• Tidak ada hasil yang ditemukan

Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis

Dalam dokumen Mengupas Kebijakan Makroprudensial_DKMP (Halaman 80-87)

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis:

V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis

meminimalisir langkah atau kebijakan yang bersifat kontra produktif dari satu atau beberapa lembaga anggota.

V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan

dan Penanganan Krisis

Dalam pencegahan dan penanganan krisis, Bank Indonesia memiliki opsi kebijakan yang mengacu pada peran dan wewenang dalam menjaga stabilitas moneter, mendorong stabilitas sistem keuangan, dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Beberapa opsi kebijakan cenderung ditempuh hanya pada saat tekanan terindikasi tinggi, sehingga dinilai sebagai kebijakan yang di luar konvensi atau tidak biasa (unconventional). Selain karena kompleksitas desain dan implementasi kebijakan, faktor biaya dan potensi moral hazard para pelaku ekonomi menjadi pertimbangan dalam membatasi penggunaan kebijakan unconventional.

Secara spesifik, opsi kebijakan Bank Indonesia dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis berkaitan erat dengan peran bank sentral: 1) sebagai Lender of the Last Resort (LOLR) yang merupakan fungsi inheren bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan; dan 2) dalam memelihara stabilitas nilai tukar dan sektor eksternal. Berkaitan dengan fungsi LOLR, Bank Indonesia

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis dapat memberikan opsi penyediaan likuiditas yang bersifat intervensi pasar atau Liquidity Providing (Market Intervention) Options dalam mekanisme Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facility, atau memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Opsi kebijakan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa posisi Bank Indonesia di pasar uang memungkinkannya untuk melakukan deteksi dini tekanan likuiditas di pasar keuangan serta pentingnya menjaga fungsi pasar uang selama periode terjadi kepanikan di pasar keuangan (financial panic). Prinsip dasar LOLR adalah memastikan tersedianya likuiditas yang memadai di perekonomian khususnya melalui sektor perbankan, mengingat bank sentral berfungsi sebagai penyedia dan pengendali likuiditas melalui OPT (Thornton, 1939; Bagehot, 1873).

Dalam kondisi financial panic yang menyebabkan terganggunya likuiditas di pasar uang, Bank Indonesia dapat melakukan intervensi pasar melalui OPT dengan menambah likuiditas Rupiah maupun valuta asing ke pasar uang. OPT tersebut ditujukan untuk mengatasi keketatan likuiditas atau terganggunya distribusi likuiditas antarbank. OPT dalam rangka intervensi pasar pernah dilakukan oleh Bank Indonesia di November 2008, dengan membuka reverse repo berjangka waktu satu hari sampai dengan satu tahun. Intervensi pasar tersebut mensyaratkan agunan berupa aset likuid yang berkualitas tinggi (high quality liquid assets), untuk memastikan pelaku pasar menitikberatkan pada mekanisme pasar dalam pemenuhan likuiditas sehingga fungsi bank sentral sebagai last resort terjaga (Baca juga Boks 5.1. Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008). Bilamana kebutuhan likuiditas terjadi pada individual bank sehingga Bank Indonesia tidak membuka OPT, Bank Indonesia dapat memberikan Standing Facility yang disebut Lending Facility (fasilitas pinjaman), dengan tenor (jangka waktu) overnight (satu malam) dan persyaratan agunan yang sama dengan mekanisme intervensi pasar. Apabila bank memiliki kebutuhan likuiditas dalam tenor lebih panjang dari overnight dan/atau alat likud lainnya untuk digunakan sebagai agunan, Bank Indonesia dapat memberikan FPJP. FPJP hanya dapat diberikan kepada bank pemohon dan agunan yang memenuhi kriteria eligibilitas. Kriteria eligibilitas menyiratkan bahwa FPJP,

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis

74

sebagaimana layaknya instrumen LoLR bank sentral lainnya, memiliki

constructive ambiguity (ambiguitas yang bersifat konstruktif)18 untuk meminimalisir moral hazard di kalangan perbankan.

