• Tidak ada hasil yang ditemukan

KPPTR (SL) = PMSL – POPRIL Keterangan :

PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumber daya lahan (ST). a = Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan (ST), a = 0,077 ST/ha lahan pekarangan ; a = 0,082 ST/ ha lahan perkebunan ; a = 1,52 ST / ha lahan sawah.

LG = Luas lahan garapan (ha)

b = Daya tampung ternak ruminansia di lahan padang rumput (ST). b = 0,5 ST/ha rumput alam ; b = 1 ST/ha alang-alang PR = Luas padang rumput/tegalan (ha)

c = Daya tampung ternak ruminansia di lahan hutan dan rawa (ST), c = 2,86 ST/ ha lahan.

LH = Luas lahan hutan dan rawa (ha)

2) KPPTR (SL) = PMSL – POPRIL Keterangan :

KPPTR = Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan sumber daya lahan (ST)

POPRIL = Populasi riil ternak ruminansia

3) PMKK = a x KK Keterangan ;

PMKK = Potensi maksimum usaha ternak (ST) berdasarkan kepala keluarga

KK = Kepala Keluarga

a = Kemampuan rumah tangga untuk usaha ternak rumnansia tanpa tenaga kerja dari luar rumah tangga a = 3 ST/KK.

Produktivitas sapi potong dievaluasi dan diukur berdasarkan estimasi bobot badan sapi Bali yang diamati untuk menggambarkan kondisi produktivitas ternak yang dipelihara. Data bobot badan diperoleh melalui pendugaan menggunakan karakter lingkar dada yang didapat dengan cara pengukuran. Pendugaan bobot badan dengan rumus yang diperoleh dari hasil penelitian Rajab (2009) diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rumus pendugaan bobot badan sapi berdasarkan ukuran tubuh

Jenis Kelamin Gigi Persamaan Regresi

Jantan I0 307 + 2,86LD + 0,14PB + 3,7LCan + 0,69LbPG I1 527,5 + 2,5PB + 0,87LD + 2,57TP + 3,9LCan I2 511,3 + 2,76LD + 2,48LbPG + 1,48PB + 4,2LCan Betina I0 275 + 2,17LD + 0,47PB + 0,73TPG + 0,85LbD I1 332,2 + 2,23LD + 1,53PB + 3,1LCan I2 385,4 + 2,51LD + 1,16TPG + 0,90PB

Ket : LD = Lingkar dada TP = Tinggi pundak LbPG = Lebar pinggul TPG = Tinggi pinggul PB = Panjang badan LbD = Lebar dada Lcan = Lingkar pergelangan kaki (canon)

Secara umum metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali dapat dijelaskan pada Gambar 4 (Otsuka et al. 1981).

Keterangan : 1. Lingkar dada (cm) 2. Tinggi pundak (cm) 3. Tinggi pinggul (cm) 4. Panjang badan (cm)

5. Lebar pinggul (cm) 6. Lebar dada (cm)

7. Lingkar pergelangan kaki (cm)

Gambar 4. Metode pengukuran bagian tubuh sapi

1) Lingkar dada diukur pada bidang yang terbentuk mulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat dengan menggunakan pita ukur (cm).

2) Tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur (cm) .

3) Tinggi pinggul diukur dari bagian tertinggi pinggul tegak lurus sampai ke tanah, menggunakan tongkat ukur (cm).

5

4) Panjang badan diukur dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) sampai penonjolan tulang duduk (tuber ischii) dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

5) Lebar pinggul diukur jarak dari tuber coxae (penonjolan pinggul) yang kiri dengan tuber coxae yang kanan, menggunakan alat kaliper dalam (cm) .

6) Lebar dada diukur jarak dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) yang kiri dengan penonjolan bahu yang kanan, menggunakan kaliper (cm). 7) Lingkar pergelangan kaki (canon): diukur pada bagian yang ramping dari

tulang metacarpus atau metatarsus, menggunakan pita ukur (cm).

