• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Bail-in

Dalam dokumen Mengupas Kebijakan Makroprudensial_DKMP (Halaman 66-71)

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan

C. Countercyclical Capital Buffer (CCB)

3. Mekanisme Bail-in

Bail-in merupakan salah satu elemen KAs yang dipersyaratkan sebagai kewenangan dari otoritas resolusi.

Bail-in merupakan kewenangan otoritas resolusi untuk

melakukan restrukturisasi hutang dari institusi keuangan dengan melakukan write-down terhadap unsecured debt dan melakukan konversi menjadi ekuitas untuk menyerap kerugiannya. Prinsipnya adalah untuk mengeliminasi risiko

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

insolvent, dengan menyelamatkan institusi keuangan yang

mengalami stres dengan merestrukturisasi kewajibannya tanpa harus melakukan injeksi dana pemerintah/ publik. Hal ini termasuk mengembalikan modal hingga memenuhi persyaratan batas minimum untuk memastikan keberlangsungan institusi. Langkah yang dilakukan dapat dengan mengonversi kewajiban menjadi ekuitas, melakukan suntikan modal dari pemegang saham baru, ataupun kombinasi keduanya. Tujuan utama dari prinsip ini adalah untuk mendapatkan solusi pendanaan dari sektor swasta sebagai alternatif dari penggunaan dana pemerintah/publik. Bail-in telah diakomodir dalam UU PPKSK di mana bank

sistemik diwajibkan memiliki atau menerbitkan convertible

bond yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi ekuitas saham

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

60

Pada akhir tahun 2015, Bank Indonesia meluncurkan instrumen

Countercyclical Capital Buffer atau CCB. CCB dirancang untuk

mewajibkan bank mencadangkan lebih banyak modal ketika kondisi ekonomi sedang meningkat atau boom, yang biasanya disertai dengan pertumbuhan kredit yang berlebihan (perilaku

risk taking yang berlebihan). Harapannya, cadangan modal

ini dapat digunakan oleh bank untuk meredam kerugian yang mungkin ditimbulkan di kemudian hari, saat perekonomian sedang bust atau melambat. Selain itu, cadangan modal ini juga diharapkan dapat digunakan bank untuk tetap menyalurkan kredit di tengah perlambatan ekonomi yang ada. Karena pada saat ini, perilaku bank cenderung menunjukkan prosiklikalitas: membanjiri pasar dengan kredit saat kondisi boom dan menahan kredit saat kondisi bust.

Instrumen ini pertama kali direkomendasikan oleh BCBS tahun 2010 dalam dokumen Basel III: A Global Regulatory Framework for

More Resilient Banks and Banking Systems. Penyusunan instrumen

ini dilatarbelakangi oleh krisis 2008. Perilaku berutang berlebihan (over leverage) yang tidak diimbangi dengan permodalan dan likuditas yang kuat menyebabkan bank tidak mampu menyerap kerugian dan gangguan (shock) yang timbul. Hal ini diamplifikasi oleh adanya interconnectedness atau keterkaitan serta perilaku prosiklikalitas institusi keuangan. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa bank cenderung tidak proporsional dalam menilai risiko dan tidak memperhitungkan kondisi makrofinansial dalam kegiatan bisnisnya.

Oleh karena itu, CCB dirancang sebagai instrumen untuk meredam risiko-risiko tersebut. CCB akan diaktifkan ketika pihak otoritas nasional menangkap sinyal risiko dari pertumbuhan kredit perbankan. Sebaliknya, CCB akan dinonaktifkan ketika pihak otoritas melihat perlambatan penyaluran kredit, atau indikasi bahwa bank memerlukan ruang gerak untuk menyerap

Boks

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

risiko menggunakan bantalan permodalannya. Karena aktivasi CCB didasarkan pada siklus keuangan yang bergerak secara lebih lambat daripada siklus bisnis, maka CCB tergolong sebagai instrumen yang relatif jarang diubah (infrequent).

