agreement inflicts unfairness to the customers because all contents of the agreement were unilaterally decided by PT. Telkom. The existence of exoneration clauses in the standard contract is regarded against the principle of good intention because the party/company that provide the contract can include the beneficial stipulations to limit the responsibility of their company when a wanprestasi (one of the parties signed a contract does not keep the promise they state in the contract) or problems inflicting loss to each or each or both parties occur by transferring the responsibility to the consumers. Based on this condition, the purpose of this study was to find out how the principle of freedom of making contract was applied in TELKOM Flexi Subscription Agreement, how the principle of good intention was applied in the making and implementation of TELKOM Flexi Subscription Agreement, and what is the responsibility of TELKOM Flexi Service Provider toward the application of the principle of good intention under the standard clauses.
This analytical descriptive study with normative juridical method was conducted to describe and analyze the consumer’s rights of those subscribing TELKOM Flexi service based on the positive law and Law on Consumer Protection, civil elements and the consequences existing if the standard clauses stated in the agreement/contract inflict loss to the consumers referring to the legal norms stated in the regulation of legislation. The data for this study were mostly obtained through library research.
why good intention and appropriateness can also decide the contents of an agreement. In practice, the standard clauses containing various exceptions make it easy for the business practitioners avoid from their responsibility. The action taken by the consumers to counter the unilateral action taken by the business practitioners based on the standard clauses in an agreement is by filing their complaints to TELKOM Flexi as a service provider to obtain their rights the users of service provided while the solution through court of law has not been taken either individually or in group.
The business practitioners are suggested to actively describe the contents and purpose of the standard clauses (TELKOM Flexi Subscription Agreement) that any consumer who to subscribe through the business practitioners do understand the contents of the agreement that a misunderstanding in translating Article 6 (3) of TELKOM Flexi Subscription Agreement can be avoided. The content of Article 6 (3) should be changed into “imposing any sanction in the forms of isolating and deactivating telecommunication connection can be done by TELKOM through providing the customers with an initial oral or written warning if the customers violate one or more stipulations in this contract agreement. The management of National Consumer Protection Board is suggested to socialize the Consumer Dispute Settlement Board (BPSK) as regulated in Article 34 of Law No.8/1999 on Consumer Protection to the members of society or to make a special regulation concerning BPSK in the use of telecommunication equipment service in the future.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan bertujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan materil dan
spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Guna mencapai hal tersebut, maka
pembangunan dilaksanakan disegala bidang antara lain: politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan, dengan memerlukan kerja sama disemua pihak,
bukan hanya pemerintah sebagai pelaksana, melainkan juga semua lapisan
masyarakat.
Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah
menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan
penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang
dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi
Jerman.
Subekti mengemukakan bahwa suatu sistem adalah suatu susunan atau catatan
yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu
sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil suatu pemikiran untuk
duplikasi atau tumpang tindih (overlapping). Belleffoid mengatakan pula bahwa
“sistem hukum adalah keseluruhan aturan hukum yang disusun secara terpadu
berdasarkan asas-asas tertentu”.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas
yang terpadu, yang merupakan landasan, dimana dibangun tertib hukum. Asas-asas
ini diperoleh melalui konstruksi yuridis, yaitu dengan menganalisis (mengolah)
data-data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat-sifat yang umum
(kolektif) atau abstrak. Proses ini dapat juga dikatakan mengabstraksi. Asas-asas ini
mempunyai tingkatan jika dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak. Perbedaan antara
berbagai asas ini tidak prinsipil, tetapi gradual. Aturan-aturan hukum membentuk
dirinya dalam sistem hukum dan merupakan suatu “pohon hukum” (Science tree),
yang mempunyai akar, batang, cabang, dahan, ranting, daun, bunga, dan sebagainya.
