• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple Food in Papua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple Food in Papua."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA

NUR SAIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

(4)

RINGKASAN

NUR SAIDAH. Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SRI MULATSIH.

Negara Indonesia sebagai negara agraris masih mengimpor kebutuhan pangan, terutama beras. Program swasembada pangan yang lebih menitikberatkan pada beras dan peningkatan produksi dihadapkan pada masalah produktivitas yang mencapai levelling off. Pemerintah sadar akan pentingnya kesimbangan antara produksi dan konsumsi pangan. Akan tetapi, kebijakan penganekaragaman pangan yang sudah dicanangkan lebih dari 45 tahun lalu belum berhasil sesuai dengan harapan. Hal itu terjadi karena ada kebijakan atau program yang justru mengeliminasi tujuan penganekaragaman, seperti pemberian beras untuk pegawai, penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin).

Pemberian raskin, sebagai transfer secara tidak langsung pendapatan pemerintah kepada rumah tangga miskin, merupakan upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. Akan tetapi, dampak lain dari relatif murah dan mudah diperolehnya beras semakin mendorong masyarakat untuk mengonsumsinya. Kompetisi antarmakanan pokok lain akan terpinggirkan jika pemerintah hanya memperhatikan perberasan dan mengabaikan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi seperti yang terjadi di Papua.

Papua sebagai salah satu provinsi dengan permintaan beras yang banyak juga belum menerapkan aturan nyata terkait penganekaragaman. Potensi bahan pangan pokok lokal, seperti ubi jalar dan sagu, belum dimanfaatkan untuk menggantikan dominasi beras. Komoditas pangan pokok lokal utama masyarakat Papua, yaitu ubi jalar dan sagu, semakin tidak digemari seiring meningkatnya pendapatan. Golongan rumah tangga yang lebih sejahtera semakin banyak yang mengonsumsi beras. Data konsumsi pangan yang ada secara riil menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, subsidi pangan sebaiknya disesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya, masyarakat Papua diarahkan untuk kembali mengonsumsi ubi jalar/sagu.

Berdasarkan hal itu, penelitian ini mengkaji perlu tidaknya kebijakan raskin dilanjutkan, dicabut, atau diganti kebijakan bahan pangan pokok lokal dengan pertimbangan swasembada dan batas kebutuhan kalori pangan pokok anjuran Widya karya nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Cakupan penelitian ini fokus pada Papua sehingga data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Sumber data lain berasal dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).

(5)

memengaruhi inflasi sehingga akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Pengaruh nilai pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap komoditas hampir semuanya nyata, kecuali untuk komoditas ubi jalar dan buah. Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditas pangan sebagian besar bertanda positif. Hal itu berarti adanya tambahan secara signifikan proporsi pendapatan rumah tangga akan diikuti peningkatan permintaan pada kelompok komoditas pangan tersebut.

Berdasarkan penelitian dari ketiga alternatif, simulasi yang memberikan dampak sesuai dengan tujuan penganekaragaman pangan serta mempertahankan batas anjuran kebutuhan energi adalah simulasi 3. Simulasi 3 mengakomodasi penurunan beras dan meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Beras diganti dengan paket ubi jalar/sagu sesuai dengan potensi pangan pokok lokal. Pengaruh kenaikan harga beras diimbangi dengan penurunan harga pangan lokal (ubi jalar atau sagu). Dampak simulasi 3 menghasilkan penurunan konsumsi beras sebesar 21,47%, tetapi tergantikan dengan kenaikan konsumsi ubi jalar dan sagu (yaitu 23,19% dan 25,01%).

Oleh karena itu, program raskin sebaiknya segera diganti dengan program subsidi pangan lain yang berbasis pada bahan pangan pokok lokal. Untuk wilayah Papua, daerah dengan bahan pokok lokal sagu dapat mengganti konsumsi beras dengan sagu. Daerah dengan bahan pokok lokal ubi jalar dapat mengganti konsumsi beras dengan ubi jalar. Teknis penggantian dapat diusulkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukar dengan sejumlah kuantitas pangan pokok lokal dengan harga subsidi. Hal itu sesuai dengan upaya penggalakan kembali program penganekaragaman pangan untuk mendukung swasembada beras yang dikuatkan dengan Perpres No. 22 Tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Perhatian utama dimulai dengan penganekaragaman pangan pokok (yang bertujuan menurunkan konsumsi beras agar beralih ke bahan pangan pokok lokal).

(6)

SUMMARY

NUR SAIDAH. Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple Food in Papua. Supervised by SRI HARTOYO and SRI MULATSIH.

Indonesia as an agricultural country, in fact, still needs to import food, especially rice. Food self-sufficiency program, which focus on increasing production of rice, is now reached leveling off stage. When realized the importance of production and consumption balance, the government issued food-diversification policy over 45 years ago. However, it is not successful as expected. For some reasons, several government policies or programs were not actually supporting diversification policy, such as rice for government employees, ceiling price, and rice for the poor (raskin) policy.

Raskin policy, a transfer of government revenue indirectly to poor households, is a good effort to overcome social problem due to increase of oil price. Yet, this program is getting people to consume more rice. Competition among staple-foods will be unbalance if the government sees rice as national food and forgets the potential local staple food.

Papua, as province with big demand of rice, have not implement real policy in food diversification. Local staple foods potencies, such as sweet potatoes and sago, are getting less consumed by the local people to replace rice. They consume more rice as they become more prosper. The main staple food commodities locally Papuan people are sweet potatoes and sago growing that the higher the class the higher the consumption of rice is due to the superiority of local staple food. Food consumption data in real terms demonstrate the ability of households in food access and describe the level of household in food sufficiency. The increasing rate of food consumption also implicitly reflects the level of income or purchasing power in food. Therefore, food diversification policy should be adjusted to local wisdom. Then, Papuan should be directed to consume sweet potato and sago.

This study examines whether the food for the poor program should be continued, removed, or replaced with local staple food according to standard calorie need. The research focus on Papua region and use data from the National Socio-Economic Survey (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Other data sources derived from the Food Security Agency (BKP) Ministry of Agriculture and the Central Statistics Agency (BPS).

(7)

According to research of three alternative, simulations which give effect to the purpose of diversification of food and energy needs in maintaining the recommended limit is 3rd simulation. It suggests to replaced raskin policy to accommodate the decline rice consumption and increase the local staple food. Rice replaced by sweet potato or sago adjusted as potential local staple food. The increase of rice price can be substitute by the decrease of local food price (sweet potato or sago). The impact of simulation 3 is the reduce of rice consumption by 21.47%, but replaced with the increase of sweet potatoes or sago consumption (by 23.19% and 25.01%).

