• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Studi mengenai kesehatan pada dasarnya menghubungkan dengan studi komunikasi. Dalam artian itu maka studi tentang kesehatan masyarakat ditambahkan satu tema penting yakni peranan komunikasi, terutama strategi komunikasi dalam merancang dan menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi konsumen (pasien), agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan pengelolaan kesehatan (Liliweri, 2007: 46).

Syarat pertama yang harus dimiliki oleh setiap paramedis untuk dapat menyelenggarakan pelayanan paramedis menyeluruh dalam arti dapat memenuhi semua kebutuhan dan tuntutan kesehatan konsumen (pasien) yang menjadi tanggung jawabnya, adalah membina hubungan paramedis dengan konsumen (pasien) yang baik. Maksudnya adalah agar berbagai kebutuhan dan tuntutan kesehatan pasien dapat diketahui dengan tepat, dengan demikian pengaturan dan pemenuhan dan tuntutan kesehatan pasien akan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Setiap pasien memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan diberikan oleh paramedis, pasien membutuhkan pelayanan kesehatan yang tepat. Apapun penyebab penyakitnya itu, pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas terutama gawat darurat. Hak tersebutlah yang harus diberikan, tanpa memandang suku bangsa, usia, agama, status sosial, status ekonomi, status perkawinan, partai politik, kehidupan seksual ataupun jumlah anak dalam keluarga. Pertolongan gawat darurat bagi setiap pasien yang membutuhkan, harus tersedia pada setiap tingkat pelayanan kesehatan. Kondisi ini sangat membantu terpeliharanya derajat kesehatan dan ancaman kematian (Prawirohardjo, 2006:35)

Sesungguhnya terbina hubungan paramedis dengan pasien dan keluarga pasien merupakan suatu persyaratan yang bersifat mutlak, untuk menghasilkan keberhasilan penyelenggaraan pengobatan yang dilakukan.

Dalam dunia kesehatan, komunikasi sangat berperan penting dalam menjalankan pelayanan kesehatan antara paramedis dengan konsumen. Pada

dasarnya manusia merupakan mahkluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lainnya dalam kehidupan sehari–hari. Mereka harus selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Untuk itu, manusia membutuhkan komunikasi sebagai alat bantu demi kelancaran bekerja sama dengan orang lain dalam bidang apapun.

Menurut Carl I Hoveland, komunikasi adalah suatu proses dimana seorang individu menyampaikan perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain/individu lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam proses penyampaian informasi tersebut agar tercapai komunikasi yang efektif (Widjaja, 2000: 15).

Terdapat beberapa komunikasi, salah satunya adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi ini dapat diartikan sebagai komunikasi antar dua atau lebih Dalam pelaksanaannya. komunikasi interpersonal ini merupakan komunikasi yang paling sering kita temui dari antar keluarga, kerabat, rekan kerja, paramedis dan sebagainya.

Komunikasi interpersonal dalam dunia kesehatan dapat melibatkan banyak pihak baik tenaga kerja kesehatan, paramedis, pasien dan keluarga pasien. Komunikasi interpersonal ini sangat penting agar jalannya pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan lancar. Dengan komunikasi interpersonal yang baik maka akan memudahkan paramedis dalam memperoleh informasi yang lengkap dan selanjutnya dilakukan tindakan yang akan dilakukan. Untuk itu diperlukan penerapan komunikasi interpersonal yang baik.

Dalam ilmu kesehatan, komunikasi interpersonal ini disebut juga dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik yang dilakukan bersifat langsung, paramedis mengetahui keadaan dan tanggapan pasien saat itu, demikian juga pasien mengetahui perhatian yang diberikan paramedis.

Maka sangat penting komunikasi interpersonal dalam bidang kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Komunikasi interpersonal yang dimaksud adalah komunikasi antar paramedis (dokter dan perawat) dan penerima pelayanan kesehatan.

Aktivitas komunikasi interpersonal antara paramedis dengan pasien, dengan cara paramedis akan bertanya ke pasien tentang gejala penyakit yang

dirasakan. Pasien akan bercerita mengenai gejala-gejala penyakit yang diderita. Ini merupakan informasi awal dari pasien kepada paramedis.

