• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yang disebut denganoperational definition.37Defenisi operasional bertujuan untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran yang mendua dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, agar penelitian sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sangat diperlukan beberapa konsep dasar atau defenisi operasional sebagai berikut :

1. Perlindungan Hukum adalah payung hukum berupa peraturan atau undang-undang yang mengatur ketentuan atau tata cara penggunaan lambang Palang Merah di Indonesia.

2. Lambang Palang Merah Indonesia adalah tanda pengenal organisasi di Indonesia yang telah ditunjuk untuk menjalankan pekerjaan palang merah sesuai Konvensi Jenewa Tahun 1949 yaitu palang merah diatas dasar warna putih dilingkari garis

37 Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

merah yang berbentuk bunga berkelopak lima sebagai pengejawantahan dari dasar negara, yakni Pancasila dengan tulisan Palang Merah Indonesia atau PMI.38

3. Palang Merah Indonesia adalah suatu lembaga sosial kemanusiaan yang netral dan mandiri yang didirikan dengan tujuan meringankan penderitaan sesama manusia, apapun sebabnya dengan tidak membedakan agama, bangsa, suku bangsa, bahasa, warna kulit, jenis kelamin, golongan dan pandangan politik.39 4. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 adalah Undang-Undang yang mengatur

ketentuan-ketentuan tentang Merek yang disahkan pada tanggal 1 Agustus 2001 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 110 tahun 2001. 5. Merek adalah adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.40 G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.41 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan

38

PMI,Op. Cit.,hal. 7

39 Seven Audi Sapta,Op Cit., hal. 06

40

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Pasal 1 angka (1).

41

Soerjono Soekanto,Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris,Indonesia Hillco, Jakarta, 1990, hal. 106.

kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 42 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan atas metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.43 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan dengan jenis penelitian

Yuridis Normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.44 Metode penelitian ini sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai metode tentang penelitian terhadap hukum perlindungan lambang palang merah ditinjau dari Undang-Undang Pasal 15 Tahun 2001.

Sedangkan metode pendekatan yang digunakan bersifat diskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisa hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan dalam hal ini mengenai Eksistensi Lambang Palang Merah Indonesia.

42

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji,Penelitian Hukum Normatif SuatunTinjauan Singkat,

Rajagrafindo Persada, Jakarta, , 2001, hal. 1.

43

Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 6. 44 Bambang Waluyo,Metode Penelitian Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 13.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan meliputi:

a. Bahan hukum primer yang pertama kali harus dikumpulkan adalah peraturan perundangan, konvensi-konvensi tentang isu-isu yang hendak dipecahkan. Hal ini termasuk pengumpulan karya akademik baik berupa tesis dan makalah yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap lambang Palang Merah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 serta berupa hasil wawancara dengan Pengurus PMI Pusat dan Kanwil Kemenkumham Provinsi Sumatera Utara.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan penelitian yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, contohnya Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, yang terkait dengan Eksistensi Lambang Palang Merah Indonesia.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus (hukum) dan ensiklopedia yang terkait dengan Eksistensi Lambang Palang Merah Indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data dilakukan melalui 2 (dua) cara :

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, makalah-makalah, dan tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Data tersebut akan dipilah-pilah guna memperoleh data yang berisi kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan permasalahan dalam perlindungan hukum terhadap lambang Palang Merah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Metode penarikan kesimpulan akan dilakukan secara deduktif, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan terjawab.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan pengumpulan data secara langsung melalui wawancara kepada pihak-pihak berwenang dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan penelitian ini terutama yakni Pengurus Palang Merah Indonesia Pusat dan Kanwil Depkumham Provinsi Sumatera Utara.

4. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan tehnik kualitatif. Disebut kualitatif didasarkan pada analisis yang bertitik tolak pada penelusuran data-data, indormasi-informasi maupun asas-asas.

Proses analitis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu : dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam

catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data, yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu.45

45 Lexy J. Meleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 247-248.

A. Sejarah Organisasi

Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang mengakibatkan banyak korban dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing pihak yang bersengketa tidak sanggup lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis sebuah buku di tahun 1861 yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (Kenang-kenangan dari Solferino). Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan penolong para prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran.46

Pada saat peperangan terjadi saat itu, pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria menggunakan warna putih, Perancis menggunakan warna merah, sehingga tanda pengenal tersebut bukannya memberikan perlindungan tetapi juga merupakan target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.