Analisis motivasi dilakukan untuk membandingkan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong (bibit, pakan dan penanganan ternak) di lokasi penelitian. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan peternak tentang pengembangan. Motivasi adalah keinginan dan kemauan peternak melakukan kegiatan pengembangan. Partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pengembangan sapi potong baik yang dilakukan secara individu maupun dalam bentuk kelompok. Nilai pengetahuan, motivasi, dan partisipasi peternak ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Jawaban diberi nilai 1 sampai 5, sehingga total skor berkisar dari 10 sampai 50. Kategorinya dibagi atas (1) cukup ; untuk responden yang memiliki nilai skor 26 - 33, (2) tinggi ; nilai skor 34 – 41 dan (3) sangat tinggi ; nilai skor 42 – 50. Untuk membandingkan skor nilai partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dilakukan analisis statistik non parametrik dengan menggunakan metode uji Mann-Whitney (Musa dan Nasoetion 2007).

Penentuan model kawasan sapi potong dengan menggunakan kriteria dan indikator komponen kawasan meliputi; (1) lahan; (2) kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) efektif dalam satuan ternak (ST); (3) ternak; (4) teknis budidaya ; (5) peternak; (6) tenaga pendamping; (7) fasilitas dan (8) kelembagaan. Masing–masing indikator komponen dikuantifikasikan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil kali antara faktor pembobot dengan nilai yang diberikan pada indikator komponen. Total skor dari semua indikator setelah

dibandingkan dengan dengan skor standar kawasan akan digunakan untuk menentukan model kawasan sapi potong. Standar penilaian dilakukan dengan menggunakan pedoman penilaian untuk kawasan pembibitan dan kawasan penggemukan (Priyanto 2002). Faktor pembobot mempunyai nilai 100 poin yang dialokasikan pada komponen kawasan dan selanjutnya didistribusikan pada setiap indikator komponen. Nilai yang diberikan pada indikator komponen kawasan berkisar antara 0 – 10 poin sehingga skor tertinggi kawasan sebesar 1000 poin. Berdasarkan tingkat pengembangan kawasan sapi potong ditetapkan skor standar untuk kawasan baru < 500, kawasan binaan 500 – 700 dan kawasan pengembangan > 700 poin. Selain itu nilai skoring tersebut dianalisis menggunakan Analisis Gerombol (Cluster Analisis) untuk memperoleh informasi tentang pengelompokan potensi wilayah sebagai basis sapi potong.

Strategi pengembangan kawasan sapi potong diperoleh dari hasil olahan data baik kuantitatif maupun kualitatif kemudian dianalisis SWOT dengan menggunakan metode table IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) untuk menentukan strategi (Rangkuti 2006).

Analisis usaha dihitung berdasarkan faktor-faktor produksi untuk melihat skala usaha yang menguntungkan dalam pemeliharan sapi potong melalui analisis titik impas (Break Event Poin) dengan rumus mengacu pada Deanta (2006) sebagai berikut :

