• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan Konsumsi Pangan Utama Papua

Provinsi Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia, yaitu dengan luas wilayah 316 553.07 km2 atau 16.7% dari luas Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua berfluktuatif, menunjukkan pasang surut perekonomian. Perekonomian didukung dari sektor pertambangan penggalian dengan kontribusi 52.73% kemudian sektor pertanian 11.71% (BPS Papua 2012). Kondisi 28 kabupaten dan 1 kota cukup bervariasi, ada yang merupakan pulau kecil, wilayah pinggir pantai, maupun wilayah pegunungan berkontur yang sulit dicapai. Puncak Jaya adalah kabupaten yang letaknya tertinggi yaitu pada ketinggian 2 980 m dari permukaan laut. Kondisi geografis dan agroekologi Papua berpengaruh pada konsumsi pangan masyarakatnya, terutama komoditi pangan pokok spesifik lokal.

Makanan pokok lokal masyarakat Papua antara lain ubi jalar, talas, gembili, jewawut, dan sagu (Rauf dan Lestari 2009). Pangan lokal tersebut dapat digolongkan menjadi 2 golongan utama yaitu ubi jalar dan sagu Pangan lokal utama masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan tengah adalah ubi jalar. Varietas ubi jalar unggulan Papua adalah Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar. Sentra produksi ubi jalar antara lain Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, dan Paniai.

Ubi jalar memiliki nilai ekonomis dan sosial yang tinggi bagi bagi penduduk lokal Papua, terutama suku Dani. Ubi jalar dimasak bersama babi dengan cara ’bakar batu’ dalam prosesi perkawinan, kematian, pengukuhan kepala suku, penyambutan tamu, dan festival budaya (Peter 2001). Pada bulan-bulan tertentu saat ubi jalar tidak berproduksi optimal, ketersediaan ubi jalar kadang tidak mencukupi kebutuhan. Hal ini terjadi dikarenakan menunggu masa panen yang berkisar antara 6-8 bulan, proses penyimpanan yang masih tradisional, dan belum adanya industri pengolahan tepung pati ubi. Kondisi tersebut membuat penduduk mengkonsumsi beras yang harganya relatif mahal..

Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan rawa memiliki pangan lokal utama berupa sagu. Hutan sagu banyak dijumpai di Kabupaten Jayapura, Sarmi, Waropen, dan Merauke dimana penyebaran terbesar adalah di Sentani Kabupaten Jayapura. Tanaman sagu yang dibudidayakan masih relatif sedikit, baru sekitar 14 000 Ha, lebih banyak yang langsung mengambil dari hutan. Meskipun begitu, produksi sagu di Papua masih lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi. Konsumsi sagu dapat dicukupi dengan 84.8% kapasitas produksi yang masih tradisional (BPS Papua 2009). Varietas sagu unggulan Papua berdasarkan penelitian Miyazaki (2004) antara lain Para Ifar, Yepha Hongsai, dan Ruruna Ifar dengan produksi pati masing-masing 408.6 kg/pohon, 386.2 kg/pohon, dan 340.6 kg/pohon dengan umur panen 8 tahun.

Persentase pengeluaran pada rumah tangga Papua adalah untuk konsumsi komoditi pangan mencapai 59.46% dan yang terbesar adalah untuk umbi, sayur, dan padi. Kearifan pangan lokal harus dilestarikan dan dibudidayakan, apalagi dalam rangka swasembada pangan. Konsumsi makanan pokok cenderung mengalami peningkatan terutama konsumsi ubi jalar dan beras seperti yang tersaji pada Tabel 4, akan tetapi sagu mengalami tren penurunan. Penurunan konsumsi

sagu disebabkan oleh perubahan pilihan konsumsi penduduk ke arah beras dan mie. Adanya anggapan bahwa beras merupakan komoditi yang lebih superior dibandingkan sagu, belum beragamnya produk olahan sagu, akses penduduk pesisir dan dataran rendah yang lebih mudah memperoleh beras, dan penurunan luas hutan sagu akibat konversi lahan membuat komoditi sagu semakin tersisih. Tabel 4. Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua

tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan)