Sistem hukum dapat dijabarkan dalam sub-sub sistem, seperti hukum nasional dapat
dijabarkan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum ekonomi
dan sebagainya. Sub sistem hukum ini dijabarkan lagi secara rinci dalam
bagian-bagian yang lebih kecil misalnya dari sub sistem hukum perdata, dijabarkan dalam
sub sistem hukum kontrak, hukum kontrak internasional, hukum perkreditan dan
sebagainya. Dilihat dari sistem hukum nasional, maka hukum perjanjian adalah sub
Demikianlah suatu sistem hukum dalam suatu negara tertentu dapat
seterusnya dibagi-bagi kedalam beberapa bagian. Seluruh sub sistem ini satu sama
lain berkaitan dalam hubungan yang harmonis dan serasi, seimbang, tidak tumpang
tindih, tidak berbenturan karena asas-asas yang terpadu. Asas-asas yang terdapat
didalam hukum perdata harus senada, seirama dengan asas-asas yang terdapat dalam
hukum nasional. Demikian juga asas-asas hukum perjanjian harus selaras dengan
asas-asas hukum perdata.
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R.
Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang
Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang
mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
pihak-pihak tertentu.1 Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan
kedalam Hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini
merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan
dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang
dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal
sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu
1 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk
perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain
sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua
belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif)
untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum
yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun adakalanya “kedudukan”
dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya
melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu
pihak.2
Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan”
kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau
2 Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama,
klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu
pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena,
baik perjanjian baku maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin
dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.3 Latar belakang tumbuhnya
perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan pemerintah mengadakan
kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan
syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai
kedudukan (ekonomi) lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya,
hanya menerima apa yang disodorkan.4
Tujuan semula diadakannya perjanjian baku yakni alasan efisiensi dan praktis.
Sebagai contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian: kredit
perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian
konsumen/pelanggan dan PT. Telkom, perjanjian konsumen/pelanggan dan PDAM.
Kemudian perjanjian antara pemilik hotel dan konsumen, perjanjian konsumen
dengan perusahaan chemical laundry, dan sebagainya. Kesemuanya pada dasarnya
selalu membuat perjanjian tersebut tidak mengikutsertakan pelanggan/konsumen
didalam menyusun pasal-pasal didalam isi perjanjian tersebut, sehingga bisa
dikatakan bahwa perjanjian tersebut selalu menguntungkan kepentingan pihak
3 Ibid, hal. 9.
4 Ningrum Natasya Sirait, Intisari Perkuliahan Azas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian
perusahaan (pembuat perjanjian) tersebut dibanding kepentingan pelanggan. Hal ini
juga terdapat pada sanksi/hukuman yang ada di dalam perjanjian baku tersebut.
Dalam tesis ini lebih meneliti kepada perjanjian berlangganan alat
telekomunikasi pada “TELKOMFlexi” yang dalam hal ini sebagai operator alat
telekomunikasi yang merupakan anak perusahaan PT. Telkom Indonesia, Tbk.
Adapun perjanjian ini teliti dikarenakan dalam kenyatannya sarana telekomunikasi
seperti telepon merupakan sarana yang sangat penting dan sudah menjadi kebutuhan
masyarakat. Disini dapat dilihat bahwa kedudukan masyarakat sebagai pelanggan,
apalagi “TELKOMFlexi” dalam melakukan penawaran berlangganan kepada
masyarakat menggunakan system take it or leave it (ambil atau tinggalkan), jadi
walaupun calon pelanggan memilih untuk menolak kontrak yang ditawarkan, hal itu
tidak akan mempengaruhi penawaran kepada masyarakat secara umum, karena
kebutuhan masyarakat akan telepon masih tetap tinggi. Pada asasnya isi perjanjian
yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.
PT. Telkom sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa
telekomunikasi harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat yang
menggunakan jasanya. Berbagai cara telah digunakan PT. Telkom agar dapat
memberikan yang terbaik untuk konsumen pengguna jasanya. Salah satunya adalah
dengan mengusahakan peningkatan jasa telekomunikasi, sehingga diharapkan dapat
sehingga pemerataan informasi dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat di
Indonesia. Baik buruknya suatu perusahaan khususnya perusahaan yang bergerak di
bidang jasa akan berhubungan secara langsung dengan masyarakat, demikian juga
dengan PT. Telkom.
Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran pembahasan adalah
“TELKOMFlexi”, yaitu produk dari PT. Telkom yang dapat dimanfaatkan sebagai
fixed wireless digital yang digunakan sebagai telepon rumah (fixed phone) dan
telepon bergerak (mobility), dengan menawarkan fasilitas sekelas seluler, tetapi
dengan tarif pulsa telepon rumah. Untuk saat ini sudah tersedia dua layanan
unggulan, yaitu Pra Bayar (FlexiTrendy) dan Pasca Bayar (FlexyClassy).5
Hubungan antara PT. Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca
Bayar (flexiClassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan.
Perjanjian yang digunakan sebagai alat bukti perikatan antara PT. Telkom dengan
pelanggannya berupa Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi
“TELKOMFlexi”. Dalam perjanjian tersebut terdapat dua pihak yang mengikatkan
dirinya, yaitu PT. Telkom sebagai supplier jasa sambungan telepon atau disebut
sebagai penyelenggara pelayanan (survive provider), dan pelanggan. Perjanjian
Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi” yang dibuat oleh PT.
Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak
berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku (Standart Contract), yaitu suatu bentuk
perjanjian dimana didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh
salah satu pihak dalam hal ini adalah PT. Telkom dan pihak lain tinggal
menyetujuinya. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi
pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT.
Telkom, sedangkan pihak lain tidak diberi kesempatan untuk ikut mengutarakan
kehendaknya dalam membuat isi perjanjian. Hal ini berarti telah melanggar asas
kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.
Calon pelanggan sebelum mengikatkan diri dalam kontrak berlangganan
dengan PT. Telkom, masih merupakan pihak yang bebas, artinya sebelum adanya
kesepakatan berlangganan dengan PT. Telkom maka kedudukannya belum berubah
menjadi pelanggan sehingga masih tetap mempunyai pilihan untuk menerima tawaran
dari PT. Telkom untuk berlangganan atau tidak. Apabila calon pelanggan menolak
tawaran yang diberikan PT. Telkom karena merasa keberatan dengan isi perjanjian
atau kontrak yang ditawarkan, calon pelanggan tidak dapat melakukan tawar
menawar untuk merubah isi kontrak yang berakibat perjanjian tidak jadi dibuat
karena tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dalam kenyataannya sarana telekomunikasi seperti telepon merupakan sarana
yang sangat penting dan sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat. Disini dapat
dilihat bahwa kedudukan PT. Telkom sebagai penyedia jasa lebih kuat dibandingkan
penawaran berlangganan kepada masyarakat menggunakan sistem take it or leave it
(ambil atau tinggalkan), jadi walaupun calon pelanggan memilih untuk menolak
kontrak yang ditawarkan, hal itu tidak akan mempengaruhi penawaran kepada
masyarakat secara umum, karena kebutuhan masyarakat akan telepon masih tetap
tinggi. Pada asasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat
diadakan perundingan lagi.
Penerapan perjanjian baku semacam ini dapat menimbulkan kerugian pada
masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa telepon, karena pihaknya sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan keinginan dan kebebasannya dalam
menentukan isi perjanjian. Pihak yang membuat isi perjanjian bebas dalam membuat
dan menentukan isi perjanjian sehingga dapat sedemikian rupa menempatkan pihak
lain di bawah kekuasaannya, sehingga kedudukan pihak lain tersebut menjadi lemah.
Jenis perjanjian semacam ini akan memberikan keuntungan bagi pihak pembuat
perjanjian, karena untuk semua pelanggan diberlakukan ketentuan dan syarat-syarat
yang sama dan semuanya itu di bawah kekuasaan pihak pembuat isi perjanjian. Bagi
pelanggan penerapan perjanjian yang demikian menimbulkan rasa ketidakadilan,
karena hanya satu pihak saja yang membuat dan menentukan isi dari perjanjian
sedangkan pihak lain hanya tinggal menyetujui saja.
