• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Dialektika Perkembangan Pers Indonesia

3. Pers Indonesia Masa Bung Karno

Ketika Indonesia merdeka, surat kabar yang sebelumnya dikuasai penjajah diambil alih oleh Indonesia. Pertumbuhan pers pada masa awal kemerdekaan belum memperlihatkan pertumbuhan maksimal. Ketika Indonesia memberlakukan

49

Ibid, hal:10

50

Buruk Pemerintah, Pers Dicacah, Tempo, 26 Januari 2000, hal: 102.

51

UUD Sementara Tahun 1950, pemerintah menjamin kekebasan pers sehingga muncul berbagai surat kabar. Setiap orang bisa menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa harus meminta ijin dari penguasa, cukup dengan menunjukkan bahwa dia punya uang.52 Era liberal ditandai dengan peningkatan jumlah surat kabar dan oplahnya. Pada tahun 1950 terdapat 67 harian berbahasa Indonesia dengan tiras sekitar 338.300 eksemplar dan pada tahun 1957 meningkat menjadi 96 harian dengan oplah mencapai 888.950 eksemplar.53

Kebebasan politik dalam Demokrasi Liberal (1950-1959) berimbas pada kehidupan pers. Surat kabar bebas berafiliasi dengan partai tertentu, bahkan beberapa partai menjadikan surat kabar sebagai organ politik, seperti Harian

Rakjat (organ PKI), Pedoman (berorientasi pada PSI), Suluh Indonesia (organ

PNI) dan Abadi (organ Masyumi). Pada masa ini Mochtar Lubis juga menerbitkan

Indonesia Raja (1949), surat kabar yang berpengaruh karena keberaniannya dalam

membongkar skandal korupsi yang melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdoel Gani, mengkritik Undang-Undang Kerjasama Pertahanan (Mutual

Security Act) dengan Amerika, bahkan menyoroti perkawinan rahasia Bung Karno

dengan Hartini.54

Dalam pandangan Orde Baru, kondisi pers Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dinilai sebagai kondisi terburuk karena menyebabkan kekacauan politik, menjadi alat organisasi politik dan melayani kepentingan faksi, sehingga gagal meciptakan stabilitas nasional. Namun pengamat barat E. Schumacher justru

52

Yazuo Hanazaki Op Cit. hal: 12

53

Ibid. hal: 13

54

menilai kebebasan saat itu sebagai kebebasan sepenuhnya yang tidak mungkin dicapai oleh negara-negara barat sekalipun.55

Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin Tahun 1959, pers berada dalam kondisi terjepit. Sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Bung Karno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) dengan syarat-syarat tertentu, misalnya harus patuh kepada Manifesto Politik Soekarno, ikut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, federalisme dan separatisme.56 ketika diberlakukan undang-undang darurat perang, peta kekuatan pers cenderung seimbang. Hampir semua surat kabar pernah dibredel oleh penguasa perang. Menurut Harold Crouch dan Ulf Sundhaussen, surat kabar Harian Rakjat milik PKI tergolong surat kabar yang paling sering dibredel. Dengan demikian, pada masa ini tidak ada pers dominan yang bisa menciptakan opini publik secara maksimal, baik pers komunis maupun non komunis berada dalam posisi seimbang karena sama-sama menjadi sasaran intimidasi penguasa militer/perang.57

Ketika kekuatan politik pada masa Demokrasi Terpimpin (terutama tahun 1962-1965) didominasi oleh tiga kekuatan: Bung Karno, militer dan PKI, peta kekuatan pers juga ikut berubah. Ketika PKI dekat dengan Bung Karno, pers komunis dan simpatisannya (biasanya pers nasional sayap kiri) menduduki posisi dominan dalam menciptakan opini publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Surat kabar Harian Rakjat tirasnya mencapai 75.000 55 Ibid. hal: 15 56 Ibid. hal: 16 57

lihat catatan kaki nomor 7 dalam Akhmad Zaini Abar, 1966-1974, Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1995, hal: 51

eksemplar pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 mencapai 85.000 eksemplar.58 Tapi domimasi pers komunis dalam menciptakan opini publik dan mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah bukan dominasi utuh. Penciptaan opini publik serta pengaruhnya dalam menetukan kebijaksanaan politik yang dilakukan pers komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan politis dan retoris Bung Karno, meskipun di balik itu terselip kepentingan PKI dan simpatisan-simpatisannya.59

Sedangkan pers yang non atau anti komunis saat itu tergolong pers periferal atau pinggiran. Pers yang tergolong periferal meliputi pers agama, pers kelompok BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), dan pers militer. Pers agama adalah pers yang berafiliasi dengan partai agama, misalnya surat kabar Duta Masyarakat (berafiliasi dengan Partai Nahdatul Ulama), Sinar Harapan berafiliasi dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) lahir pada 27 april 1961, serta harian Kompas yang lahir 28 Juni 1965 berafiliasi dengan Partai Katolik. Kompas tergolong pers yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik PKI.60

Untuk melawan pengaruh komunis yang makin meluas, Adam Malik, B.M. Diah serta kelompok anti komunis lainnya mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Pers kelompok BPS antara lain harian Merdeka milik B.M Diah, Berita Indonesia (simpatisan Partai Murba), Indonesian observer dan Warta

Berita semuanya terbit di Jakarta, Indonesia Baru dan Waspada (Medan), Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Yongyakarta), Harian Suara Rakyat

(Surabaya) dan Pikiran Rakyat (Bandung) yang tergolong progresif dalam

58

Op Cit. hal: 17

59

Akhmad Zaini Abar, Loc Cit

60

menentang aksi-aksi politik PKI.61 Konflik antara golongan komunis dengan non komunis masuk dalam dunia pers, misalnya perseteruan antara surat kabar Harian

Rakjat dengan Merdeka. Karena Bung Karno menilai PKI lebih berguna bagi

landasan politiknya, Bung Karno melarang keberadaan BPS, dan pada periode Februari sampai Maret 1965 sekitar 27 surat kabar pendukung BPS dibubarkan.62

Untuk mengimbangi kekuatan komunis pasca pembubaran BPS, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Pada saat yang sama Frans Seda dari Partai Katolik juga berniat mendirikan surat kabar, Jenderal A.H. Nasution dan A.Yani mendukung gagasan tersebut. Maka lahirlah surat kabar Kompas yang dipercayakan kepada P.K. Ojong dan Jacob Oetama. Harian Berita Yudha terbit pada 9 februari 1965 di bawah kontrol kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto. Harian Angkatan

Bersenjata terbit pada 15 maret 1965 berada di bawah kontrol Kepala Perangan

Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.63 Pada Bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan peraturan bahwa surat kabar harus berasal dari sembilan partai politik yang ada. Aturan ini sebagai usaha Bung Karno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai dapat langsung mengendalikan pers.

Selama masa Demokrasi Terpimpin, meski tingkat inflasi sangat tinggi dan harga kertas koran impor sangat mahal, jumlah tiras surat kabar saat itu cukup tinggi. Pada tahun 1961 terdapat 61 penerbitan dengan tiras 692.500 eksemplar,

61

Ibid, hal: 52-53

62

Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18

63

dan empat tahun kemudian meningkat menjadi 114 surat kabar dengan tiras mencapai 1.469.350 eksemplar. 64

Dokumen terkait