Tahun beras ubi

jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

2008 4.63 8.07 1.31 0.84 0.14 0.77 1.96 6.19 2.26 2009 4.60 8.74 1.03 1.42 0.17 0.69 2.31 7.01 2.05 2010 5.62 9.95 1.00 1.80 0.15 0.68 1.92 10.43 2.67

tren

(%) 10.78 11.06 -12.04 47.98 5.84 -6.37 0.31 31.01 10.49

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Perubahan konsumsi komoditi lain berbeda, konsumsi daging mengalami penurunan sedangkan ikan, sayur dan buah meningkat. Penduduk Papua masih mengutamakan konsumsi komoditi pangan pokok terlebih dulu, baru pangan sumber protein atau memilih sumber protein yang lebih murah. Perubahan tersebut dipengaruhi perubahan harga relatif antar komoditi maupun terhadap pendapatan.

Di daerah dataran rendah maupun pantai yang berpotensi sagu, akses terhadap produk pangan relatif mudah (Data kabupaten yang berpotensi sagu maupun ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 1). Pada Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata konsumsi perkapita beras sebulan untuk rumah tangga pada kelompok daerah potensi sagu jauh lebih tinggi daripada kelompok daerah potensi ubi jalar. Konsumsi perkapita yang hampir sama terjadi pada komoditi singkong, daging, dan buah. Komoditi daging termasuk barang yang relatif mahal dibandingkan komoditi lain sehingga konsumsinya terkecil.

Tabel 5. Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan pokok di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan)

potensi

pangan beras

ubi

jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

sagu 6.90 0.45 1.83 1.10 0.06 0.74 3.17 6.93 2.54 ubi jalar 2.27 20.65 0.12 1.71 0.28 0.67 0.53 9.26 2.04 rata-rata 4.96 8.93 1.11 1.36 0.15 0.71 2.06 7.91 2.33

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perubahan konsumsi pangan pokok dari sagu menjadi lebih menyukai beras di kelompok daerah yang berpotensi sagu. Berbeda halnya dengan kelompok daerah yang berpotensi ubi jalar, pangan lokalnya yaitu ubi jalar masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam mengkonsumsi pangan pokok. Hal ini sesuai penelitian Kahar (2010) yang menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat berbeda dikarenakan

perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah terhadap sumber daya.

Berdasarkan data BPS Papua (2012) jumlah rumah tangga miskin tahun 2011 sebanyak 944.79 ribu jiwa (31.98%) sedangkan tahun 2010 hanya 761.6 ribu jiwa (36.8%). Jumlah rumah tangga miskin Papua semakin meningkat namun secara persentase menurun, meskipun masih tertinggi se-Indonesia. Kebijakan pemberian raskin kepada rumah tangga penerima sasaran (RTS) membantu mempertahankan ketahanan pangan, akan tetapi di daerah yang tidak berpotensi beras seperti Papua dapat membuat sangat bergantung dari pasokan luar daerah. Ketergantungan pada daerah luar menyebabkan Papua rentan terhadap guncangan harga maupun ketersediaan. Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.

Konsumsi pangan perkapita berdasarkan golongan di Papua dapat dilihat pada Tabel 6. Semakin tinggi golongan, konsumsi beras semakin tinggi tapi konsumsi pangan lokal semakin rendah. Golongan rumah tangga yang lebih tinggi mengalihkan konsumsi pangan pokoknya ke beras yang dianggap lebih superior. Konsumsi beras rumah tangga miskin cukup berbeda antara penerima dengan yang tidak menerima raskin. Rumah tangga penerima raskin mengkonsumsi beras lebih banyak yaitu rata-rata 3.01 kg/kapita/bulan sedangkan yang tidak menerima raskin hanya mengkonsumsi 1.46 kg/kapita/bulan. Konsumsi pangan yang hampir sama adalah untuk komoditi sagu, singkong, jagung, dan ikan.

