• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

3. Pola Konsumsi

Diantara berbagai faktor penyebab terjadinya anemia, pola konsumsi merupakan faktor yang paling dominan (50%) pengaruhnya terhadap anemia defisiensi besi (Fatimah St et al., 2011). Di Indonesia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani, sayur dan buah dalam jumlah yang tidak memadai,

yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan energi, protein dan berbagai mineral yang penting bagi kehamilan seperti besi, iodium dan zink yang kaya dalam pangan hewani, serta vitamin utamanya vitamin A, C dan asam folat yang banyak terkandung pada buah dan sayur.

Demikian pula dengan hasil penelitian Herlina et al,. (2008) yang melaporkan bahwa semakin kurang baik pola makan, maka semakin tinggi angka kejadian anemia pada ibu hamil, dan hal ini menunjukkan kebermaknaan secara statistik (p < 0.05).

a. Hubungan Asupan Protein dengan Status Hemoglobin

Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk pertumbuhan.

Semua protein hewani, kecuali gelatin, merupakan protein komplet.

Protein tidak komplet atau protein bermutu rendah adalah protein yang tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan kacang-kacangan lain merupakan protein tidak komplet (Almatsier, 2010).

Ibu hamil memerlukan konsumsi protein lebih banyak dari biasanya. Paling sedikit kebutuhan protein sekitar 60g/hari . Kebutuhan protein hewani lebih besar daripada kebutuhan protein nabati. Ikan, telur, daging, dan susu perlu lebih banyak dikonsumsi

dibandingkan tahu, tempe dan kacang. Hal ini disebabkan karena struktur protein hewani lebih mudah dicerna daripada protein nabati.

Protein tersebut digunakan untuk pertumbuhan anak yang dikandung sekitar 70%, pembentukan plasenta (menunjang, memelihara, dan menyalurkan makanan bagi bayi), dan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak selama masa janin dan berkaitan erat dengan kecerdasan (Widodo, 2004). Diperkirakan sebanyak 300-500 ml darah akan hilang pada persalinan, sehingga cadangan darah diperlukan pada periode tersebut dan hal ini tidak terlepas dari peran protein (Nadesul, 2002).

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p=0,64 , sehingga hipotesis nol (H0) diterima artinya tidak ada tidak

ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan status hemoglobin ibu hamil. Hasil ini sejalan dengan penelitian Tristiyanti (2006) bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat konsumsi protein dengan kadar Hb. Hal ini diduga karena pangan sumber protein yang dikonsumsi ibu hamil baik anemia maupun yang tidak anemia umumnya merupakan sumber protein nabati.

Sebagaimana diketahui bahwa pangan nabati merupakan sumber zat besi non heme. Dalam penyerapannya, sumber zat besi non heme lebih rendah dibandingkan dengan sumber zat besi heme. Bahan pangan yang dipakai sebaiknya 2/3 merupakan bahan yang

mempunyai nilai protein yang tinggi seperti daging tak berlemak, ikan, telur, susu, dan hasil olahannya (Badriah, 2011).

b. Hubungan Asupan Fe dengan Status Hemoglobin

Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah.

Menurut Almatsier (2010), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.

Walaupun terdapat luas di dalam makanan banyak penduduk dunia yang mengalami kekurangan besi, termasuk di Indonesia.

Kurangnya asupan zat besi dalam menu makanan dapat menyebabkan anemia sehingga dapat menurunkan kebugaran tubuh, produktivitas kerja dan kekebalan tubuh seseorang.

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p=0,25, sehingga hipotesis nol (H0) diterima artinya tidak ada

hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dengan status hemoglobin ibu hamil. Hasil ini sejalan dengan penelitian Tristiyanti (2006) bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat konsumsi zat besi dengan kadar Hb. Hal ini diduga karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi bukan berasal dari besi heme sehingga

kurang bisa mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Ibu hamil anemia maupun tidak anemia pada penelitian ini mengkonsumsi pangan sumber besi heme dalam frekuensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan frekuensi konsumsi pangan sumber besi non heme. Selain itu kemungkinan besar konsumsi besi non heme tidak diimbangi dengan konsumsi besi heme. Sebagaimana diketahui bahwa besi heme lebih mudah diserap oleh tubuh daripada besi non heme.

Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes RI, 1998).

Sebaiknya diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas campuran sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta sumber gizi lain yang dapat membantu sumber absorbsi.