Setelah mendengarkan keluhan gejala pasien paramedis tersebut tidak langsung memberikan resep obat tetapi berkomunikasi dengan pasien lebih dalam lagi mengenai penyakit pasien tersebut, misalnya mengatakan bahwa sakit yang dideritanya itu disebabkan oleh virus tertentu.kemudian paramedis memberikan informasi mengenai sebab, cara pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit itu. Komunikasi paramedis dan pasien tidak monoton, kadang-kadang paramedis memberikan humor sehingga membuat pasien merasa diperhatikan oleh paramedis. inilah tujuan komunikasi yang menghibur, paramedis meghIbur pasien (Liliweri, 2007: 216).

Pasien sebagai sumber pengendali dalam pelayanan kesehatan harus memperoleh informasi yang dIbutuhkan dan kesempatan untuk ikut mengendalikan keputusan-keputusan dalam upaya penyembuhan. Informasi tentang pasien merupakan informasi yang dapat diakses bukan hanya pasien tetapi juga keluarga. Dengan demikian, akan terjadi komunikasi yang efektif antara paramedis dengan pasien (Andi, 2007: 6)

Karena keselamatan pasien merupakan upaya yang harus diutamakan dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Pasien harus memperoleh jaminan keselamatan selama mendapatkan perawatan di rumah sakit, yakni terhindar dari berbagai kesalahan tindakan medis maupun kejadian yang tidak diharapkan, seperti adanya malapraktik (Andi, 2007: 7).

Dalam profesi kedokteran, komunikasi antara paramedis dan pasien merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh paramedis. Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini dapat dikatakan kompetensi terabaikan dalam praktik kesehatan. Di Indonesia, sebagian paramedis tidak memiliki banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, paramedis bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk menentukan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut.

Sudah seringkali kita mendengar keluhan pasien tentang paramedis yang pendiam, tidak sabaran, tidak mau mendengarkan keluhan pasien sampai tuntas, pelit dengan informasi. Pasti ada alasan mengapa akhirnya muncul persepsi yang memprihatinkan ini. Profesi kedokteran yang begitu mulia tidak seharusnya mendapatkan kabar negatif seperti ini.

Inti dari permasalahan ini sesungguhnya terletak pada masalah komunikasi. Seperti keterlambatan dokter datang keruangan praktik pada hal banyak pasien yang sudah menunggu, dan saat berkonseling pasien merasa tidakpuas disebabkan karena paramedis kurang memahami masalah komunikasi.

Beberapa permasalahan komunikasi interpersonal dalam bidang kesehatan sering kali muncul disebabkan karena kurang dipahaminya komunikasi interpersonal oleh paramedis, pasien dan anggota keluarga pasien. Sungguh ironis bahwa di perkembangan teknologi dan kedokteran saat ini bangsa Indonesia sebenarnya masih sangat terbelakang dalam hal kesehatan. Hal ini tercermin dari perilaku pasien yang karena ketidaktahuannya menyerahkan nasib sepenuhnya kepada paramedis atau rumah sakit sehingga sering kali menjadi korban malapraktik.

Kurangnya pemahaman komunikasi dan serta sikap paramedis yang arogan dan paternalistik membuat pasien kurang aktif berkomunikasi dan enggan bertanya kepada paramedis. Menurut Jay Katz melansirkan bahwa hal ini disebabkan karena keinginan paramedis untuk mempertahankan citra profesinya yang dipandang terhormat di masyarakat, lebih baik membatasi komunikasi dari pada banyak bicara dan bisa sekali waktu tidak dapat menjawab pertanyaan konsumen secara memuaskan.