Tabel 6. Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan)

Golongan- Penerima

raskin

beras ubi

jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

miskin 2.03 18.23 1.15 1.40 0.19 0.93 0.44 7.70 1.57

raskin 3.01 10.77 1.25 1.47 0.13 1.01 0.47 6.30 1.37

tidak raskin 1.46 22.65 1.10 1.36 0.23 0.88 0.43 8.53 1.69

menengah 5.98 3.97 1.44 1.53 0.11 2.49 0.76 7.69 2.39 atas 8.36 1.28 0.41 0.97 0.15 3.31 1.12 8.69 3.58

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Dari data Papua, terdapat 23.06% rumah tangga miskin yang tidak menikmati raskin, akan tetapi sebanyak 19.3% rumah tangga bukan sasaran mendapatkan raskin. Keberadaan rumah tangga miskin yang tidak menerima raskin dan justru rumah tangga menengah/atas yang menerima merupakan salah satu indikasi raskin masih belum tepat sasaran. Hal ini mendukung penelitian Hastuti et.al (2012) bahwa masih perlu peningkatan ketepatan sasaran dalam pembagian raskin. Lokasi yang sulit dijangkau dan biaya distribusi yang relatif kecil menjadi beberapa alasan ketidaklancaran distribusi pembagian raskin di Papua. Beberapa wilayah yang sulit dijangkau memutuskan bahwa titik distribusi dilakukan di distrik (setingkat kecamatan), bukan di kelurahan/desa seperti alur yang seharusnya.

Keterangan: 1. miskin di potensi sagu 2. miskin di potensi ubi jalar

3. menengah di potensi sagu 4. menengah di potensi ubi jalar

5. atas di potensi sagu 6. atas di potensi ubi jalar

Sumber: Susenas Panel 2008 - 2010, diolah

Gambar 6. (a) Pola konsumsi beras-ubi jalar dan (b) konsumsi beras-sagu rata-rata perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun 2008 - 2010

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi golongan maka konsumsi beras masih semakin tinggi dikarenakan superioritasnya terhadap pangan pokok lokal. Data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.

Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua

Penggunaan model LA-AIDS pada sampel rumah tangga Papua berdasarkan golongan pengeluaran, kelompok daerah menurut potensi pangan lokal, dan status penerimaan raskin. Hasil dari model pola konsumsi pangan di Provinsi Papua tersaji pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pengolahan yang tersaji pada Lampiran 3, diperoleh nilai system weighted R-square sebesar 0.5895 dengan tingkat kepercayaan 99%. Secara sistem, proporsi total keragaman dari konsumsi tiap komoditi dapat dijelaskan oleh variabel penjelas sebesar 58.95%. Kesimpulan secara umum bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Papua dipengaruhi oleh harga komoditi sendiri, harga komoditi lain, pendapatan, golongan pengeluaran, kelompok potensi, dan penerimaan raskin.

Pengaruh pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap komoditi hampir semuanya nyata kecuali untuk komoditi ubi jalar dan buah. Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditi pangan sebagian besar bertanda positif, yang berarti adanya tambahan proporsi pendapatan rumah tangga secara signifikan akan diikuti oleh peningkatan permintaan pada kelompok komoditi pangan tersebut. Koefisien pendapatan yang bertanda negatif adalah untuk komditi beras, ubi jalar,

(a) 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 0.0 5.0 10.0 K o n sum si ub i ja la r Konsumsi beras 1 2 3 4 5 6 (b) 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 0.0 5.0 10.0 K o n sum si s agu konsumsi beras

dan sayur, yang berarti adanya tambahan pendapatan akan menurunkan permintaan kelompok komoditi tersebut. Penurunan konsumsi seiring peningkatan pendapatan menunjukkan bahwa teorema Bennet berlaku pada konsumsi pangan rumah tangga di Papua.

