• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kota Banjarmasin

Dalam dokumen Lap. Pendahuluan Sanitasi (Halaman 41-46)

Laporan Pendahuluan

3.3. KONDISI SANITASI

3.3.2 Kota Banjarmasin

Sebagai ibukota provinsi bisa dikatakan kondisi sanitasi di Banjarmasin masih belum begitu baik. Faktanya, hingga saat ini masih banyak dijumpai jamban bilik di sepanjang permukiman pinggir sungai yang pembuangannya langsung dibuang ke sungai.

Dengan julukan kota seribu sungai, aktivitas masyarakat di kota ini memang sangat erat dengan sungai, mulai dari menjalankan aktivitas sehari-hari seperti Mandi Cuci Kakus (MCK), berdagang, hingga berwisata semua dilakukan diatas sungai.

Eratnya hubungan masyarakat Bumi Banjar ini dengan sungai juga diamini oleh Kepala Bappeda Kota Banjarmasin, Fajar Desira.

Menurutnya, masyarakat di daerah ini memang sangat bergantung dengan sungai. Oleh karena itu, wajar bila di kota ini masih banyak dijumpai masyarakat yang menjalankan aktivitas sehari-hari terutama kegiatan MCK di sepanjang aliran sungai. Kondisi ini tentunya sangat disayangkan karena dengan melakukan aktivitas MCK di sungai otomatis akan mencemari kondisi air sungai itu sendiri. "Budaya masyarakat kami memang sangat erat dengan sungai. Sehingga, saya pribadi sebenarnya merasa tidak masalah bila hingga kini masih banyak masyarakat melakukan kegiatan buang air di jamban terapung," ujarnya.

Hanya saja, Fajar menambahkan, bila pembuangannya harus disalurankan ke suatu sistem pengolahan seperti ke pipa ipal komunal atau ke tangki septik apung.dan tidak boleh dibuang seperti saat ini.

"Sebab, bukan hanya sekadar mencemari air sungai saja, dengan pembuangan kotoran langsung ke sungai akan berdampak pula dengan rusaknya kondisi lingkungan yang berujung pada penyebaran penyakit, seperti diare," terangnya saat membuka acara Pemutakhiran dan Finalisasi SSK kota Banjarmasin yang dilaksanakan di Kantor Bappeda Kota Banjarmasin, Senin (2/12).

Fajar mengatakan, untuk meningkatkan kondisi sanitasi Banjarmasin yang belum optimal, saat ini telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah kota Banjarmasin, salah satunya dengan mengikuti dan menjadi peserta program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) sejak 2009. Melalui program ini Banjarmasin telah menyusun strategi perencanan pembangunan sanitasi berupa Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK). Penyusunan SSK sendiri bertujuan agar kota dapat memiliki strategi pembangunan sanitasi yang tepat dan disesuaikan dengan permasalahan yang ada, sehingga pembangunan sanitasi akan lebih optimal.

 

Laporan Pendahuluan

3 - 7 Adapun, kegiatan pemutakhiran SSK ini dilakukan karena kini dokumen SSK kota Banjarmasin sudah lebih dari lima tahun.

Fajar menuturkan bahwa pihaknya sangat antusias dalam melakukan pemutakhiran SSK. "Dengan adanya perbaikan SSK kami berharap kedepannya makin banyak lagi sumber pendanaan yang masuk untuk membiayai program pembangunan sanitasi yang dilakukan oleh pemerintah Kota Banjarmasin, baik itu pendanaan yang berasal dari pemerintah pusat atau lembaga donor," katanya.

Dalam rangka mensuksekan acara ini, Fajar mengimbau agar semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat saling bergotong royong dan bekerjasama dengan baik dalam penyelesaian dokumen SSK yang baru ini.

" Mari kita buat dokumen SSK yang lebih berkualitas dari sebelumnya. Karena, dengan SSK yang lebih baik saya yakin kondisi sanitasi di Banjarmasin ini dapat lebih maju dari sebelumnya, baik itu dari sisi air limbah, sampah maupun drainase," pungkasnya.

Acara pemutakhiran SSK sendiri berlangsung dari tanggal 2-3 Desember 2013 yang bertempat di Kantor Bappeda Banjarmasin.