Sikap demikian semakin mempersulit komunikasi interpersonal antar paramedis dan pasien dan tidak jarang berujung malapraktik yang sebagian besar merugikan konsumen. Seiring dengan makin maraknya pemberitaan negatif tentang dugaan malapraktik kedokteran, sebenarnya ada masalah yang tak kalah pentingnya dengan masalah jeleknya moral paramedis, yaitu masalah pasien yang memiliki pemikiran yang masih rendah (keawaman). Keawaman yang dimaksud mencakup minimnya pengetahuan dasar pasien mengenai aspek kesehatan, mengenai penyakit yang diderita, serta ketidaktahuan pasien tentang hak dan

kewajibannya sebagai pasien. Terkait dengan masalah ini adalah pasienpun tidak aktif untuk berkomunikasi dan bertanya sehingga masalah menjadi semakin parah. Keawaman pasien seringkali membuat komunikasi interpersonal antara paramedis dan pasien terhambat atau bahkan menemui jalan buntu. Prof. Iwan Darmansjah, SpFK memberi contoh bagaimana sulitnya paramedis menentukan diagnosa karena pasien tidak bisa mengungkapkan dengan jelas penyakit yang dideritanya. Seharusnya pasien berani bertanya kepada paramedis dan tugas paramedis adalah untuk membantu pasien memahami seluk-beluk penyakitnya sehingga paramedis dapat memutuskan apa yang harus dilakukan dalam pengobatan.

Hubungan antara paramedis dan penerima layanan kesehatan adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Jika pasien terus pasrah dan menyerah, ini membuat paramedis semakin tidak peduli dan bersikap arogan. Namun, bila pasien menunjukan komunikasi yang baik dan aktif antara paramedis dan pasien maka paramedis akan lebih menunjukan kepeduliannya.

Namun dalam kondisi sakit biasanya pasien tidak terlalu aktif dalam berkomunikasi dengan paramedis, biasanya pasien akan menyampaikan keluhan kondisinya kepada keluarga, dan keluarga menyampaikan ke paramedis. Sebaliknya paramedis akan menyampaikan informasi perkembangan kondisi pasien kepada keluarga.

Keluarga adalah bagian terdekat dari pasien. Maka komunikasi antar paramedis dan keluarga memiliki peran penting untuk mendukung dan menangani pasien selama di rumah sakit. Dengan adanya keluarga dapat mengurangi resiko kecemasan, ketakutan dan mendapatkan dukungan support dari orang-orang tercinta. Bagi seorang pasien berada di rumah sakit tidaklah nyaman apa lagi diharuskan untuk menginap hal ini pasti tidaklah menyenangkan, mereka harus berada di dalam lingkungan yang asing jauh dari kehidupan sosial biasanya.

Keluarga merupakan perawat utama bagi pasien. Keberhasilan paramedis di rumah sakit akan sia-sia jika tidak ada keluarga yang menjaga dan merawat pasien, karena keluarga adalah bagian tim pengobatan dan perawatan. Apa lagi di Indonesia dengan kultur sosialnya yang tinggi di tambah keterbatasan jumlah

perawat di rumah sakit sehingga tugas merawat pasien umumnya dilakukan oleh perawat, bahkan dilakukan oleh keluarga yang menjaga.

Maka peran keluarga sangat penting untuk memantau perkembangan kebutuhan pasien. Keluarga lebih aktif berkomunikasi dengan paramedis, biasanya paramedis memberikan informasi laporan kepada pihak keluarga pasien. Namun tidak seperti yang di bayangkan, ternyata berkomunikasi dengan keluarga memiliki hambatan.

Faktor hambatan yang terjadi yaitu kontak yang terbatas dengan paramedis dan akses informasi yang terbatas. Biasanya paramedis mengalami kesulitan dalam menerangkan dan memberikan informasi kepada pihak keluarga karena kurangnya pengetahuan dalam bidang kesehatan. Untuk itu informasi yang di berikan harus di saring dan menggunakan bahasa yang mudah di mengerti dan di pahami.

Komunikasi antara paramedis dan pihak keluarga memiliki peran penting untuk berkolaborasi dan bekerja sama satu sama lain untuk kesehatan pasien. Tetapi karena berbeda bidang pekerjaan, maka akan terdapat perbedaan dalam kemampuan dan pengalaman yang menyebabkan kesulitan berkomunikasi. Untuk itu, harus terdapat sikap saling menghormati.

