• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Dalam dokumen Mengupas Kebijakan Makroprudensial_DKMP (Halaman 37-41)

Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?

III.2. Landasan Hukum

3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

30

berupaya melakukan langkah-langkah untuk membatasi risiko sistemik melalui pemantauan keseluruhan sistem keuangan dan pengaturan perbankan di bidang makroprudensial. Bank Indonesia juga mengupayakan agar fungsi intermediasi sistem keuangan berjalan secara seimbang dan berkualitas dalam kaitannya dengan kondisi makroekonomi global dan domestik. Kebijakan moneter Bank Indonesia ditransmisikan melalui sistem keuangan, sehingga dapat langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Sementara, menjaga sistem pembayaran yang dapat diandalkan untuk pelaksanaan transaksi keuangan adalah salah satu prasyarat bagi terpeliharanya stabilitas sistem keuangan.

Bagaimana dengan peran Pemerintah, OJK, dan LPS?

Bersama-sama dengan Bank Indonesia, Pemerintah mengelola kebijakan makroekonomi melalui kementerian-kementerian terkait. Kementerian Keuangan sebagai otoritas kebijakan fiskal memiliki tugas utama untuk mengelola keuangan negara terutama untuk membiayai pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan perpajakan dan utang pemerintah. Kementerian di bidang ekonomi lainnya melaksanakan kebijakan makroekonomi yang menyentuh sendi-sendi perekonomian di bidang infrastruktur (antara lain perhubungan, pekerjaan umum) dan sektor riil (antara lain pertanian, perdagangan, perindustrian, pariwisata, kelautan). Kebijakan pada level sektor ekonomi ini secara langsung memengaruhi iklim bisnis di Indonesia, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja sektor riil. Namun, Kemenkeu sendiri memiliki peran unik di sektor riil melalui kebijakan perpajakan, yang langsung menyentuh korporasi dan rumah tangga. Jika kita lihat pada bagan, korporasi dan rumah tangga selain merupakan bagian dari sektor riil, juga merupakan bagian dari sistem keuangan, yang berada di bawah pantauan Bank Indonesia. Sementara dalam pengelolaan keuangan negara, cara Kemenkeu mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk utang Pemerintah akan memengaruhi likuiditas

Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

perekonomian, termasuk transmisinya pada likuiditas perbankan dan institusi keuangan lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal dari Kemenkeu secara tidak langsung dapat memengaruhi kondisi stabilitas sistem keuangan, sehingga Kemenkeu memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Sementara, peran OJK terutama berujung pada perlindungan konsumen sistem keuangan. OJK bertugas menerapkan aturan-aturan prudensial yang bertujuan untuk menjaga kesehatan individual institusi keuangan, serta memastikan kode etik pelaku pasar mendukung iklim investasi yang sehat. Untuk tujuan itu, OJK melakukan pengawasan mikroprudensial terhadap semua institusi keuangan untuk memastikan institusi dapat menjaga kelangsungan usahanya dengan mengelola risikonya. Kesehatan institusi keuangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas sistem keuangan.

LPS berperan memberikan jaminan atas simpanan nasabah dalam bank. Untuk itu, LPS mengumpulkan iuran premi dari bank dan mengelola dana tersebut agar dapat dipergunakan untuk membayar simpanan nasabah bank yang mengalami kegagalan berdasarkan aturan penjaminan simpanan yang berlaku. Dalam penanganan bank bermasalah, LPS juga memiliki peranan penting. Secara khusus, LPS adalah otoritas resolusi bank, yang bertugas melaksanakan penanganan masalah solvabilitas Bank Sistemik serta bank lainnya, termasuk jika bank tertentu mengalami kegagalan. Peran LPS membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, karena adanya garansi pengembalian simpanan jika terjadi kegagalan bank. Kondisi ini mendukung proses pendanaan perbankan sehingga fungsi intermediasi dapat berlangsung dengan baik dalam mendukung stabilitas sistem keuangan.

Dalam praktiknya, KSSK melakukan tukar menukar informasi mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam rapat-rapat rutin. Setiap otoritas keuangan sesuai dengan kewenangannya

Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

32

masing-masing diharapkan menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan serta berkoordinasi untuk dapat menghasilkan solusi bersama. Terutama antara otoritas makroprudensial (BI) dan mikroprudensial (OJK) yang terdapat banyak singgungan antara tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia dan OJK memerlukan mekanisme kerja sama dan koordinasi lebih lanjut yang mengatur tugas dan wewenang masing-masing institusi. Pedoman kerja sama dan koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) BI-OJK No. tanggal 18 Oktober 2013 tentang Kerja Sama dan Koordinasi Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan OJK.

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

Dalam melaksanakan kewenangan di bidang makroprudensial, Bank Indonesia perlu memiliki kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kerangka tersebut mencakup serangkaian pedoman bagi Bank Indonesia dalam menjalankan kewenangan guna merumuskan dan menghasilkan arah kebijakan yang tepat dan jelas. Di samping itu, kerangka dilengkapi pula dengan tujuan jangka panjang dari perumusan kebijakan. Kerangka kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia disusun dengan difokuskan pada upaya untuk mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan yang diwujudkan melalui 4 (empat) hal, yaitu: (i) risiko sistemik yang teridentifikasi sejak dini dan termitigasi; (ii) financial imbalances4 yang minimal sehingga mendukung fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; (iii) sistem keuangan yang efisien; dan (iv) akses keuangan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang meningkat. Dalam konteks makroprudensial, pengembangan akses keuangan5 dan UMKM6

4. Financial imbalances atau ketidakseimbangan dalam sistem keuangan merupakan suatu kondisi dengan indikasi peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku sistem keuangan.

5. Di Bank Indonesia, pengembangan akses keuangan dilakukan antara lain melalui program Keuangan Inklusif (financial inclusion). Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi paskakrisis 2008, yaitu dampak krisis kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran) yang umumnya unbanked. Sebagai tindak lanjut, pada G20 Pittsburgh Summit 2009 dan dipertegas pada Toronto Summit 2010, disepakati perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan program Financial Inclusion (FI). FI di Bank Indonesia dilaksanakan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang terdiri atas 6 (enam) pilar sebagai berikut: (i) edukasi keuangan; (ii) fasilitas keuangan publik; (iii) pemetaan informasi keuangan; (iv) kebijakan/peraturan yang mendukung; (v) intermediasi dan saluran distribusi; serta (vi) perlindungan konsumen.

6. Pengembangan UMKM dilakukan mengingat UMKM merupakan salah satu pemain penting bagi perekonomian Indonesia, namun masih terkendala dalam hal pembiayaan oleh perbankan karena faktor berikut. Karakteristik UMKM yang sebagian besar masih unbanked dan tidak memiliki laporan keuangan yang memadai, menjadi keterbatasan bagi bank dalam menganalisa kelayakan usaha. Sebaliknya bagi

Bagaimana Strategi Bank Indonesia

Dalam dokumen Mengupas Kebijakan Makroprudensial_DKMP (Halaman 37-41)

Dokumen terkait