Untuk mengidentifikasi timing yang tepat dalam mengaktifkan instrumen ini, BCBS menggunakan selisih atau gap rasio kredit terhadap PDB (credit-to-GDP ratio) dari tren jangka panjangnya. Siklus keuangan dibangun antara lain dari pergerakan rasio ini dan diinterpretasikan sebagai persepsi agen keuangan terhadap iklim investasi dan kondisi perekonomian. Namun demikian, disadari juga adanya perbedaan karakteristik antarnegara sehingga indikator pengukuran siklus keuangan tersebut dapat disesuaikan oleh masing-masing negara. Hong Kong misalnya, mengkombinasikan indikator credit-to-GDP gap dengan indikator lain seperti harga beli dan sewa properti lokal, selisih suku bunga penawaran dan permintaan di pasar uang antarbank, dan rata-rata kualitas kredit. Norwegia juga menggunakan beberapa indikator sekaligus seperti credit-to-GDP gap, rasio harga rumah terhadap pendapatan, harga riil properti, dan rasio pendanaan

wholesale. Sedangkan Inggris hanya menggunakan satu rasio

utama yang disarankan BCBS, yakni credit-to-GDP.

Bagi bank, mengubah level permodalan bukan suatu hal yang mudah atau fleksibel. Oleh karena itu, untuk memberikan waktu bagi bank untuk beradaptasi dengan ketentuan CCB tersebut, BCBS memberikan waktu sampai dengan 12 bulan sebelumnya. Di Indonesia, kewajiban pemenuhan CCB ditetapkan paling cepat 6 bulan dan paling lambat 12 bulan setelah ketentuan disahkan. Sedangkan di Hong Kong, ketetapan peningkatan CCB menjadi 1,25% di Januari 2017 telah disampaikan pada Januari 2016, atau 1 tahun sebelumnya. Hal serupa juga dilakukan di India, dengan himbauan bagi bank agar dapat memenuhi ketentuan CCB lebih cepat dari 12 bulan. Sementara itu, Swiss menetapkan waktu implementasi yang lebih rendah, yakni 3 sampai dengan 12 bulan.

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

62

Besaran CCB juga disesuaikan berdasarkan siklus keuangan yang ada. Kisaran tambahan modal (buffer) ditetapkan BCBS sebesar 0% (nol) sampai dengan 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) di atas kewajiban modal minimum yang ditetapkan oleh standard Basel III. BCBS juga menentukan bahwa hanya Common Equity Tier 1 (CET Tier 1) yang dapat digunakan untuk memenuhi

buffer tersebut. Hal ini dilakukan agar cadangan modal tersebut

benar-benar dapat digunakan saat terjadi tekanan di sistem keuangan (stress). Implementasi CCB sendiri akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2016 dan akan diterapkan penuh pada 1 Januari 2019.

Pada tahun 2016, hampir seluruh negara menerapkan CCB pada level 0% (nol), sesuai dengan fase yang diterapkan oleh BCBS. Negara-negara tersebut antara lain adalah: Argentina, Australia, Belgia, Brazil, Tiongkok, Jerman, India, Indonesia, Jepang, Korea, Inggris, dan Amerika Serikat. Namun demikian, terdapat satu negara yakni Hong Kong yang telah memasuki fase kedua penerapan CCB dengan nominal 0,625% dan Swedia sebesar 1%.

Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?

Sejak krisis keuangan tahun 2008, G20 telah membentuk landasan baru kerangka pengaturan keuangan global untuk menciptakan sektor keuangan yang lebih tangguh dan lebih melayani kebutuhan ekonomi riil. Financial Stability Board (FSB) dan Basel

Commitee for Banking Supervision (BCBS) kemudian menjabarkan

penguatan sektor keuangan tersebut ke dalam kerangka regulasi dan menyusun tenggat waktu implementasi yang bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sektor keuangan global. Bersama dengan otoritas lainnya, termasuk otoritas keuangan di luar negeri, Bank Indonesia sebagai anggota FSB terus mengupayakan implementasi kebijakan reformasi global tersebut. Secara garis besar, penguatan sektor keuangan mencakup 5 (lima) agenda utama, yaitu:

Dalam dokumen Mengupas Kebijakan Makroprudensial_DKMP (Halaman 66-71)

Dokumen terkait