• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson

4.2.4. Konvergensi Jawa Timur

Jawa Timur merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta dan menjadi pusat perekonomian di bagian timur Pulau Jawa. Tak mengherankan apabila kegiatan ekonomi pada sektor jasa mendominasi aktivitas ekonomi dan menghasilkan nilai tambah paling besar dalam perekonomian, hingga mencapai

51,51 persen pada tahun 2009. Kegiatan perdagangan dan akomodasi mempunyai peranan paling penting dalam sektor jasa, dengan kontribusi sebesar 31,63 persen. Sektor manufaktur juga memegang peranan penting terutama kegiatan industri pengolahan. Beberapa industri besar di Jawa Timur antara lain galangan pembuatan kapal terbesar di Indonesia (PT. PAL di Surabaya), industri besar kereta api terbesar di Asia Tenggara (PT. INKA di Madiun), pabrik kertas (PT. Tjiwi Kimia di Tarik-Sidoarjo, PT. Leces di Probolinggo), pabrik rokok (Wismilak di Surabaya, Gudang Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya dan Pasuruan, serta Bentoel di Malang) dan pabrik semen Gresik dan Petrokimia di Gresik. Kawasan industri estate meliputi Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Surabaya, Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) di Pasuruan, Madiun Industrial Estate Balerejo (MIER) di Madiun, Ngoro Industrial Park (NIP) di Mojokerto, Kawasan Industri Jabon di Sidoarjo dan Lamongan Integrated Shorebase (LIS) di Lamongan.

Jawa Timur merupakan provinsi yang mempunyai kabupaten/kota paling banyak di Indonesia, yaitu sebanyak 38 Daerah Tingkat II, terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Wilayah administratif relatif stabil seperti Jawa Tengah, hanya satu kabupaten dimekarkan sejak diselenggarakan otonomi daerah, yaitu Kota Batu dari Kabupaten Malang. Kemampuan perekonomian di wilayah- wilayah tersebut juga relatif sama bila dilihat dari jumlah nilai tambah yang dihasilkan setiap tahun, kecuali Kota Surabaya, Kota Kediri dan Kabupaten Sidoarjo.

Tabel 10 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM

Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

ln pdrbt-1 1,2961 0,0904 0,0000 ln inv 0,0254 0,0029 0,0000 ln labour -0,1629 0,0191 0,0000 Implied λ NA Wald-Test 269,4500 0,0000 AB m1 -2,9982 0,0027 AB m2 -0,4872 0,6261 Sargan Test 11,5207 0,9051

   

Pola kecepatan pertumbuhan dari semua kabupaten/kota di Jawa Timur diuji untuk melihat proses konvergensi yang terjadi secara empiris (Tabel 10). Proses konvergensi pendapatan di Jawa Timur dilihat dari koefisien dari yt-1 yang lebih

dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi tidak terjadi atau pendapatan di wilayah ini persisten (divergen). Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0,9051. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten. Penelitian Rumayya et al. (2005) menggunakan data PDRB per kapita atas dasar harga tahun 1983 untuk cross-section 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 1983 – 2001 menunjukkan hasil yang sama walaupun dengan metode yang berbeda. Proses konvergensi tidak ditemukan pada model absolut dengan menggunakan regresi OLS dan GLS, namun ditemukan dalam model spasial untuk wilayah-wilayah yang termasuk dalam kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin juga tidak ditemukan. Demikian juga berdasarkan penghitungan koefisien variasi Williamson, angka Jawa Timur tidak berada pada range antara 0 dan 1.