Tabel 7. Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua Parameter w beras w ubi jalar w sagu w sing kong w ja gung w da ging w ikan w sa yur w buah konstanta 0.562 0.315 -0.013 -0.094 0.037 -0.075 -0.374 0.578 0.053 (<0.0001) (<0.0001) (0.6736) (0.0066) (<0.0001) (0.0940) (<0.0001) (<0.0001) (0.1409) ln(pberas) 0.011 -0.004 -0.001 -0.001 0.000 -0.002 -0.001 -0.001 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) ln(pubijalar) -0.004 0.010 -0.001 -0.002 0.000 -0.001 -0.001 0.001 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0033) (0.5224) ln(psagu) -0.001 -0.001 0.006 -0.001 0.000 0.000 0.000 -0.002 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.6620) (0.0035) (<0.0001) (<0.0001) ln(psingkong) -0.001 -0.002 -0.001 0.005 0.000 0.000 -0.001 0.000 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0066) (<0.0001) (<0.0001) (0.4941) (0.0026) (ln(pjagung) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 -0.002 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0066) (<0.0001) (<0.0001) <0.3490) (<0.0001) (0.0003) ln(pdaging) -0.002 -0.001 0.000 0.000 0.000 0.010 -0.003 -0.003 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (0.6620) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) ln(pikan) -0.001 -0.001 0.000 -0.001 0.000 -0.003 0.010 -0.002 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.3940) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) ln(psayur) -0.001 0.001 -0.002 0.000 -0.002 -0.003 -0.002 0.012 -0.001 (<0.0001) (0.0033) (<0.0001) (0.4941) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) ln(pbuah) -0.001 0.000 -0.001 0.000 0.000 -0.001 -0.001 -0.001 0.004 (<0.0001) (0.5224) (<0.0001) (0.0026) (0.0003) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) ln(y riil) -0.042 -0.008 0.012 0.013 0.002 0.020 0.049 -0.047 0.001 (<0.0001) (0.2057) (<0.0001) (<0.0001) (0.0018) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.6459) Dgola 0.033 -0.122 -0.029 -0.017 0.002 0.024 -0.014 0.098 0.024 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0038) (<0.0001) (0.0063) (<0.0001) (<0.0001) Dgolb 0.048 -0.132 -0.046 -0.032 -0.001 0.013 -0.016 0.125 0.042 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.5191) (0.0387) (0.0288) (<0.0001) (<0.0001) D1 0.048 0.080 -0.020 0.027 -0.003 0.011 -0.054 -0.048 -0.042 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0005) (0.0069) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) D2 0.005 -0.044 -0.002 0.004 0.002 0.029 0.017 -0.007 -0.005 (0.2829) (<0.0001) (0.4893) (0.1355) (0.0014) (<0.0001) (<0.0001) (0.1205) (0.0636) t 0.010 0.011 -0.001 0.001 -0.001 -0.012 -0.011 0.003 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (0.395) (0.927) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.101) (0.794)

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah.

Angka dalam kurung merupakan P-value.

Perubahan harga beras sangat berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran kelompok komoditi yang dianalisis. Hal ini berarti bahwa beras secara umum masih merupakan kebutuhan pokok utama. Pengaruh harga komoditi lainnya ada yang berpengaruh nyata dan ada yang tidak. Harga bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap permintaan sendiri maupun pada komoditi lain. Pengaruh harga bertanda positif berarti apabila terjadi kenaikan harga maka akan meningkatkan proporsi pengeluaran komoditi, bila bertanda negatif maka pengaruh kenaikan harga akan menurunkan proporsi pengeluaran komoditi. Hasil

ini sesuai dengan penelitian Siregar (2002) dan Ilham et al. (2006) yang menyatakan bahwa guncangan harga pangan mempengaruhi inflasi sehingga kemudian akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat.

Informasi mengenai struktur pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan seberapa penting pengeluaran komoditi terhadap struktur pengeluaran rumah tangga. Rata-rata total pengeluaran rumah tangga miskin per tahun di daerah potensi sagu lebih tinggi dibandingkan di daerah potensi ubi jalar. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ketersediaan fasilitas dan kemudahan mengakses sumber daya. Hasil yang sama juga didapatkan pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Ariningsih (2004) dan Kahar (2010).

Dummy rumah tangga miskin, menengah, dan atas juga berpengaruh nyata terhadap besaran pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran beras untuk rumah tangga miskin berbeda dengan rumah tangga menengah dan atas. Hal ini sejalan dengan penelitian Sumarwan dan Sukandar (1998) bahwa besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Akan tetapi, beras masih termasuk barang normal untuk semua golongan pengeluaran.

Perbedaan proporsi pengeluaran dan konsumsi beras antara rumah tangga yang tinggal di daerah potensi sagu dengan daerah potensi ubi jalar mengindikasikan bahwa ada perubahan pola pada salah satu daerah tersebut. Pilihan konsumsi pangan pokok masyarakat di daerah potensi sagu semakin terorientasi pada beras dan mulai meninggalkan sagu, tapi tidak di daerah potensi ubi jalar. Hal ini didukung penduga variabel pendapatan yang tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran ubi jalar. Hal ini menunjukkan bahwa ubi jalar sebagai pangan pokok lokal masih belum tergantikan beras, terutama di daerah pegunungan Papua yang merupakan daerah potensi ubi jalar. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil seperti penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok utama. Di Papua masih terdapat daerah yang memanfaatkan kearifan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat utama.