Biaya tetap BEP (unit) =

Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Raja Ampat, Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan agropolitan yaitu sebagai wilayah pengembangan peternakan seperti sapi potong dan kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan khususnya padi dan perkebunan. Wilayah Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan pengembangan peternakan khususnya sapi potong mencakup tiga kampung yaitu kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan (Bappeda Raja Ampat 2006) yang menjadi lokasi target penelitian ini. Ketiga kampung ini terletak di sebelah selatan Pulau Salawati dan saling berbatasan satu dengan lainnya, dimana kampung Kalobo dan Waijan berada pada daerah lembah dataran rendah dengan ketinggian tempat kurang dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan sebagian besar dihuni oleh penduduk transmigran asal Jawa, sedangkan kampung Sakabu berada di pesisir pantai dan umumnya dihuni oleh masyarakat pribumi (asli Papua). Jarak antara kampung Sakabu dengan Kalobo sebesar ±5 km, antara kampung Kalobo dan Waijan berjarak ±12 km. Secara umum, kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Secara geografis lokasi penelitian memiliki iklim tropis yang lembab dan panas, curah hujan relatif tinggi (±211.42 mm/bulan) dan merata sepanjang tahun. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan hijauan dan leguminosa sehingga dapat menjamin ketersediaan dan kontinuitasnya sebagai sumber pakan ternak sapi potong sepanjang tahun. Rata-rata temperatur udara 27.4oC dengan kisaran temperatur terendah sebesar 23.9 oC, tertinggi 33.1oC. Kelembaban berkisar antara 79% – 87% dengan rata-rata radiasi penyinaran matahari sebesar 60% tiap tahun. Menurut Hidayati et al. (2001) saat terbaik bagi pertumbuhan dan produksi padang rumput dan leguminosa berada pada kondisi iklim dengan temperatur 27 oC, kelembaban antara 70 – 80 % dan radiasi matahari 60 – 80%. Keadaan ini sesuai dengan kondisi optimal untuk sapi potong daerah tropis guna mendukung aktifitas reproduksinya (Talib et al. 1999). Disamping itu, kondisi iklim ini sangat memungkinkan bagi pengembangan sapi lokal Indonesia (sapi Bali) karena sapi

lokal pada umumnya mempunyai kemampuan beradaptasi baik pada lingkungan iklim tropis dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah (Handiwirawan dan Subandriyo 2004).

Tabel 4. Kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian Lokasi Penelitian No. Uraian (Peubah Diamati)

Sakabu Kalobo Waijan

1 Iklim a.Curah hujan (mm/thn) b.Temperatur rata-rata (oC) c.Kelembaban (%) d.Tekanan udara (mbs) e.Penyinaran matahari (%) 2537 27.7 84 1010.7 60 2 Jenis tanah dan topografi

a.Ketinggian tempat (dpl) b.Kemiringan lahan (%) c.Jenis tanah d.Tekstur tanah e. Tingkat kesuburan f.Kedalaman efektif (cm) g.Kondisi air tanah

0-25 0-40 Podsolik+Aluvial Sedang Subur, sedang 0-100 Agak rendah 25 <8 Podsolik Sedang Sedang 25-50 Agak rendah, sedang 25-50 0-40 Podsolik Sedang Sedang 50-100 Agak rendah, sedang Sumber: Bappeda Kabupaten Raja Ampat (2006)

Topografi kampung Sakabu adalah dataran disertai areal perbukitan, dengan ketinggian antara 0 sampai 25 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40% (Gambar 5). Diperkirakan kondisi lahan yang datar sebesar 45% sedangkan sisanya (65%) merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian tidak lebih dari 25 m dpl. Jenis tanah adalah podsolik berwarna merah kuning dan aluvial coklat dengan tekstur tanah sedang, menunjukkan tingkat kesuburannya yang sedang sampai subur. Air tersedia secara cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum ternak, memandikan/membersihkan ternak, pertumbuhan hijauan pakan ternak, dan kebutuhan lainnya.

Kurang lebih 90% dari lahan di kampung Kalobo memiliki topografi yang datar dan sisanya (10%) merupakan daerah sedikit berbukit dengan ketinggian mencapai 25 m dpl (Gambar 6). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tekstur tanah sedang, sehingga tingkat kesuburan tanah sedang. Kondisi air tanah rendah hingga sedang menunjukkan tidak semua lokasi di Kampung

Kalobo mudah memperoleh sumber air tanah , beberapa lokasi kondisi airnya diduga agak kurang baik begitu pula dengan kampung Waijan.