Jawa Timur memiliki kabupaten/kota yang paling banyak di Indonesia dan perbedaan pendapatan antar wilayah sangat besar. PDRB per kapita tertinggi berada di Kota Kediri, mencapai 79,32 juta per kapita per tahun, 12 kali lebih besar dibandingkan dengan PDRB per kapita terendah di Pulau Jawa (Kabupaten Grobogan sebesar 2,19 juta per kapita per tahun) atau 10 kali lebih besar dibandingkan dengan PDRB per kapita terendah di Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan sebesar 2,20 juta per kapita per tahun). Pendapatan wilayah Kota Kediri merupakan peringkat kedua di seluruh Pulau Jawa setelah Jakarta Pusat (106,61 juta per kapita per tahun). Tidak seperti Jawa Barat yang menjadi penopang pusat pertumbuhan, letak Jawa Timur yang relatif jauh dari DKI Jakarta membuatnya menjadi pusat pertumbuhan di kawasan timur Pulau Jawa.

Pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan kabupaten/kota di Jawa Timur secara umum berada pada kisaran 5 persen. Pola pertumbuhan Kabupaten Bojonegoro berbeda dari wilayah lainnya karena dipengaruhi oleh hasil minyak

bumi yang tidak teratur dan tidak stabil. Nilai tambah perekonomian di kabupaten ini didominasi oleh sektor pertambangan dengan kontribusi sebesar 29,38 persen pada tahun 2009. Kecepatan pertumbuhan yang relatif sama ini justru membuat wilayah-wilayah tidak mengalami proses konvergensi, wilayah yang terbelakang tidak mampu mengejar perkembangan wilayah yang telah lebih dahulu maju. Tabel 11 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM

Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

ln const-1 0,4466 0,0495 0,0000 ln inv ln labour 0,1852 0,1344 0,1680 Implied λ 80,6167 Wald-Test 82,8100 0,0000 AB m1 -3,1811 0,0015 AB m2 -0,8532 0,3935 Sargan Test 21,8297 0,7891

Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen

Estimasi konvergensi dengan pendekatan pendapatan wilayah harus dibandingkan dengan pendekatan rumah tangga sehingga pola konvergensi yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dapat terlihat (Tabel 11). Berbeda dengan pendekatan PDRB, proses konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga terjadi di Jawa Timur, ditunjukkan dengan nilai koefisien yt-1 sebesar 0,4466 dan menghasilkan tingkat konvergensi 80,62 persen.

Berdasarkan uji Sargan, variabel instrumen valid (p-value 0,7891). Model juga konsisten dilihat dari signifikansi m1 (p-value 0,0015) dan m2 (p-value 0,3935). Terjadinya proses konvergensi dari penghitungan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per kapita di Jawa Timur menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga semakin merata dan tingkat ketimpangannya semakin mengecil serta terjadi pemerataan kecepatan pada level rumah tangga.

4.2.5.Perbandingan Konvergensi di Pulau Jawa

Penghitungan estimasi konvergensi dengan data panel dinamis memerlukan kriteria validitas dan konsistensi. Uji Sargan merupakan suatu pendekatan untuk

   

mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (variabel instrumen valid), artinya instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan galat pada persamaan data panel dinamis. Sementara itu untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan uji autokorelasi oleh statistik m1 yang signifikan dan nilai statistik m2 yang tidak signifikan.

Tabel 12 Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

Uraian Uji Validitas Uji Konsistensi

Pendekatan PDRB

Jawa valid konsisten

Jawa Barat valid tidak konsisten

Jawa Tengah valid konsisten

Jawa Timur valid konsisten

Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Jawa tidak valid konsisten

Jawa Barat valid konsisten

Jawa Tengah valid konsisten

Jawa Timur valid konsisten

Perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah dapat menyebabkan ketimpangan wilayah apabila daerah yang telah maju tumbuh lebih cepat daripada daerah yang lebih tertinggal. Namun, ketimpangan akan berkurang apabila terjadi sebaliknya dan daerah yang kurang maju dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah yang sebelumnya lebih dahulu maju. Ketimpangan pendapatan wilayah di Pulau Jawa sangat tinggi dan proses konvergensi tidak terjadi, artinya wilayah yang kaya semakin besar pendapatannya dan yang miskin tidak mampu mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang telah maju. Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada level rumah tangga, ketimpangan kesejahteraan rumah tangga telah berkurang, dibuktikan dengan koefisien lag variabel pengeluaran rumah tangga yang positif dan menghasilkan konvergensi pada tingkat yang relatif besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Proses konvergensi pendapatan kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi karena PDRB