3.3.2.1 Pemko Komitmen Bangun Sanitasi Berbasis Masyarakat

Banjarmasin, KP – Pemko Banjarmasin sejak 2006 hingga 2011 ini terus berkomitmen untuk membangun sanitasi berbasis masyarakat dengan terus mengadakan tempat Mandi Cuci Kakus (MCK) Komunal yang tersebar di ibu kota Provinsi Kalsel ini.

Kegiatan penggalan sanitasi yang berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menekan warga Banjarmasin yang sebelumnya sering memanfaatkan sungai menjadi sarana buang air besar sampai kebutuahan sehari-hari supaya mulai beralih dengan MCK Komunal, kata Kepala Dinas PU Kota Banjarmasin Ir HN Fajar Desira Ces kepada {[wartawan]}, di Banjarmasin, belum lama ini. “Sejak dibangun MCK Komunal 2006 hingga 2010 sekarang ini sudah berjumlah 17 lokasi yang setiap MCK bisa dipakai 50 KK yang setiap harinya dilakukan pengelolaan masyarakat warga sekitarnya,’’papar Fajar.Diakui memang sejak adanya MCK Komunal yang dilakukan pengelolaan warga masyarakat dibawah pengawasan PD PAL cukup membantu masyarakat yang semula melakukan aktifitas keseluruhannya di sungai sekarang ini mereka sudah berkurang 50 KK sehingga jika dikalikan 17 tentu saja sudah mencapai 850 KK di Kota Banjarmasin sudah tak lagi berketergantungan dengan Sungai lagi.

Direktur PD PAL Kota Banjarmasin Ir H Muhiddin MT mengatakan pembangunan sanitasi dalam hal ini penanganan air limbah, persampahan, dan drainase, memang dapat memenuhi syarat teknologi dan syarat kesehatan terhadap lingkungan tempat tinggal untuk bermukim. Jadi, katanya, sanitasi memang merupakan aspek yang sangat penting dan sangat mendukung kelestarian dan kualitas sumber daya air, serta penciptaan permukiman yang layak huni, maka dengan sanitasi yang baik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. “Memang sanitasi yang baik akan mengurangi serangan penyakit infeksi seperti diare, dengan tubuh menjadi sehat maka diharapkan pertumbuhan ekonomi masyarakat akan membaik,”tegas Muhiddin lagi.

Ia juga menerangkan sangatlah wajar kalau pemerintah Indonesia dalam Konferensi Sanitasi Nasional (KSN) telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang diantaranya menumbuhkembangkan perilaku hidup bersih dan sehat serta perilaku higienis, menetapkan sanitasi sebagai sektor prioritas

pembangunan nasional, menumbuhkembangkan penyediaan layanan sanitasi oleh dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat, serta meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menerapkan standar pelayanan minimal.

Bahkan, saat ini penanganan sanitasi melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), jadi penanganan DAK saitasi tak lagi jadi satu kesatuan dengan DAK air minum.“Untuk sanitasi mulai tahun ini sudah tersendiri melalui DAK sub bidang sanitasi yakni DAK Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM),”jelasnya.

Oleh karena itu, diperlukan adanya pelatihan tenaga fasilitator lapangan. Sebab, keberhasilan implementasi sanitasi lingkungan berbasis masyarakat atau SLBM ini sangat tergantung pada partisipasi aktif masyarakat selama proses perencanaan yang dilaksanakan.(vin)

3.3.2.2 Training Fasilitator Lapangan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat Tingkat Regional Kalimantan, Kota Banjarmasin, 4-10 April 2010

Setelah pelaksanaan Training Fasilitator Lapangan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (TFL-SLBM) di Kota Mataram, Solo dan Palembang, kegiatan ini dilanjutkan untuk regional Kalimantan di Kota Banjarmasin pada tanggal 4-10 April 2010. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari 43 kabupaten/kota yang mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2010 di Provinsi Kalimantan Selatan. Perwakilan dari unsur pemerintahan dan masyakarat yang mencapai jumlah 160 peserta mengikuti pelatihan satu minggu ini. Seperti halnya pelatihan di kota lain, berbagai materi mulai dari kebijakan dan strategi sampai dengan beberapa contoh pengalaman yang berhasil dalam pembangunan sanitasi di Indonesia disampaikan pada kegiatan ini.