Komunikasi antara paramedis dan pasien disebut juga dengan konseling, konseling adalah suatu komunikasi tatap muka atas dasar pemahaman yang lengkap tentang dirinya serta masalah kesehatan yang sedang dihadapi. Konseling dilakukan dalam bentuk wawancara untuk membantu orang lain memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai dirinya dalam usahanya untuk memahami dan mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi (Azwar, 1995: 114).

Komunikasi pada konseling tidak sekedar menyampaikan pesan-pesan yang diperlukan oleh pasien saja, sekaligus dalam rangka membantu pasien untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Percakapan pada konseling adalah dalam rangka membantu pasien memahami diri sendiri serta penyakit yang sedang diderita (Azwar, 1995: 115).

Untuk dapat membina keberhasilan pelayanan konseling perlulah diciptakan suasana konseling yang baik sehingga dapat membantu munculnya

kepercayaan dan keterbukaan pasien, juga dapat membuat pasien terbuka untuk menjelaskan tentang masalah kesehatannya terhadap paramedis.

Dalam konseling yang juga diterapkan dalam komunikasi paramedis-pasien yang baik dan benar dikenal dengan GATHER, singkatan dari Greet-Ask-Tell-Help-Explain-Return dengan pengertian sebagai berikut (Azwar, 1995: 118) : 1. Greet (memberi salam)

Memberi salam kepada pasien di awal pertemuan akan menciptakan hubungan yang baik. Berilah salam dengan ramah kepada setiap pasien pada saat dia datang.

2. Ask (bertanya)

Langkah berikutnya adalah bertanya, melalui pertanyaan tersebut paramedis dapat membuat pasien untuk menyatakan keinginan dan kebutuhannya serta mengekspresikan perasaannya.

3. Tell (memberi informasi)

Setelah pasien selesai menyatakan keluhan dan kebutuhannya, berikanlah informasi secara jelas sehingga dapat dimengerti oleh pasien yang kemudian dapat membantu pasien untuk mengambil keputusan.

4. Help (memberi bantuan)

Bantuan diberikan ketika pasien yang mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan atau dalam menentukan sikap. Dalam hal ini paramedis memberikan bantuan agar pasien dapat memecahkan permasalahannya dengan mudah.

5. Explain (memberi penjelasan)

Paramedis memberikan penjelasan kepada pasien tentang keputusan yang telah dipilihnya.

6. Return (kembali)

Kontrol kembali bila dirasa perlu, berikan kesempatan pada pasien untuk datang kembali.

Jika hubungan komunikasi interpersonal dokter dan pasien saat konseling berjalan dalam suasana tertekan, marah-marah atau tidak sungguh-sungguh dengan menunjukkan raut wajah yang tegang dan tidak menunjukan senyuman akan berdampak negatif bagi pasien. Pasien akan tidak nyaman bahkan stress ini

bukanlah pelayanan konseling yang baik. Kondisi seperti ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan pasien.

bukan hanya komunikasi antara dokter dan pasien yang penting, tetapi perawat juga menjadi unsur terpenting dalam memberikan pelayanan, dalam hal ini perawat berperan sebagai individu yang mewakili dokter, yang senantiasa berada di sekeliling pasien untuk memberikan dukungan moril dan merasakan apa yang dirasakan oleh pasien melalui komunikasi antarpribadi yang efektif. Ternyata komunikasi keperawatan juga buruk. Hal ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah :

1. Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik saat melakukan interaksi dengan klien.

2. Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan komunikasi dua arah secara terapeutik.

3. Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan (kinerja) individual yang berdampak terhadap lemahnya pengembangan kemampuan diri sendiri.

Seharusnya perawat dan pasien lebih dekat untuk membuat nyaman pasien agar pasien memberikan informasi tentang perasaan, penyakit dan masalah pasien kepada perawat. karena perawat lebih fokus menekankan pada perawatan selama pasien sakit, sedangkan dokter yang mempunyai kemampuan lebih dalam bidang antomi dan fisiologi akan lebih fokus pada gejala, diagnosa dan pengobatan yang akan dijalani.

