• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

MOCHAMMAD SAID SOLTIEF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2009

(3)

MOCHAMMAD SAID SOLTIEF. Study of Region Development of Beef Cattle at Kabupaten Raja Ampat in West Papua Province. Supervised by ASNATH M. FUAH and RUDY PRIYANTO.

The objectives of this study were to design resources based of beef cattle regional model in District of Raja Ampat, West Papua Province. The study was conducted in Sakabu, Kalobo and Waijan villages, Sub district of Salawati Utara, from August 2008-May 2009. Primary data used on this study were local beef cattle production, management and farmer characteristic. As many 218 farmers and 314 beef cattle surveied on this study. Also, secondary data were used on this study that were regional characteristic, land using system, local institution and government policy on beef cattle development. Farmers and beef cattle management descriptively analyzed. Statistic Mann-Withney test were used to compare farmers characteristic between the three villages. Beef cattle productivity was evaluated based on body weight estimation. Cluster analysis was used to classify and analyzed the three villages. The determination of regional model using some indicators which were land, carrying capacity, beef cattle, rearing practice, farmer, extension agent, facility and institution. Strength Weakness Opportunity Threats (SWOT) analysis was used to analyzed and design a strategy of regional development. The results showed that sub district Salawati Utara is classified as a new region for beef cattle development and consist of two cluster i.e Kalobo Waijan and Sakabu. Regional development strategy consist of some key factors that are; design of beef cattle regional development, development of human resources, technology of rearing and breeding, breeding and housing facility, veterinary service and its facilities, networking, beef cattle regional development should be made on two patterns, that are beef cattle rolling and breeding center. Both of them should be managed based on integration of local resources and community management.

(4)

MOCHAMMAD SAID SOLTIEF. Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh ASNATH M FUAH dan RUDY PRIYANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan merumuskan model kawasan sapi potong berbasis sumberdaya ternak di Kabupaten Raja Ampat. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan Distrik Salawati Utara, selama Agustus 2008 – Mei 2009. Pengumpulan data menggunakan metode survei terhadap 218 orang peternak responden dan 314 ekor sampel ternak. Data yang diperoleh terdiri atas : (1) data primer, yaitu data hasil pengamatan dan wawancara dengan responden, meliputi ; karakteristik produksi ternak sapi potong, karakteristik peternak, dan pola manajemen produksi sapi potong yang ada; (2) data sekunder, meliputi; karakteristik wilayah yang terdiri dari iklim dan topografi, sistem penggunaan lahan, karakteristik kelembagaan yang ada dan kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan peternakan. Data karakteristik peternak dan pola managemen dianalisis secara deskriptif, produktivitas sapi potong dievaluasi dan diukur berdasarkan estimasi bobot badan. Perbandingan skor nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong menggunakan metode uji Mann-Whitney. Pengelompokan kesamaan potensi wilayah untuk kawasan sapi potong menggunakan analisis gerombol (Cluster Analisis). Penentuan model kawasan sapi potong menggunakan kriteria dan indikator komponen kawasan meliputi; (1) lahan; (2) kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) efektif dalam satuan ternak (ST); (3) ternak; (4) teknis budidaya ; (5) peternak; (6) tenaga pendamping; (7) fasilitas dan (8) kelembagaan. Keseluruhan hasil analisis digunakan untuk menyusun strategi pengembangan kawasan, menggunakan analisis SWOT dengan metode tabel IFAS dan EFAS.

Hasil survei dan analisis menunjukkan bahwa kondisi lokasi penelitian cocok bagi pengembangan sapi potong. Lahan di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan masing-masing seluasr 2887, 5579 dan 4283 ha dengan tingkat kepadatan 10 jiwa/km2 mempunyai kapasitas tampung masing-masing sebesar 6202.50 , 5713.42 ST, dan 5876.63 ST (Satuan Ternak)

Data karakteristik produksi ternak sapi potong di lokasi penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan populasi dari tahun 2006-2008 rata-rata sebesar 53.64% per tahun. Populasi pada saat akhir penelitian mencapai 1733 ekor. Persentase kelahiran berkisar 15.9% - 28.0%. Persentase kematian ternak adalah 2.14 - 7.22% per tahun. Produksi daging diperkirakan sebesar 55.07 ton dengan persentase peningkatan rata-rata mencapai 35% per tahun. Penampilan produktivitas berdasarkan bobot badan secara keseluruhan masih termasuk rendah dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.

(5)

potong menunjukkan bahwa jumlah pedet, dan jantan serta betina muda masing-masing 7-10% dan 28-36%, jantan dan betina dewasa masing-masing-masing-masing 7-11% dan 46-55% dengan rasio jantan dan betina 4.27-5.0.

Nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak tentang budi daya sapi potong di Kabupaten Raja Ampat relatif rendah dengan skor < 25.0. Persepsi dan aspirasi responden dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat menunjukkan hasil yang baik walaupun dengan sistem budidaya yang bersifat semi tradisional dengan campur tangan manusia yang terbatas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fasilitas layanan peternakan sapi potong relatif cukup memadai dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Skala kepemilikan ternak yang layak adalahh 3.25 satuan ternak (ST) atau setara dengan RP. 23 159 250,- untuk satu periode pemeliharaan (12 bulan).

Hasil analisis kawasan menunjukkan bahwa ketiga lokasi penelitian diklasifikasikan sebagai Kawasan Baru, dan terbagi menjadi dua kluster yaitu kluster Kalobo Waijan dan kluster Sakabu. Kluster Sakabu lebih didominasi oleh penduduk asli yang baru mengenal budidaya ternak sapi potong, sedangkan kluster Kalobo Waijan umumnya merupakan transmigran asal Jawa yang sudah lama mengenal budidaya sapi potong dengan sistem pemeliharaan yang ekstensif. Strategi pengembangan kawasan menghasilkan beberapa sub elemen kunci meliputi; Penyusunan Model Pengembangan Kawasan Sapi Potong ; Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, Teknologi Budidaya Sapi Potong, Fasilitas Pembibitan Ternak dan Pengembangan Sistem Pemuliabiakan Sapi Potong, Fasilitas Kandang Karantina Ternak/Hewan, Fasilitas Layanan Kesehatan Berupa Poskeswan dan Paramedis/Dokter Hewan, Pasar dan Pemasaran, Kemitraan Usaha, Lembaga Keuangan dan Modal, Kualitas Bibit Sapi Potong yang Rendah, dan Layanan Peternakan. Pengembangan kawasan disusun dalam tiga tahap pengembangan kawasan berdasarkan komponen penyusunnya, dan diformulasikan menjadi satu model pengembangan kawasan sapi potong dengan sistem Inti-Plasma berbasis sumber daya lokal dan terintegrasi dengan subsistem pertanian tanaman pangan dan perkebunan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MOCHAMMAD SAID SOLTIEF

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

NIM : D151070081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S Ketua

Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)

karuniaNya sehingga penelitian mengenai “ Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat” dapat diselesaikan sebaik mungkin.

Permasalahan ini didasarkan keinginan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk mengembangkan subsektor peternakan khususnya sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah tersebut. Berkenaan dengan itu maka Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat mulai membangun sarana dan prasarana untuk pengembangan sapi potong, agar lebih terarah dan terencana maka sangat dibutuhkan adanya suatu daerah kawasan sapi potong sebagai basis pengembangannya. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai kawasan sapi potong yang berbasis sumber daya lokal.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Marcus Wanma,M.Si. selaku Bupati Raja Ampat yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. Ibu Dr. Ir. Asnath Maria Fuah dan Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto sebagai komisi pembimbing atas kesediaannya memberikan informasi, bimbingan dan saran. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis

sampaikan kepada Istri tercinta Yuli Abdul Muis, Anak-anakku tersayang Ali Yusuf Ramdhani dan Syarifah Putri Aulia, Ayahanda Hi.M.L.Soltief dan

Ibunda Sitti N. Salassa, Kak Nona dan Bang Robert, Fatrah dan Ali Usman serta semua pihak yang telah membantu baik fisik maupun moril. Tak lupa kepada Bapak Ir. A. Rahman Wairoy atas dukungannya selama ini. Penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik dari berbagai pihak guna penyempurnaan penulisan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2009

(10)
(11)