Kunjungan lapangan di Kota Banjarmasin dilakukan ke dua lokasi pembangunan sarana sanitasi yaitu rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Pekauman dan MCK plus Basirih. Rusunawa Pekauman saat ini merupakan satu-satunya rusunawa yang ada di Kota Banjarmasin dimana rusunawa ini memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal tersendiri. MCK plus Basirih merupakan sarana yang berhasil dibangun melalui kegiatan Sanitasi untuk Masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan Sanimas.

Rusunawa Pekauman terdiri atas dua twin blok, dimana masing-masing twin blok terdiri dari 96 unit hunian tipe 21. Seluruh unit pada twin blok pertama telah dihuni oleh 96 kepala keluarga, sedangkan twin blok kedua saat ini baru dihuni sekitar enam puluh persen. Seperti umumnya rusunawa yang dibangun di daerah lain, bangunan ini terdiri atas lima lantai, dimana lantai dasar merupakan daerah terbuka yang digunakan untuk berbagai aktivitas penghuni mulai dari ruang pertemuan, musholla, sampai dengan area parkir. Harga sewa setiap unit berkisar antara Rp 180.000 untuk lantai kedua dan bertambah Rp 20.000 setiap kenaikan lantai hingga mencapai harga Rp 120.000 untuk unit di lantai lima.

Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) telah dibentuk untuk mengelola rusunawa ini. Salah satu tugas UPTD adalah mengelola IPAL komunal yang ada. Limbah tinja dipisahkan dengan limbah rumah tangga lainnya melalui saluran terpisah. Limbah tinja tersebut kemudian diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Selain pengolahan limbah agar aman untuk dibuang, IPAL ini pun menghasilkan bio-gas sebagai pengganti LPG yang biasa digunakan untuk memasak. Sedangkan untuk pengelolaan sampah, masih dilakukan secara konvensional yaitu dengan pengumpulan dan pengangkutan secara berkala ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) secara berkala. Seluruh kegiatan

 

Laporan Pendahuluan

3 - 9 pengelolan limbah dan sampah ini tidak dipungut biaya tambahan sehingga masyarakat hanya perlu membayar penggunaan listrik dan air.

MCK plus Basirih merupakan salah satu contoh keberhasilan kegiatan Sanimas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi serta melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan sanitasi. MCK ini menetapkan tarif sesuai dengan penggunaannya., bahkan terdapat pula jasa layanan pengantaran air bersih selama 24 jam dengan dikenakan biaya tertentu. Segala proses pembangunan MCK ini melibatkan peran serta masyarakat mulai dari pemilihan ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), perencanaan, pembangunan sampai dengan organisasi pengelola.

Melalui kunjungan lapangan, peserta pelatihan dapat berbagi pengalaman secara langsung dengan pihak pengelola serta melihat secara langsung hasil dan kemajuan dari pembangunan sanitasi yang sudah ada. Peserta dapat berdiskusi secara langsung mengenai berbagai hal mulai dari proses pemilihan pengurus KSM, proses pembangunan dari penyediaan lahan sampai dengan pemeliharaan, partisipasi masyarakat serta berbagai masalah yang dihadapi dan cara mengatasinya. Pelaksanaan TFL SLBM ini ditutup dengan penyusunan rencana tindak lanjut oleh para peserta.

3.3.2.3 Kondisi Fasilitas Sanitasi

Salah satu kebutuhan penting dalam rumah tinggal adalah tersedianya fasilitas sanitasi seperti tempat buang air besar. Yang dimaksud dengan fasilitas tempat buang air besar adalah ketersediaan jamban/kakus yang dapat digunakan oleh anggota rumah tangga. Berdasarkan ketersediaan jamban ini dapat dibedakan menjadi empat, yaitu jamban sendiri (jamban/kakus yang digunakan khusus oleh rumah tangga, walaupun kadangkadang ada yang menumpang), jamban bersama (jamban/kakus yang digunakan beberapa rumah tangga tertentu), jamban umum (jamban/kakus yang penggunaannya tidak terbatas pada rumah tangga tertentu, tetapi siapapun dapat menggunakannya) dan tidak ada jamban (tidak ada fasilitas jamban/kakus, misalnya lahan terbuka yang bias digunakan untuk buang air besar (tanah lapang/kebun/halaman/semak belukar), pantai, sungai, danau, kolam dan lainnya.