Therefore, the raskin policy should be immediately replaced with other staple food policy based on local staple foods. For Papua region, sago-based district can change rice with sago. Sweet potato-based district can change rice with sweet potato. The implementation in changing rice to local staple food can be done by giving coupons that can only be trade with local staple food, not rice, with subsidized price. This is suitable according to the government policy in Presidential Regulation No. 22 in 2009 and Agriculture Minister Regulation No. 43 in 2009. The main concern of those two regulations is the staple food diversification policy (in reducing rice consumption and increasing local staple food consumption).

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua

Nama : Nur Saidah NIM : H151114024

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS Ketua

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Januari 2014

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pendidikan, dengan judul Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Sri Mulasih, MscAgr selaku anggota komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MSc dan Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Terima kasih disampaikan kepada Ida Fariana yang telah membantu pengumpulan data, juga kepada Diana Bhakti dan Leisa Triana yang telah mentransfer pemahaman terkait LA-AIDS..

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Tak lupa ucapan terima kasih untuk teman-teman BPS IPB batch 4 atas segala bantuannya selama di IPB.

Ungkapan terima kasih terdalam untuk suami dan anak-anak tercinta, atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang diberikan.Kepada mamak dan saudaraku yang senantiasa mendoakan penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa mendatang.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Tinjauan Teori 7

Ketahanan dan Swasembada Pangan 7

Kebijakan Raskin 8

Pola Konsumsi Rumah Tangga 10

Fungsi Permintaan 11

Efek Substitusi dan Efek Pendapatan 14

Tinjauan Empiris 15

Kerangka Pemikiran 16

Hipotesis Penelitian 17

3 METODE PENELITIAN 18

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Analisis 19

Analisis Deskriptif 19

Analisis Model LA-AIDS 19

Spesifikasi Model 21

4 KONSUMSI PANGAN PAPUA 25

Keragaan Konsumsi Pangan Pokok Papua 25

Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua 28 Dampak Kebijakan Raskin terhadap Konsumsi Pangan Pokok 34

5 SIMPULAN DAN SARAN 36

Simpulan 36

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 39

(16)

DAFTAR TABEL

1 Persentase rumah tangga menurut komoditi pangan sumber

karbohidrat yang dikonsumsi 1

2 Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta

volume impor beras tahun 2006 - 2010 2

3 Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012 5 4 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua

tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 26

5 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan

pokok di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 27

6 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010

(kg/kap/bulan) 28

7 Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua 29 8 Elastisitas permintaan harga sendiri, harga silang, dan pendapatan

rumah tangga di Provinsi Papua menurut komoditi 31 9 Elastisitas Permintaan harga sendiri berdasarkan dummy kategori di

Provinsi Papua 32

10Persentase Perubahan Permintaan/Konsumsi Menurut Komoditi

Berdasarkan Alternatif Simulasi di Provinsi Papua (%) 35

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010 2 2 Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih

serealia per daerah 3

3 Alur distribusi pembagian raskin 10

4 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras 14

5 Kerangka pemikiran 17

6 Pola konsumsi beras-ubi jalar dan konsumsi beras-sagu rata-rata perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun

2008 - 2010 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar kabupaten/kota di Papua berdasarkan potensi 39 2 Hasil Output SAS dengan metode Pooled Least Square 40

3 Hasil Output SAS dengan metode SUR 49

4 Elastisitas Harga Sendiri, Harga Silang, dan Pendapatan

(17)

Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras dikonsumsi oleh hampir 97% rumah tangga di Indonesia pada tahun 2010 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Komoditi sumber karbohidrat lain hanya dikonsumsi sebagian kecil rumah tangga, singkong dikonsumsi 35% dan trennya semakin menurun. Selain itu, dari penduduk yang bekerja di sektor pertanian hampir separuhnya merupakan petani padi. Hal ini menjadikan beras sebagai komoditas ekonomi strategis sekaligus komoditas politik karena dapat mempengaruhi kerawanan pangan dan keamanan nasional.

Tabel 1. Persentase rumah tangga menurut beberapa komoditi pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi

Komoditas Pangan 2008 2009 2010

Beras 96.56 96.52 96.80

Jagung Pipilan 9.21 8.40 7.76

Singkong 35.20 30.53 28.50

Ubi Jalar 10.04 8.94 9.00

Sagu 7.43 6.90 7.02

Kentang 6.70 6.35 6.25

Talas/Keladi 6.96 7.30 5.68

Sumber: BPS (2008 - 2010)

Ketergantungan penduduk terhadap beras yang tinggi menyebabkan pemerintah sangat memperhatikan tingkat ketersediaan dalam jumlah yang cukup sampai level wilayah terkecil. Dalam UU No.7 Tahun 1996 yang diperbarui dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu maupun rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah menyusun kebijakan dan regulasi dalam rangka mencapai kemandirian dan ketahanan pangan, dengan menempuh dua strategi melalui peningkatan produksi dan penurunan konsumsi pangan, terutama beras. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional khususnya beras terus mengalami peningkatan dikarenakan adanya pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi beras perkapita yang tinggi tiap tahun.

(18)

Penyediaan air untuk irigasi makin sulit dipenuhi dikarenakan kerusakan infrastruktur pengairan, degradasi sistem irigasi, kerusakan hutan, dan persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor lain. Data dari Kementrian Pekerjaan Umum (2011) menunjukkan bahwa sejumlah 52% prasarana irigasi dalam kondisi rusak dengan rincian 10% rusak berat sedangkan sisanya sebesar 42% dalam kondisi rusak sedang dan ringan.

Sumber: BPS (2011)

Gambar 1. Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010

Strategi penurunan konsumsi beras melalui penganekaragaman konsumsi pangan sangat diperlukan. Penganekaragaman sangat diperlukan karena produktivitas mengalami levelling off dan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia sudah melampaui standar kecukupan konsumsi anjuran pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) sebebsar 1 100 kkal. Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari untuk padi-padian sudah mencapai 1 232 kkal atau 112% dari anjuran. Hasil estimasi BPS (2011) memperkirakan bahwa konsumsi beras mencapai 139.15 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi beras Indonesia jauh melebihi negara tetangga seperti Thailand yang 79 kg/kapita/tahun dan Malaysia yang hanya 63 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras selalu setinggi ini padahal sumber daya produksi mempunyai keterbatasan, Indonesia akan semakin tergantung dengan pasokan dari luar negeri. Impor beras pernah turun di tahun 2008 dan 2009, tapi kemudian meningkat lagi seperti tersaji pada Tabel 2 yaitu di tahun 2010 menjadi 688 ribu ton.