Prinsip kebebasan berkontrak, adalah begitu essensial dalam membuat suatu
kebebasan mengenai “apa” dan “dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Bilamana
antara para pihak telah diadakan sebuah persetujuan, maka diakui bahwa ada
kebebasan kehendak para pihak tersebut. Bahkan di dalam prinsip kebebasan
berkontrak, dipersangkakan adanya suatu kesetaraan kedudukan antara para pihak.
Dalam perjanjian baku, seringkali tidak ada kesetaraan kedudukan secara ekonomis
antara para pihak, keadaan yang demikian ini dimanfaatkan pihak yang mempunyai
kedudukan ekonomi yang lebih tinggi, untuk membuat ketentuan-ketentuan yang
menguntungkan pihaknya. Dengan ketidakadaan kesetaraan para pihak dalam
membuat perjanjian, maka nampaknya tidak ada pula kebebasan untuk mengadakan
kontrak.6
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata disebutkan, bahwa semua perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pitlo dalam Purwahid Patrik, pasal
ini berarti bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatutan dan
keadilan. Menafsirkan, berarti menetapkan akibat-akibat dari perjanjian tersebut.
Dengan mengacu pada itikad baik ini, maka para pihak pembuat perjanjian dapat
merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata aslinya.7
Ketentuan-ketentuan yang memberatkan pihak konsumen dalam perjanjian
baku, dapat berupa pencantuman syarat yang membatasi atau bahkan meniadakan
6 Soedjono Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung,
2002, hal 23.
7 Purwahid Patrik, Peranan Perjanjian Baku dalam Masyarakat, Seminar Masalah Standar
tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian (kreditur atau produsen).
Dicantumkan klausula yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan
tanggung jawab produsen menyebabkan perjanjian baku sering dituding sebagai
perjanjian yang tidak adil. Klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung
jawab kreditur atau produsen atas resiko-resiko tertentu yang mungkin timbul
dikemudian hari. Biasa disebut dengan klausula eksonerasi atau exemption clause.8
Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan
dengan asas itikad baik, karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan
ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung
jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang
menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara
mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Hal ini
akan sangat merugikan pihak konsumen, apabila ternyata masalah yang timbul terjadi
di luar kemampuan dan kekuasaan dari pihaknya.
Adapun di dalam perjanjian antara kedua belah pihak yaitu PT. Telkom
dengan Pelanggan, harus memperhatikan kepentingan Pelanggan di dalam perjanjian
tersebut karena di dalam penerapan perjanjian tersebut antara PT. Telkom dengan
Pelanggan harus bisa lebih menjamin kepentingan Pelanggan, sehingga di dalam
perjanjian antara PT. Telkom dengan Pelanggan harus memperhatikan juga upaya
8 Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implementasinya pada Asas
perlindungan konsumen yang didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah
diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkat praktis. Dengan
adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memilki dasar
pijakan yang benar-benar kuat. Asas-asas yang terkandung di dalam perlindungan
konsumen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Asas Manfaat.
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha itu sendiri secara
keseluruhan.
2. Asas Keadilan.
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan.
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah dalam arti material atau spiritual.
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum.
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum.9
Maka dari itulah penulis terdorong untuk menguji dan meneliti permasalahan
tersebut dengan memberikan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada
Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)”
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pokok permasalahan yang akan
menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian
sangat penting keberadaannya karena akan diteliti. Adapun pokok permasalahan yang
dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan
Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”?
9 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta, 2008,
2. Bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan
perjanjian pada perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi
”TELKOMFlexi” dengan Pelanggan?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi
“TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula
baku?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam
perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan
pelaksanaan perjanjian pada perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi
”TELKOMFlexi” dengan Pelanggan.
