• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

B. Konstruktivisme

“Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, lalu selalu bergulat dengan ide-ide”.16 “Menurut pandangan konstruktivistik belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si pembelajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari”.17 Selain itu menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. “Teori konstruktivis ini menyatakan

bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan

15 Adi Suryanto, Evaluasi Pembelajaran di SD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009), h.4.3 16 Endang Widi Winarni, Mengajar IPA Secara Bermakna, (Bengkulu: UNIB Press, 2009), h.46

merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai”18

. Bagi memahami dan dapat menerapkan pengetahuan mereka harus berkerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.19

“Belajar menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses

pembentukan pengetahuan”.20 Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta didik sendiri. Maka peserta didik harus aktif berfikir, melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan member makna sesuatu yang dipelajarinya.21 “Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar”.22 Pada dasarnya, pengetahuan dibentuk pada diri manusia berdasarkan pengalaman nyata yang dialaminya dan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial di sekelilingnya. Belajar adalah perubahan proses mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalamannya yang dialami para siswa sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh itu adalah hasil interpretasi pengalaman tersebut yang disusun dalam pikiran/otaknya. Jadi siswa bukan berasal dari ada yang diberikan guru, melainkan merupakan hasil usahanya sendiri berdasarkan hubungannya dengan dunia sekitar. Mengajar adalah suatu upaya yang berusaha membantu siswa dalam merekonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalamannya masing-masing. Jadi mengajar bukan menyampaikan sejumlah informasi secara utuh kepada siswa. Dengan demikian, konstruktivis ini merupakan suatu preposisi yang sederhana yaitu siswa mengkosntruk pengertiannya terhadap dunia tempatnya hidup.23

Konstruksitivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun,

18 Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2007), h.13

19 Ibid.

20 Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.78

21Ibid.

22 Nuryani Rustaman dkk, Materi dan Pembelajaran IPA SD, (Jakarta: Universitas Terbuka,2010), h.2.6

13

mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.24 Kontruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri.25 Konstruktivis percaya bahwa pembelajar mengkonstruk sendiri realitasnya atau paling tidak menterjemahkannya berlandaskan persepsi tentang pengalamannya, sehingga pengetahuan individu adalah sebuah fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga struktur mentalnya, yang kemudian digunakannya untuk menterjemahkan objek-objek serta kejadian-kejadian baru.26 Jadi, konstruktivisme adalah proses pebentukan pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik berdasar pengalaman yang dialaminya.

Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkap oleh Merril (1991) dalam Suyono adalah sebagai berikut 27 :

a. Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman; b. Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata;

c. Belajar adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman;

d. Pertumbuhan konseptual berasal dari negoisasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif;

e. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).

“Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar”. 28 Guru tidak mentransfer pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu

24 Suyono dan Hariyanto, Op. cit., h.105 25Ibid.

26Ibid., h.106 27Ibid.

siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.29 Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.30 Tugas guru adalah memfasilitasi proses dengan membuat (1) membuat pengetahuan menjadi bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.31

1. Prinsip Pendekatan Konstruktivis

Ada beberapa prinsip pendekatan konstuktivis yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengelola proses pembelajaran, yaitu32:

a. Siswa diberi masalah yang sesuai dengan kehidupannya. b. Penstukturan belajar pada konsep primer.

c. Menjajagi dan menghargai pendapat siswa. d. Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan siswa. e. Menilai belajar siswa dalam konteks mengajar.

2. Elemen Belajar yang Konstruktivis

Konstruktivis mengembangkan pemikiran siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Ada lima elemen belajar yang konstruktivistik, yaitu33:

a. Pengaktifan pengetahuan baru (activating knowledge). b. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge). c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge).

d. Memprektekkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge).

29Ibid.

30Ibid.