Dummy raskin berpengaruh signifikan pada beberapa pengeluaran komoditi seperti ubi jalar, singkong jagung, daging, ikan, dan buah. Hanya pengeluaran beras, sagu, dan sayur yang tidak signifikan dipengaruhi penerimaan raskin. Hal ini berlawanan dengan dugaan awal penulis dilihat dari konsumsi beras menurut penerimaan raskin pada Tabel 6. Keragaman harga beras yang dibayar penerima raskin tinggi, bahkan jauh dari harga yang ditetapkan di titik distribusi. Biaya yang tinggi dalam mendistribusikan raskin terutama di daerah pegunungan yang sulit dijangkau membuat seolah-olah pengeluaran beras tinggi. Oleh karena itu, perlu dilihat juga kuantitas beras yang dikonsumsi menurut daerah potensi dan perbandingan nilai elastisitas dari masing-masing dummy kategori sehingga tidak menimbulkan penafisran yang salah.

Tahap selanjutnya adalah menghitung elastisitas berdasarkan koefisien yang diperoleh pada Tabel 7 menggunakan rumusan (3.11) - (3.13). Hasil penghitungan elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pengeluaran disajikan pada Tabel 8. Hasil elastisitas permintaan harga sendiri untuk semua komoditi bernilai negatif. Berdasarkan tanda besaran

elastisitas yang berlawanan arah tersebut berarti peningkatan harga barang mengakibatkan penurunan permintaan barang tersebut atau turunnya harga akan meningkatkan permintaan barang.

Selama tahun 2008-2010 hampir semua komoditi merupakan barang inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Papua, komoditi pangan masih merupakan barang kebutuhan. Berdasarkan teorema Engel dan Bennet, dengan memperhatikan perbandingan persentase pengeluaran pangan yang lebih besar dari nonpangan sekaligus persentase pangan pokok yang juga lebih dari pangan lain maka dapat diartikan bahwa lebih banyak masyarakat Papua yang termasuk berpendapatan rendah. Hal ini didukung fakta bahwa Provinsi Papua mempunyai angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Tabel 8. Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga di Provinsi Papua menurut komoditi

Elastisitas

harga

beras ubi

jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

beras -0.90* 0.016 0.095 0.105 -0.123 0.056 0.063 0.037 0.013 ubi jalar 0.014 -0.93* -0.083 -0.134 -0.098 -0.045 0.053 0.037 0.004 sagu 0.002 -0.005 -0.85* -0.035 -0.054 -0.008 -0.009 0.003 -0.009 singkong 0.002 -0.014 -0.030 -0.86* -0.024 -0.010 -0.016 0.008 0.003 jagung 0.000 -0.001 -0.009 -0.005 -0.48* -0.002 -0.002 -0.009 -0.001 daging 0.013 -0.003 -0.033 -0.048 -0.051 -0.92* -0.043 -0.007 -0.011 ikan 0.030 0.000 -0.048 -0.098 -0.070 -0.062 -0.99* -0.026 -0.017 sayur 0.042 0.014 0.086 0.083 -0.026 -0.077 -0.077 -0.90* -0.018 buah 0.013 0.003 -0.044 0.024 -0.047 -0.023 -0.029 -0.012 -0.95* pendapatan -0.784 -0.920 -0.916 -0.968 -0.973 -1.091 -1.052 -0.869 -0.986

Keterangan: *) elastisitas harga sendiri

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah.

Nilai elastisitas harga sendiri kelompok komoditi yang dianalisis kurang dari satu atau bersifat inelastis, yang berarti bahwa persentase perubahan harga lebih tinggi dibandingkan persentase perubahan permintaan. Seberapapun besarnya perubahan harga komoditi, permintaan komoditi yang bersifat inelastis tidak banyak berubah. Hal ini dikarenakan komoditi yang bersifat inelastis tersebut biasanya merupakan bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan. Kebutuhan pokok akan diutamakan untuk dikonsumsi sampai dengan jumlah tertentu.