meliputi konsumsi, investasi dan semua aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seluruh pelaku ekonomi, baik rumah tangga, perusahaan swasta maupun pemerintah. Sedangkan pendekatan pengeluaran hanya melibatkan unsur rumah tangga dalam penghitungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan akan lebih cepat terjadi apabila fokus pembangunan diarahkan pada level rumah tangga dan kesejahteraan masyarakat yang menyangkut kemampuan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tabel 13 Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM

Uraian Koefisien yt-1 Implied λ

Pendekatan PDRB Jawa 1,2722 NA Jawa Barat 0,7908 23,4694 Jawa Tengah 0,9691 3,1434 Jawa Timur 1,2961 NA Pendekatan Pengeluaran Jawa 0,3421 107,2755 Jawa Barat 0,2658 132,5194 Jawa Tengah 0,2892 124,0683 Jawa Timur 0,4466 80,6167

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa tingkat konvergensi pendapatan paling tinggi terjadi di Jawa Barat, selanjutnya Jawa Tengah. Tingkat konvergensi dalam provinsi ini lebih besar dibandingkan seluruh pulau karena spillover aktivitas ekonomi suatu wilayah akan lebih dirasakan wilayah lain dalam satu provinsi dibandingkan seluruh pulau. Hal ini didukung oleh kebijakan desentralisasi fiskal memberi dampak semakin besarnya kewenangan daerah untuk mengatur keuangan daerah sesuai dengan prioritas daerahnya. Provinsi Jawa Barat mempunyai tingkat konvergensi yang paling besar di antara wilayah lainnya, baik pendekatan pendapatan regional maupun pengeluaran rumah tangga. Ketimpangan yang terjadi di Jawa Barat juga merupakan yang terkecil dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur dilihat dari koefisien variasi Williamson.

Walaupun koefisien variasi Williamson Jawa Tengah menunjukkan ketimpangan wilayah yang semakin meningkat, namun ada upaya untuk

   

mengurangi tingkat pembangunan wilayahnya sehingga semakin merata, ditunjukkan dengan konvergensi yang terjadi. Selain itu struktur perekonomian Jawa Tengah yang relatif didominasi sektor pertanian daripada sektor manufaktur seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur menyebabkan perekonomian yang stabil karena persaingan antar wilayah belum mengarah pada sektor manufaktur. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita Jawa Tengah sebesar 3,14 persen berada pada range penelitian Kholodilin et al. (2009) yang menghitung konvergensi provinsi-provinsi berpenghasilan tinggi yang letaknya berdekatan satu sama lain di Rusia (2,8 sampai dengan 3,8 persen).

4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah

Ketimpangan wilayah sering terjadi di negara-negara berkembang karena perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kesempatan dan peluang pembangunan pada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisinya sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia (Sjafrizal, 2008).

Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis ketimpangan ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,4780. R-square sebesar 0,8685 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 86,85 persen variasi ketimpangan wilayah, sedangkan 13,35 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa dipengaruhi oleh share manufaktur secara negatif, share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas secara negatif, jumlah puskesmas secara negatif, jumlah energi listrik yang terjual secara positif dan volume air bersih yang disalurkan secara positif. Peningkatan kegiatan ekonomi di sektor manufaktur dan peningkatan pendidikan tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Demikian juga peningkatan infrastruktur sarana kesehatan puskesmas juga menurunkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Namun, peningkatan energi listrik yang terjual dan volume air

bersih yang disalurkan kepada konsumen justru meningkatkan ketimpangan wilayah.

Tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share sektor ekonomi memengaruhi ketimpangan PDRB dengan elastisitas 0,78. Jika kontribusi manufaktur meningkat sebesar 1 persen, maka ketimpangan akan menurun sebesar 0,78 persen. Arah yang sama terjadi pada variabel pendidikan karena ketimpangan di Pulau Jawa dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia. Jika kontribusi tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas meningkat sebesar 1 persen, maka ketimpangan pendapatan menurun 1,93 persen.

Tabel 14 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis

Variable Coefficient Std. Error Prob.

C 8,7488 2,8058 0,0036 LOG(GOVEXP) 0,1269 0,0645 0,0569 LOG(AGRI) -0,4061 0,3800 0,2923 LOG(MANU) -0,7784 0,3277 0,0230 LOG(EDU) -1,9334 0,2660 0,0000 LOG(PUSKES) -1,6334 0,2713 0,0000 LOG(ELECTRIC) 0,9488 0,2443 0,0004 LOG(WATER) 0,2696 0,1055 0,0150 LOG(ROAD) 0,1382 0,1281 0,2880 R-squared 0,8924 Adjusted R-squared 0,8685 F-statistic 37,3326 Prob(F-statistic) 0,0000 Durbin-Watson stat 1,7757

Selanjutnya infrastruktur di Pulau Jawa menjadi penentu kesenjangan pembangunan wilayah, meliputi sarana kesehatan berupa puskesmas, listrik dan air bersih. Selain pendidikan, sarana kesehatan mempunyai elastisitas yang tinggi dalam upaya menurunkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Jika jumlah puskesmas di suatu provinsi naik sebesar 1 persen, maka ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan sebesar 1,63 persen. Data yang digunakan untuk mengukur variabel kesehatan adalah jumlah puskesmas karena merupakan pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja),

   

sehingga penggunaan data jumlah puskesmas dalam variabel ini dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif.

Sebaliknya dengan infrastruktur listrik dan air bersih, kenaikan variabel ini justru meningkatkan ketimpangan wilayah, dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,95 dan 0,27. Pengguna energi listrik yang terjual didominasi oleh industri dan bisnis walaupun jumlah pelanggan paling besar adalah rumah tangga. Ketidakmerataan keberadaan industri di Pulau Jawa menyebabkan variabel listrik meningkatkan ketidakmerataan pembangunan wilayah. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di kota-kota besar. Selain karena sulitnya mendapatkan air bersih yang alami, daerah perkotaan biasanya dipadati dengan pemukiman sehingga penggunaannya tidak merata di Pulau Jawa.

Tabel 15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis

Variable Coefficient Std. Error Prob.

C -10,5350 10,1538 0,3084 LOG(GOVEXP) 0,6262 0,6349 0,3324 LOG(AGRI) -0,0532 0,4206 0,9003 LOG(MANU) 0,0976 0,3464 0,7801 LOG(EDU) 0,6953 0,3049 0,0304 LOG(PUSKES) -0,6160 0,4641 0,1951 LOG(ELECTRIC) 0,1906 0,2612 0,4715 LOG(WATER) -0,2351 0,1580 0,1478 LOG(ROAD) 0,2220 0,1417 0,1284 R-squared 0,6809 Adjusted R-squared 0,4985 F-statistic 3,7341 Prob(F-statistic) 0,0011

Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa dilakukan juga dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson pengeluaran rumah tangga per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis ketimpangan ini adalah fixed effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,0098. R-square sebesar 0,4985 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 49,85 persen variasi ketimpangan pengeluaran rumah tangga, sedangkan 50,15 persen sisanya dijelaskan oleh

variabel lainnya yang tidak ada dalam model. Kecilnya nilai R-square ini disebabkan sedikitnya variabel independen yang signifikan dalam model, hanya variabel share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas yang memengaruhi variabel dependen.

Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas justru meningkatkan ketimpangan dalam rumah tangga dengan elastisitas 0,70 artinya setiap kenaikan share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas sebesar 1 persen, akan meningkatkan ketimpangan pengeluaran rumah tangga sebesar 0,70 persen. Tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan produktivitas dan penghasilan rumah tangga, selanjutnya pengeluaran rumah tangga. Pada level rumah tangga, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi.

4.4. Implikasi Kebijakan

Ketimpangan antar wilayah merupakan fenomena yang biasa terjadi di negara berkembang, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat mengakibatkan masalah-masalah ekonomi yang berkepanjangan dan juga tantangan sosial dan politik bahkan dapat memicu disintegrasi bangsa. Oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab penting dalam mewujudkan pemerataan dan distribusi hasil-hasil pembangunan ke arah keseimbangan proporsional sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayahnya masing-masing. Setiap wilayah diharapkan dapat mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang cukup untuk kesejahteraan masyarakatnya, tidak hanya peningkatan pendapatan regional secara makro, tetapi juga meso dan mikro.

Pemenuhan kebutuhan pada tingkat mikro bertujuan untuk mengenali kebutuhan yang mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu daerah dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi dan meningkatkan daya saing, serta mendorong pengembangan potensi daerah agar mampu mengekspor hasil industri atau pertaniannya, untuk mendukung perekonomian nasional (Soedjito, 1997). Pada tingkat meso dilakukan pengembangan wilayah dengan

   

jalan mengaitkan antar-wilayah agar tercipta pusat-pusat pertumbuhan, yang seyogyanya diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

1. Memperjelas hierarki kota dengan menghindari dominasi kota inti terhadap daerah belakangnya sehingga timbul keserasian pembangunan dan arus urbanisasi dapat dikurangi.

2. Wilayah yang telah memiliki sarana dan prasarana lebih lengkap diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan agar tidak terjadi pengurasan sumber daya dan eksploitasi daerah-daerah di sekitarnya.

3. Alokasi dana pembangunan lebih diarahkan untuk pembangunan investasi yang mendorong perkembangan ekonomi jangka panjang, terutama pembangunan infrastruktur.

Koordinasi pembangunan antar wilayah bukan berarti memperbesar wilayah metropolitan sebagai pusatnya, namun adanya interaksi saling menguntungkan yang tidak bertentangan dengan kebijakan di tingkat nasional sekaligus mewujudkan visi dan misi kebijakan regional.

Kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 ternyata tidak berjalan sesuai dengan tujuan utama yaitu memeratakan pembangunan pada tingkat pemerintahan yang kecil yaitu kabupaten/kota. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa masih sangat tinggi dan tidak mengalami proses konvergensi, artinya wilayah yang perekonomiannya tertinggal belum dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang sudah lebih maju. Jika dilihat menurut provinsi, Jawa Timur mengalami masalah yang sama yaitu terjadinya proses divergensi, yang disebabkan adanya pusat pertumbuhan yang tidak mampu memberdayakan potensi ekonomi wilayah di sekitarnya.

Masalah mendasar yang berhubungan dengan ketimpangan wilayah adalah adanya konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan manufaktur, terutama industri pengolahan. Hal ini disebabkan adanya keuntungan yang diperoleh dengan adanya cluster beberapa kegiatan produksi di suatu wilayah yang disebut aglomerasi. Beberapa keuntungan aglomaerasi yang disebutkan dalam Sjafrizal (2008) dan Capello (2007) adalah:

1. Keuntungan skala besar, merupakan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata per unit karena produksi dilakukan dalam skala besar. Hal ini merupakan keuntungan eksternal yang menimbulkan daya tarik bagi investor untuk datang dan mengembangkan produksi di pusat pertumbuhan tersebut.

2. Keuntungan lokalisasi, merupakan keuntungan dalam bentuk penghematan ongkos angkut, baik untuk bahan baku dan hasil produksi, yang timbul karena berlokasi secara terkonsentrasi dengan perusahaan terkait lainnya di pusat pertumbuhan.