Menu makanan di Indonesia sebaiknya terdiri atas nasi, daging/ayam/ikan, kacang-kacangan, serta sayuran dan buah buahan yang kaya akan vitamin C.

c. Hubungan Asupan Vit.C dengan Status Hemoglobin

Defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan hewani yang banyak mengandung besi (seperti daging, ayam, ikan, kerang, susu, dan keju) yang mudah diserap oleh tubuh. Di samping itu dapat pula disebabkan oleh rendahnya konsumsi makanan

yang mendorong zat besi seperti vitamin C dan protein serta adanya zat penghambat (inhibitor) penyerapan besi seperti fitat, tannin, pektin (Effendi YH et al., 2000).

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p=0,01 , sehingga hipotesis nol (H0) ditolak artinya ada hubungan yang

signifikan antara asupan Vitamin C dengan status hemoglobin ibu hamil. Hasil ini sejalan dengan penelitian Argana (2004) bahwa konsumsi vitamin C dan kadar Hb menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,000). Hal ini disebabkan karena sumber bahan makanan vitamin C seperti rambutan dan kedondong sedang populer di kalangan ibu hamil. Buah rambutan dan kedondong sangat sering dikonsumsi ibu hamil bahkan hampir setiap hari dikonsumsi, hal ini di duga karena kedua buah ini lagi musimnya di daerah tersebut.

Vitamin C sangat membantu penyerapan besi non heme dengan mereduksi besi ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Dengan demikian resiko anemia defisiensi zat besi bisa dihindari. (Gibney et al., 2008).

d. Hubungan Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Zat Besi Heme dengan Status Hemoglobin.

Bentuk besi dalam makanan tergantung dari bahan makanan yang dikonsumsi. Bentuk besi di dalam makanan berpengaruh pada penyerapannya. Zat besi Hem, berasal dari makanan sumber hewani seperti hati, daging, unggas dan ikan. Besi hem, yang merupakan bagian dari hemoglobin dan mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonhem. Kurang lebih 40%

dari besi di dalam daging, ayam dan ikan terdapat sebagai besi hem dan selebihnya sebagai nonhem (Almatsier, 2010).

Zat besi heme banyak terdapat di dalam daging dan produk daging.

Sekitar 25 % dari zat besi heme yang di dalam daging akan terserap oleh tubuh tidak seperti zat besi non hem, penyerapan zat besi hem tidak dipengaruhi oleh oleh status zat besi dari seseorang.

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p=0,34, sehingga hipotesis nol (H0) diterima artinya tidak ada

hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi zat besi heme dengan status hemoglobin ibu hamil. Sebagian besar responden baik yang anemia maupun tidak anemia jarang mengonsumsi sumber zat besi hem. Tercacat hanya 5 (7,7%) responden pada kelompok anemia dan 13 (20,0%) responden responden non anemia mengkonsumsi sumber zat besi hem dalam frekuensi sering. Hal ini dikarenakan ibu hamil yang anemia maupun anemia lebih sering mengkonsumsi sumber

zat besi yang non-Hem dibanding sumber zat besi heme. Hal ini juga mungkin dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang rendah. Sumber zat besi non hem seperti tempe, tahu, sayuran umumnya lebih terjangkau dibanding dengan zat besi heme seperti daging, ayam, dan hasil olahan lainnya.

e. Hubungan Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber Zat Besi Non Heme dengan Status Hemoglobin

Zat besi non hem terdapat dalam pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Penyerapan zat besi non hem dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah zat besi non hem yang tersedia, status besi dari seseorang dan adanya keseimbangan antara faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi (Citrakesumasari, 2012).

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p=0,04 , sehingga hipotesis nol (H0) ditolak artinya ada hubungan

yang signifikan antara frekuensi konsumsi zat besi heme dengan status hemoglobin ibu hamil. Tercatat sebesar 19 (29,2%) responden pada kelompok anemia dan 22 (33,9%) responden non anemia mengkonsumsi sumber zat besi non hem dalam frekuensi sering. Hal ini diduga karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi seperti tempe, tahu, dan sayur-sayuran lebih sering dikonsumsi dibandingkan berasal dari besi heme seperi daging, ayam, ikan sehingga kurang bisa mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Jumlah besi dari sumber

besi non hem umumnya relatif tinggi dibandingkan dengan zat besi heme. Walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus. Di samping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan, dinamakan juga ketersedian biologik (bioavailability). Pada umumnya besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, dan besi di dalam sebagian kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang, sedangkan besi di dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah (Citrakesumasari, 2012).

f. Hubungan Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Pelancar Absorpsi Fe dengan Status Hemoglobin

Menurut Gibney et al,. (2008) bahan makanan kelompok peningkat absorpsi Fe adalah bahan makanan yang mempunyai fungsi sebagai bahan makanan yang akan memperbesar absorpsi zat besi dari dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Menurut Almatsier (2010) bahan makanan yang dapat meningkatkan absropsi zat besi adalah ayam, daging, ikan dan vitamin C.