Tabel 2. Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta volume impor beras tahun 2006 – 2010

Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(19)

Ketergantungan beras impor perlu dikurangi dan segera beralih kepada produk pangan lokal yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Komoditi pangan lokal seperti singkong, ubi jalar, sagu, jagung, dan talas dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. Indonesia mengalami impor komoditas pangan tertinggi pada saat krisis pangan tahun 2007. Tingginya impor produk pangan menyebabkan neraca perdagangan pertanian subsektor tanaman pangan masih negatif.

Beberapa provinsi seperti Provinsi Papua, Papua Barat, Riau, Kepulauan Riau, Maluku, dan Bangka Belitung termasuk wilayah dengan defisit serealia tinggi (Gambar 2) sehingga membutuhkan pasokan dari daerah lain. Provinsi dengan defisit serealia mempunyai peran dalam impor beras. Oleh karena itu, utamanya di provinsi tersebut perlu dicarikan sumber pangan alternatif pengganti beras. Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi beras di Papua dipasok dari luar daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009 kapasitas produksi beras di Papua hanya mencapai 49 ribu ton padahal kebutuhannya sebesar 312 ribu ton. Hal tersebut menyebabkan Papua mendatangkan beras lebih dari 5 kali kapasitas produksinya, yaitu mencapai 263 ribu ton beras (BPS Papua 2009).

Dependensi Papua terhadap beras pasokan dari luar daerah menyebabkan Papua sangat rentan terhadap guncangan terutama dari sisi ketersediaan dan kelancaran distribusi. Penerapan kebijakan perberasan yang dominan pada masa Orde Baru menyebabkan perubahan sosial budaya, masyarakat yang mengkonsumsi bahan pokok lain kini merata mengkonsumsi beras (beras oriented). Di Provinsi Papua yang sumber pangan pokok lokal sebelumnya adalah ubi jalar dan sagu, kini pangan pokok lokal tersebut semakin terpinggirkan.

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2009)

(20)

Kondisi Provinsi Papua ditinjau dari sisi agroekologi kurang produktif untuk ditanami padi. Hanya beberapa kabupaten yang mampu memproduksi padi seperti Merauke, Jayapura, dan Waropen, namun, produktivitasnya masih di bawah produktivitas nasional. Pada tahun 2009, produktivitas padi di Papua hanya 39.43 Ku/Ha jauh di bawah produktivitas nasional yang hampir mencapai 50 Ku/Ha. Papua lebih berpotensi sebagai daerah penghasil sagu atau ubi jalar. Dari dua juta hektar kebun sagu dunia, satu juta ada di Indonesia dimana sekitar 900 ribu hektar terdapat di Papua. Selain itu, ditinjau dari kondisi sosiologi masyarakat Papua yang tidak terbiasa bertanam padi cukup mempersulit dalam peningkatan produktivitasnya.

Beberapa hal tersebut menjadi landasan pemerintah untuk semakin menggalakkan program diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan merupakan program prioritas untuk mendukung swasembada beras dengan dasar Perpres No. 22 tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Kegiatan utama program diimplementasikan melalui gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Program tersebut sudah mulai mengedepankan kearifan potensi pangan lokal sebagai wujud program diversifikasi pangan sekaligus mencapai pola pangan harapan (PPH) yang seimbang.

Perumusan Masalah

Program diversifikasi pangan yang sebenarnya sudah dimulai lebih dari 45 tahun yang lalu dirasakan belum berhasil sesuai harapan (Mardianto et al. 2005). Hal tersebut dikarenakan ada beberapa kebijakan maupun program yang justru mengeliminasi tujuan diversifikasi seperti pemberian beras untuk pegawai, penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). Kebijakan pemerintah yang inkonsisten perlu dievaluasi ulang yang menjadi prioritas sesuai tujuan pembangunan.

Pemberian raskin mulai 2002 yang merupakan pengembangan dari Operasi Pasar Khusus (OPK) beras secara langsung kepada penerima merupakan upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. raskin dapat dipandang sebagai transfer pendapatan pemerintah secara tidak langsung terhadap rumah tangga miskin. Akan tetapi, dampak lain dari kebijakan tersebut menyebabkan beras relatif murah dan mudah diperoleh sehinggga semakin mendorong masyarakat untuk mengkonsumsinya. Kompetisi antar makanan pokok lain akan terpinggirkan apabila pemerintah terlalu memperhatikan kondisi perberasan dan mengindahkan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi.

(21)

Pangan lokal belum dimanfaatkan secara optimal dibuktikan pada penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 mayoritas masyarakat, di kota atau desa, kaya maupun miskin memiliki satu pangan pokok yaitu beras. Konsumsi pangan masyarakat belum beragam dan seimbang sehingga keanekaraagaman konsumsi dan gizi yang sesuai dengan kaidah nutrisi seimbang belum terwujud. Ariani dan Ashari (2003) menyebutkan bahwa persentase yang mengkonsumsi beras di Maluku dan Papua meskipun masih 80%, tapi trennya meningkat.

Tabel 3. Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012

(22)

Data Survei Sosial ekonomi Nasional (Susenas) 2008 menunjukkan bahwa skor keragaman konsumsi pangan yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai 81.9 masih di bawah target WNPG 2004 yaitu sebesar 89.8. Dari Tabel 3 terlihat bahwa secara umum skor PPH 2012 menurun dibandingkan tahun 2008, dan penurunan yang signifikan adalah Papua bahkan menjadi provinsi peringkat terakhir. Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa rumah tangga dengan kemandirian pangan tinggi mempunya skor PPH yang lebih baik dibandingkan lainnnya. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan dasar ketahanan dan kemandirian pangan daerah.

Di era otonomi daerah dimana seharusnya daerah bisa mandiri dan mengembangkan kearifan lokal, Papua sampai sekarang dirasa masih terlalu menginduk pada kebijakan pemerintah pusat. Strategi dan peraturan Pemerintah Papua belum diarahkan untuk mengembangkan kerangka P2KP di Papua. Penerapan peraturan aturan atau kebijakan penganekaragaman seperti yang dilakukan Kota Depok (sehari tanpa nasi) dan NTB (kudapan lokal saat rapat pemerintah daerah) belum dilakukan. Pengembangan produk pangan lokal seperti industri pangan berbasis sagu dan ubi jalar juga belum ada, padahal daerah lain ada yang sudah mengembangkan beras analog, mi sagu, dan produk olahan lainnya.

Dengan pertimbangan kondisi dan peluang potensi pengembangan keanekaragaman konsumsi pangan lokal di Papua, maka pola konsumsi berbasis pangan pokok lokal perlu dirubah setahap demi setahap dengan mempertimbangkan ketersediaan pangan, pengetahuan, dan daya beli masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) bahwa program peningkatan ketahanan pangan mencakup peningkatan keanekaragaman pada subsistem produksi juga subsistem konsumsi pangan sampai pada tingkat rumah tangga (Suryana et al. 2001).