Pola hubungan paramedis dan pasien telah mengalami pergeseran zaman ke zaman. Terdapat suatu pergeseran paradigma, di mana paramedis bukan lagi di anggap sebagai dewa atau orang suci tetapi telah menjadi figur manusia biasa. Lebih buruk lagi, banyaknya berita negatif yang beredar di masyarakat seputar dunia kesehatan membuat pasien dibanjiri dengan informasi yang salah. Perubahan hubungan antara paramedis dan pasien yang dulunya menganut pola paternalistik berubah menjadi hubungan yang bersifat kontraktual.

Pola paternalistik disini kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Sedangkan kontraktual disini kedudukan antara dokter

sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan sederat dengan pasien penerima jasa pelayanan kesehatan.

Tinjauan yang dilakukan oleh Levinson menyimpulkan, bahwa sebenarnya tuntutan-tuntutan malapraktik tersebut dapat dicegah dengan komunikasi paramedis dengan konsumen yang terjalin dengan dekat. Maraknya tuntutan malapraktik di masyarakat adalah cermin suatu kondisi komunikasi yang kurang baik antara masyarakat dengan paramedis.

Paramedis diharapkan memiliiki sifat profesionalisme yang melekat pada dirinya yakni kejujuran, integritas, kepedulian terhadap pasien serta ramah dan sopan kepada pasien. Karena itulah saat ini Konsil Kedokteran Indonesia telah memasukkan komunikasi sebagai salah satu kompetensi yang harus dikuasi dokter di Indonesia. Pengabaian komunikasi sebagai kompetensi profesional yang harus dimiliki paramedis berakibat pada rendahnya tingkat kepuasan pelayanan yang dirasakan oleh pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Keputusan untuk meneruskan pelayanan kesehatan yang dilakukan atau memindahkan pelayanan kesehatan yang ingin didapat seorang pasien sangat tergantung pada kepuasan pasien dalam menerima layanan kesehatan yang diharapkan.

Yang diharapkan semakin baik keterampilan komunikasi interpersonal paramedis akan meningkatkan kepuasan keluarga pasien pengguna kartu Asuransi Kesehatan (AsKes) yang sejak Januari 2014 berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sesuai mandat UU Badan Penyedia Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan No. 24/2011, PT. Askes bakal berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 Januari 2014 (http://health.liputan6.com).

Kepedulian terhadap pasien menjadi fokus utama dalam kinerja paramedis, pasien sebagai konsumen eksternal tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia diperlakukan dalam proses kinerja paramedis. Yang harus diperhatikan adalah kebutuhan (needs), harapan (expectation) pelanggan dan penilaian manfaaat (value) oleh konsumen sebagai persyaratan yang diajukan oleh konsumen.

Harapan (expectation) dari konsumen tidak hanya diartikan seperti apa yang diinginkan atau diharapkan akan didapatkan oleh konsumen, tetapi juga apa yang

tidak diharapkan terjadi selama menjalani proses kinerja paramedis dan menikmati produk dan jasa yang diberikan, yang antara lain tidak akan mengalami kesalahan tindakan medis ataupun kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Sebagimana ketentuan terpenuhinya kebutuhan, harapan konsumen dan penilaian konsumen terhadap kinerja paramedis dan manfaat produk dan jasa yang diberikan akan menghasilkan kepuasan (Andi, 2007: 9).

Kepuasan merupakan respons konsumen terhadap dipenuhinya kebutuhan dan harapan. Hal tersebut merupakan penilaian konsumen terhadap kinerja paramedis dan produk dan jasa, yang merupakan cerminan tingkat kenikmatan yang didapatkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan, termasuk di dalamnya tingkat pemenuhan yang kurang atau tingkat pemenuhan yang melebihi kebutuhan yang diharapkan.