Gambar 5. Kondisi topografi kampung Sakabu

Gambar 6. Kondisi topografi kampung Kalobo

Kampung Waijan memiliki topografi yang datar dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 25 sampai 50 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40%

(Gambar 7). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Menurut Harjowigeno dan Widiatmaka (2006), kondisi media perakaran yang sesuai untuk padang penggembalaan yaitu tekstur tanah sedang (lempung liat berpasir), kedalaman efektif >30 cm, dan drainase tanah agak terhambat sampai sedang. Secara umum kondisi lokasi penelitian yang didominasi oleh wilayah yang datar akan sangat cocok bagi pengembangan sapi potong, apalagi dengan didukung oleh ± 50 – 60% daerah dataran yang berupa padang rumput sebagai sumber pakan sapi potong.

Gambar 7. Kondisi topografi kampung Waijan

Potensi Wilayah dan Daya Dukung Lahan

Hasil survei menunjukkan bahwa luas lahan kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masing-masing sebesar 2.887, 5.579, dan 4.283 ha (Tabel 5). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak ruminansia antara lain: lahan sawah, padang pengembalaan/padang rumput, lahan perkebunan, hutan dan lahan pekarangan. Luas lahan tersebut dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif masih rendah (≤10 jiwa/km2) memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak dengan tanaman perkebunan dan perikanan di kampung Sakabu, atau pola integrasi ternak dengan tanaman pertanian atau tanaman padi di kampung Kalobo dan Waijan, yang mana pola integrasi ini merupakan suatu proses saling menunjang dan

saling menguntungkan. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak (Riady 2004).

Tabel 5. Daya dukung lahan dan potensi kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan Lokasi Penelitian

No Uraian (Peubah Diamati)

Sakabu Kalobo Waijan

1 Luas Lahan (Ha) 2.887 5.579 4.283

2 Jumlah Penduduk (KK) 97 143 113

3 Jumlah Penduduk (Jiwa) 394 672 486

4 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 10.8 9.5 8.9

5 Luas Lahan Pangan (Ha) 83 1.424 1.021

6 Nisbah Lahan Pangan Terhadap

Penduduk (jiwa/ha) 4.75 0.47 0.48

7 Tata Guna Lahan :

a. Luas hutan (ha) 2057 1399 1726

b. Luas padang rumput (ha) 686 2599 1413

c. Luas sawah (ha) 0 655 456

d. Luas perkebunan (ha) 119 769 565

e. Luas pekarangan (ha) 25 157 123

8 PMSL (ST)a 6237.703 6371.387 6391.781

9 Populasi saat ini (ST) 35.2 657.95 515.15

10 KPPTR (ST)b 6202.50 5713.42 5876.63

11 PMKK (ST)c 291 429 339

12 Pola dasar Pembangunan Lahan Pertanian. pemukiman Lahan Pertanian. pemukiman Lahan Pertanian. pemukiman

13 Pola Pertanian Perikanan

tradisional

persawahan. palawija

persawahan. palawija 14 Sarana Irigasi Non-irigasi Irigasi teknis Irigasi

teknis Sumber : Bappeda Raja Ampat (2007)

Keterangan : a. PMSL = Potensi Maksimum berdasarkan Sumber Daya Lahan b. KPPTR = Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia c. PMKK = Potensi Maksimum Usaha Ternak berdasarkan Kepala

Keluarga

Sudah saatnya peruntukan pemanfaatan lahan harus dilakukan dengan menerapkan tingkat kesesuain lahan melalui pengkajian yang mendalam dan tidak terpola pada kepentingan sesaat. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidak lagi secara monokultur tetapi dilakukan dengan sistem yang terintegrasi dengan komoditas lain, seperti perkebunan atau tanaman padi sebagai sumber pakan bagi ternak ruminansia. Menurut Rayes (2007), lahan merupakan lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi yang mempengaruhi potensi penggunaannya, termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia.

Pada usaha sapi potong, lahan merupakan basis untuk usaha tersebut atau merupakan faktor produksi sebagai sumber pakan pokok. Lahan dapat berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi. Kebutuhan lahan bagi pengembangan ternak ruminansia seperti sapi potong adalah penting terutama sebagai sumber pakan seperti rumput (graminae), leguminosa dan hijauan dari tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain sebagainya (Soekartawi e t a l. 1 9 8 6 ) .

Berdasarkan luas lahan sawah di kampung Kalobo dan Waijan dengan rata – rata produksi gabah kering giling 2.5 ton/ha/panen (Distannak Raja Ampat 2009) dapat menghasilkan limbah berupa dedak padi sebanyak 472 ton. jumlah ini dapat digunakan sebagai pakan konsentrat untuk 2.098 ST. Disamping itu produksi jerami padi dapat mencapai 7.221 ton/panen. yang menurut Sumanto et al. (2005) setiap hektar sawah mampu menghasilkan jerami padi 5-8 ton/ha/panen. Jerami padi ini dapat digunakan sebagai pakan alternative untuk ± 2.865.7 ST sepanjang tahun. Lahan perkebunan terbagi atas kebun tanaman durian dan sagu, namun lebih di dominasi oleh tanaman sagu ± 1017 ha (70%), dari luasan ini. Produksi ampas sagu dengan kadar air 40% dapat mencapai 89 000 ton. Rata-rata tanaman sagu di panen 73 batang/ha/tahun (Bintoro 2008). Menurut Saitoh et al. (2004) perbandingan pati dan ampas dari tanaman sagu adalah 1 : 5 dengan rata-rata produksi pati untuk tanaman sagu di wilayah Papua 600 kg/batang. Berdasarkan jumlah produksi ampas sagu tersebut, dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi untuk 123 611 ST sepanjang tahun. Kondisi lahan sawah dan sagu dapat dilihat pada Gambar 8.

Sistem penggunaan lahan di lokasi penelitian terbagi atas lahan usaha dan lahan pekarangan dengan status kepemilikan lahan berupa hak milik bagi masyarakat transmigran (kampung Kalobo dan Waijan) dan hak ulayat bagi penduduk asli (kampung Sakabu). Umumnya lahan usaha hanya sebagian dipergunakan untuk tanaman padi sawah dan selebihnya tidak digarap. Kondisi ini umumnya dimanfaatkan sebagai areal penggembalaan ternak karena HMT sebagai sumber pakan sapi potong selalu tersedia. Kebutuhan lahan untuk usaha ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi dua: 1) usaha peternakan yang berbasis lahan pertanian (land base agriculture); dan 2) usaha peternakan yang tidak berbasis lahan pertanian (non land base agriculture). Menurut Suratman et al. (1998), khusus untuk peternakan berbasis lahan pertanian dengan komponen pakannya sebagian

besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor lingkungan hidup dan pendukung pakan. Agar ternak dapat berproduksi dengan baik, perlu diperhatikan persyaratan penggunaan dari sifat-sifat pembatas lahan yang meliputi kelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak adalah: 1) tersedianya semua unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman; 2) kesesuaian iklim yang mempengaruhi ternak; 3) ketersediaan air minum ternak; 4) nilai nutrisi rumput; 5) sifat racun dari rumput; 6) penyakit-penyakit hewan; 7) ketahanan terhadap kerusakan rumput; dan 8) ketahanan erosi akibat penggembalaan.

Hasil analisis daya dukung lahan/wilayah berdasarkan atas potensi maksimum sumber daya lahan dan kemampuan menghasilkan hijauan pakan ternak secara alami. menunjukkan bahwa populasi sapi potong tahun 2008 dan daya tampung wilayah untuk ternak sapi potong masih cukup memadai sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis, jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan di kampung Sakabu. Kalobo dan Waijan memenuhi daya tampung masing-masing sebesar 6202.50. 5713.42. dan 5876.63 ST. Apabila pembangunan peternakan diarahkan pada pengembangan sapi potong dengan pola integrasi atau secara intensifikasi, daya tampung tersebut masih dapat ditingkatkan. Prioritas lokasi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat yang perlu dioptimalkan pengelolaannya adalah

(1) lokasi perkebunan tanaman buah-buahan (durian) di kampung Sakabu. (2) lokasi pertanian tanaman padi yang tersebar di Kampung Kalobo dan Waijan, dan (3) perkampungan ternak sapi di ketiga kampung dengan lahan

total mencapai 12 749 ha dengan kemampuan peningkatan populasi sapi potong sebesar 17 792.55 ST, sehingga dari jumlah tersebut terlihat bahwa lokasi

penelitian cukup potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan sapi potong.

Karakteristik Produksi Ternak Sapi Potong Populasi Sapi Potong

Populasi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan 2008 telah terjadi peningkatan populasi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat rata-rata sebesar 53.64% per tahun. Peningkatan tersebut terjadi sebagian besar akibat adanya pemasukan bibit/bakalan sapi potong antara tahun 2005-2008 sebagai bukti dari upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong di daerah ini, atau merupakan hasil dari upaya pemerintah daerah mendatangkan bibit sapi potong secara kontinu. Namun demikian pertumbuhan ternak sapi potong masih relatif lambat dan cenderung tidak mampu mengimbangi permintaan disebabkan intensitas pemeliharaan yang rendah, teknologi dan sistem usaha yang dilakukan

tidak terfokus pada pertumbuhan produksi secara cepat. Usaha penggemukan sapi yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan daging secara kontinu belum dilakukan. Penjualan sapi umumnya dilakukan karena peternak membutuhkan uang cepat sehingga pemeliharaan sapi hanya sebagai tabungan, ini berakibat produksi setiap tahunnya cenderung konstan atau mengalami peningkatan yang tidak berarti. Belum berkembangnya usaha penggemukan sapi juga disebabkan karena belum berkembangnya sistem pembibitan sapi potong yang baik yang dapat menjamin ketersediaan sapi bakalan secara berkesinambungan.

Tabel 6. Populasi sapi potong (ekor) di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008

Tahun Rata-rata

Kenaikan/tahun (%) No Wilayah

20061 20071 20082

1 Distrik Salawati Utara 732 948 1733 56.55

2 Distrik Lainnya 61 73 54 -113.01

3 Kabupaten Raja Ampat 793 1021 1787 53.64

Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2

: Hasil survei penelitian (2008)

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase kelahiran sapi potong yang dipelihara oleh peternak berkisar antara 15.9 sampai 28.0% dari total populasi sehingga peternak dapat menggantikan ternak yang sudah tidak produktif lagi dengan ternak baru. Angka kelahiran ini termasuk rendah karena kurangnya penanganan peternak dalam program perkawinan dan rendahnya pengetahuan peternak tentang aspek reproduksi ternak. Persentase kematian ternak masih cukup tinggi yaitu berkisar 2.14 sampai 7.22% per tahun. Kematian tertinggi terjadi pada tahun 2008 khususnya di kampung Sakabu yang mencapai 54 ekor dari populasi 92 ekor sebagai akibat dari wabah penyakit menular (Distannak 2009). Penyakit ini kemungkinan terbawa oleh ternak yang baru dimasukkan pemerintah dari kabupaten lain tanpa terlebih dahulu ternak tersebut dikarantina. Berdasarkan hasil ini, untuk mengurangi jumlah kematian dapat dilakukan dengan cara mengarantina ternak gaduhan pemerintah terlebih dahulu sebelum dimasukkan atau dilepas ke masyarakat peternak.

Tabel 7. Performans reproduksi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008

Tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati)

20061 20071 20082

1 Populasi (ekor) 793 1021 1787

- Jantan - - 303

- Betina - - 1286

2 Persentase peningkatan populasi (%/thn) - 28.75 75.02

3 Kelahiran (ekor) 126 294 398

4 Persentase kelahiran dari populasi (%) 15.89 28.80 22.27 5 Persentase kelahiran dari jumlah betina (%) - - 53.00

6 Kematian (ekor) 17 32 129

7 Persentase kematian (%) 2.14 3.13 7.22

Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2

: Hasil survei penelitian (2008)

Perubahan populasi ternak sapi dalam kurun waktu 2006 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Data ini menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dengan intensitas yang rendah. Pada tahun 2008 jumlah ternak sapi yang keluar dari Raja Ampat mencapai 360 ekor dengan total produksi daging

diperkirakan sebesar 55.07 ton dengan rata-rata pengeluaran mencapai 35% per tahun. Angka ini melampaui pertambahan populasi setiap tahunnya walaupun dari

Tabel 8. Jumlah pemasukan. pengeluaran dan pemotongan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008

Tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati)

20061 20071 20082

1 Pemasukan (ekor) 80 240 125

2 Jumlah pengeluaran/pemotongan (ekor) 352 416 360 3 Persentase pengeluaran/pemotongan (%) 44.39 40.74 20.15 4 Produksi Daging (Kg) 53.851.8 63.643.0 55.075.7 Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008)

2

: Hasil survei penelitian ini (2008)

hasil survei menunjukkan persentase kelahiran untuk tahun 2008 mencapai 53%. Kondisi ini jika tidak ditanggulangi maka akan terjadi pengurasan populasi yang signifikan. Pengeluaran sapi pada umumnya dijual sebagai sapi potong dan bukan sebagai sapi bakalan, hal ini berarti sebagian besar penghasilan masyarakat adalah dari hasil penjualan sapi potong. Pada penelitian ini tidak teridentifikasi jumlah sapi jantan atau betina (produktif atau tidak produktif) yang dijual oleh peternak.

Tingginya pengeluaran dan pemotongan ternak menunjukkan besarnya tingkat permintaan daging masyarakat Kabupaten Raja Ampat dan daerah sekitarnya di Papua Barat dan Papua terutama Kabupaten Sorong. Secara regional keragaan usaha ternak sapi potong ditandai dengan masih besarnya ketergantungan akan bibit sapi potong, ternak siap potong, dan produksi hasil ternak dari daerah lain. Kegiatan budidaya saat ini tampaknya masih lemah dan harus terus diupayakan perkembangannya sedangkan kegiatan pasca produksi cenderung meningkat. Peningkatan permintaan hasil ternak sapi potong yang intensif belum diimbangi dengan kesiapan sistem budidaya sapi potong. Akibatnya kesenjangan supply-demand harus diatasi dengan pemasukan sapi bakalan dan daging sapi dari daerah lain. Neraca perdagangan sapi potong dalam bentuk hidup di Kabupaten Raja Ampat ditandai dengan volume impor yang hampir sebanding dengan ekspor. Impor dari daerah lain baik berupa sapi bibit, bakalan maupun sapi siap potong masih tinggi sementara ekspor masih terbatas. Hal ini mencerminkan tingginya konsumsi daging regional kabupaten yang belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam daerah sendiri.

Produktivitas Sapi Potong

Data produktivitas sapi potong meliputi bobot badan dapat dilihat pada Tabel 9. Bobot badan sapi Bali jantan dan betina berumur < 1 tahun hampir sama pada ketiga lokasi penelitian. Menurut Pratiwi et al. (2008), bahwa pertumbuhan anak sapi pada masa prasapih umumnya dipengaruhi oleh kemampuan pedet memperoleh nutrisi yang berasal dari air susu induknya. Penampilan produksi berupa bobot badan sapi Bali betina umur > 1 sampai ≤ 2 tahun tidak menunjukkan perberbedaan nyata, ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang relatif sama di ketiga lokasi, sementara ternak sapi jantan di Kampung Kalobo memiliki ukuran tubuh yang nyata (P<0.05) lebih besar daripada yang ada di kampung Sakabu. Hal ini disebabkan kriteria ternak sapi jantan dipilih oleh peternak untuk digunakan mengawini sapi betina memiliki tubuh yang besar. Menurut Pamungkas (2007), bahwa terjadi perbedaan variasi bobot badan sapi di beberapa lokasi pemeliharan adalah sebagai akibat dari pengaruh lingkungan

Dokumen terkait