Pengembangan kerangka P2KP di Papua salah satunya dapat dilakukan dengan mengintervensi program raskin. Program raskin di Papua sebaiknya dicarikan alternatif pengganti sesuai denga kondisi kewilayahan dan potensi pangan lokalnya. Penggantian program raskin menjadi pangan lokalnya diharapkan dapat mendorong kemandirian pangan dan mengurangi konsumsi beras di Papua. Selain itu, ke depannya dapat meminimalkan sumbangan Papua terhadap impor beras dan diharapkan dapat mengekspor produk pangan lokalnya.

Pola konsumsi pangan dapat berlainan antar suku bangsa, antar daerah, dan antar golongan pendapatan. Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998) besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Kahar (2010) menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat di desa dan di kota berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah.

(23)

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua, apakah sudah menggambarkan kondisi keanekaragaman pangan berbasis kearifan pangan pokok lokal atau belum?

2. Bagaimana cara untuk mempengaruhi pola konsumsi pangan pokok agar kembali pada komoditi kearifan pangan pokok lokal di Papua?

3. Bagaimana dampak kebijakan pemberian raskin terhadap perubahan pola konsumsi pangan pokok lokal di Provinsi Papua?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kondisi pola konsumsi pangan pokok di Provinsi Papua. 2. Menganalisis faktor yang berpengaruh pada pola konsumsi pangan pokokdi

Provinsi Papua.

3. Menganalisis dampak kebijakan pemberian raskin terhadap pola konsumsi pangan pokok di Provinsi Papua.

Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan pemerintah dalam membantu perencanaan dan evaluasi penyediaan pangan bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi suatu daerah terutama di Provinsi Papua. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai alternatif upaya percepatan program diversifikasi berbasis pangan pokok lokal dan memberikan usulan alternatif kebijakan pengganti raskin.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Ketahanan dan Swasembada Pangan

Konsep ketahanan pangan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yaitu akses setiap rumah tangga dan individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang fokus pada beras, pemerintah melakukan program swasembada beras. Kebijakan swasembada beras yang diterapkan di Indonesia diwujudkan melalui sisi produksi maupun konsumsi. Beberapa kebijakan/program yang dilakukan meliputi banyak kegiatan, di antaranya:

(24)

yang kedua dengan mensubsidi input yang paling penting (critical) untuk produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi jenis kedua ini maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free market) dan dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke petani langsung.

2. Kebijakan stabilisasi harga beras melalui penentuan Harga Atap (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price). Kebijakan stabilisasi harga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan sepanjang biaya penyimpanan untuk buffer stock tidak lebih besar dari pada dead weight loss yang timbul. Stabilisasi harga dapat juga dilakukan dengan buka tutup keran impor jika pemerintah tidak melakukan pembelian untuk mengisi stok tapi hal ini akan mengurangi kesejahteraan petani.

Pelaksanaan stabilisasi harga beras utamanya dilakukan melalui operasi pasar. Pada awalnya, sasaran operasi ditujukan untuk semua lapisan masyarakat kemudian berubah mulai tahun 1998 dengan sasaran daerah tertentu dalam bentuk Operasi Pasar Murni (OPM). Sasaran dievaluasi kembali menjadi masyarakat miskin dalam Operasi Pasar Khusus (OPK) mulai Juli 1998 yang menjadi cikal bakal program raskin. Simatupang dan Timmer (2008) menjelaskan bahwa stabilisasi harga beras maupun subsidi input relatif tidak efektif.

Kajian mengenai kebijakan swasembada pertanian di Indonesia sebagian besar menggunakan pendekatan ekonomi yang mengabaikan kompetisi di antara berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi kebijakan tersebut. Barrett (1999) menegaskan bahwa adanya gap yang besar pada penggunaan pendekatan analisis kebijakan pertanian menyebabkan tidak terungkapnya upaya politik (political strugle) dari berbagai kelompok kepentingan dalam memperebutkan manfaat kebijakan bagi masing-masing kelompok, dan penekanan dari aspek politik gagal menjelaskan proses ekonomi (economic genesis) dari konvergensi yang terjadi.

Kerangka ketahanan dilanjutkan untuk mencapai kemandirian bahkan kedaulatan pangan. Kemandirian pangan merupakan ketahanan pangan yang dicapai melalui pengoptimalisasian sumber daya domestik. Karakteristik lokal daerah seperti potensi sumber daya alam dan keberagaman sumber daya pangan perlu menjadi basis pertimbangan dalam menentukan kebijakan pangan.

Beberapa kajian penelitian sudah membahas masalah ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi Indonesia. Pemerintah sudah mencermati kondisi ini sehingga kemudian digalakkan kembali program diversifikasi pangan. Pemerintah mengusahakan untuk dapat merubah kebiasaan konsumsi ‘beras’ oriented, agar kembali menyukai produk pangan lokal.

Kebijakan Raskin

(25)

Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2001, kebijakan intervensi pangan murah yang disebut raskin bertujuan memberikan jaminan bagi ketersediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok rumah tangga sasaran (RTS) dan daerah rawan pangan. Kerangka manfaat raskin dapat memberikan dampak ganda terhadap pengurangan kemiskinan (Siregar dan Anggraini 2010). Dampak ganda yang dimaksud adalah dalam hal pengadaan (oleh petani) dan pemberian raskin (bagi RTS). Petani memperoleh jaminan pembelian dan harga sehingga ada perbaikan kesejahteraan petani terutama petani gurem dan penurunan kemiskinan di pedesaaan. RTS penerima berarti mendapatkan transfer pendapatan dan kenaikan produktivitas (karena ada perbaikan gizi). Tujuan mempertahankan ketahanan pangan RTS dan stabilisasi harga dapat tercapai.

Keberhasilan program raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Evaluasi raskin sudah banyak dilakukan, baik oleh perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Hastuti et al. (2012) memperlihatkan bahwa ke-6 indikator ketepatan belum sepenuhnya tercapai. Program raskin masih perlu perbaikan agar semakin efektif dalam mencapai tujuan.

Ketepatan harga dan waktu menjadi masalah terutama di daerah yang sulit dijangkau seperti Papua. Alur distribusi pemberian raskin yang seharusnya pada titik distribusi setingkat kelurahan tidak bisa dilakukan seperti pada Gambar 3. Letak yang jauh dan medan yang sulit dijangkau menjadikan beberapa daerah memperoleh raskin tidak setiap bulan, tapi harus dirapel untuk beberapa bulan.