Terkait dengan peran Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas nilai tukar dan sektor eksternal, Bank Indonesia dan/atau Kementerian Keuangan dapat mengaktivasi jaringan pengaman keuangan internasional atau yang disebut International Financial

Safety Net (IFSN) apabila tekanan likuiditas bersifat eksternal dan/

atau berkaitan dengan neraca pembayaran. IFSN merupakan kerja sama Bank Indonesia dan/atau Pemerintah Republik Indonesia dalam mencegah dan menangani krisis secara bilateral, regional, maupun multilateral dengan bank sentral, otoritas moneter, dan/ atau otoritas lainnya, organisasi atau lembaga internasional, dan forum internasional dalam rangka pemenuhan kecukupan cadangan devisa dan/atau kesulitan likuiditas jangka pendek. IFSN dapat bersifat pencegahan krisis maupun penyelesaian krisis.

18. Ambiguitas yang konstruktif dalam hal ini diimplementasikan dengan tetap memelihara diskresi dari BI dalam proses pengambilan keputusan dalam pemberian FPJP agar bank tidak berperilaku sedemikian rupa untuk menjamin keputusan pemberian FPJP. Perilaku ini yang dianggap sebagai moral hazard.

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis

Beberapa hari setelah terjadinya kebangkrutan Lehman Brothers tanggal 15 September 2008, pasar keuangan global mengalami guncangan yang cukup kuat. Pelaku pasar yang sudah mengalami keresahan sejak pertengahan 2007 karena subprime mortgage

crisis, tiba-tiba memperoleh konfirmasi bahwa permasalahan di

pasar keuangan global sudah sangat parah. Lehman Brothers yang pada saat itu adalah bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat terpaksa mendeklarasikan bangkrut karena sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajiban keuangannya. Peristiwa ini berdampak pada penurunan kepercayaan pada pasar keuangan global yang dampaknya tidak hanya terisolasi di Amerika Serikat, tetapi juga ke seluruh negara yang memiliki pasar keuangan yang aktif secara global, termasuk Indonesia. Investor asing terpaksa menarik likuiditasnya dari berbagai negara untuk menjaga posisi likuiditasnya sendiri. Karena penarikan dana investor asing di Indonesia serta penurunan tingkat kepercayaan, pasar keuangan Indonesia pun mengalami penjualan aset-aset pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan turun dari 2.166 pada 29 Agustus 2008, menjadi 1.256 pada 31 Oktober 2008 (-42%). Indeks harga obligasi pemerintah IDMA turun dari 86,18 menjadi 72,28 pada periode yang sama (-16%). Nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 20,7% sepanjang September dan Oktober 2008. Sementara dalam periode tersebut, cadangan devisa Indonesia turun sebesar USD 7,78 miliar.

Boks 5.1.

Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008

Tabel 5.1.

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis

76

Walaupun pasar keuangan mengalami gangguan yang cukup signifikan, perbankan Indonesia mampu menyerap risiko tersebut dengan menjaga indikator bulanan pada kisaran NPL 3,9%, CAR 16,5%, LDR 80%, pertumbuhan kredit 34,6% (y-o-y) pada September 2008. Namun demikian, perbankan merasakan tipisnya likuiditas pasar, sehingga pasar uang mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Likuiditas Rupiah di perbankan juga mengalami penurunan karena menurunnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Sementara likuiditas valas juga menurun karena permintaan yang cukup tinggi dari pasar global.

Dalam kondisi terjadinya ancaman pada stabilitas keuangan, sangat penting untuk mengutamakan langkah-langkah yang dapat mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan menjaga kesinambungan perekonomian nasional. Dalam kondisi yang tidak normal seperti ini, otoritas perlu dipersenjatai dengan keleluasaan dan instrumen untuk dapat mengatasi kondisi krisis atau mendekati krisis. Namun, dasar hukum untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan krisis pada saat itu masih belum ada. Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang atau Perppu, yaitu Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK). Istilah ini adalah terjemahan dari financial safety net yang secara luas dimengerti oleh dunia keuangan internasional. Secara umum Perppu JPSK ini ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas pembiayaan jangka pendek, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan krisis (Depkeu RI, 2008). Untuk mengatasi kondisi instabilitas di sistem keuangan, selain dari Perppu JPSK tersebut, pada saat yang bersamaan Pemerintah juga menerbitkan 2 (dua) Perppu, yaitu Perppu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU tentang Bank Indonesia dan Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter secara independen dapat melakukan berbagai langkah untuk mengurangi tekanan pada industri perbankan, antara lain menurunkan suku bunga yang harus dibayar bank untuk mengakses fasilitas likuiditas dari Bank Indonesia seperti overnight Repo rate dan menurunkan giro wajib minimum bank. Namun dengan adanya Perppu JPSK, seluruh otoritas keuangan dan pelaku pasar sama-sama mengerti bahwa stabilitas sistem keuangan sedang terganggu dan bahwa otoritas keuangan telah siap melakukan langkah-langkah untuk menanggulangi kondisi tersebut. Bank Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah kemudian mengupayakan beberapa cara termasuk: (i) dihentikannya valuasi aset yang mengikuti harga pasar (marking to market) sehingga neraca institusi keuangan tidak terganggu oleh risiko pasar akibat turunnya harga-harga aset keuangan, (ii) mempermudah dipindahkannya aset yang masuk dalam portofolio perdagangan (tradable) dan siap diperdagangkan (available for sale) menjadi portofolio yang disimpan sampai dengan jatuh tempo (hold to maturity), dan (iii) meningkatkan batasan saldo dana pihak ketiga yang dijamin oleh LPS dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar. Selain itu, adanya Perppu JPSK ini kemudian memungkinkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah mengenai Protokol Manajemen Krisis (PMK).