3. Keuntungan urbanisasi, merupakan keuntungan yang muncul karena penggunaan fasilitas dalam sebuah pusat pertumbuhan secara bersama seperti listrik, pergudangan, telepon, air minum dan fasilitas lainnya yang menunjang kegiatan operasional perusahaan.

Keuntungan wilayah tersebut tidak dapat dipisahkan dari peranan jaringan. Sebuah jaringan usaha adalah hubungan kerja sama antara dua atau lebih perusahaan yang saling berkaitan untuk berbagi informasi, teknologi, pengetahuan pasar, pengembangan produk dan kualitas produk untuk melakukan kegiatan produksi. Kerja sama antar perusahaan terbukti sangat menguntungkan karena terjadi peningkatan kemampuan dan daya saing melalui akses pada pelanggan baru, pasar dan pengaruh imbas pengetahuan. Di sisi lain, aglomerasi akan mengarah pada pemusatan pertumbuhan di wilayah-wilayah tertentu dan selanjutnya dapat meningkatkan ketimpangan wilayah apabila tidak mampu direspon oleh wilayah-wilayah terbelakang dan jauh dari pusat pertumbuhan.

Kebijakan yang lebih efektif sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ketimpangan di Pulau Jawa dengan meningkatkan akses wilayah terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan ekonomi dan kemajuan teknologi. Pembangunan infrastruktur yang merata ke seluruh wilayah merupakan salah satu cara penting yang dapat dilakukan, karena pemerataan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk kebutuhan rutin dan operasional terbukti tidak mampu mengurangi ketimpangan wilayah. Alokasi pengeluaran pemerintah perlu dikaji ulang dengan mengutamakan pembangunan investasi jangka panjang yang lebih merata dan dapat dinikmati masyarakat luas, khususnya untuk fasilitas

   

kesehatan dan pendidikan. Pemerataan pembangunan manufaktur terutama industri pengolahan dilakukan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan bukan di pusat pertumbuhan, dengan tetap melihat potensi lokal.

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ketimpangan kabupaten/kota di Pulau Jawa masih sangat tinggi dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota dalam provinsi dan didominasi oleh ketimpangan antar kota.

2. Konvergensi pendapatan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi (divergen), demikian juga di Jawa Timur. Tingkat konvergensi tertinggi terjadi di Jawa Barat karena kontribusi sektor manufaktur. Sementara itu konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga sangat tinggi di setiap provinsi dan keseluruhan Pulau Jawa.

3. Faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan adalah share manufaktur, pendidikan tenaga kerja, infrastruktur kesehatan, energi listrik dan air bersih. Ketimpangan pengeluaran rumah tangga hanya dipengaruhi tingkat pendidikan tenaga kerja.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, disarankan adanya kebijakan industri yang lebih bijaksana, agar tidak terjadi pengurasan sumber daya di sekitarnya dan tidak meningkatkan ketimpangan wilayah antar kabupaten/kota. Namun sektor manufaktur secara umum perlu ditingkatkan dan dimeratakan di seluruh Pulau Jawa karena dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar provinsi. Proses konvergensi dapat ditingkatkan dengan aktivitas ekonomi selain konsumsi, yaitu dengan pemerataan investasi dan kebijakan pemerintah, sehingga tidak hanya rumah tangga yang menjadi pelaku ekonomi mempercepat proses pemerataan pembangunan wilayah. Input tenaga kerja dalam perekonomian tidak hanya berperan dari segi kuantitasnya, namun juga dari sisi kualitas. Oleh karena itu kualitas sumber daya manusia terutama angkatan kerja dapat menjadi kebijakan strategis untuk mengurangi ketimpangan wilayah. Kualitas sumber daya manusia terutama tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan secara wilayah, namun meningkatkan ketimpangan pada level rumah

tangga. Peningkatan pendidikan perlu diprioritaskan pada rumah tangga yang

Dokumen terkait