DAFTAR TABEL... xiii

Perkembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia ... 7

Karakteristik Produksi dan Reproduksi Sapi Potong... 9

Budidaya Sapi Potong... 13

Kawasan Agribisnis Sapi Potong... 15

Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong... 17

METODOLOGI PENELITIAN... 20

Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

Metode Pengumpulan Data dan Responden ... 20

Peubah yang Diamati ... 21

Analisis Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

Karakteristik Wilayah Penelitian ... 26

Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi ... 26

Potensi Wilayah dan Daya Dukung Lahan ... 29

Karakteristik Produksi Ternak Sapi Potong... 33

Populasi Sapi Potong ... 33

Produktivitas Sapi Potong... 36

Karakteristik Peternak... 38

Identitas Peternak... 38

Pengetahuan, Motivasi dan Partisipasi Peternak dalam Kegiatan Pengembangan Peternakan Sapi Potong. ... 42

Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang Peternakan Sapi Potong ... 43

Manajemen Produksi Sapi Potong ... 43

Penerapan Teknologi Budidaya Sapi Potong... 43

Infrastruktur (Sarana dan Prasarana) Pendukung ... 45

Kelayakan Usaha Sapi Potong ... 46

Kawasan Sapi Potong Rakyat ... 46

Komponen Kawasan Agribisnis Sapi Potong ... 48

Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong... 52

Analisis Faktor Internal-Eksternal (Analisis SWOT) ... 52

(12)

Faktor Penentu Pengembangan Kawasan Sapi Potong... 61

Pengembangan Kawasan Sapi Potong ... 64

Model Pengembangan Inti -Plasma ... 65

KESIMPULAN DAN SARAN... 73

Kesimpulan ... 73

Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA... 74

(13)

1 Populasi ternak sapi, kerbau dan keluarga peternak di Indonesia

tahun 2007.………. 8 2 Luas lahan dan penggunaannya di Indonesia ... 8 3 Rumus pendugaan bobot badan sapi berdasarkan ukuran tubuh ……….. 23 4 Kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian...…... 27 5 Daya dukung lahan dan potensi kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan… 30 6 Populasi sapi potong (ekor) di Kabupaten Raja Ampat tahun

2006-2008………. …………. 34

7 Performans reproduksi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun

2006-2008………...………… 35 8 Jumlah pemasukan, pengeluaran dan pemotongan sapi potong di

Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008……….. 35 9 Rataan bobot badan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin dan umur di

kampung Sakabu,Kalobo dan Waijan Kabupaten Raja Ampat…….…….. 37 10 Karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat ……..…... 40 11 Hasil uji Mann-Whitney tentang pengetahuan, motivasi dan partisipasi

peternak dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.... 42 12 Potensi peternakan sapi potong menurut persepsi dan aspirasi

(14)

1 Kerangka pemikiran pengembangan kawasan sapi potong berbasis

sumber daya lokal di Kabupaten Raja Ampat ………. 6

2 Warna tubuh yang normal pada sapi Bali betina(1), Bali jantan(2), PO(3) dan Madura (4)………..…… 10

3 Keserasian bentuk tubuh sapi Bali (1), PO (2)dan Madura (3)……..…... 11

4 Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi……….……….. 22

5 Kondisi topografi kampung Sakabu………. 28

6 Kondisi topografi kampung Kalobo………. 28

7 Kondisi topografi kampung Waijan………. 29

8 Kondisi lahan sagu dan sawah di lokasi penelitian……….. 32

9 Perbandingan bobot badan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat dengan sapi Bali di beberapa wilayah di Pulau Bali………. 38

10 Dendogram hasil analisis klaster lokasi penelitian ………. 47

11 UPTD Peternakan Sapi Potong di kampung Kalobo………... 54

12 Model pengembangan inti-plasma sapi potong yang terintegrasi Dengan pertanian dan perkebunan……… 66

(15)

1 Peta lokasi penelitian ……….………... ……… 79

2 Aspek agroklimat wilayah penelitian ……… 80

3 Kondisi topografi, tanah dan hidrologi wilayah penelitian ……… 80

4 Hasil analisis cluster kawasan sapi potong ………..……….. 81

5 Hasil penilaian kawasan sapi potong di lokasi penelitian……….. 82

6 Analisis kelayakan usaha sapi potong rakyat ………...………. 84

(16)

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah memberikan kewenangan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan perencanaan pembangunannya secara mandiri agar mampu memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal demi kesejahteraan masyarakatnya. Khusus untuk Provinsi Papua selain aturan diatas, terdapat juga kebijakan khusus yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sehingga memiliki kewenangan yang khusus dalam pengelolaan pembangunan dan keuangan daerah.

Kabupaten Raja Ampat adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari

Kabupaten Sorong pada tanggal 9 Mei 2003, merupakan daerah kepulauan yang terdiri atas 640 pulau besar dan kecil, dengan jumlah penduduk kurang lebih 52 271 jiwa (Dispendcapil Raja Ampat 2009). Upaya membangun dan mengembangkan kabupaten yang memiliki potensi sumber daya alam yang belum termanfaatkan secara optimal memerlukan suatu perencanaan pengelolaan yang tepat dan bijak demi kemakmuran masyarakat umumnya dan khususnya di Raja Ampat.

(17)

kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan, mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, dan kegiatan jasa terkait seperti transportasi, perbankan, agrotourism dan kegiatan jasa lainnya.

Sapi Bali umumnya dipelihara secara ekstensif oleh penduduk transmigran yang berasal dari Jawa dan bersifat sampingan dari kegiatan usaha tani sawah sebagai usaha utama. Kondisi ini didukung oleh wilayah daratan yang masih luas jika dilihat berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di kabupaten Raja Ampat yaitu 7 jiwa/km2 (Dispendcapil Raja Ampat, 2009) dan sumber hijauan makanan ternak serta konsentrat yang belum termanfaatkan.

Sistem budidaya sapi potong pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala antara lain; (a) kesulitan untuk memperoleh bibit, (b) masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif, (c) rendahnya angka kelahiran dan tingginya angka kematian ternak, (d) rendahnya tingkat keberhasilan teknologi

Inseminasi Buatan (IB), (e) belum diterapkan teknologi pakan aplikatif, (f) tingginya harga obat hewan, (g) kesulitan untuk akses ke sumber modal, (h) rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak dan (i) masih kurangnya

upaya pemanfaatan limbah pertanian dan ternak sebagai sumber pakan, sumber energi dan pupuk organik (Santosa 2001).

(18)

Potensi wilayah yang mendukung dan ketersediaan bahan baku pakan serta sumber daya manusia memungkinkan pengembangan sapi potong berbasis sumber daya lokal di wilayah tersebut. Untuk mengetahui kapasitas wilayah diperlukan adanya kajian mengenai kawasan sapi potong berbasis kerakyatan yang tepat di Kabupaten Raja Ampat sehingga dapat menjadi acuan dalam arah pengembangan sapi potong selanjutnya guna peningkatan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat dan pendapatan asli daerah.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan :

1. Mengidentifikasi dan menganalisa potensi usaha sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.

2. Mengkaji pola manajemen dan karakteristik produksi peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.

3. Merumuskan model kawasan sapi potong berbasis sumber daya ternak di Kabupaten Raja Ampat

Manfaat

(19)

paling barat pulau Papua (Irian Jaya) memiliki luas kurang lebih 4,6 juta hektar, merupakan jantung segitiga karang dunia (Coral Triangle) dan pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia. Sebagai daerah baru, pemerintah berusaha untuk membangun berbagai sektor dengan memanfaatkan potensi alam yang ada seoptimal mungkin. Salah satunya adalah sub sektor peternakan dengan komoditas sapi potong, yang merupakan salah satu komoditi unggulan untuk dikembangkan di Kabupaten Raja Ampat. Selain sebagai penghasil daging, sapi juga berfungsi menciptakan lapangan kerja, sumber tenaga kerja, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), kotoran sebagai pupuk dan gas, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian fungsi lingkungan (Deptan 2002a).