(26)

Sumber: Badan Urusan Logistig (Bulog)

Gambar 3. Alur distribusi pembagian raskin

Pola Konsumsi Rumah Tangga

Pola konsumsi merupakan suatu cara mengkombinasikan komoditas unsur konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan. Permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.

Ketua Tim raskin Nasional: Kementrian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat

Gubernur

Kelompok Masyarakat

Rumah Tangga Sasaran Penerima raskin Gudang :

Satgas raskin

Titik Distribusi: Pelaksana Distribusi

Warung Desa Perum Bulog (Divisi/Sub Divisi Regional.

Bupati/Walikota

Kelompok Kerja

Pagu Provinsi

(27)

Satu cara untuk mengkaji pola konsumi rumah tangga adalah dengan menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal.

Pengeluaran pangan negara berkembang lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2010).

Perilaku dan karakteristik konsumen dapat digunakan untuk melihat pola konsumsi. Kahar (2010) mengemukakan bahwa penduduk pedesaan masih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan sedangkan penduduk perkotaan sudah mulai beralih kebutuhan non makanan. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi konsumsi komoditas protein hewani (daging, ikan, telur, dan susu) di daerah perkotaan. Jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi besaran konsumsi makanan pokok.

Konsumsi pangan pada rumah tangga dapat dinilai melalui kualitas dan kuantitas pangan. Dalam penelitian ini, konsumsi pangan dilihat dari kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dari sisi kualitas dinilai dari keragaman komposisi jenis pangan dan kecukupan gizi yang terkandung di dalamnya. Kualitas pangan diukur dari pemenuhan kalori yang terkandung dalam bahan makanan yang dikonsumsi dibandingkan dengan batas anjuran WNPG untuk pangan sumber karbohidrat sebesar 1 100 kalori.

Fungsi Permintaan

Teori permintaan menjelaskan sifat pemintaan konsumen terhadap suatu komoditas dan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga. Permintaan suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, pendapatan, selera, jumlah penduduk, dan ekspektasi keadaan di masa mendatang.

Konsumen diasumsikan mempunyai sifat rasional yaitu bertujuan memaksimumkan utilitasnya berdasarkan batasan jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang dimiliki. Konsumen akan memilih berbagai kombinasi sejumlah n barang dengan kendala anggaran. Fungsi permintaan konsumen yang disesuaikan dengan kendala anggaran dituliskan secara matematis dengan:

= ( …. ) + ( − ∑ ) (2.1)

dimana y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. λ adalah marjinal

utilitas dari pendapatan

(28)

permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang diperoleh dari minimisasi pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan).

Kesimpulan penting dari fungsi permintaan Marshallian adalah permintaan terhadap komoditas apapun merupakan fungsi single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah (Henderson dan Quandt 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi utilitas yang ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (RCS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditi.

Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan harus memenuhi kondisi (Henderson dan Quandt 1980):

1. Homogenitas.

Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan pendapatan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut:

+ ∑ + = 0 (2.2)

dimana εii adalah elastisitas harga sendiri, εij adalah elastisitasharga silang dan

adalah elastisitas pendapatan. 2. Agregasi Cournot.

Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut, sebagai berikut :

∑ α ε = − α = 1, ……, n (2.3) dimana α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Untuk fungsi permintaan terkompensasi (Hicksian Demand Function) maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :

∑ α ξ = 0 = 1, ……, n (2.4) dimana ξ adalah elatisitas harga silang terkompensasi.

3. Aggregasi Engel.

Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu. Dinotasikan dengan rumus :

∑ α = 1 (2.5)

dimana η adalah elastisitas pendapatan 4. Negativitas dan Slutsky Condition.

(29)

pengaruh pendapatan (income effect). Slutsky-schultz condition adalah bahwa nilai elastisitas harga sendiri dari uncompensated demand akan sama nilainya dengan elastisitas harga sendiri dari compensated demand dikurangi dengan elastisitas pendapatan yang sudah dikali dengan proporsi pengeluaran komoditas ke-i. Persamaan Slutsky dirumuskan sebagai berikut:

ε = ∑ ξ − α (2.6)

dimana εii adalah elastisitas harga sendiri uncompensated, ξ adalah elatisitas

harga sendiri compensated, dan adalah elastisitas pendapatan.

Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutky menyatakan bahwa apabila pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas j terhadap permintaan komoditas i sama dengan pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas i terhadap permintaan komoditas j. Efek substitusi dari komoditas i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi simetri dapat ditulis sebagai berikut :

α (ε + α ) = α (ε + α ) (2.7) Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain. Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan 1% variabel yang memengaruhinya, sementara kondisi lainnya diasumsikan tidak berubah. Jika dilihat dari penyebab perubahan permintaan, elastisitas dikelompokkan menjadi elastisitas harga (sendiri), elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

Elastisitas harga, merupakan persentase kenaikan/penurunan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hokum permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan kenaikan jumlah barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga mempunyai tanda negatif. Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi: |ε| < 1 (barang

inelastic), |ε| = 1, (barang tersebut termasuk barang yang memiliki elastisitas unit), dan |ε| > 1 (barang elastis).

Elastisitas silang menunjukkan perubahan jumlah barang yang diminta (dalam %) disebabkan oleh perubahan harga barang lain (dalam %). Nilai elastisitas silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, apakah barang pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti (substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada kedua barang tersebut (netral) jika nilai elastisitas silangnya = 0.

Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai

(30)

Efek Substitusi dan Efek Pendapatan

Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Maksimisasi utilitas dengan asumsi barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitusi (dimana utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen) dan efek pendapatan (dimana utilitas konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi) menyebabkan jumlah barang yang dibeli akan lebih banyak (Nicholson 2005). Penurunan harga juga secara relatif meningkatkan pendapatan sehingga ada peningkatan daya beli.

Pada Gambar 4 diperlihatkan pergeseran utilitas dikarenakan penurunan harga beras. Efek substitusi (X1→C) dalam penelitian ini adalah

perubahan/penggantian jumlah konsumsi komoditi beras terhadap pangan pokok lokal (dalam hal ini contohnya dengan sagu) dikarenakan adanya perubahan harga beras. Efek pendapatan (C→X2) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi

kedua jenis komoditas makanan pokok yaitu beras dan sagu/ubi jalar akibat adanya perubahan pendapatan, dengan harga barang diasumsikan tetap. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena terjadi perubahan harga.

Efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan tipe/jenis barang. Efek pendapatan mampu menjelaskan apakah suatu barang merupakan barang normal, inferior, atau giffen. Barang normal mempunyai efek pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Apabila efek pendapatan negatif dan lebih besar daripada nilai absolut, maka menimbulkan efek substitusi yang negatif pula sehingga barang ini disebut barang giffen.

