• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE DAN CARA PENELITIAN

D. Korelasi Kadar GGT dengan Parameter Pemeriksaan lain

D. Korelasi Kadar GGT dengan Parameter Pemeriksaan lain

Dilakukan tes distribusi normal dengan Uji Kolmogorov-Smirnov Z, didapatkan hasil semua data terdistribusi normal kecuali parameter GGT, GDP, tekanan darah sistolik, diastolik, dan trigliserida yang tidak terdistribusi normal (signifikasi p<0,05), sehingga untuk uji korelasi antara kadar GGT dengan komponen SM, hs-CRP dan Gpx menggunakan Uji Spearman.

Didapatkan korelasi positif lemah antara GGT dengan komponen SM meliputi lingkar pinggang (r=0,210, p=0,048), hal ini sesuai penelitian dari Data From the Epidemiological Study on the Insulin Resistance Syndrome (DESIR)

Cohort yang mendapatkan korelasi antara GGT dengan lingkar pinggang (laki-laki r=0,29, wanita r=0,20). Kadar GGT berhubungan dengan insiden obesitas sentral dan hipertrigliseridemia pada subyek tanpa obesitas sentral atau hipertrigliseridemia saat baseline (André, 2007).

Tabel korelasi GGT dengan variabel penelitian lain dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Korelasi kadar GGT dengan variabel penelitian lain

Variabel r* Nilai p (IK 95%)

Komponen sindroma metabolik

Lingkar pinggang (cm) 0,210 0,048

Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) -0,080 0,264 Kadar kolesterol HDL (mg/dl) -0,160 0,104

Kadar trigliserida (mg/dl) 0,203 0,054

Tekanan darah sistolik (mmHg) -0,030 0,407 Tekanan darah diastolik (mmHg) -0,031 0,403

Kadar hs-CRP (mg/L) 0,423 0,001

Kadar GPx (U/L) 0,037 0,385

commit to user

Grafik korelasi positif lemah bermakna antara kadar GGT dengan lingkar pinggang dapat dilihat pada gambar 8 berikut ini.

Gambar 8. Grafik korelasi GGT dengan LP

Penelitian the Framingham Offspring Study mengevaluasi 3451 pasien secara potong lintang dan longitudinal, dan mengkorelasikan GGT dengan SM (kriteria NCEATP III), CHD dan faktor risiko, onset Congestive Heart Failure

(CHF), penyakit vaskuler perifer, penyakit kardiovaskuler atau kematian. Subyek dievaluasi setiap 4 tahun selama 20 tahun (1971-1991) dan didapatkan hasil dari seluruh partisipan insiden terjadinya SM 28%, penyakit kardiovaskuler 15,5%, dan GGT pada kuartil ke 4 (laki-laki 25-99 U/L, wanita 14-88 U/L) sebagai prediktor independen perkembangan SM dengan peningkatan insiden sebesar 1,76 kali (Lee et al., 2007).

Tidak didapatkannya korelasi antara kadar GGT dengan GDP (r=-0,080, p=0,264) kemungkinan hal ini disebabkan subyek penelitian yang mengkonsumsi obat anti diabetik. Sekitar 50% dari subyek penelitian ini mengkonsumsi obat anti diabetik metformin. Metformin mampu meningkatkan penggunaan glukosa baik itu di otot maupun di intestinal sehingga dapat menurunkan kadar GDP sebesar

Kadar GGT (IU/L)  LP   (cm )   r=0,210 p=0,048

20%, HbA1c 1,5%, dan penurunan berat badan 2-3 kg (88% diantaranya jaringan lemak). The Metformin Multicenter Study Group membandingkan 143 pasien yang diterapi metformin dan 146 plasebo mendapatkan hasil metformin mampu menurunkan kadar GDP (189±5 vs. 244±6 mg/dl) dan HbA1c (7.1±0.1 vs.

8.6±0.2%), selain itu metformin mampu menekan produksi glukosa hepatik yang secara tidak langsung dapat menurunkan LDL, trigliserida, dan meningkatkan HDL sehingga risiko kematian menurun sekitar 36% (Herzlinger & Abrahamson, 2010). Menurut Whitfield (2007) tidak ada perbedaan antara abnormalitas GGT dengan derajat pengendalian glukosa, tipe terapi (diet, obat hipoglikemi oral atau insulin) dan lamanya DM.