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p

=0,03, sehingga hipotesis nol (H0) ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi pelancar absorpsi besi dengan status hemoglobin ibu hamil. Tercatat sebanyak 6 (9,2%) responden pada kelompok anemia dan 21 (32,3%) responden non anemia

mengkonsumsi sumber bahan makanan pelancar absorpsi besi dalam frekuensi sering. Hal ini disebabkan bahan makanan pelancar kelompok vitamin C seperti rambutan dan kedondong sedang populer di kalangan ibu hamil. Buah rambutan dan kedondong sangat sering dikonsumsi ibu hamil bahkan hampir setiap hari dikonsumsi, hal ini di duga karena kedua buah ini lagi musimnya di daerah tersebut. Bahan makanan lainnya seperti tomat juga sering dikonsumsi ibu hamil (1x/hari).

Seperti diketahui bahwa vitamin C sangat membantu penyerapan besi non heme dengan mereduksi besi ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Dengan demikian resiko anemia defisiensi zat besi bisa dihindari (Gibney et al., 2008).

g. Hubungan Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Penghambat Absorpsi Fe dengan Status Hemoglobin

Disamping faktor yang mendorong penyerapan zat besi non hem, terdapat pula faktor yang menghambat penyerapan zat besi. Bahan makanan penghambat absorpsi Fe (inhibitor) adalah bahan makanan yang bersifat akan menghambat absorpsi Fe oleh tubuh dari makanan yang dikonsumsi seperti fitat (pada dedak, katul, jagung, protein kedelai, susu, coklat dan kacang- kacangan), polifenol (termasuk

tannin) pada teh, kopi, bayam, kacang kacangan, Zat kapur / kalsium (pada susu, keju), Phospat (pada susu, keju) (Soekirman, 2000).

Asam fitat yang banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan merupakan faktor utama yang bertanggung jawab atas buruknya ketersediaan hayati zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak menghambat absorpsi besi, efek penghambat pada bekatul semata-mata disebabkan oleh keberadaan asam fitat.

Perendaman, fermentasi, dan perkecambahan biji-bijian yang menjadi produk pangan akan memperbaiki absorpsi dengan mengaktifkan enzim fitase untuk menguraikan asam fitat (Citrakesumasari, 2012).

Berdasarkan hasil uji Chi Square dapat diketahui bahwa nilai p=0,03, sehingga hipotesis nol (H0) ditolak artinya ada hubungan yang

signifikan antara frekuensi konsumsi penghambat absorpsi besi dengan status hemoglobin ibu hamil. Tercatat sebesar 20 (30,8%) responden pada kelompok anemia dan 24 (36,9%) responden non anemia mengkonsumsi sumber bahan makanan penghambat absorpsi besi dalam frekuensi sering. Frekuensi sering yang dimaksudkan disini bermakna negatif. Dikarenakan makin jarang zat penghambat yang dikonsumsi dan zat pelancarnya makin banyak maka akan bernilai positif untuk penyerapan zat besinya. Hal ini diduga karena sebagian besar ibu hamil yang anemia mengonsumi teh hampir setiap hari, bahkan ada yang sampai 2 kali sehari begitupula dengan bayam yang hampir setiap hari dikonsumsi. Padahal seperti diketahui tanin yang

terdapat dalam teh hitam merupakan jenis penghambat paling paten dari semua inhibitor yang ada. Hasil ini sejalan dengan penelitian Susilo (2002) bahwa semakin besar asupan tanin, maka semakin rendah kadar Hb.

Tanin yang merupakan polifenol dan terdapat di dalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran dan buah juga menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya. Secara teoritik diketahui bahwa tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat besi dari makanan terutama yang masuk kategori zat besi non hem misalnya padi-padian, sayur-mayur, dan kacang-kacangan. Tanin berikatan dengan zat besi yang terdapat dalam makanan sehingga membentuk komponen yang tidak dapat diserap oleh tubuh (Almatsier, 2010).

Dokumen terkait