Sumber: Nicholson (2006)

Gambar 4. Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras

Dua barang dikatakan bersubstitusi jika harga salah satunya meningkat sehingga permintaan menurun, akan tetapi kuantitas permintaan barang lainnya akan meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang

(31)

sama dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan kedua barang akan sama-sama menurun (asumsi ceteris paribus).

Tinjauan Empiris

Deaton dan Muellbauer (1980) menggunakan model LA-AIDS untuk mengestimasi delapan kelompok komoditas yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di Inggris menggunakan data tahun 1954 - 1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditas makanan dan perumahan.

Ingco (1991) meneliti model sistem permintaan pangan di Filipina menggunakan data time series tahun 1965 - 1988. Komoditas pangan yang diteliti adalah beras, jagung, gandum, daging, ikan, buah dan sayuran. Hasil penenlitian mengemukakan bahwa perubahan harga beras sangat berimplikasi terhadap permintaan barang lain. Permintaan gandum, daging, buah dan sayuran lebih responsif pada perubahan harga sendiri dibandingkan makanan pokok (beras dan jagung). Beras, jagung, dan gandum adalah barang substitusi. Beras, ikan, buah dan sayuran adalah barang komplemen. Gandum walaupun barang substitusi bagi beras, jagung, ikan, buah dan sayuran akan tetapi merupakan barang komplemen bagi daging.

Penelitian Wen et al. (2003) mengenai struktur permintaan pangan di Jepang menunjukkan bahwa pola konsumsi penduduk Jepang mulai berubah, mengurangi konsumsi beras dan mulai lebih meningkatkan konsumsi daging. Penggunaan data survei rumah tangga tahun 1997 memungkinkan memodelkan permintaan pangan dengan kombinasi variabel demografi. Data time series juga digunakan untuk memprediksi pola permintaan jangka pendek dan jangka panjang. Tiga model digunakan untuk menghitung elastisitas antara komoditi beras, roti, mi, daging, ikan, susu, telur, buah dan minyak. Pembandingan Model Working-Leser, Penduga 2 tahap Tobit dan Heckman, dan AIDS kemudian diprediksikan kebutuhan sebagai dasar batasan impor produk pangan.

Taljaard et al. (2004) meneliti permintaan kelompok komoditas daging di Afrika Selatan menggunakan model LA-AIDS dari tahun 1970 sampai dengan 2000. Kelompok komoditas daging dirinci menjadi empat jenis yaitu daging sapi, daging babi, daging ayam, dan daging kambing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging sapi dan kambing merupakan barang mewah, daging babi masih barang normal, sedangkan daging ayam juga masih barang normal walaupun lebih inelastis dibandingkan daging babi.

(32)

Penelitian mengenai pola konsumsi dan fungsi permintan telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik itu dalam lingkup lokal maupun internasional. Banyak peneliti memfokuskan penelitian pada analisis permintaan pangan termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut lebih banyak menggambarkan kondisi umum, padahal kondisi dan karakteristik kedaerahan yang menunjukkan kearifan lokal belum banyak dilakukan. Penelitian yang menjadi rujukan pola konsumsi rumah tangga dengan menggunakan pendekatan LA-AIDS adalah seperti penelitian yang dilakukan di Filipina dan Jepang. Peneliti memodifikasi dengan memasukkan karakteristik dummy kedaerahan (kearifan lokal) untuk Provinsi Papua.

Kerangka Pemikiran

Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Pemenuhan kebutuhan ini dibatasi oleh tingkat pendapatan. Rumah tangga dengan pendapatan rendah cenderung mengalokasikan pengeluarannya pada komoditi pangan lebih besar dibandingkan dengan komoditi non pangan. Hal ini sesuai dengan teorema Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran pangan rumah tangga akan mengecil.

Tujuan pemaksimuman utilitas harus memperhatikan kendala pendapatan, sehingga masalahnya adalah bagaimana memaksimumkan utilitas yang diderivasi dari konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga dengan kendala pendapatan tertentu. Di samping itu, perilaku permintaan konsumsi rumah tangga diharapkan tidak hanya merefleksikan pendapatan dan biaya tetapi termasuk karakteristik demografi dan sosial tempat rumah tangga berada karena hal-hal ini dapat memengaruhi fungsi utilitas rumah tangga tersebut.

Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi pangan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain, misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumah tangga memilih mengkonsumsi jenis komoditi yang dianggap lebih baik dibandingkan kebutuhan untuk membeli pangan pokok. Komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas.

(33)

Keterangan: tidak dianalisis

Gambar 5. Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kurva permintaan Marshalian, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Semakin tinggi golongan pengeluaran rumah tangga akan memperkecil proporsi pengeluaran pangan pokok.

2. Klasifikasi potensi pangan lokal mempengaruhi perbedaan pola konsumsi pangan di masing-masing daerah.

3. Pemberian raskin kepada rumah tangga justru meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal menjadi semakin beras ‘oriented’.

Produksi Beras Papua (tidak mencukupi dan Produktifitas leveling off, bahkan di bawah

(34)

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang bersumber dari Susenas 2008 – 2010 periode Maret. Data yang digunakan adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga beserta karakteristiknya, dengan cakupan Provinsi Papua. Jumlah sampel rumah tangga di Provinsi Papua dari tahun 2008 - 2010 berturut-turut adalah 1 000, 982, dan 1 032 rumah tangga. Jadi, secara keseluruhan jumlah rumah tangga yang diolah sejumlah 3 014 rumah tangga.

Data sekunder yang dijadikan bahan acuan untuk memperdalam analisis adalah data dari BPS, Kementrian Pertanian, dan penelitian yang terkait. Data dari BPS yang digunakan antara lain produksi dan konsumsi beras, dan luas lahan pertanian. Selain data, informasi terkait program ketahanan pangan pokok (beras) di Indonesia dan program diversifikasi pangan dari BKP, Kementan dijadikan rujukan dalam melakukan analisis secara deskriptif.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain variabel harga, pangsa pengeluaran per komoditi terpilih, dan pendapatan (yang didekati oleh pengeluaran). Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Asumsi rutinitas. Data konsumsi Susenas mencatat transaksi pengeluaran rumah tangga dalam kurun waktu seminggu yang lalu (untuk makanan) dan sebulan terakhir (untuk non makanan). Situasi ekonomi pada saat pengumpulan data seperti gejolak harga, inflasi, musim panen, musim kemarau, sebenarnya mempengaruhi asumsi rutinitas konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, hal ini secara teori dimungkinkan untuk dilakukan.