Gambar 3.1: Grafik Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Fasilitas Buang Air Besar di Kabupaten Banjar, Tahun 2010 .

Sumber: Survey Pertanian, 2010, Susenas

Dari diatas terlihat bahwa dari data SP 2010, sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Banjar memiliki jamban sendiri, mencapai 57,92 persen, jamban bersama dimiliki oleh 23,3 persen rumah

tangga, jamban umum dimiliki oleh 6,23 persen rumah tangga dan sekitar 12,47 persen rumah tangga tidak memiliki jamban. Jika dibedakan menurut klasifikasi desa/kelurahan, jamban sendiri lebih banyak di daerah perkotaan (76,36 persen) sedangkan di daerah pedesaan hanya mencapai 50,01 persen. Terlihat bahwa masyarakat perkotaan lebih banyak yang memiliki jamban sendiri untuk kenyamanan, dan lebih mapan kehidupannya. Untuk jenis jamban bersama, masyarakat perkotaan yang memilikinya mencapai 16,01 persen, lebih sedikit dibanding masyarakat pedesaan yang mencapai 26,42 persen. Sedangkan untuk persentase rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar yakni secara umum sekitar 12,47 persen dimana sebagian besar rumah tangga tersebut berada di daerah perdesaan, yaitu sebesar 17,24 persen, sementara di perkotaan hanya sebesar 1,35 persen.

Gambar 3.2: Grafik Perbandingan Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Fasilitas Buang Air Besar Perkotaan dan Perdesaan di Kabupaten Banjar, Tahun 2010 .

Sumber: SP 2010, Susenas

Jika dilihat menurut kecamatan, ada 8 kecamatan yang memiliki fasilitas buang air besar berupa jamban sendiri dengan persentase di atas 50 persen, yaitu Kecamatan Kertak Hanyar (81,90 persen), Kecamatan Sambung Makmur (81,15 persen), Kecamatan Martapura (79,49 persen), Kecamatan Mataraman (77,13 persen), Kecamatan Gambut (69,44 persen), Kecamatan Aranio (68,79 persen), Kecamatan Simpang Empat (60,00 persen) dan Kecamatan Karang Intan (59,61 persen). Sedangkan Kecamatan Paramasan jumlah rumah tangga yang memiliki jamban sendiri hanya 2,77 persen. Sedangkan fasilitas buang air besar berupa jamban bersama paling banyak ada di Kecamatan Martapura Barat (55,14 persen), Kecamatan Aluh-aluh (52,13 persen) dan Kecamatan Beruntung Baru (48,46 persen). Fasilitas buang air besar yang lain, yaitu jamban umum paling banyak ada di Kecamatan Martapura Timur (29,09 persen), Kecamatan Pengaron (10,70 persen) dan Kecamatan Karang Intan (10,56 persen)

Hal yang cukup memperihatinkan adalah masih ada rumah tangga di beberapa kecamatan yang tidak memiliki jamban sebagai fasilitas buang air besar dan paling banyak terdapat di Kecamatan Paramasan yang mencapai 91,33 persen rumah tangga, Kecamatan Sungai Pinang (44,71 persen) dan Kecamatan Telaga Bauntung (35,41 persen). Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah karena fasilitas sanitasi yang layak masih belum dicapai di kecamatan tersebut. Tempat penampungan kotoran/tinja sangat berpengaruh terhadap kesehatan anggota rumah tangga dan lingkungannya. Tempat penampungan yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar seperti mempengaruhi kualitas air tanah dan menimbulkan bau yang kurang sedap. Tempat penampungan yang paling memenuhi syarat kesehatan adalah tangki septik atau saluran

 

Laporan Pendahuluan

3 - 11 pembuangan air limbah (SPAL). Tangki septik adalah tempat pembuangan akhir yang berupa bak penampungan, biasanya terbuat dari pasangan bata/batu atau beton, baik yang mempunyai bak resapan maupun tidak. Sedangkan yang tanpa tangki septik seperti cubluk atau cemplung. Dikatakan tidak mempunyai tempat pembuangan tinja apabila tinja dibuang langsung di kolam, sawah, sungai, danau, laut, lubang tanah, pantai, tanah lapang atau kebun.

Dalam dokumen Lap. Pendahuluan Sanitasi (Halaman 41-46)

Dokumen terkait