Beberapa obat anti diabetik lain seperti insulin, thiazolidinedione (rosiglitazone dan pioglitazone), diketahui dapat menurunkan GGT, oleh karena efek metabolik, anti inflamasi dan anti oksidan, namun sulit untuk memastikan apakah efek obat menguntungkan secara klinik. Rosiglitazone secara bermakna menurunkan inflamasi subklinikal (kadar hs-CRP) melalui stimulasi agonis

Peroxisome Proliferator-Activates Receptor Gamma (PPAR-γ) yang akan

meningkatkan sensitifitas insulin (Ceriello & Motz, 2004; Whitfield, 2007; Dandona, 2008).

Didapatkan korelasi positif lemah tidak bermakna antara GGT dengan komponen SM lain yaitu trigliserida (r=0,203, p=0,054), hal ini tidak sesuai penelitian dari DESIR Cohort yang mendapatkan korelasi antara GGT dengan trigliserida (laki-laki r=0,29, wanita r=0,20) (André, 2007). Penelitian potong lintang dan longitudinal 163.944 subyek The Vorarlberg Health Monitoring and

commit to user

Promotion Program (VHM & PP) yang dilakukan Ruttmann (2005) di Austria mendapatkan hubungan positif bermakna antara GGT dan faktor risiko mortalitas kardiovaskuler meliputi IMT, trigliserida, kolesterol total, tekanan darah sistolik, diastolik serta glukosa yang sebagian besar merupakan komponen SM. Selain itu pada penelitian Rantala (2000) didapatkan juga korelasi yang bermakna antara GGT dengan BMI (r=0,33), trigliserida (r=0,39) dan insulin puasa (r=0,32, p=0,001). Grafik korelasi positif lemah antara kadar GGT dengan trigliserida dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Grafik korelasi GGT dengan trigliserida

Hasil penelitian ini untuk komponen SM lainnya yaitu kolesterol HDL tidak didapatkan korelasi yang bermakna. Penelitian Ruttmann (2005) yang mendapatkan korelasi negatif bermakna antara GGT dengan kolesterol HDL sebesar r=-0,14; p=<0,001 sejalan dengan penelitian ini (r=-0,160) namun pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi yang bermakna (p=0,104), seperti dijelaskan diatas kemungkinan hal ini oleh karena penggunaan obat anti diabetik metformin mampu menekan produksi glukosa hepatik sehingga meningkatkan HDL (Herzlinger & Abrahamson, 2010).

r=0,203 p=0,054  Tri g liser ida   (m g /dl )   Kadar GGT (IU/L)

Penelitian menunjukkan bahwa GGT merupakan penanda potensial perkembangan atherosklerosis yang terdeteksi pada plak atherom karotid dan arteri koroner yang mencetuskan oksidasi LDL (Ruttmann, 2005). Terdapat hubungan terbalik antara kolesterol HDL dan ox-LDL melalui efek anti oksidan komponen HDL yaitu HDL-associated enzymes paraoxonase dan lecithin: cholesterol acyltransferase yang akan mencegah oksidasi LDL dan membuat LDL resisten terhadap oksidasi (Holvoet et al., 2004). Enzim GGT sebagai penanda stres oksidatif berhubungan dengan degradasi glutathione dan penanda proatherogenik karena berhubungan secara tidak langsung dengan oksidasi LDL (Mason et al., 2010).

Penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara kadar GGT dengan tekanan darah sistolik (r=-0,030, p=0,407), maupun diastolik (r=-0,031, p= 0,403). Kemungkinan hal tersebut dikarenakan efek dari obat anti hipertensi, sekitar 18% subyek penelitian ini menkonsumsi obat anti hipertensi golongan Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs) atau Angiotensin I (AT-1) receptor antagonist,

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor 15%, Ca antagonist 6%, dan diuretik 2%. Obat anti hipertensi seperti ACE inhibitor mempunyai aktifitas anti oksidan intraseluler yang kuat dan sebagai anti inflamasi terutama melalui jalur penghambatanACE (Ceriello & Motz, 2004; Dziubla et al., 2006).

Hal ini sesuai dengan penelitian Rantala (2000), hampir 50% subyek diterapi dengan obat anti hipertensi (beta-blockers, diuretik, calcium channel bolckers dan ACE inhibitor). Didapatkan hasil tidak ada hubungan antara GGT dan tekanan darah pada pasien yang diterapi obat anti hipertensi sedangkan pada

commit to user

kontrol perbedaan ini hilang setelah penyesuaian dengan usia, IMT, dan konsumsi alkohol (Rantala, 2000).