2. Data pendapatan tidak diperoleh, sehingga nilai pendapatan didekati dengan pengeluaran. Pengeluaran konsumsi merupakan pengeluaran konsumsi selama sebulan yang diproksikan dari pengeluaran seminggu yang lalu untuk komoditi makanan dan pengeluaran sebulan yang lalu untuk komoditi bukan makanan.

3. Justifikasi nilai konsumsi terhadap beberapa rumah tangga (dikarenakan tidak semua rumah tangga mengkonsumsi kelompok makanan yang dipilih). Rumah tangga yang tidak mengonsumsi suatu komoditi dilakukan justifikasi nilai pengeluaran dengan menggunakan harga minimum dengan kuantitas yang sangat kecil yaitu 0.000001.

4. Justifikasi nilai pengeluaran konsumsi lebih difokuskan pada nilai pengeluaran konsumsi yang rata-rata merefleksikan gambaran konsumsi suatu komoditi di wilayah tertentu dan untuk menghilangkan efek inflasi maka dilakukan justifikasi dengan mendeflate nilai pengeluaran dengan indeks harga konsumen pada tahun tersebut.

5. Nilai harga untuk komoditi makanan merupakan harga implisit yang dihasilkan dari pendekatan total pengeluaran terhadap total konsumsi. Konversi satuan dilakukan untuk beberapa komoditi, sehingga setiap kelompok komoditas memiliki satuan yang sama

(35)

sampel rumah tangga dapat mewakili populasinya. Adapun variabel yang digunakan (sesuai ketersediaan data) adalah:

1. Nilai pangsa pengeluaran untuk setiap komoditi pilihan perkapita sebulan per rumah tangga (interval). Cakupan komoditi yang dipilih didasarkan pada konsumsi pangan pokok masyarakat Papua, yaitu beras, ubi jalar, sagu, jagung, dan singkong. Komoditi tambahan yaitu daging, ikan, buah dan sayuran digunakan untuk menganalisis barang komplementer dari pangan pokok utama. Jadi, secara keseluruhan diteliti 9 komoditi pangan. Pemilihan komoditi yang diteliti didasarkan pada kelompok makanan yang sering dikonsumsi sekaligus mewakili pangan sumber karbohidrat dan protein utama. 2. Harga setiap komoditi yang secara implisit didekati dengan nilai pengeluaran

dibagi kuantitas konsumsi (interval).

3. Nilai total pengeluaran perkapita sebulan sebagai pendekatan dari pendapatan perkapita sebulan (interval). Hal ini didasarkan dengan asumsi bahwa semua pendapatan sebulan habis seluruhnya digunakan untuk konsumsi, tanpa ada tabungan.

4. Variabel dummy yang menunjukkan:

a. golongan rumah tangga (didekati dengan pengeluaran, yaitu miskin menengah, dan atas (ordinal). Rumah tangga miskin merupakan rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Golongan atas merupakan 20% rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi, kemudian yang lain pada golongan menengah;

b. jenis potensi pangan lokal dari daerah tempat tinggal yaitu daerah potensi ubi jalar dan potensi sagu (nominal). Kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan produksi pangan pokok lokal yang utama dan nilai konsumsi normatif pangan daerah tersebut;

c. rumah tangga penerima raskin, yaitu: terima raskin dan tidak menerima raskin (ordinal).

5. Variabel tren tahun, yaitu : 2008, 2009, 2010 (ordinal).

Metode Analisis

Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Metode analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama.

Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan secara umum keragaan kondisi pola konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Papua. Pola konsumsi dianalisis berdasarkan golongan rumah tangga, jenis pangan potensi menurut wilayah, dan status penerimaan raskin.

Analisis Model LA-AIDS

(36)

persamaan LA-AIDS sedangkan tujuan ke-3 dijawab menggunakan simulasi berdasarkan elastisitas yang dihitung dari koefisien penduga model.

Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan fungsi permintaan tidak terkompensasi yang diturunkan dari teori maksimisasi utilitas. Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut:

wi = αi + β i log x (3.1)

wi menunjukkan proporsi pangsa pengeluaran komoditi i sedangkan

x merupakan variabel penjelas yaitu harga dan pendapatan Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan Muellbauer (1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan:

log c(u, p) = (1−u) log[a(p)] + u log[b(p)] (3.2) c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 3.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol. Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi:

log ( , ) = + logpj + 1

2 ∗log log

+ (3.3)

α, β, dan γ adalah parameter.

Derivasi parsial dilakukan terhadap harga ∂ log c(u, p) / ∂ log pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan ⁄ ( , ), dimana ⁄ ( , ) = sehingga persamaan 3.3 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :

= + log +

(3.4) Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:

= + log + log (3.5)

(37)

logP = + log + 1

2 ∗log log (3.6)

Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai I (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks :

logI = log

(3.7) dengan demikian persamaan 3.6 menjadi model Linear Approximation AIDS :

= + log + logx− log

(3.8) Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah:

Adding Up : = 1, = 1, = 0, = 0

Homogeneity : = 0, untuk setiap i Symmetry : γij= γji

Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 3.8 merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model LA-AIDS antara lain:

1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan.

2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia. 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan

menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik.

4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya

(38)

Ada beberapa persyaratan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah model permintaan, yaitu symmetri dan homogeinity, sedangkan sifat fungsi permintaan yang utama yaitu adding up sudah dipenuhi model. Simetri diderivasi dari teori utilitas yang menunjukkan kekonsistenan konsumen dengan rasionalitas ekonomi dalam mengkonsumsi. Homogenitas menunjukkan kelenturan konsumen dalam melakukan pengaturan dan pengaturan ulang anggaran biaya konsumsi sesuai dengan perubahan anggaran total biaya konsumsi yang dimilikinya.

Sifat restriksi homogen dan simetri sulit untuk dipenuhi bila terjadi ketidakkonsistenan data. Uji restriksi perlu dilakukan untuk menunjukkan efektifitas model yang digunakan. Hasil uji restriksi yang signifikan menunjukkan model yang dihasilkan belum memenuhi asumsi restriksi yang dimaksud. Hasil uji model restriksi dalam penelitian ini dengan model yang tidak direstriksi pada taraf nyata satu persen menunjukkan hasil yang signifikan yang berarti bahwa model tidak terestriksi berbeda dengan model restriksi. Pembahasan selanjutnya mengggunakan model persamaan permintaan dengan memaksakan (impose) restriksi homogen dan simetri. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa asumsi homogen dan simetri merupakan sifat suatu fungsi permintaan.