46 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4.

Pebruari 1863 beberapa warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk bergabung dengan Henry Dunant guna mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang terluka” (“International Committee for Aid to Wounded Soldiers”). Tahun 1875 Komite menggunakan nama “Komite Internasional Palang Merah” (“International Committee of the Red Cross” / ICRC), hingga saat ini.47

Kemudian, muncul pemikiran untuk mengadopsi lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin perlindungan mereka yang membantu korban perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu lambang. Delegasi dari konferensi 1863 akhirnya memilih lambang Palang Merah diatas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap negara Swiss. Selanjutnya dalam Konferensi Internasional di Jenewa 1863 sepakat untuk mengadopsi lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan untuk tentara yang terluka yang nantinya menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, lambang Palang Merah diatas dasar pitih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.48

Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat

47

Hans Haug, Humanity for All.The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.

48

Organisasi tersebut pada waktu sekarang disebut dengan “Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional” (“National Societies”) yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah (Nasional) atau Bulan Sabit Merah (Nasional), misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama “Palang Merah Indonesia”; di Malaysia disebut dengan “Bulan Sabit Merah Malaysia”.

Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi Internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan nama “Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi prajurit yang cedera di medan perang” (“Geneva Convention for the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field”). Karena banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk “Liga Perhimpunan Palang Merah” (“League of Red Cross Societies”), yang bertugas mengkoordinir seluruh perhimpunan nasional dari semua negara.

Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh Turki (dahulu Ottoman Empire) serta lambang Singa dan Matahari Merah yang digunakan oleh tentara Persia (saat ini Republik Islam Iran). Negara-negara lain kemudian juga menggunakan lambang sendiri, seperti Siam (saat ini Thailand) yang menggunakan lambang Nyala Api Merah (red flame); Israel menggunakan lambang Bintang David Merah (red shield of david); atau Afganistan yang menggunakanRed Arrchway(Mehrab-e-Ahmar); demikian pula tahun 1877 Jepang menggunakan strip

white ground), lambangSwastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah (red palm) oleh Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan Sri Lanka tidak menggunakan klausula reservasi dan memutuskan untuk menggunakan lambang palang merah.49 Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun 1929. Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah (“red crescent”). Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk menggunakan lambang lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa.50

Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam Liga Palang Merah (termasuk di Indonesia dibentuk Palang Merah Indonesia berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963).51 Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya

49Jean-Francois Queiguiner, “Commentary to the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the adoption of an additional distinctive emblem (Protocol III),International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, hal. 2-3.

50

Francois Bugnion,Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneva, May 2007, hal. 10-16.

51Saat ini terdapat 151Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan 32 negara yang menggunakan lambang bulan sabit merah; lihat pada http: //icrc.org/Web/Eng/siteeng0.nsf/html/emblem-history

(International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies / IFRC). Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864 tersebut, yang telah mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para korban perang; di mana aturan mengenai penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut.

Pada bulan Desember 2005, diadakan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan suatu perjanjian internasional, yaitu Protokol Tambahan III (tahun 2005) pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan lambang baru di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu agama tertentu. Lambang yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah (“red crystal”).52 Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian (purity) yang seringkali dihubungkan dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia.53

52 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem (Protocol III), http://icrc.org/Web/Eng/siteeng0 nsf/html/treaties-third%20protocol-emblem-081205, diunduh pada tanggal 14 Desember 2012.

53Michael Meyer, “The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem”, dalamInternational Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, (edited by Richard Burchill, Nigel D. White, and Justin Morris) hal. 98.

sekedar kebalikan dari warna bendera Swiss. Kekeliruan pengertian disebabkan karena sebutan “palang” dan “salib” dalam bahasa Inggris memiliki penyebutan yang sama(cross).54

Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam perjanjian internasional. Ketiga lambang tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit merah dan kristal merah (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005 yang berbunyi “this Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive emblems shall enjoy the equal status55, serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (International Red Cross and Red Crescent Movement).

B. Fungsi Lambang Palang Merah

Lambang palang merah memiliki dasar hukum di tingkat internasional, antara lain, seperti dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol

54

Haris Munandar,Mengenal Palang Merah Indonesia (PMI) dan Badan Sar Nasional (Basarnas),PT. Gelora Aksara Pratama, 2008, hal. 22.

55

Crescent by the National Societiestahun 1991 (selanjutnya disebutRegulation). Lambang palang merah dipergunakan sesuai dengan aturan di dalam Pasal 44 Konvensi Jenewa 1949 yang meliputi dua jenis penggunaan, yaitu dipergunakan sebagai ‘tanda pelindung’ (“protective use”) dan ‘tanda pengenal’ (“indicative use”).56 Sedangkan Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies Tahun 1991 mengatur secara lebih detail tentang tata-cara ke dua jenis penggunaan tersebut.

1. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pelindung (“Protective Use”)57

Penggunaan lambang sebagai tanda pelindung pada masa peperangan terutama ditujukan bagi anggota-anggota personil medis dari Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata yang sedang bertugas membantu tentara yang terluka dan sakit di medan peperangan, sehingga dalam melakukan tugas medis tersebut, mereka harus dihormati dan dilindungi.58 Di samping dinas kesehatan, anggota perhimpunan nasional maupun anggota organisasi kemanusiaan lainnya yang diijinkan oleh penguasa militer yang berwenang, dapat menggunakan lambang ini pada waktu peperangan guna menjalankan mandat kemanusiaannya.

Bagi para personil yang berhak menggunakannya sebagai tanda pelindung, lambang palang merah dipakai dalam bentuk ban lengan dan dipakai di sebelah kiri.

56

Arlina Permanasari,Op. Cit., hal. 321-327. 57

ICRC – IFRC,Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, 13th Edition, Geneva, 1994, hal. 551-568.

58Pasal 1 (alinea pertama) Regulation menyebutkan bahwa,“..the emblem is meant to mark medical personnel and religious personnel and equipment which must be respected and protected in armed conflict”,hal. 552.

menjalankan tugas kemanusiaan dan personil tersebut harus membawa kartu identitas yang dikeluarkan oleh Pemerintah mengenai statusnya. Ukuran lambang sebagai tanda pelindung harus besar. Sedangkan bagi kendaraan atau bangunan yang berhak menggunakan lambang, maka penempatan lambang harus diletakkan sedemikian rupa sehingga terlihat jelas dari jauh maupun dari udara, misalnya diletakkan di atap bangunan/kendaraan atau pada sisi-sisinya dengan ukuran yang besar.

Dengan demikian yang berhak menggunakan lambang dalam ukuran besar, yakni sebagai tanda pelindung ketika terjadi peperangan adalah :

a. Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata.

b. Perhimpunan Palang Merah yang telah diakui dan disahkan oleh pemerintahnya untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata. Mereka yang boleh menggunakan lambang sebagai sarana pelindung hanyalah personil dan peralatan yang digunakan untuk membantu Dinas Kesehatan yang resmi, untuk tujuan yang sama seperti Dinas Kesehatan militer dan tunduk pada hukum dan peraturan militer.

c. Rumah sakit sipil yang telah diakui oleh Pemerintah dan diberi hak untuk memasang lambang sebagai sarana perlindungan.

d. Semua kesatuan medis sipil (Rumah Sakit, Pos P3K dan sebagainya) yang telah disahkan dan diakui oleh penguasa yang berwenang (berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Tambahan I tahun 1977).

berlaku bagi Perhimpunan Nasional, yang boleh memakai lambang hanyalah personil dan perlengkapan yang digunakan pada Dinas Kesehatan militer, serta tunduk pada hukum dan peraturan militer.

Sedangkan penggunaan lambang sebagai tanda pengenal pada waktu peperangan hanya boleh digunakan oleh Perhimpunan Nasional; dalam hal ini guna menghindari adanya kebingungan dengan pemakaian lambang sebagai tanda pelindung pada waktu perang, maka lambang yang digunakan tidak boleh dipasang pada ban lengan atau di atap bangunan.

2. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pengenal (“Indicative Use”)59

Lambang selain dapat dipergunakan sebagai tanda pelindung, dapat juga dipergunakan sebagai tanda pengenal. Tanda pengenal menunjukkan bahwa si pemakai tanda pengenal adalah orang-orang atau objek-objek yang ada kaitannya dengan gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional.60

Anggota Perhimpunan Nasional diperpolehkan memakai lambang sebagai tanda pengenal ini pada waktu melaksanakan tugas, tetapi dengan ukuran yang kecil. Pada saat tidak sedang menjalankan tugas, mereka hanya boleh memakai emblem dalam ukuran yang sangat kecil, misalnya dalam bentukbadge, jepitan dasi, pin, dan sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Palang Merah Remaja dengan mencantumkan kata Palang Merah Remaja atau singkatannya.

59Keterangan pada bagian ini merupakan ringkasan dariRegulationtentang lambang sebagai tanda pelindung, hal. 551-568.

60Pasal 1 (alinea kedua ) Regulation tahun 1991 menyebutkan bahwa “…the indicative use of the emblem serves to show that the persons or object are linked to the movement”, hal. 552.

Regulation juga diatur tentang penggunaan lambang untuk tujuan diseminasi (sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana (“fund-raising”). Perhimpunan Nasional dapat memakai lambang sebagai tanda pengenal untuk mendukung kampanye atau kegiatannya agar diketahui oleh masyarakat umum; untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Internasional dan Prinsip-prinsip Fundamental Perhimpunan Nasional atau untuk mengumpulkan dana.61

Apabila ditampilkan pada bahan cetakan (printed matter), objek atau bahan iklan lain untuk suatu kampanye; maka lambang harus disertai nama perhimpunan, teks atau gambar-gambar yang dipublikasikan, akan tetapi jangan sampai memberikan sugesti bahwa objek tersebut mendapatkan perlindungan dari Hukum Humaniter atau keanggotaan “Gerakan”, atau memberikan kesempatan penyalahgunaan di kemudian hari, sehingga objek tersebut harus dalam ukuran yang kecil, atau dari bahan yang mudah rusak atau cepat hancur. Perhimpunan Nasional yang bekerjasama dengan perusahaan dagang atau organisasi lain untuk melaksanakan kegiatannya, dapat menampakkan cap atau logo perusahaan, atau kalimat lainnya asalkan sesuai dengan syarat berikut ini :62

a. Jangan menimbulkan anggapan bahwa ada kaitan antara kegiatan perusahaan atau kualitas produk dengan emblem atau Perhimpunan Nasional sendiri;

b. Perhimpunan Nasional tetap mengawasi jalannya kampanye, menentukan di mana cap atau logo atau kalimat dari perusahaan yang ditampilkan;

61Lihat Pasal 23 ayat(1) dan (2)Regulation.

62

bertentangan dengan tujuan dan prinsip Gerakan atau yang oleh masyarakat umum dianggap kontroversial;

d. Perhimpunan Nasional setiap saat berhak membatalkan kontrak tertulis dengan perusahaan yang bersangkutan bila kegiatan tersebut merongrong rasa hormat terhadap emblem;

e. Keuntungan materiil atau financial yang diperoleh Perhimpunan Nasional dari kampanye, harus bersifat substansial;

f. Kontrak tersebut harus disetujui oleh Pimpinan Pusat dari Perhimpunan Nasional.

Di samping ketentuan di atas, Perhimpunan Nasional dapat menyetujui pemakaian lambang untuk dijual di pasaran, asalkan objek tersebut menggambarkan individu atau objek yang memang benar-benar berhak menggunakan lambang. Namun ijin tersebut hanya atau terbatas untuk jangka waktu tertentu dan untuk objek tertentu saja.

Perhimpunan Nasional juga dapat memberi ijin untuk memakai lambang pada lembaga yang tidak mempunyai tujuan komersial dan tujuannya hanya untuk menyampaikan atau mempromosikan kegiatan Perhimpunan atau “Gerakan”.

Adapun, pemakaian lambang atau kata-kata “palang merah” atau “palang Jenewa”, atau tanda atau sebutan apapun lainnya yang merupakan tiruan dari lambang yang banyak dilakukan oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan,

Dokumen terkait