PMK berguna untuk mempercepat kesamaan pandang dan pemahaman mengenai situasi yang berkaitan dengan kondisi krisis. Mengapa hal ini menjadi penting, tidak lain dikarenakan dalam kondisi krisis, langkah-langkah penanggulangan harus dilakukan secara tepat dan cepat. Permasalahan di dunia keuangan tidak hanya merambat dari pelaksanaan transaksi keuangan (yang dapat berlangsung dengan cepat karena ditunjang oleh teknologi informasi yang canggih), tetapi juga merambat melalui tukar menukar informasi antarpelaku pasar atau melalui pemberitaan di pasar keuangan. Perambatan permasalahan ini akan memperparah kondisi krisis secara cepat jika tidak ada upaya penanganan yang tepat dan cepat.

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis

78

Indonesia sudah mendapatkan pelajaran berharga dari pengalaman krisis pada 2008. Jangan sampai terlena dan membiarkan krisis datang tanpa kesiapan kita. Setelah dicabutnya Perppu JPSK oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 7 Juli 2015, Pemerintah, BI, OJK, dan LPS telah bekerja keras untuk menyusun Undang-Undang yang baru untuk memberikan kepastian hukum dalam kondisi krisis keuangan. Oleh karena itu, diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK merupakan angin yang segar bagi sistem keuangan Indonesia, karena kepastian hukum ini dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar serta memberikan kenyamanan pada semua pihak yang menggunakan jasa keuangan di Indonesia.

Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money Market. Bank Indonesia. (2007). Stabilitas Sistem Keuangan, Apa, Mengapa dan

Bagaimana? Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Mei.

___________. (2015). Guidelines Pelaksanaan Stress Test Perbankan di Bank Indonesia. Laporan Program Strategi No. 2B. Departemen Kebijakan Makroprudensial dan Departemen Surveillance Sistem Keuangan. Bank Indonesia.

Basel Committee on Banking Supervision. (2010). Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems _______________. (2012a). Model and Tools for Macroprudential Analysis.

BIS Working Paper No.12. Bank for International Settlements.

_______________. (2012b). A Framework for Dealing With Domestic Systemically Important Banks.

_______________. (2013). Global Systemically Important Banks: Updated Assessment Methodology and The Higher Loss Absorbency Requirement.

_______________. (2013). Basel III: The Liquidity Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools.

_______________. (2014). Basel III: The Net Stable Funding Ratio.

Bernanke, B. (2013). Monitoring the Financial System. Speech At the 49th Annual Conference on Bank Structure and Competition sponsored by the Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois.

Billio, M; Mila, G; Andrew W.L dan Loriana P. (2010). Measuring Systemic Risk in the Finance and Insurance Sectors. MIT Sloan School Working Paper 4774-10.

Borio C., M. Drehman, dan K. Tsatsaronis. (2012). Stress-Testing Macro Stress Testing: Does It Live Up To Expectations?. BIS Working Papers No 369.

Borio, C. (2009). Implementing The Macroprudential Approach to Financial Regulation and Supervision. Banque de France Financial Stability

Dalam dokumen Mengupas Kebijakan Makroprudensial_DKMP (Halaman 80-87)

Dokumen terkait