Spesifikasi Model

Dua tahapan model menggunakan model LA-AIDS mengkaji pola konsumsi rumah tangga berdasarkan strata pendapatan. Pengelompokan komoditi utama penelitian ini ada 9 komoditi makanan yaitu beras, ubi jalar, sagu, singkong, jagung, daging, ikan, sayur, dan buah. Model penelitian akan dibentuk untuk masing-masing golongan pendapatan (pengeluaran) yaitu atas, menengah, dan miskin/bawah. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi model yang digunakan Ingco (1991) dan Wen et al. (2003) sebagai pengembangan model asli Deaton dan Muellbauer (1980) sebagai berikut:

= + ∑ ln + ( ) + + +

1 + 2 + + (3.9)

dimana:

i = proporsi pangsa pengeluaran perkapita untuk kelompok komoditi ke-i j = estimasi harga kelompok komoditi ke-j

( )ij = total pengeluaran riil, yang dideflasi dengan indeks harga Stone i = indeks harga Stone dimana = ∑

= dummy golongan rumah tangga, dimana 0=rumah tangga miskin 1=rumah tangga tidak miskin

= dummy golongan rumah tangga, dimana 0=rumah tangga menengah 1=rumah tangga atas

1 = dummy potensi pangan lokal, dimana 0=potensi sagu 1=potensi ubi jalar

2 = dummy status rumah tangga penerima raskin, dimana 0=tidak menerima 1=menerima raskin

= tren waktu, dengan t = 0,1, dan 2 untuk tahun 2008 - 2010 i, j = kelompok komoditas pangan terpilih 1,2,..,9

(39)

Tujuan ke-3 dianalisis melalui pengukuran elastisitas dan simulasi yang diperoleh dari model LA-AIDS. Analisa dampak perubahan konsumsi komoditi beras dilakukan dengan 3 alternatif kebijakan melalui guncangan perubahan harga. Bentuk umum elastisitas harga pada permintaan yang tidak terkompensasi dari model LA-AIDS adalah:

= = − + = − + { − }/

= − + { − }/ (3.10)

keterangan: ij = 1 untuk i = j dan ij = 0 untuk i ≠ j.

dalam penurunan ini diasumsikan dlnP/dlnPj = wj. Berdasarkan penurunan

tersebut, bisa dituliskan rumusan elastisitasnya adalah sebagai berikut:

1. Elastisitas harga sendiri: = ( ) − 1

(3.11) 2. Elastisitas harga silang:

= ( ) (3.12) 3. Elastisitas pengeluaran (sebagai pendekatan elastisitas pendapatan):

= + 1 (3.13) dimana: , merupakan koefisien penduga model LA-AIDS

merupakan rata-rata pangsa pengeluaran

Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat elastisitas harga antara lain: 1. Tingkat substitusi. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan

terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya.

2. Jumlah pemakai. Semakin banyak jumlah pemakai, permintaan terhadap suatu barang semakin inelastis, dan sebaliknya.

3. Proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen. Bila proporsi tersebut besar, maka permintaan cenderung lebih elastis.

4. Jangka waktu. Hal ini berkaitan dengan dimensi waktu, elastisitas jangka pendek adalah untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan elastisitas jangka panjang untuk jangka waktu lebih dari satu tahun. Untuk barang-barang yang habis dipakai dalam waktu kurang dari satu tahun (tidak tahan lama atau non durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka panjang dibanding jangka pendek. Sebaliknya untuk barang yang masa konsumsinya lebih dari setahun (barang tahan lama atau durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka pendek dibanding jangka panjang.

(40)

Simulasi pertama adalah dengan tetap memberikan raskin terhadap RTS. Masih terdapat RTS miskin yang belum memperoleh raskin yang menjadi indikasi belum tepat sasaran. Harga diperhitungkan dengan dasar rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin sebagai prioritas RTS. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima raskin hanya 55.1% dan membayar beras seharga rata-rata Rp1 859.7, masih terdapat 44.9% rumah tangga miskin yang belum mendapatkan raskin dan membayar beras rata-rata Rp3 096.9. Rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin adalah Rp2 415.5. Jadi, apabila semua rumah tangga miskin memperoleh raskin maka terjadi rata-rata harga beras turun sebesar 21.34%.

Simulasi ke-2 adalah kebijakan untuk mencabut raskin sehingga terjadi guncangan harga beras dimana harga disesuaikan harga pasar yaitu menjadi Rp5 200/kg. Harga rata-rata diperhitungkan dari proporsi beras yang bersumber raskin sebesar 33.98% dan yang berasal dari pembelian sebesar 66.02%. harga rata-rata yang diperoleh adalah sebesar Rp4 072.6 sehingga apabila raskin dicabut maka terjadi kenaikan harga beras sebesar 27.37%.

Simulasi ke-3 merupakan alternatif kebijakan yang masih dalam proses perumusan dan koordinasi, yaitu penggantian raskin menjadi Pangkin (komoditi disesuaikan kearifan pangan pokok lokalnya). Dalam cakupan Provinsi Papua, penulis mensimulasikan perubahan harga beras, ubi jalar, dan sagu berturut-turut naik 27.37%, turun 21.9%, dan turun 29.18%. Simulasi yang akan dipilih sebagai usulan kebijakan adalah yang mampu menurunkan konsumsi beras kemudian meningkatkan konsumsi pangan lokal (ubi jalar dan sagu) dengan tetap menjaga batas minimum asupan kebutuhan kalori.

Adapun bentuk matematis simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Gambar

Gambar 2. Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih
Tabel 3. Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012
Gambar 3. Alur distribusi pembagian raskin
Gambar 5. Kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas kinerja guru di MTs se-Kecamatan Rambah Kabupaten Rokan Hulu telah diteliti oleh peneliti pada indikator kepala

Adapun dalam praktik hukum perdata di Indonesia atau hukum positif (perdata) pengertian anak luar kawin ada dua macam, yaitu : (1) apabila orang tua salah satu atau

4.1.25 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Atas (SMA) Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Murung Raya, Tahun Ajaran 2014/2015.. The Number of

Dalam pembahasan penelitian yang dilakukan ini berdasarkan permasalahan anak kelompok B TK ABA Sabrang 2 Delanggu Klaten yang sudah diselesaikan dan sudah mencapai tujuan dan

&gt; untuk indosata trialnya seperti gambar dibawah, maka masuk ke emas, masuk ke containment (MOM Based) dan rubah portD ke data 2 (jika 1

Metode yang di gunakan dalam laporan adalah dengan pendekatan kualitatif yang menngunakan jenis penelitian Field Risearch (penelitian lapangan) yang membahas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara likuiditas terhadap profitabilitas.Subyek penelitian ini adalah perusahaan minyak dan gas yang terdafta di