Berdasarkan uji korelasi Spearman (tabel 10) didapatkan hasil korelasi positif sedang bermakna antara kadar GGT dengan hs-CRP (r=0,423; p=0,001). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Tohidi (2008) yang mendapatkan korelasi positif bermakna antara GGT dan hs-CRP. Diketahui hs-CRP sebagai penanda inflamasi mampu meningkatkan sintesa fatty acid secara de novo dan akumulasi lemak yang berkontribusi pada peningkatan enzim hati dan diabetes, serta terlibat dalam patogenesis DM tipe 2 melalui mekanisme non inflamasi yang berhubungan dengan stres oksidatif (Tohidi, 2008). Penelitian ini sesuai dengan Lee & Jacobs (2005) Association between Serum Gamma-glutamylransferase and C-Reactive Protein pada 12.110 subyek NHANES III secara potong lintang yang mendapatkan kadar serum GGT bahkan pada kadar normal berhubungan positif dengan kadar CRP.

Grafik korelasi positif sedang bermakna antara kadar GGT dengan hs-CRP dapat dilihat pada gambar 10 berikut ini.

Gambar 10. Grafik korelasi GGT dengan hs-CRP r=0,423 p=0,001  Kadar GGT (IU/L) hs CR P   (m g /L )  

Fakta yang ada menunjukkan CRP merupakan prediktor kuat risiko penyakit kardiovaskuler. Pasien DM yang pertama kali masuk rumah sakit dan mempunyai kadar CRP > 5 mg/L akan meningkatkan risiko kematian sebesar 50-330% (Khan & Qayyum, 2009).

Pemeriksaan GGT merupakan pemeriksaan enzim fungsi hati generasi kedua yang awalnya digunakan untuk indikator sensitif pemakaian alkohol, inflamasi hati, penyakit perlemakan hati dan hepatitis. Penelitian longitudinal dan potong lintang telah dilakukan sejak tahun 1990 dan didapatkan hubungan GGT dengan peningkatan semua penyebab kematian, baik itu penyakit hati kronik, gagal jantung kongestif maupun komponen SM (Mason, 2010).

Risiko relatif kematian pada pria dengan peningkatan GGT dibandingkan subyek dengan kadar GGT normal sebesar 1,52 [IK 95%; 1,33-1,77] ketika usia sebagai satu-satunya faktor yang dipertimbangkan, dan ketika dilakukan penyesuaian dengan kelas sosial, merokok, aktifitas fisik, konsumsi alkohol, IMT, CHD atau DM, tekanan darah, kolesterol total dan HDL maka risiko relatif menurun menjadi 1,22 [IK 95%; 1,01-1,42). Hal ini menunjukkan GGT merupakan faktor risiko independent mortalitas (Wannamethee et al., 1995).

Ada ketidak sesuaian antara penelitian satu dengan penelitian lain mengenai aktifitas GPx pada DM tipe 2, ada yang meningkat, menurun, bahkan ada juga yang normal. Total glutahione yang terdapat di eritrosit manusia menurun sesuai usia sel dan pada pasien DM tipe 2, baik itu yang diterapi maupun tidak diterapi dengan obat hipoglikemi oral. Pasien yang tidak diterapi mempunyai kadar glutathione 30% lebih rendah dibanding subyek normal,

commit to user

sedangkan pasien yang diterapi obat hipoglikemi oral mempunyai kadar

glutathione 20% lebih rendah dibanding subyek normal (Oberley, 1988).

Penelitian Moussa (2008) pada 95 pasien DM (tipe 1 dan 2) serta 20 kontrol didapatkan hasil aktifitas enzim GPx lebih tinggi pada pasien DM (tipe 1= 45,1±17 U/gHb, tipe 2= 43,2±16,6 U/gHb) dibandingkan kontrol (30±10,1 U/gHb), namun perbedaannya tidak bermakna, serta didapatkan juga korelasi positif antara enzim SOD, GPx dan MDA.

Penelitian korelasi antara GGT dengan GPx masih jarang dilakukan. Penelitian Arifin (2008) pada penderita PJK stabil di RSUP HAM Medan memperlihatkan bahwa GGT dan GPx menunjukkan hubungan terbalik (r=-0.036), tetapi belum menunjukkan hubungan linier bermakna. Terdapat 4 isoform GPx meliputi GPx-1 (seluler GPx), GPx-2 (gastrointestinal GPx), GPx-3 (ekstraseluler GPx), dan GPx-4 (phospholipid hydroperoxide GPx). Aktifitas dan ekspresi enzim GPx dipengaruhi faktor internal (usia, jenis kelamin, endokrin), eksternal (lingkungan, nutrisi) dan variasi genetik (Mézes et al., 2003; Leopold, 2005).