3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa
telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan penentu apakah penelitian itu berguna atau
tidak, mempunyai nilai atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka
diharapkan manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada
umumnya, dan hukum perdata pada khususnya.
b. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.
c. Dapat digunakan untuk menambah referensi sebagai bahan acuan bagi
penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya dengan yang
penyusun teliti.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang berkepentingan dalam
penelitian ini.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna mencapai jenjang Magister
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
c. Untuk melatih penyusun dalam mengungkapkan permasalahan tertentu secara
sistematis dan berusaha menemukan jawaban yang ada tersebut dengan metode
ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,
khususnya pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
belum ada penelitian yang menyangkut masalah, “TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN
(Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom
Flexi)”, belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul penelitian diatas
sebelumnya. Akan tetapi terdapat suatu penelitian tesis yang hampir sama, dilakukan
oleh:
1. Asmadi Lubis, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2008 dengan judul ”Penerapan Asas
Itikad Baik dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Jiwa.”
Dimana permasalahan dalam penelitian tersebut berbeda dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini
adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggungjawabkan kebenarannya secara
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
atau pegangan teoritis dalam penelitian.10 Suatu kerangka teori bertujuan untuk
menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan
mengimplementasikan hasil penelitian dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil terdahulu.11 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa
konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum.12
Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berpikir
dan mengukur sesuatu berdasarkan variabel yang tersedia. Sebelum peneliti
mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti perlu mengetahui terlebih
dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah
mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang
luas.13
10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet ke I, Bandar Maju, Bandung, 1994,
hal. 80.
11 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,
hal. 23.
12 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Edisi I Cet ke VII, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 7.
Dalam hal ini menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori
diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kasual yang logis di antara
perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani
permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.14
Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel
bebas tertentu yang dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori
tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak
bebas atau merupakan salah satu penyebab.15
Dari beberapa pengertian teori tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan
dokumen serta pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta
pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai
lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan
dalam proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan
adanya gejala-gejala yang timbul. Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus
14 Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan
Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hal. 12.
15 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,
atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan
teoritis.16
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perubahan masyarakat harus
diikuti dengan perubahan hukum.17 Hukum berkembang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum
perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan
pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis.18
Dalam teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam
penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.19 Segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan yang
akan mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian
hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan
masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam
16 M. Solly Lubis, op.cit., hal. 13.
17 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hal. 102.
18 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2006, hal. 18.
bidang hukum privat (Perdata), maupun hukum publik (Hukum Pidana dan
Hukum Administrasi Negara).20
Selanjutnya asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari
Pancasila, sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional
(struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas
konsepsional (politis) dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis).
Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa suatu sistem adalah
kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana
dibangun tertib hukum. Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari
gradasi sifatnya yang abstrak.21
Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan
idiil (filosafis) hukumnya pada sila kelima yaitu: ”Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya
terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama
(equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum
dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan
oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka
20 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hal. 1-2.
pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari
gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.22
Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan
gugatan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak
hukum.23 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia
berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen
terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan
keadilan sebagai konsumen di sisi lain.
Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu,
adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya
(kepentingan non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus
bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda,
diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan),
dan juga membantu mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari.
Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan
produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan
sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda
pula.
22 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan
Raisul Muttaqien, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, hal. 152.
Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan
komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana
mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana
memproduksinya, mengangkut dan memasarkannya, termasuk di dalamnya
bagaimana menghadapi persaingan usaha. Harus ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan usaha itu.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dinyatakan persaingan haruslah
berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan, sehingga
mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkatkan
pendapatannya, bahkan dapat mati usahanya. Sekalipun diakui bahwa persaingan
merupakan suatu yang biasa dalam dunia usaha, tetapi persaingan antar kalangan
pelaku usaha itu haruslah sehat dan terkendali.
Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus
diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan
pelaku usaha terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka
dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian
dan keseimbangan diantara keduanya.
Pasal 1233 KUH Perdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari
perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan
konsumen di dalamnya.24
Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa
perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang
disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan
dalih melakukan wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada
perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata,
yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam
konsepsi perbuatan melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk
menggugat, sepanjang dipenuhi tiga unsur yaitu, adanya unsur kesalahan
(dilakukan pihak lain/tergugat), ada kerugian (diderita si penggugat), dan ada
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.25 Selain ditinjau dari
bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua
macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip
pengaturan di bidang perlindungan konsumen.
Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan
yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
24 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1.
2. Asas Keadilan, Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan, Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah dalam arti material atau spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum, Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.26
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK, demikian pula penjelasannya,
tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara
kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan
konsumen,
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum.27
26 Happy Susanto, Op Cit, hal.17-18.
BPHN Departemen Kehakiman, Januari 1989 maka disepakati sejumlah asas
dalam hukum kontrak antara lain:
1. Asas Konsensualisme : asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 KUH Perdata didalamnya ditemukan istilah ”semua”. Kata-kata ”semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keingininnya, yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
2. Asas Kepercayaan: seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. 3. Asas Kekuatan Mengikat : demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa
didalam perjanjian tercantum suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan yang juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki kebiasaan dan kepatuhan, dan kebiasaan akan mengikat para pihak.
4. Asas Persamaan Hak : asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuaasan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan.
5. Asas Keseimbangan : asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menunjuk pelunasan prestasi, melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 6. Asas Moral : asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan
sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat didalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaiakan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam pasal 1339 KUHPerdata.
kepatuhan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
8. Asas Kebiasaan : asas ini diatur dalam pasal 1339 Jo 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur dalam keadaan yang diikuti.
9. Asas Kepastian Hukum : Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak.28
Pada perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi TELKOMFlexi, antara
pelaku usaha dan konsumen telah terjadi suatu perikatan yang lahir dari butir-butir
perjanjian yang telah tertulis pada blanko perjanjian yang telah disediakan secara
sepihak oleh pelaku usaha. Dalam hal ini konsumen hanya menandatangani atau tidak
sebagai bentuk persetujuan atas berbagai klausul yang termuat dalam perjanjian.
Dengan adanya perjanjian yang terdapat pada blanko perjanjian tersebut,
mengikat pelaku usaha dan konsumen, bukan hanya pada saat transaksi berlangsung
tetapi juga pada pasca transaksi, sampai jangka waktu perjanjian berakhir atau dengan
kata lain salah satu pihak memutuskan perjanjian.
Mengenai aspek perlindungan konsumen bagi konsumen jasa berlangganan
telekomunikasi “TELKOMFlexi” yang juga menggunakan perjanjian baku (standar)
yang memuat klausul baku dapat ditinjau dari Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan
(kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan
itu, Mariam Darus Badrulzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.29
Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa ”semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian dalam bentuk apapun
yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Dengan demikian perjanjian yang telah menjelma menjadi undang-undang bagi
mereka yang membuatnya wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak dengan itikad baik
(Pact Sunt Servanda). Pasal 1338 alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan
kepastian hukum.30
Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan
menimbulkan tuntutan/gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan
campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka bila
salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Disini
hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan
sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Pasal
1338 alinea 3 mengatakan: ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Kalau Pasal 1338 alinea pertama dipandang sebagai suatu tuntutan kepastian hukum,
29 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Perjanjian
Baku (standar), Bina Cipta, 1986, hal. 58 dalam Sidharta, hal. 119.
maka Pasal 1338 alinea ketiga sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai
suatu tuntutan keadilan bagi pihak yang dirugikan.31
Memperhatikan uraian tentang asas-asas hukum perlindungan konsumen
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perlindungan konsumen
berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud,
mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus, yaitu aspek hukum publik dan aspek
hukum privat, dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas
hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud di atas.
Di dalam asas hukum tersebut mengandung nilai-nilai untuk melindungi
berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas utama
dari hukum ekonomi yang bersumber dari asas-asas hukum publik antara lain; asas
keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara
terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum
perdata dan/atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak
di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu
dimana harus menghormati ”hak dan kepentingan pihak lain”.32
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dilaksanakannya
perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 3 UUPK, adalah sebagai berikut:
31 Ibid
32 Sri Redjeki Hartono, Menyongsong Sistem Hukum Ekonomi Yang Berwawasan Asas
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2. Konsepsi
Agar tidak menjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian
konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :
1. Asas itikad baik: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang
subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang
subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu
perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat
diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang
obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan
pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.