• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Dialektika Perkembangan Pers Indonesia

4. Pers Masa Orde baru

4.4. Kontradiksi Dalam Pers Orde Baru

Sebuah rezim yang dikenal otoriter, kuat dan berkuasa selama tiga puluh tahun pada akhirnya harus tumbang diterjang gelombang reformasi. Faktor yang dianggap bisa menjelaskan penyebab tumbangnya Orde Baru adalah kontradiksi

85 Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et. al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 144.

86

Ibid, hal: 146.

87

yang ada dalam sistem yang telah dibangunnya, termasuk sistem kapitalisme terutama kapitalisme dalam sektor media massa yang kadang-kadang justru bertentangan dengan kapitalisme global. Faktor lain yang juga menentukan runtuhnya rezim adalah peran agen sosial, yakni intelektual, aktivis dan pers, baik individu maupun institusi. Pembahasan di sini akan melihat pada peran pers dalam proses “Revolusi Mei” baik masalah kontradiksi dalam industri media maupun kontradiksi antara agen dengan struktur kekuasaan media.

Secara umum, kontradiksi yang terjadi dalam industri media mencakup sejumlah dimensi. Pertama, kontradiksi yang bersumber dari posisi ganda pers, di satu pihak sebagai instrumen hegemoni dalam struktur politik otoritarian Orde Baru, dan di lain pihak sebagai institusi kapitalis dalam sektor industri media. Sebagai instrumen hegemoni, media -melalui komoditi informasi dan hiburan yang diproduksi- diharapkan berperan menjaga stabilitas struktur otoritarian yang ada serta stabilitas hegemoni ide-ide yang dijadikan pembenaran eksistensi struktur otoritarian Orde Baru. Untuk itu semua produksi informasi dan hiburan harus sesuai dengan horison pemikiran dan kepentingan rezim Orde Baru. Di lain pihak, sebagai institusi kapital yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, pers harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar. Karena itu, pers berusaha menyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi ekonomi dan politik yang lebih berani.88

88 Dedy N. Hidayat, Op. Cit hal: 152.

Kontradiksi kedua adalah benturan kepentingan untuk melakukan ekspansi kapitalisme di sektor industri media –di mana negara perlu memainkan peran untuk berdiri di atas kepentingan pemilik modal atau kepentingan akumulasi modal secara umum di sektor industri media– dan kepentingan sekelompok pemilik modal, khususnya para kroni yang menanamkan modalnya di sektor media. Kepentingan pertama menuntut mobilisasi pemilik modal sebanyak mungkin untuk melakukan investasi atau ekspansi di sektor media sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan politik rezim penguasa. Namun pemilik modal yang “memenuhi kriteria politik” tidak sedikit, termasuk pemilik modal yang mampu melakukan investasi di sektor televisi, maka dominasi para kroni di sektor tersebut bisa terancam. Pertimbangan seperti itu, di samping tentu pertimbangan politik, mungkin juga mendasari pemberian lisensi secara selektif di sektor industri televisi, yakni lisensi hanya diberikan kepada para kroni Soeharto, tetapi tidak kepada konglomerat lain, khususnya yang telah memiliki pengalaman di sektor media cetak.89

Kontradiksi ketiga menyangkut posisi perkembangan kapitalisme Orde Baru sebagai bagian dari sistem kapitalisme global. Impuls ke arah liberalisme sistem kapitalisme global serta prinsip perdagangan bebas lintas negara telah memunculkan kontradiksi di sektor media, yakni antara tuntutan untuk membuka diri terhadap investasi modal asing dan kepentingan untuk melakukan proteksi terhadap kepentingan segmen kapitalis domestik tertentu yang akan terpukul oleh masuknya modal besar dari luar. Sejumlah pemilik modal domestik yang mampu

89 Ibid, hal: 152.

mengundang masuknya pemodal asing sebagai partner, khususnya para kroni Soeharto, jelas akan diuntungkan oleh masuknya pemodal asing. Di sisi lain, pemodal asing sendiri mungkin juga akan cenderung bekerja sama dengan para kroni yang memiliki aset kekuasaan politik.90

Kontradiksi keempat berkaitan dengan fakta bahwa meskipun dalam era Orde Baru usaha pers lebih merupakan capitalist venture yang sekaligus dikontrol secara ketat oleh penguasa demi kepentingan politik penguasa, tradisi pers sebagai “pers perjuangan” yang mempunyai misi ideal masih tetap hidup di kalangan tertentu jurnalis senior. Generasi baru jurnalis Indonesia, walaupun oleh sejumlah pengamat dinilai semakin banyak terdiri dari kelompok yang apolitis dan menerima ideologi profesional yang menekankan objektifitas pemberitaan, pemisahan fakta dan opini, dan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan serta analisis data, ternyata masih memiliki segmen aktivis yang bersikap kritis terhadap Orde Baru serta terlibat atau memiliki kedekatan dengan kegiatan advokasi sejumlah isu kemasyarakatan. Mereka memiliki konsepsi bahwa pers adalah the fourth estate yang memainkan peran sebagai watch dog, pers tidak boleh netral dalam masalah yang bertentangan dengan prinsip kebenaran, keadilan, demokrasi, hak-hak azasi, dan sebagainya. Konflik-konflik antara pimpinan atau pemilik media (yang mewakili kepentingan ekonomi usaha pers atau kepentingan politik penguasa) dan pekerja industri media, khususnya para jurnalis muda, telah cukup banyak diungkap.91 Kelompok jurnalis profesional ini semakin banyak yang lulus dari perguruan tinggi, dan merupakan bagian dari

90 Ibid , hal: 153.

91

kelas menengah yang memiliki akses ke berbagai media serta sumber informasi internasional dan bersikap kritis terhadap rezim penguasa.

Akhirnya, kontradiksi yang tidak kalah penting adalah antara kepentingan industri media untuk memperoleh keuntungan dan kepentingan konsumen untuk memperoleh informasi yang objektif, netral dan berimbang. Tuntutan untuk memperoleh informasi dalam kualitas seperti itu khususnya muncul dari kalangan kelas menengah yang selain memiliki daya beli (salah satu karakteristik utama yang meningkatkan nilai lebih khalayak media sebagai komoditi di pasar pengiklan) juga memiliki sikap kritis serta menggunakan pemberitaan media internasional sebagai standar menilai kualitas produksi informasi media lokal.92

Kontradiksi dalam struktur industri media pada gilirannya juga melahirkan pengelompokan sosial, yang saling berinteraksi dalam bentuk aliansi atau konflik. Hubungan konflik, baik latent maupun manifest, secara garis besar melibatkan kelompok rezim penguasa Orde Baru (beserta kelompok dan organisasi yang berafiliasi pada rezim penguasa, seperti PWI, pemilik modal dan jurnalis pro-pemerintah) dan berbagai kelompok lain dalam tubuh industri media. Para jurnalis ada yang tetap tergabung dalam mainstream media misalnya tergabung dalam PWI, atau memilih oposisi dengan menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) maupun kelompok jurnalis media alternatif (seperti SiaR, Kabar Dari Pijar) yang lahir sebagai salah satu bentuk resistensi terhadap represi rezim penguasa setelah kasus pembredelan tahun 1994.93

92

Ibid, hal: 155.

93

Dokumen terkait