Setiap konsumen memiliki standar untuk menilai kinerja paramedis yang diterimanya. Hasil penilaian tersebut menunjukkan persepsi apakah kebutuhan dan harapan dipenuhi atau tidak, yang akan menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan dapat berupa tindakan untuk datang kembali, memberikan pujian, mengajukan komplain atau akan menceritakan apa yang dialaminya kepada orang lain (Andi, 2007: 10).

Kepuasan konsumen terbentuk dari penilaian pelanggan terhadap kinerja paramedis dan pertimbangan biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh dari pelayanan strategi paramedis dan produk yang diterima. Setiap keluhan konsumen didengarkan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan dan di tindaklanjuti sebagai dasar untuk mencegah terulangnya kekecewaan konsumen (Andi, 2007: 11).

Untuk dapat menyelengarakan pelayanan kesehatan tentu diperlukan tersedianya dana yang cukup. Tidak hanya untuk biaya sarana dan prasarana medis dan non-medis yang diperlukan, tetapi juga membiayai pelayanan paramedis yang diselenggarakan. Semua biaya yang diperlukan ini harus di biayai oleh pasien atau anggota keluarga pasien. Masalah kesehatan pasien atau anggota keluarga adalah tanggung jawab mereka sendiri.

Pembiayaan yang ditemukan pada pelayanan kesehatan banyak macamnya. Jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam.

Pertama, pembiayaan secara tunai, dalam artian setiap kali pasien datang berobat diharuskan membayar biaya secara tunai langsung di tempat. Kedua, pembiayaan melalui program asuransi kesehatan, dalam artian setiap kali pasien datang berobat tidak perlu membayar secara tunai, karena pembayaran tersebut telah ditanggung oleh pihak ketiga (Azwar, 1995: 159).

Asuransi kesehatan adalah suatu program jaminan pemeliharaan kesehatan kepada masyarakat yang biayanya di pikul bersama oleh masyarakat melalui suatu sistem kontrIbusi yang dilakukan secara pra-upaya (Azwar, 1995: 161).

Negara juga memberikan ansuransi atau jaminan kesehatan kepada masyarakat. Penyelenggara program jaminan kesehatan merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan badan usaha milik negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS kesehatan bersama BPJS ketenagakerjaan yang dulunya bernama Jamsostek, merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JNK) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember2013. Untuk BPJS kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Ansuransi Kesehatan), yang di kelola oleh PT.Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjai BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.

Setiap warga Negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS. Setiap perusahaan wajib mendafarkan pekerjaanya sebagai anggota BPJS, sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja padaperusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program bantuan iuran.

Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS ketenagakerjaanpun terus meningkatkan berbagai program dan manfaat yang langsung dapat di nikmati oleh pekerja dan keluarganya. Dengan membangun visi dan misi. Untuk visi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berkelas dunia, terpercaya, bersahabat dan unggul dalam operasional dan pelayanan. Dan misi sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang memenuhi perlindungan dasar bagi tenaga kerja serta menjadi mitra terperaya (http://www.BPJSketenagakerjaan.go.id).

Tetapi tidak seperti visi dan misi BPJS tersebut, Banyaknya keluhan yang dialami pasien dan keluarga pengguna kartu BPJS Kesehatan merupakan sisi ketidakpuasan terhadap pelayanan yang dilakukan oleh paramedis. Hal ini dapat dilihat dari maraknya pemberitaan di media elekronik maupun media massa yang menyangkut pelayanan BPJS kesehatan di seluruh rumah sakit Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan. Contoh kasus ketidakpuasan yang dialami oleh pengguna kartu BPJS dengan Paramedis ( dokter dan perawat).

Seperti yang dialami seorang pasien pengguna kartu BPJS yang bernama Effendi, dia dirawat di Rumah Sakit Umum Bina Kasih Medan di ruangan 02 nuri 12. Dia menderita penyakit batu karang, selama seminngu dirawat tetapi dia tidak pernah diperiksa oleh dokter. Padahal pasien tersebut diharuskan segera dioperasi, tetapi tidak ada tindakan yang serius untuk melakukan keputusan medisyang harus

Dokumen terkait