Selama kurun waktu empat tahun (2004-2008) populasi sapi potong Indonesia mengalami peningkatan yang tidak berarti dari 10 533 000 ekor pada tahun 2004 menjadi 11 869 000 ekor pada tahun 2008. Hal serupa terjadi di Provinsi Papua Barat, populasi sapi potong mengalami peningkatan dari 30 149 ekor pada tahun 2005 menjadi 34 952 ekor pada tahun 2008 (BPS 2008). Populasi sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat berjumlah 923 ekor (Distannakbun Raja Ampat 2008). Kondisi wilayah dengan 6084.5 km², terdiri dari 640 pulau (Bappeda Raja Ampat 2007), memungkinkan untuk menampung jumlah sapi potong yang lebih banyak. Rendahnya jumlah sapi potong di daerah ini karena tidak adanya pembinaan dan program pengembangan sebelum menjadi kabupaten baru. Keadaan ini didukung oleh tidak berjalannya program redistribusi ternak pemerintah, disamping penduduknya yang mayoritas bekerja sebagai nelayan dan sebagian besar belum mengenal cara beternak sapi.

(20)

langsung didukung oleh perkembangan pariwisata daerah, pembukaan perusahaan pertambangan nikel dan perusahan budidaya mutiara akan meningkatkan permintaan pasar lokal akan daging sapi. Selain itu, yang juga menjadi potensi pemasaran daging sapi adalah perusahaan pertambangan besar seperti Freeport di Timika, Petrocina Oil di Sorong dan Britis Petroleum di Bintuni, yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Raja Ampat. Melihat potensi yang sangat besar untuk pengembangan sapi potong, maka diperlukan pengadaan satu kawasan pengembangan sapi potong.

Pemeliharaan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat saat ini masih didominasi oleh peternak kecil sehingga berbagai kendala sering dihadapi oleh petani meliputi kesulitan memperoleh bibit yang baik, manajemen pemeliharaan yang kurang memadai, tingginya angka kematian ternak, rendahnya kepercayaan dari pihak pemberi modal, dan kurangnya pemahaman tentang masalah lingkungan. Sementara beberapa hal yang menunjang untuk diterapkannya konsep pembangunan yang berkelanjutan dalam pengembangan kawasan peternakan sapi potong ini antara lain tingginya potensi sumber daya alam, motivasi masyarakat, pasar dan dukungan pemerintah.

(21)

Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumber daya lokal di Kabupaten Raja Ampat.

Peluang :

- Dukungan kebijakan Pemda - Luas wilayah & ketersediaan

pakan

- Minat masyarakat untuk beternak - Pasar tersedia

Kendala :

- Ketersediaan bibit - Sistem pemeliharaan

ekstensif

- Keterampilan peternak rendah Sapi Potong Komoditas Unggulan

di Kabupaten Raja Ampat

ANALISIS

Perumusan Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong

Pengembangan Model Kawasan Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal Perlu Kajian tentang :

- Karakteristik wilayah

- Karakteristik sapi potong

- Karakteristik petani/peternak

- Teknis peternakan

(22)

Peternakan sapi potong di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang negatif pada saat krisis moneter, usaha sapi potong bayak yang gulung tikar termasuk peternakan rakyat. Kondisi ini disebabkan ketergantungan yang besar terhadap sapi bakalan dari luar dan ketidak tersediaan bibit unggul. Kegiatan

usaha yang mampu bertahan selama krisis adalah peternakan sapi potong rakyat yang dipelihara secara subsistem. Ditinjau dari populasi sapi potong di

Indonesia, jumlah populasi terbanyak adalah pada tahun 1997 sebesar 11 938 856

ekor yang kemudian terus mengalami penurunan hingga tahun 2004 menjadi 10 532 889 ekor. Sejak tahun 2005 peningkatan terus terjadi hingga dengan tahun

2008 populasi sapi potong sudah mencapai 11 869 158 ekor (BPS 2008), kondisi ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun tidak terjadi perkembangan populasi yang berarti. Menurut BPS (2008), jumlah penduduk Indonesia tahun 2007 mencapai 223 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan populasi 1.01% per tahun dengan tingkat konsumsi daging sapi 0.52 kg/kapita/tahun, hal ini berarti bahwa penduduk Indonesia tiap tahun membutuhkan daging sapi lebih kurang 116 000 ton yang setara dengan 1 035 357 ekor sapi, dari jumlah kebutuhan daging ini lebih kurang 600–700 ribu ekor diimpor dari Australia dan beberapa negara lain.

(23)

Tabel 1. Populasi ternak sapi, kerbau dan jumlah keluarga peternak di Indonesia tahun 2007

Jenis Ternak Jumlah ternak (ekor) Jumlah Keluarga Peternak (KP)

Tabel 2. Luas lahan dan penggunaannya di Indonesia

Nomor Penggunaan Luas Lahan Potensi**)ST/ha*) Jumlah ST

ditampung

Sumber: BPS (2008); **)Puslitbangnak (2006). Keterangan:*)ST (Satuan ternak).

(24)

dari usaha utama sebagai petani atau nelayan (Distannakbun Raja Ampat 2007). Konsekuensi dari sistem ini mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak dan perkembangan peternakan sapi potong menjadi terhambat, oleh karena itu di perlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan sumber daya ternak, peternak, lahan dan produksi pakan (Wirdahayati dan Bamualim 2007).

Konsumsi produk hasil ternak berupa daging, telur dan susu untuk Kabupaten Raja Ampat tahun 2006 sebesar 4.3 kg/kapita/tahun, sementara target produksi daging nasional yang mengacu pada kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2005 per orang adalah 10 kg/kapita/pertahun. Hal ini menunjukkan kebutuhan gizi asal hewani masyarakat Kabupaten Raja Ampat belum terpenuhi, sehingga perlu upaya untuk mencukupinya melalui ketersediaan protein yang berasal dari ternak sapi potong (Bappeda Raja Ampat 2007).

Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil) dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani peternak berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008).

Karakteristik Produksi dan Reproduksi Sapi Potong

Sapi potong di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa spesies berdasarkan habitat wilayahnya antara lain adalah sapi Bali, Peranakan Ongol (PO), Sumba Ongol, Madura, Aceh dan Brahman (Deptan 2006). Jenis sapi yang dipelihara di kabupaten Raja Ampat adalah sapi Bali yang di introduksi pertama kali pada tahun 1978 oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya (Papua) sebanyak 70 ekor (Distannakbun Raja Ampat 2007).

(25)

menurut Wiyono dan Aryogi (2007) harus memiliki beberapa kriteria umum sebagai berikut :

a. Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, sapi PO berwarna putih, sapi Madura berwarna coklat, dan sapi Bali betina berwarna merah bata serta jantan dewasa berwarna hitam (Gambar 2).

Gambar 2. Warna tubuh yang normal pada sapi Bali betina (1), Bali jantan (2), PO (3) dan Madura (4).

b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak, dengan tingkat pertambahan dan pencapaian berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu tinggi (Gambar 3).

c. Ukuran tinggi punuk/gumba minimal pada calon bibit sapi potong (indukan dan pejantan), mengacu pada standar bibit populasi setempat, regional atau nasional.

d. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan (terjadi pada sapi yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi terjadi pada sapi tetua dan atau di sapi keturunannya).

(26)

f. Kondisi sapi sehat yang diperlihatkan dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat disebarkan melalui aktivitas reproduksi.

Gambar 3. Keserasian bentuk tubuh sapi Bali (1), PO (2) dan Madura (3).

(27)

Perkandangan merupakan salah satu faktor produksi yang belum mendapat perhatian dalam usaha peternakan sapi potong khususnya peternakan rakyat. Konstruksi kandang yang belum sesuai dengan persyaratan teknis akan mengganggu produktivitas ternak, kurang efisien dalam penggunaan tenaga kerja dan berdampak terhadap lingkungan sekitarnya (Alim et al. 2004). Beberapa persyaratan yang diperlukan dalam mendirikan kandang antara lain (1) memenuhi persyaratan kesehatan ternaknya, (2) mempunyai ventilasi yang baik, (3) efisien dalam pengelolaan (4) melindungi ternak dari pengaruh iklim dan keamanan dan, (5) tidak berdampak terhadap lingkungan sekitarnya. Konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama, penataan dan perlengkapan kandang hendaknya dapat memberikan kenyamanan kerja bagi petugas dalam proses produksi seperti memberi pakan, pembersihan, pemeriksaan birahi dan penanganan kesehatan. Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroekosistemnya, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak (Rasyid dan Hartati 2007).

Produktivitas ternak sapi dapat dinilai melalui dua indikator, pertama adalah performans produksi diantaranya penampilan bobot hidup dan pertambahan bobot badan; kedua adalah performan reproduksi diantaranya produksi anak (calf crop) dalam satu tahun. Calf crop adalah angka yang menggambarkan jumlah anak lepas sapih yang diproduksi dalam satu tahun terhadap jumlah induk dalam persen. Calf crop dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, persentase induk yang melahirkan dalam total populasi induk, persentase kematian (mortalitas) pada saat anak belum disapih, dan jarak beranak (Arrington dan Kelley 1976). Jarak kelahiran dipengaruhi oleh lama kebuntingan dan jarak antara melahirkan dan pengawinan berikutnya (service period) yang dipengaruhi oleh keterampilan peternak dalam mengawinkan ternak yang ditunjukkan oleh besarnya angka service per conception dan waktu menyusui (Fraser 1979).

(28)

dari melahirkan sampai estrus pertama, 3) tingkat konsepsi yang rendah dan 4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak sebagian besar (95%) dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Adanya perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak di suatu wilayah dipengaruhi oleh keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi (Toelihere 1983).

Kendala dan peluang pemeliharaan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian sistem produksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi teknis ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak menimbulkan konflik sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal di antaranya adalah infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah (Santosa 2001).

Hambatan-hambatan dalam usaha meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang kompleks dan bersifat biologis, ekologis serta sosioekonomis. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama usaha peternakan yang bersifat tradisional. Pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana dan produk berkualitas rendah (Riady 2004).

Budidaya Sapi Potong

(29)

penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti (replacement stock) dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Berbeda dengan penggemukan sapi, tujuan pemeliharanya untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar. Oleh karena itu, output yang dihasilkan adalah sapi ‘finish’ (Priyanto 2002).

Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong rakyat (Yusdja et al. 2004). Pola Pertama, pengembangan sapi potong yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan usaha pertanian terutama sawah dan ladang, artinya di setiap wilayah persawahan atau perladangan yang luas maka disana ditemukan banyak ternak sapi. Pola ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Peternak memelihara sapi dengan tujuan sebagai sumber tenaga kerja terutama untuk mengolah tanah dan penarik barang. Oleh karena itu, pertumbuhan sektor pertanian akan meningkatkan jumlah populasi sapi, selain itu usaha pertanian berhubungan erat dengan perkembangan penduduk. Penduduk akan semakin padat diwilayah tanah pertanian yang subur. Keadaan ini menciptakan struktur usaha peternakan berskala kecil.

(30)

Ciri-ciri peternakan rakyat yakni skala usaha relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana dan bersifat padat karya serta berbasis organisasi kekeluargaan (Yusdja et al. 2004). Usaha peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka terhadap perubahan. Alternatif pengembangannya adalah dengan melakukan reformasi modal, penciptaan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi.

Pola Ketiga,Pengembangan usaha penggemukan sapi potong yang benar-benar padat modal, dalam usaha skala besar hanya terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi potong. Perusahaan penggemukan ini dikenal dengan istilah feedlotters menggunakan sapi bakalan impor untuk usaha penggemukan.

Kawasan Agribisnis Sapi Potong

Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun

secara bersama membentuk suatu klaster yang dapat berupa klaster pertanian dan klaster industri, tergantung dari kegiatan ekonomi yang dominan dalam

kawasan itu (Bappenas 2004). Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan yang secara khusus diperuntukan untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung, suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah kawasan peternakan yang berorientasi ekonomi dan memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun hilir (Deptan 2002b).

(31)

(3) subsistem agribisnis hilir peternakan, kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas peternakan primer menjadi produk olahan, dan (4) subsistem agribisnis jasa penunjang, kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa yang dibutuhkan ketiga sistem yang lain seperti transportasi, penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah (Saragih 2000),

Menurut Bappenas (2004) Dipandang dari segi potensi agrosistem dan tingkat kemandirian kelompok, kawasan peternakan bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga macam kawasan itu adalah merupakan tahapan pengusahaan pengembangan kawasan peternakan rakyat. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kawasan Peternakan Baru.

Kawasan ini dikembangkan dari daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Petani telah memiliki usaha tani lain terlebih dahulu, atau belum memiliki usaha apapun di sektor agribisnis. Demikian pula kelompok petaninya juga belum terbentuk, kalaupun sudah ada tapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Lahan cukup luas dan bahan pakan cukup potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Peran pemerintah diperlukan dalam bentuk pelayanan, pengaturan dan pengawasan.

2. Kawasan Peternakan Binaan.

(32)

3. Kawasan Peternakan Mandiri.

Kawasan ini merupakan pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan, yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang lebih luas. Kelompok tani telah meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut, dan telah bekerjasama dengan beberapa kelompok lain dalam wadah KUBA. Bahkan telah dikembangkan beberapa KUBA yang satu sama lainnya saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap Kelompok, setiap KUBA, dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi, dan unit-unit pemasaran telah berkembang sangat efisien, sedemikian hingga ada kemandirian para petani ternak, kelompok petani, KUBA, dan kawasan. Pada tahap ini, peran pemerintah tinggal hanya pengaturan dan pengawasan.

Komponen-komponen pembentuk kawasan peternakan sapi potong yang menjadi indikator penentuan suatu bentuk kawasan meliputi lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan petugas pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Priyanto2002).

Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong

Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck and Jauch 1994). Esensi strategi merupakan keterpaduan dinamis faktor eksternal dan faktor internal yang berisikan strategi itu sendiri. Strategi merupakan respon yang secara terus-menerus atau adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti 2006).

(33)

tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan korektif (David 2001).

Menurut Wahyudi (1996) tahap perumusan atau pembuatan strategi merupakan tahap yang paling menantang dan menarik dalam proses manajemen strategi. Inti pokok dari tahapan ini adalah menghubungkan suatu organisasi dengan lingkungannya dan menciptakan strategi-strategi yang cocok untuk dilaksanakan. Proses pembuatan strategi terdiri atas empat elemen sebagai berikut ; (1) identifikasi masalah-masalah strategik yang dihadapi meliputi lingkungan eksternal dan internal; (2) pengembangan alternatif-alternatif strategi yang ada dengan mempertimbangkan strategi yang lain; (3) evaluasi tiap alternatif strategi; dan (4) penentuan atau pemilihan strategi terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia.

(34)

Gunardi (1998) menyatakan bahwa usaha untuk mencapai tujuan

pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian,

mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam "Sapta Usaha Peternakan", serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, dan (3) pendekatan agribisnis dengan tujuan : mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran.

Menurut Preston dan Leng (1987), tujuan dasar yang harus diperhatikan

dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah (1) mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan dengan menggunakan

input yang tersedia, dan (2) memadukan antara beberapa jenis tanaman, ternak, limbah peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan.

(35)

Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari Agustus 2008 - Mei 2009 dengan rincian jadwal sebagai berikut; (1) persiapan (Agustus- September 2008), (2) pengumpulan data (Oktober - Desember 2008), dan (3) analisis data dan penulisan (Januari - Mei 2009). Lokasi penelitian adalah Kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan di Distrik Salawati Utara Kabupaten Raja

Ampat Provinsi Papua Barat. Beberapa pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah (1) 95% lebih populasi sapi potong (sapi Bali) berada di lokasi ini, dan (2) berdasarkan RTRW Kabupaten Raja Ampat, lokasi ini diproyeksikan sebagai kawasan agropolitan dengan sentra pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat (Bappeda Raja Ampat 2007).

Metode Pengumpulan Data dan Responden

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan melakukan wawancara dengan 218 orang responden atau yang memiliki sapi potong di lokasi penelitan (Distannakbun 2008). Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan (questioneraire) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara pengukuran sampel sapi dan melihat secara visual untuk menentukan kondisi dan pola pemeliharaan di lokasi penelitian dan padang penggembalaan.

(36)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

1. Karakteristik wilayah; meliputi luas lahan, sistem penggunaan lahan, iklim, jenis tanah dan topografi, dan daya dukung lahan (kapasitas tampung). 2. Karakteristik produksi ternak; meliputi populasi, tingkat kelahiran, tingkat

kematian, jumlah pengeluaran dan pemasukan ternak, jumlah pemotongan, dan estimasi bobot badan melalui pengukuran beberapa ukuran tubuh. 3. Karakteristik peternak meliputi umur, tingkat pendidikan, tujuan beternak,

lama beternak dan jumlah kepemilikan ternak serta pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam kegiatan pengembangan sapi potong dengan menggunakan sistem skoring (kategori nilai skor ; rendah < 25, cukup 26 - 33 , tinggi 34 – 41, dan sangat tinggi 42 - 50).

4. Pola manajemen produksi sapi potong; meliputi reproduksi, pemeliharaan dan perkandangan, pakan, penyakit dan kesehatan ternak, pendampingan, sarana dan prasarana, pasca panen dan pemasaran hasil.

5. Karakteristik kelembagaan dan kebijakan pemerintah; meliputi kelembagaan peternak dan permodalan, program-program pemerintah daerah yang menunjang pegembangan peternakan sapi potong.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, dan disajikan dalam bentuk Tabel, Gambar dan Grafik.

(37)

1) PMSL = a LG + b PR + c LH Keterangan :

PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumber daya lahan (ST). a = Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan (ST), a = 0,077 ST/ha lahan pekarangan ; a = 0,082 ST/ ha lahan perkebunan ; a = 1,52 ST / ha lahan sawah.

LG = Luas lahan garapan (ha)

b = Daya tampung ternak ruminansia di lahan padang rumput (ST). b = 0,5 ST/ha rumput alam ; b = 1 ST/ha alang-alang PR = Luas padang rumput/tegalan (ha)

c = Daya tampung ternak ruminansia di lahan hutan dan rawa (ST), c = 2,86 ST/ ha lahan.

LH = Luas lahan hutan dan rawa (ha)

2) KPPTR (SL) = PMSL – POPRIL Keterangan :

KPPTR = Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan sumber daya lahan (ST)

POPRIL = Populasi riil ternak ruminansia

3) PMKK = a x KK Keterangan ;

PMKK = Potensi maksimum usaha ternak (ST) berdasarkan kepala keluarga

KK = Kepala Keluarga

a = Kemampuan rumah tangga untuk usaha ternak rumnansia tanpa tenaga kerja dari luar rumah tangga a = 3 ST/KK.

(38)

Tabel 3. Rumus pendugaan bobot badan sapi berdasarkan ukuran tubuh

Jenis Kelamin Gigi Persamaan Regresi

Jantan I0 307 + 2,86LD + 0,14PB + 3,7LCan + 0,69LbPG

I1 527,5 + 2,5PB + 0,87LD + 2,57TP + 3,9LCan

I2 511,3 + 2,76LD + 2,48LbPG + 1,48PB + 4,2LCan

Betina I0 275 + 2,17LD + 0,47PB + 0,73TPG + 0,85LbD

I1 332,2 + 2,23LD + 1,53PB + 3,1LCan

I2 385,4 + 2,51LD + 1,16TPG + 0,90PB

Ket : LD = Lingkar dada TP = Tinggi pundak LbPG = Lebar pinggul TPG = Tinggi pinggul PB = Panjang badan LbD = Lebar dada Lcan = Lingkar pergelangan kaki (canon)

Secara umum metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali dapat dijelaskan pada Gambar 4 (Otsuka et al. 1981).

Keterangan : 1. Lingkar dada (cm) 2. Tinggi pundak (cm) 3. Tinggi pinggul (cm) 4. Panjang badan (cm)

5. Lebar pinggul (cm) 6. Lebar dada (cm)

7. Lingkar pergelangan kaki (cm)

Gambar 4. Metode pengukuran bagian tubuh sapi

1) Lingkar dada diukur pada bidang yang terbentuk mulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat dengan menggunakan pita ukur (cm).

2) Tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur (cm) .

3) Tinggi pinggul diukur dari bagian tertinggi pinggul tegak lurus sampai ke tanah, menggunakan tongkat ukur (cm).

5

(39)

4) Panjang badan diukur dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) sampai penonjolan tulang duduk (tuber ischii) dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

5) Lebar pinggul diukur jarak dari tuber coxae (penonjolan pinggul) yang kiri dengan tuber coxae yang kanan, menggunakan alat kaliper dalam (cm) .

6) Lebar dada diukur jarak dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) yang kiri dengan penonjolan bahu yang kanan, menggunakan kaliper (cm). 7) Lingkar pergelangan kaki (canon): diukur pada bagian yang ramping dari

tulang metacarpus atau metatarsus, menggunakan pita ukur (cm).

Analisis motivasi dilakukan untuk membandingkan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong (bibit, pakan dan penanganan ternak) di lokasi penelitian. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan peternak tentang pengembangan. Motivasi adalah keinginan dan kemauan peternak melakukan kegiatan pengembangan. Partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pengembangan sapi potong baik yang dilakukan secara individu maupun dalam bentuk kelompok. Nilai pengetahuan, motivasi, dan partisipasi peternak ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Jawaban diberi nilai 1 sampai 5, sehingga total skor berkisar dari 10 sampai 50. Kategorinya dibagi atas (1) cukup ; untuk responden yang memiliki nilai skor 26 - 33, (2) tinggi ; nilai skor 34 – 41 dan (3) sangat tinggi ; nilai skor 42 – 50. Untuk membandingkan skor nilai partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dilakukan analisis statistik non parametrik dengan menggunakan metode uji Mann-Whitney (Musa dan Nasoetion 2007).

(40)

dibandingkan dengan dengan skor standar kawasan akan digunakan untuk menentukan model kawasan sapi potong. Standar penilaian dilakukan dengan menggunakan pedoman penilaian untuk kawasan pembibitan dan kawasan penggemukan (Priyanto 2002). Faktor pembobot mempunyai nilai 100 poin yang dialokasikan pada komponen kawasan dan selanjutnya didistribusikan pada setiap indikator komponen. Nilai yang diberikan pada indikator komponen kawasan berkisar antara 0 – 10 poin sehingga skor tertinggi kawasan sebesar 1000 poin. Berdasarkan tingkat pengembangan kawasan sapi potong ditetapkan skor standar untuk kawasan baru < 500, kawasan binaan 500 – 700 dan kawasan pengembangan > 700 poin. Selain itu nilai skoring tersebut dianalisis menggunakan Analisis Gerombol (Cluster Analisis) untuk memperoleh informasi tentang pengelompokan potensi wilayah sebagai basis sapi potong.

Strategi pengembangan kawasan sapi potong diperoleh dari hasil olahan data baik kuantitatif maupun kualitatif kemudian dianalisis SWOT dengan menggunakan metode table IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) untuk menentukan strategi (Rangkuti 2006).

Analisis usaha dihitung berdasarkan faktor-faktor produksi untuk melihat skala usaha yang menguntungkan dalam pemeliharan sapi potong melalui analisis titik impas (Break Event Poin) dengan rumus mengacu pada Deanta (2006) sebagai berikut :

Biaya tetap BEP (unit) =

(41)

Kondisi Iklim, Tanah dan Topografi

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Raja Ampat, Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan agropolitan yaitu sebagai wilayah pengembangan peternakan seperti sapi potong dan kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan khususnya padi dan perkebunan. Wilayah Distrik Salawati Utara ditetapkan sebagai kawasan pengembangan peternakan khususnya sapi potong mencakup tiga kampung yaitu kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan (Bappeda Raja Ampat 2006) yang menjadi lokasi target penelitian ini. Ketiga kampung ini terletak di sebelah selatan Pulau Salawati dan saling berbatasan satu dengan lainnya, dimana kampung Kalobo dan Waijan berada pada daerah lembah dataran rendah dengan ketinggian tempat kurang dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan sebagian besar dihuni oleh penduduk transmigran asal Jawa, sedangkan kampung Sakabu berada di pesisir pantai dan umumnya dihuni oleh masyarakat pribumi (asli Papua). Jarak antara kampung Sakabu dengan Kalobo sebesar ±5 km, antara kampung Kalobo dan Waijan berjarak ±12 km. Secara umum, kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

(42)

lokal pada umumnya mempunyai kemampuan beradaptasi baik pada lingkungan iklim tropis dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah (Handiwirawan dan Subandriyo 2004).

Tabel 4. Kondisi iklim, jenis tanah dan topografi lokasi penelitian Lokasi Penelitian No. Uraian (Peubah Diamati)

Sakabu Kalobo Waijan

1 Iklim

a.Curah hujan (mm/thn) b.Temperatur rata-rata (oC) c.Kelembaban (%)

d.Tekanan udara (mbs) e.Penyinaran matahari (%)

2537 27.7

84 1010.7

60 2 Jenis tanah dan topografi

a.Ketinggian tempat (dpl) b.Kemiringan lahan (%) c.Jenis tanah

d.Tekstur tanah e. Tingkat kesuburan f.Kedalaman efektif (cm) g.Kondisi air tanah

0-25 Sumber: Bappeda Kabupaten Raja Ampat (2006)

Topografi kampung Sakabu adalah dataran disertai areal perbukitan, dengan ketinggian antara 0 sampai 25 m dpl serta kemiringan lahan antara 0-40% (Gambar 5). Diperkirakan kondisi lahan yang datar sebesar 45% sedangkan sisanya (65%) merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian tidak lebih dari 25 m dpl. Jenis tanah adalah podsolik berwarna merah kuning dan aluvial coklat dengan tekstur tanah sedang, menunjukkan tingkat kesuburannya yang sedang sampai subur. Air tersedia secara cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum ternak, memandikan/membersihkan ternak, pertumbuhan hijauan pakan ternak, dan kebutuhan lainnya.

(43)

Kalobo mudah memperoleh sumber air tanah , beberapa lokasi kondisi airnya diduga agak kurang baik begitu pula dengan kampung Waijan.

Gambar 5. Kondisi topografi kampung Sakabu

Gambar 6. Kondisi topografi kampung Kalobo

(44)

(Gambar 7). Jenis tanah podsolik berwarna merah kuning dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Menurut Harjowigeno dan Widiatmaka (2006), kondisi media perakaran yang sesuai untuk padang penggembalaan yaitu tekstur tanah sedang (lempung liat berpasir), kedalaman efektif >30 cm, dan drainase tanah agak terhambat sampai sedang. Secara umum kondisi lokasi penelitian yang didominasi oleh wilayah yang datar akan sangat cocok bagi pengembangan sapi potong, apalagi dengan didukung oleh ± 50 – 60% daerah dataran yang berupa padang rumput sebagai sumber pakan sapi potong.

Gambar 7. Kondisi topografi kampung Waijan

Potensi Wilayah dan Daya Dukung Lahan

(45)

saling menguntungkan. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak (Riady 2004).

Tabel 5. Daya dukung lahan dan potensi kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan

Lokasi Penelitian No Uraian (Peubah Diamati)

Sakabu Kalobo Waijan

1 Luas Lahan (Ha) 2.887 5.579 4.283

2 Jumlah Penduduk (KK) 97 143 113

3 Jumlah Penduduk (Jiwa) 394 672 486

4 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 10.8 9.5 8.9

5 Luas Lahan Pangan (Ha) 83 1.424 1.021

6 Nisbah Lahan Pangan Terhadap

Penduduk (jiwa/ha) 4.75 0.47 0.48

12 Pola dasar Pembangunan Lahan Pertanian. pemukiman

13 Pola Pertanian Perikanan

tradisional

persawahan. palawija

persawahan. palawija 14 Sarana Irigasi Non-irigasi Irigasi teknis Irigasi

teknis Sumber : Bappeda Raja Ampat (2007)

Keterangan : a. PMSL = Potensi Maksimum berdasarkan Sumber Daya Lahan b. KPPTR = Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia c. PMKK = Potensi Maksimum Usaha Ternak berdasarkan Kepala

Keluarga

(46)

Pada usaha sapi potong, lahan merupakan basis untuk usaha tersebut atau merupakan faktor produksi sebagai sumber pakan pokok. Lahan dapat berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi. Kebutuhan lahan bagi pengembangan ternak ruminansia seperti sapi potong adalah penting terutama sebagai sumber pakan seperti rumput (graminae), leguminosa dan hijauan dari tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain sebagainya (Soekartawi e t a l. 1 9 8 6 ) .

Berdasarkan luas lahan sawah di kampung Kalobo dan Waijan dengan rata – rata produksi gabah kering giling 2.5 ton/ha/panen (Distannak Raja Ampat 2009) dapat menghasilkan limbah berupa dedak padi sebanyak 472 ton. jumlah ini dapat digunakan sebagai pakan konsentrat untuk 2.098 ST. Disamping itu produksi jerami padi dapat mencapai 7.221 ton/panen. yang menurut Sumanto et al. (2005) setiap hektar sawah mampu menghasilkan jerami padi 5-8 ton/ha/panen. Jerami padi ini dapat digunakan sebagai pakan alternative untuk ± 2.865.7 ST sepanjang tahun. Lahan perkebunan terbagi atas kebun tanaman durian dan sagu, namun lebih di dominasi oleh tanaman sagu ± 1017 ha (70%), dari luasan ini. Produksi ampas sagu dengan kadar air 40% dapat mencapai 89 000 ton. Rata-rata tanaman sagu di panen 73 batang/ha/tahun (Bintoro 2008). Menurut Saitoh et al. (2004) perbandingan pati dan ampas dari tanaman sagu adalah 1 : 5 dengan rata-rata produksi pati untuk tanaman sagu di wilayah Papua 600 kg/batang. Berdasarkan jumlah produksi ampas sagu tersebut, dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi untuk 123 611 ST sepanjang tahun. Kondisi lahan sawah dan sagu dapat dilihat pada Gambar 8.

(47)

besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor lingkungan hidup dan pendukung pakan. Agar ternak dapat berproduksi dengan baik, perlu diperhatikan persyaratan penggunaan dari sifat-sifat pembatas lahan yang meliputi kelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak adalah: 1) tersedianya semua unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman; 2) kesesuaian iklim yang mempengaruhi ternak; 3) ketersediaan air minum ternak; 4) nilai nutrisi rumput; 5) sifat racun dari rumput; 6) penyakit-penyakit hewan; 7) ketahanan terhadap kerusakan rumput; dan 8) ketahanan erosi akibat penggembalaan.

(48)

Hasil analisis daya dukung lahan/wilayah berdasarkan atas potensi maksimum sumber daya lahan dan kemampuan menghasilkan hijauan pakan ternak secara alami. menunjukkan bahwa populasi sapi potong tahun 2008 dan daya tampung wilayah untuk ternak sapi potong masih cukup memadai sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis, jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan di kampung Sakabu. Kalobo dan Waijan memenuhi daya tampung masing-masing sebesar 6202.50. 5713.42. dan 5876.63 ST. Apabila pembangunan peternakan diarahkan pada pengembangan sapi potong dengan pola integrasi atau secara intensifikasi, daya tampung tersebut masih dapat ditingkatkan. Prioritas lokasi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat yang perlu dioptimalkan pengelolaannya adalah

(1) lokasi perkebunan tanaman buah-buahan (durian) di kampung Sakabu. (2) lokasi pertanian tanaman padi yang tersebar di Kampung Kalobo dan Waijan, dan (3) perkampungan ternak sapi di ketiga kampung dengan lahan

total mencapai 12 749 ha dengan kemampuan peningkatan populasi sapi potong sebesar 17 792.55 ST, sehingga dari jumlah tersebut terlihat bahwa lokasi

penelitian cukup potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan sapi potong.

Karakteristik Produksi Ternak Sapi Potong

Populasi Sapi Potong

(49)

tidak terfokus pada pertumbuhan produksi secara cepat. Usaha penggemukan sapi yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan daging secara kontinu belum dilakukan. Penjualan sapi umumnya dilakukan karena peternak membutuhkan uang cepat sehingga pemeliharaan sapi hanya sebagai tabungan, ini berakibat produksi setiap tahunnya cenderung konstan atau mengalami peningkatan yang tidak berarti. Belum berkembangnya usaha penggemukan sapi juga disebabkan karena belum berkembangnya sistem pembibitan sapi potong yang baik yang dapat menjamin ketersediaan sapi bakalan secara berkesinambungan.

Tabel 6. Populasi sapi potong (ekor) di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008

Tahun Rata-rata

Kenaikan/tahun (%) No Wilayah

20061 20071 20082

1 Distrik Salawati Utara 732 948 1733 56.55

2 Distrik Lainnya 61 73 54 -113.01

3 Kabupaten Raja Ampat 793 1021 1787 53.64

Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2

: Hasil survei penelitian (2008)

(50)

Tabel 7. Performans reproduksi sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008

Tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati)

20061 20071 20082

1 Populasi (ekor) 793 1021 1787

- Jantan - - 303

- Betina - - 1286

2 Persentase peningkatan populasi (%/thn) - 28.75 75.02

3 Kelahiran (ekor) 126 294 398

4 Persentase kelahiran dari populasi (%) 15.89 28.80 22.27 5 Persentase kelahiran dari jumlah betina (%) - - 53.00

6 Kematian (ekor) 17 32 129

7 Persentase kematian (%) 2.14 3.13 7.22

Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008) 2

: Hasil survei penelitian (2008)

Perubahan populasi ternak sapi dalam kurun waktu 2006 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Data ini menunjukkan peningkatan yang tidak berarti dengan intensitas yang rendah. Pada tahun 2008 jumlah ternak sapi yang keluar dari Raja Ampat mencapai 360 ekor dengan total produksi daging

diperkirakan sebesar 55.07 ton dengan rata-rata pengeluaran mencapai 35% per tahun. Angka ini melampaui pertambahan populasi setiap tahunnya walaupun dari

Tabel 8. Jumlah pemasukan. pengeluaran dan pemotongan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat tahun 2006-2008

Tahun No Kriteria (Peubah yang Diamati)

20061 20071 20082

1 Pemasukan (ekor) 80 240 125

2 Jumlah pengeluaran/pemotongan (ekor) 352 416 360 3 Persentase pengeluaran/pemotongan (%) 44.39 40.74 20.15 4 Produksi Daging (Kg) 53.851.8 63.643.0 55.075.7 Sumber : 1 : Distanakbun Raja Ampat (2008)

2

: Hasil survei penelitian ini (2008)

(51)

Tingginya pengeluaran dan pemotongan ternak menunjukkan besarnya tingkat permintaan daging masyarakat Kabupaten Raja Ampat dan daerah sekitarnya di Papua Barat dan Papua terutama Kabupaten Sorong. Secara regional keragaan usaha ternak sapi potong ditandai dengan masih besarnya ketergantungan akan bibit sapi potong, ternak siap potong, dan produksi hasil ternak dari daerah lain. Kegiatan budidaya saat ini tampaknya masih lemah dan harus terus diupayakan perkembangannya sedangkan kegiatan pasca produksi cenderung meningkat. Peningkatan permintaan hasil ternak sapi potong yang intensif belum diimbangi dengan kesiapan sistem budidaya sapi potong. Akibatnya kesenjangan supply-demand harus diatasi dengan pemasukan sapi bakalan dan daging sapi dari daerah lain. Neraca perdagangan sapi potong dalam bentuk hidup di Kabupaten Raja Ampat ditandai dengan volume impor yang hampir sebanding dengan ekspor. Impor dari daerah lain baik berupa sapi bibit, bakalan maupun sapi siap potong masih tinggi sementara ekspor masih terbatas. Hal ini mencerminkan tingginya konsumsi daging regional kabupaten yang belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam daerah sendiri.

Produktivitas Sapi Potong

(52)

Tabel 9. Rataan bobot badan sapi Bali berdasarkan jenis kelamin dan umur di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan Kabupaten Raja Ampat

lokasi Penelitian

Sakabu Kalobo Waijan No Umur Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama

menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05).

Bobot badan sapi Bali jantan umur > 2 tahun yang ada di tiga kampung penelitian tidak berbeda nyata karena pada umur ini ternak jantan akan dijual oleh peternak, sedangkan untuk sapi betina terdapat perbedaan dimana sapi betina di kampung Kalobo memiliki ukuran tubuh yang nyata (P<0.05) lebih besar. Hal ini disebabkan ternak betina akan digunakan sebagai calon induk yang diharapkan dapat memperoleh keturunan yang besar. Bobot badan dan ukuran tubuh sapi Bali jantan maupun betina umur < 1 tahun dan >1 tahun sampai dengan ≤ 2 tahun di Kabupaten Raja Ampat masih termasuk rendah dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan 2006).

(53)

Sumber : 1. Rajab (2009) 2. Data hasil penelitian

Gambar 9. Perbandingan bobot badan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat dengan sapi Bali di beberapa wilayah di Pulau Bali

Karakteristik Peternak Identitas Peternak

(54)

a. Umur Peternak

Hasil survei memperlihatkan bahwa sebagian besar (≥ 75%) peternak berumur antara 15 – 55 tahun. sedangkan berumur dibawah 15 tahun atau diatas 55 tahun adalah kurang dari 25% peternak, ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak termasuk dalam usia produktif. Jumlah peternak dengan usia produktif yang tinggi, hal ini akan berpengaruh positif dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program pengembangan kawasan sentra sapi potong di Kabupaten Raja Ampat.

b. Tingkat Pendidikan

Kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu informasi sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, dimana dengan mengikuti pendidikan formal yang lebih tinggi maka seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian (Rakhmat 2000).

Tingkat pendidikan peternak relatif beragam. didominasi oleh lulusan SD (57-76%), SLTP (7-15%) dan SLTA (8-36%), sedangkan lulusan Perguruan

(55)

Tabel 10. Karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat Lokasi Penelitian

No Uraian (Peubah Diamati)

Sakabu Kalobo Waijan Jumlah

Rata-Rata

1 Jumlah Peternak (orang) 14 118 86 -

2 Umur Peternak (%)

a. Produktif (15-55 tahun) 85.71 79.66 74.42 239.79 79.93 b. Belum/Tidak Produktif (<15

tahun / > 55 tahun) 14.29 20.34 25.58 60.21 20.07 3 Tingkat Pendidikan (%)

a. SD 57.14 73.73 75.58 206.45 68.82

5 Usaha Pemeliharaan Ternak (%)

a. Pokok 0 4.24 0 4.24 1.41

b. Sambilan 100 95.76 100 295.76 98.59

6 Tujuan Pemeliharaan Ternak (%)

a. Tabungan/Tambahan

Penghasilan 100 99.15 100 299.15 99.72

b. Hobbi 0 0.85 0 0.85 0.28

c. Lainnya 0 0 0 0 0.00

7 Pengalaman Beternak (%)

a. 0-5 tahun 100 46.76 50.0 196.76 65.59

b. Komposisi umur ternak

- Anak & Muda (umur<2 tahun) 16 371 274 661 220.33

c. Mata Pencaharia Utama

(56)

adalah petani sawah, hal ini disebabkan 90% penduduk di kedua kampung ini adalah transmigran asal Jawa. Pedagang atau wiraswasta lebih banyak (7.14%) di kampung Sakabu diikuti dengan kampung Kalobo (4.23%) dan Waijan (2.23%). Demikian juga PNS dengan pola yang sama masing-masing 14.29; 7.63 dan 2.33% untuk kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan.

Penduduk di tiga kampung peternaknya memelihara sapi Bali adalah sebagai usaha sambilan dan hanya 4.24% peternak di kampung Kalobo yang menjadikannya sebagai usaha pokok. Sapi potong dipelihara sebagai tabungan atau tambahan penghasilan. dan peternak menjualnya saat membutuhkan uang.

d. Pengalaman Beternak

Sebagian besar peternak rata-rata (65.6%) pengalaman beternaknya masih kurang dari lima tahun, karena penduduk asli dan keluarga baru ada yang baru mencoba untuk beternak sapi potong. Di kampung Sakabu semuanya (100%) adalah peternak pemula, sementara di kampung Kalobo dan Waijan rata-rata peternak sudah memelihara sapi 5-10 tahun bahkan banyak juga yang diatas 10 tahun, mereka umumnya adalah transmigran asal Jawa yang sudah memulai memelihara sapi sejak tahun 1983 dengan adanya bantuan Presiden sebanyak 160 ekor untuk dua lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Kalobo dan Waijan (Disnak Kab.Sorong 2007).

e. Kepemilikan Ternak

(57)

sapi yang baik dengan sistem perkawinan secara alami, rasio jantan dengan betina maksimum diusahakan adalah 1 : 10, untuk pengadaan ternak pengganti (replacement stock), calon bibit jantan dan betina diambil dari umur sapih yakni 6 – 7 bulan sebanyak 10 dan 25% yang diseleksi berdasarkan performan masing-masing (Deptan 2006).

Pengetahuan, Motivasi dan Partisipasi Peternak dalam Kegiatan Pengembangan Peternakan Sapi Potong.

Hasil analisis mengenai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 11. Petani peternak di Kabupaten Raja Ampat memiliki pengetahuan relatif rendah dengan skor < 25.0 terutama tentang manajemen sapi potong. Nilai skor paling rendah (14.71) adalah peternak di kampung Sakabu dan tertinggi (20.49) adalah peternak di Waijan. Pengetahuan yang rendah tentang budidaya sapi potong erat kaitannya dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat ekstensif. Hampir seluruh kehidupan ternak tergantung dari alam, dan peternak hanya mengawasi tanpa campur tangan yang serius. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa pengetahuan peternak tentang kegiatan pengembangan peternakan di kampung Sakabu berbeda dengan kampung Kalobo dan Waijan, hal ini disebabkan peternak di kampung Kalobo dan Waijan adalah peternak lama yang sudah sering menerima penyuluhan dan 90% peternak (terbanyak) berada di kedua kampung tersebut.

Tabel 11. Hasil uji Mann-Whitney tentang pengetahuan. motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat

Lokasi Penelitian (kampung) No Uraian (Peubah Diamati)

Sakabu Kalobo Waijan

1 Peternak (orang) 14 118 86

2 Pengetahuan (skor) 14.71±2.67a 18.20±5.31b 20.49±6.39c 3 Motivasi (skor) 16.43±4.31a 21.66±6.16b 23.12±6.28b 4 Partisipasi (skor) 11.14±2.03a 14.71±3.95b 15.33±4.09b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama

menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05).

(58)

beternak sapi potong bila dibandingkan dengan peternak di Kalobo (21.66) dan Waijan (23.12) yang memiliki motivasi cukup baik.

Partisipasi peternak dalam budidaya sapi potong juga termasuk rendah (skor < 25.0) dan tidak terdapat perbedaan antara kampung Kalobo (14.71) dan Waijan (15.33) namun keduanya berbeda dengan Sakabu (11.14). Sejalan dengan tingkat motivasi, peternak di kampung Sakabu memiliki tingkat partisipasi yang juga rendah, karena sebagai peternak baru masih banyak membutuhkan dukungan dari pemerintah terutama pembinaan dalam cara beternak.

Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang Peternakan Sapi Potong

Persepsi dan aspirasi peternak mempengaruhi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 12. Usaha pertanian sawah dan perkebunan yang kurang memberikan hasil, mengakibatkan rendahnya pendapatan dari sawah dan perkebunan (sagu dan durian) dan hanya mencukupi

untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu harapan beternak sapi potong (sapi Bali) merupakan komoditas alternatif guna menunjang peningkatan

pendapatan petani.

Tabel 12. Potensi peternakan sapi potong menurut persepsi dan aspirasi masyarakat di Kabupaten Raja Ampat

Status Perkembangan Usaha (%)

Kampung Peternak

(orang) Baik Cukup Baik Kurang Baik

Kalobo 55 100 0 0

Sakabu 125 100 0 0

Waijan 95 100 0 0

Manajemen Produksi Sapi Potong

Penerapan Teknologi Budidaya Sapi Potong

(59)

menjual ternak dengan ukuran tubuh dan bobot badan yang besar untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Sistem perkawianan umumnya masih secara alami, ada beberapa peternak yang sudah mengawinkan sapi dengan pejantan yang dianggap unggul namun itupun masih secara alami.

Tabel 13. Teknis pemeliharaan sapi potong di lokasi penelitian Kampung

b. Digembalakan siang hari dan dikandangkan

malam hari (Semi-Intensif) 0 0 0

(60)

(>85%) peternak di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan menerapkan tatalaksana pemeliharaan ternak sapi secara semi tradisional dengan campur tangan manusia yang terbatas. Menurut Riady (2004), keterbatasan peternak dalam ilmu pengetahuan dan masalah modal merupakan permasalahan dalam pengembangan sapi potong di Indonesia.

Infrastruktur (Sarana dan Prasarana) Pendukung

Perintisan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dimulai pada tahun 2006 melalui pembangunan UPTD-Peternakan. Informasi mengenai identitas dan karakteristik peternak, kontrol kesehatan, upaya penurunan angka kematian, dan pencegahan penyakit ternak sapi potong (sapi Bali) diperoleh melalui pemanfaatan fasilitas kegiatan rutin layanan kesehatan hewan dan pemberian obat-obatan pada hewan/ternak secara berkala menggunakan fasilitas layanan yang tersedia (Tabel 14).

Tabel 14. Fasilitas sarana dan prasarana (infrastruktur) layanan peternakan

Fasilitas Jumlah

Poskeswan 1 TPH/RPH* 0

Gedung Obat-Obatan 1

Dokter Hewan (orang) 1

Petugas Peternakan (orang) 3

Kebun HMT (ha) 20

Pabrik Penggilingan Padi (unit) 6

Jalan Tersedia (aspal)

Pelabuhan Tersedia (3 buah)

Keterangan : *Tempat Pemotongan Hewan/Rumah Potong Hewan

(61)

Kelayakan Usaha Sapi Potong

Analisis kelayakan usaha sapi potong secara sederhana dilakukan pada skala usaha kecil untuk menggambarkan prospek perkembangan khususnya di tingkat masyarakat peternak (Lampiran 6a dan 6b). Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha sapi potong pada tingkat peternak rakyat dengan pola ekstensif adalah pada skala kepemilikan 3.25 satuan ternak (ST) atau setara dengan RP 23 159 250 untuk satu periode pemeliharaan. Hal ini berarti jika pola pemeliharaan ditingkatkan dari pola ekstensif menjadi semi intensif atau intensif akan lebih meningkatkan pendapatan peternak, disamping itu dapat menjadi salah satu acuan dalam penentuan skala usaha minimal bagi peternak.

Kawasan Sapi Potong Rakyat

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pemikiran pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumber daya lokal di Kabupaten Raja Ampat
Tabel 1.  Populasi ternak sapi, kerbau dan jumlah keluarga peternak di Indonesia tahun 2007
Gambar 2.  Warna tubuh yang normal pada sapi Bali betina (1), Bali jantan (2),  PO (3) dan Madura (4)
Gambar 3.  Keserasian bentuk tubuh sapi Bali (1), PO (2) dan Madura (3).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk: (1) mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten Raja Ampat ,

Kajian mengenai dampak pemekaran wilayah terhadap perekonomian wilayah kepulauan dan implikasinya pada pengembangan wisata bahari (studi kasus di Kabupaten Raja Ampat Provinsi

Mengingat pentingnya peranan lamun bagi ekosistem perairan laut dan semakin banyaknya tekanan dari aktivitas manusia yang menjadikan kepulauan Raja Ampat sebagai

Kenaikan Suhu Perairan Mengakibatkan Mastigias papua Menghilang di Danau Laut Lenmakana Misool Kabupaten Raja.. Ampat,

dalam pengembangan struktur tata ruang Kabupaten Raja Ampat, sesuai kaidah penataan ruang kelautan nasional, perlu memperhatikan unsur-unsur pokok seperti: 

dijual oleh peternak yang membutuhkan uang sebaiknya dibeli oleh pemerintah daerah memanfaatkan dana proyek pemasukan/pengadaan ternak dari luar daerah sehingga dapat mencegah

Aspek nilai, bahwa situs Kali Raja merupakan situs yang memiliki arti penting bagi sejarah terbentuknya Raja Ampat; aspek idiologi, bahwa situs ini sebagai gambaran jati diri

Secara khusus dalam kajian ini yang bertajuk Laporan Tahunan 2008 Conservation International, yang disusun oleh Coremap dan Dinas Perikanan Kabupaten Raja Ampat bekerja sama