31 Suwarna, Pengajaran Mikro, (Yongyakarta: Tiara Wacana, 2006), h.121 32 Lukmanul Hakim, Op. cit., h.46

15

e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (reflecting knowledge)

3. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstrukstivisme, yaitu34:

a. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.

b. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.

c. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai.

d. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil.

e. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan. f. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.

g. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa. h. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dalam pemahaman siswa. i. Medasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif.

j. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran; seperti: prediksi, inferensi, kreasi, dan analisis.

k. Menekankan pentingnya “bagaimana” pada siswa belajar.

l. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru.

m. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif. n. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata. o. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.

p. Memperhatikan keyakinan dalam sikap siswa dalam belajar.

q. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.

4. Penerapan Teori Konstruksivisme di Kelas

Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruksivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparkan tentang penerapannya di kelas35 :

a. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar.

Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisa serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta

menjadi “pemecah masalah” (problem solvers).

b. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon.

Berpikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara-cara siswa merespons atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.

c. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi.

Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.

d. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya.

Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk mengemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya

17

sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa nyaman dan aman untuk mengemukakan gagasan-gagasannya, maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi dikelas.

e. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi.

Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipoteses yang mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.

f. Guru menggunakan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif.

Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.

5. Format pelajaran konstruktivis a. Fase start

Guru dapat memulai dengan pertanyaan umum terbuka

(misalnya,”menurut kalian kimia itu ilmu tentang apa?”) lalu mendorong

murid untuk memberikan jawaban-jawaban terbuka dan mendiskusikan tentang subjek ini. sebagai alternatif adalah mulai dengan sebuah masalah yang relevan dengan kehidupan murid sehari-hari. Setalah itu pelajaran yang dimaksud dapat di indroduksikan. Guru mungkin juga mengintroduksikan suatu situasi yang membingungkan atau mengejutkan, yang menyebabkan murid memikirkan tentang situasi tersebut.36

36 Daniel Muijs dan David Reynolds, Effective Teaching Teori dan Aplikasi, (Jogakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 105-106

b. Fase eksplorasi

Murid mengerjakan kegiatan yang ditetapkan sesuai fase 1. Kegiatan biasanya bersifat eksploratik, melibatkan situasi atau bahan-bahan riil, dan memberikan kesempatan untuk kerja kelompok. Kegiatannya harus di stukturisasikan sedemikian rupa sehingga para murid menghadapi isu-isu yang memungkinkan mereka mengembangkan pemahaman, dan mestinya juga cukup menantang. Ada baiknya untuk meningatkan murid tentang proses-peroses metakognitif yang mungkin inin mereka terapkan ketika menyelesaikan masalah.37

c. Fase refleksi

Pada fase ini, murid mungkin diminta untuk menengok kembali kegiatan itu dan menganalisis serta mendiskusikan apa yang telah mereka kerjakan, baik dengan kelompok-kelompok lain maupun dengan guru. Guru dapat memberikan scaffolding yang bermanfaat selama fase ini, melalui pertanyaan dan komentar yang dirancang untuk mengaitkan eksprolasi itu dengan konsep kunci yang sedang di eksprorasi.38

d. Fase aplikasi dan diskusi

Setelah itu guru dapat meminta seluruh kelas untuk mendiskusikan berbagai temuan yang menarik esimpulan. Langkah berikutnya dapat diidentifikasi oleh guru atau murid, dan poin-poin kunci direkap.39

Secara rinci dapat dikemukakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar konstruktivisme, seorang pendidik harus memperhatikan hal sebagai berikut40: a. Mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui

pengalaman sebelumnya.

b. Menekankan pada kemampuan awal minds-on dan hands-on.

c. Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual.

37Ibid., h.106

38Ibid.

39Ibid.

19

d. Mengetahui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif. e. Mengutamakan terjadinya interaksi social

Implementasi konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi 4 tahapan yaitu41 :

a. Apersepsi

Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukanakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu pendidik memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematic tentang fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.

b. Eksplorasi

Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang pendidik. c. Diskusi dan penjelasan konsep

Tahap ketiga, saat siswa memberikan penjelasan dan solusi didasarkan hasil observasi ditambah dengan penguatan pendidik, maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari, sehingga siswa memperoleh konsep secara bermakna.

d. Pengembangan dan aplikasi

Tahap keempat, pendidik berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik dengan kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan isu-isu di lingkungannya.

41Ibid., h.49-50

Dokumen terkait