Nilai elastisitas jika dilihat menurut dummy kategori seperti yang tersaji pada Tabel 9 dapat memberikan informasi apakah ada perbedaan berdasarkan kondisi. Besaran elastisitas harga sendiri untuk masing-masing golongan pengeluaran ada sedikit perbedaan.. Komoditi ikan masih bersifat inelastis bagi rumah tangga golongan miskin, tapi sudah bersifat elastis bagi rumah tangga menengah dan atas. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas harga ikan yang lebih dari 1 pada golongan menengah dan atas. Rumah tangga menengah dan atas lebih responsif terhadap perubahan harga ikan. Mereka lebih mudah mencari alternatif komoditi substitusi lain yang harganya relatif lebih murah apabila terjadi kenaikan harga ikan.

Komoditi selain ikan memiliki kondisi yang tidak berbeda bagi masing- masing golongan pengeluaran. Komoditi beras bersifat inelastis untuk semua golongan pengeluaran, akan tetapi nilai elastisitas golongan menengah dan atas lebih tinggi dibandingkan golongan miskin. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan semakin tinggi golongan, akan merubah pola konsumsi terhadap beras menjadi lebih responsif terhadap perubahan harga seperti yang dikemukakan pada teorema Engel dan Bennet. Dengan nilai yang lebih besar diharapkan mengarah menjadi komoditi yang lebih elastis. Komoditi beras yang semakin elastis berarti masyarakat akan menjadi lebih tahan terhadap guncangan harga beras.

Tabel 9. Elastisitas permintaan harga sendiri menurut kategori di Provinsi Papua menurut komoditi

Elastisitas

dummy golongan dummy potensi dummy raskin

total

miskin menengah atas sagu ubi

jalar tidak terima terima beras -0.87 -0.91 -0.91 -0.91 -0.87 -0.89 -0.91 -0.90 ubi jalar -0.96 -0.83 -0.42 -0.27 -0.97 -0.94 -0.85 -0.93 sagu -0.89 -0.87 -0.52 -0.91 -0.21 -0.81 -0.90 -0.85 singkong -0.89 -0.86 -0.70 -0.84 -0.88 -0.85 -0.88 -0.86 jagung -0.60 -0.36 -0.35 -0.10 -0.71 -0.53 -0.29 -0.48 daging -0.89 -0.92 -0.94 -0.91 -0.92 -0.92 -0.91 -0.92 ikan -0.94 -1.00 -1.01 -1.01 -0.89 -0.99 -1.00 -0.99 sayur -0.89 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 buah -0.93 -0.95 -0.96 -0.95 -0.93 -0.95 -0.94 -0.95

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah.

Berdasarkan jenis potensi, tentu saja elastisitas harga untuk komoditi pangan lokalnya sesuai dengan jenis potensi pangan lokalnya masing-masing. Elastisitas harga sagu lebih tinggi di daerah potensi sagu, begitu juga elastisitas harga ubi jalar lebih tinggi di daerah ubi jalar. Komoditi beras di daerah potensi ubi jalar mempunyai elastisitas harga lebih tinggi dibandingkan di daerah potensi sagu. Komoditi ikan bersifat elastis di daerah potensi sagu tapi masih bersifat inelastis di daerah potensi ubi jalar. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber daya (pangan) di daerah potensi sagu membuat pilihan masyarakat menjadi lebih beragam.

Elastisitas harga semua komoditi berdasarkan status penerimaan raskin tidak berbeda jauh antara yang menerima ataupun yang tidak menerima raskin, walaupun nilai elastisitas yang menerima raskin lebih besar dibandingkan yang tidak menerima.. Adanya kebijakan raskin melalui harga subsidi yang dibayarkan rumah tangga senilai Rp1 600/kg direspon dengan peningkatan permintaan untuk komoditi beras sebesar 0.91% bagi yang menerima, sedangkan bagi yang tidak menerima raskin hanya merespon sebesar 0.89%.

Tren elastisitas harga sendiri periode tahun 2008-2010 yang tersaji pada Lampiran 4 terlihat bahwa hampir semua komoditi pangan pokok yang dianalisis tidak banyak berubah, kecuali komoditi sagu yang cenderung semakin rendah nilainya. Respon perubahan permintaan komoditi sagu terhadap perubahan harganya semakin lama semakin rendah. Elastisitas harga beras dari tahun ke tahun belum berubah, yang bisa diartikan masyarakat masih terorientasi pada

beras, masih nyaman dan belum siap untuk berpindah ke komoditi pangan pokok lokalnya.

Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa nilai elastisitas pendapatan komoditi beras, ubi jalar, dan sayur berada di antara 0 dan 1. Hal ini berarti bahwa ketiga komoditi tersebut masih bersifat barang normal. Komoditi beras, ubi jalar, dan sayur termasuk barang kebutuhan pokok dimana nilai elastisitas pendapatan kurang dari 1 dan merupakan barang inelastis. Komoditi pangan lain secara umum ada yang dianggap sebagai barang mewah/luxury oleh rumah tangga di Papua. Hal ini ditunjukkan dengan nilai elastisitas pendapatan yang lebih dari 1. Komoditi yang dianggap mewah terutama pangan sumber protein hewani, yaitu komoditi daging dan ikan.

Pola elastisitas pendapatan berdasarkan potensi pangan hampir sama dengan pola elastisitas pendapatan total seperti yang tersaji pada Lampiran 4. Jadi, perbedaan potensi pangan tidak menyebabkan perbedaan pola elastisitas pendapatan terhadap permintaan komoditi. Pola elastisitas pendapatan antara daerah potensi sagu dengan potensi ubi jalar tidak berbeda, hanya nilainya saja yang berbeda. Jenis komoditi yang bersifat barang normal maupun barang mewah juga sama. Penambahan pendapatan akan lebih memperbesar konsumsi barang mewah seperti teorema Bennett.

Tren elastisitas pendapatan selama periode 2008-2010 yang tersaji pada Lampiran 4 ada penambahan walaupun tidak banyak, baik di daerah potensi sagu maupun ubi jalar. Komoditi yang penambahannya kontinu antara lain daging dan ikan sebagai makanan sumber protein. Elastisitas pendapatan komoditi singkong dan jagung di tahun 2008-2009 meningkat tapi kemudian turun di tahun 2009-2010. Dari nilai elastisitas pendapatan (pada Tabel 8 dan lampiran) dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan peningkatan alokasi pengeluaran untuk komoditi sumber protein dan sumber karbohidrat utama (beras dan ubi jalar).

Nilai elastisitas harga silang (Tabel 8) ada yang bertanda negatif dan ada yang bertanda positif, yang menyatakan dua bentuk hubungan yang terjadi antara kelompok komoditi, yaitu substitusi (pengganti) dan komplementer (pelengkap). Nilai elastisitas harga silang semuanya kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa satu persen perubahan harga suatu barang diiringi oleh perubahan persentase permintaan barang lain kurang dari satu persen atau besarnya persentase perubahan harga suatu barang diikuti oleh perubahan permintaan barang lain namun tidak sebesar perubahan persentase harganya.

Semua komoditi pangan merupakan barang subtitusi terhadap beras. Kenaikan harga beras akan meningkatkan konsumsi seluruh komoditi lainnya seperti ubi jalar, sagu, daging, ikan, dan sayur. Dalam rangka menurunkan konsumsi beras dan beralih kepada pangan sumber karbohidrat lokal seperti ubi jalar dan sagu sesuai saran WNPG, maka sebaiknya harga beras raskin disesuaikan dengan harga pasar secara bertahap.

Bentuk hubungan komplementer terjadi antara kelompok komoditi sumber protein (daging dan ikan) dengan komoditi pangan pokok lain. Penurunan harga daging dan ikan akan meningkatkan konsumsi komoditi terpilih lain. Hubungan yang berlawanan ini dikarenakan komoditi tersebut saling melengkapi, dan cenderung tidak dapat berdiri sendiri. Komoditi ubi jalar mempunyai 2 hubungan dengan komoditi pangan lain. Ubi jalar

berkomplementer dengan pangan pokok lain dan daging sehingga kenaikan harga ubi jalar akan menurunkan permintaan produk tersebut. Sebaliknya, ubi jalar bersubstitusi dengan komoditi ikan, sayur, dan buah. Apabila terjadi kenaikan harga ubi jalar maka rumah tangga akan mengalihkan konsumsi ke

Dokumen terkait