Penelitian ini tidak dilakukan analisis lebih dalam terhadap faktor-faktor diatas yang dapat mempengaruhi aktifitas dan ekspresi enzim GPx, kemungkinan hal ini yang menyebabkan tidak adanya korelasi antara GGT dengan GPx (r=0,037, p=0,385). Kemungkinan lainnya adalah jumlah sampel yang sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel lebih besar agar diketahui peran GGT yang lebih mendalam terhadap aktifitas enzim GPx. Kekurangan enzim GPx akan menyebabkan peningkatan jumlah ROS, disfungsi

endotel dan aterosklerosis pada penderita DM (Me'zes et al., 2003; Stocker & Keaney, 2004; Moussa, 2008).

Obesitas berhubungan dengan stres oksidatif pada tingkat mitokondria yaitu adanya asam lemak bebas berlebihan menyebabkan uncoupling mitokondria dan pelepasan ROS, walaupun mekanisme ini masih dalam perdebatan. Produksi ROS berlebihan menyebabkan disfungsi mitokondria di hati dan otot skelet, akumulasi lemak jaringan dan resistensi insulin. Sitokin inflamasi dapat juga menginduksi dan memperparah stres oksidatif (Ferranti, 2008).

Stres oksidatif diduga berperan dalam mekanisme diabetes dan komplikasinya. Peningkatan ROS pada DM berkaitan tidak hanya dengan pembentukan oxygen free-radical, namun juga glikosilasi protein non enzimatik, autooksidasi glukosa, gangguan metabolisme GSH, perubahan enzim anti oksidan (peningkatan produksi dan atau penurunan dekstruksi katalase, GPx dan SOD), formasi lipid peroxides, kerusakan DNA, nitrasi protein, gangguan vasorelaksasi, oksidasi LDL dan penurunan kadar asam askorbat. Enzim katalase, GPx dan SOD melawan efek radikal bebas dengan mengeliminasi superoxide, hydrogen peroxide

dan radikal hydroxyl (Johansen et al., 2005; Ferranti, 2008; Moussa, 2008).

Terdapat hubungan antara perlemakan hati (sindrom resistensi insulin) dengan pembentukan radikal bebas. Radikal bebas dapat menurunkan glutathione

intraseluler dan menginduksi GGT untuk menjaga kadar glutathione. Peningkatan GGT berasal dari membran sinusiodal hepatosit yang menyebabkan peningkatan kadar GGT sirkulasi (Withfield, 2001).

commit to user

Selama ini peningkatan kadar GGT dikenal sebagai penanda toksisitas alkohol, inflamasi, penyakit hepatic steatosis dan hepatitis. Ternyata pada kadar kuartil 20% tertinggi, GGT merupakan penanda independent yang kuat pada SM. GGT diklasifikasikan sebagai penanda stres oksidatif karena kemampuannya mendegradasi glutathione (anti oksidan) dan penanda proinflamasi karena kemampuannya membentuk cysteinyl-glycine yang secara tidak langsung mengoksidasi kolesterol HDL dengan adanya besi (Mason, 2010).

Walaupun GGT sebagai penanda stres oksidatif hanya berkorelasi sedang dengan hs-CRP sebagai penanda inflamasi pada penderita SM dan DM tipe 2, pemeriksaan penanda stres oksidatif secara langsung lebih mahal, rumit, dan tidak dapat dilakukan rutin di laboratorium, sedangkan GGT tetap merupakan pemeriksaan yang mudah, murah, cepat, dan dapat dilakukan rutin di laboratorium namun belum dimanfaatkan secara optimal oleh para klinisi, oleh karena itu perlu dipertimbangkan pemeriksaan GGT sebagai pemeriksaan potensial tambahan pada pasien DM tipe 2 sehingga membantu meningkatkan status kesehatan pasien.

Keterbatasan dari penelitian ini adalah subyek dengan DM tipe 2, sehingga tidak dapat diaplikasikan pada pasien DM tipe 1. Rancangan penelitian potong lintang dan penelitian ini merupakan penelitian lokal di RSDM Surakarta sehingga diperlukan penelitian multicenter lanjutan dengan jumlah sampel lebih banyak, rancangan penelitian cohort serta jenis penyakit yang lebih beragam sehingga dapat diketahui peran GGT yang lebih mendalam sebagai penanda stres oksidatif maupun prediktor penyakit kardiovaskuler.

commit to user

50   

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait