• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut futuris Joel Barker, kreativitas muncul dari keputusasaan. Maksudnya adalah kreativitas dapat muncul ketika kita dapat bangkit setelah merasa lelah dalam berusaha dan berhenti sejenak. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Dengan kemampuan untuk mengatasi kesulitan tersebut, seseorang dapat tetap bertahan dan melanjutkan usahanya dalam menaklukkan tantangan kehidupan meski rasa lelah sempat membuat mereka berhenti untuk beberapa saat. Orang yang kreatif adalah orang yang selalu percaya bahwa apa yang dilakukannya akan mendatangkan hasil. Orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan akan menjadi orang yang tidak mampu bertindak kreatif (Stoltz, 2000: 94). Lebih lanjut Stoltz (2000: 11) mengungkapkan bahwa “mereka yang memiliki skor AQ lebih tinggi menikmati serangkaian manfaat termasuk kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang rendah skor AQ-nya. Dengan demikian orang dengan kategori AQ Climbers memiliki kemampuan berpikir kreatif yang paling tinggi diantara ketiga kategori AQ, disusul kategori AQ Campers, kemudian Quitters.

Dalam penelitian ini, AQ siswa diukur dengan menggunakan angket ARP. Namun penyusunan angket ARP yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan pembelajaran matematika dan berpedoman pada ARP yang telah disusun Stoltz.

e. Perbedaan Gender

Gender berasal dari bahasa Inggris yaitu “gender”. Dalam Kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian sex dan gender. Sex dan gender dalam kamus sama-sama diartikan sebagai jenis kelamin (Enchols dan Shadily, 1996 : 265-517).

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.’’ (Fakih 2012: 7-8). Lebih lanjut Fakih (2012: 8) mengungkapkan ‘’Alat-alat tersebut melekat pada diri manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.’’

Jadi perbedaan jenis kelamin berkaitan dengan perbedaan alat-alat biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan suatu ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah maupun dipertukarkan.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep tentang gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke

kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 2012: 8:9).

Menurut Oakley (1972) dalam Fakih (2012: 71-72), “Gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang”.

Nurhaeni (2009) mengungkapkan, “Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran, kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan melaui konstruksi secara sosial maupun kultural”. Haspels dan Suriyasarn (2005) mengungkapkan, “Gender adalah sebuah variabel sosial untuk menganalisa perbedaan laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab dan kebutuhan serta peluang dan hambatan.” (Rostyaningsih, 2010: 3).

Lebih lanjut, Fakih (2012: 72) mengungkapkan bahwa perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender. Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender. Misalnya jika secara biologis kodrat wanita dengan alat reproduksinya dapat melahirkan maka kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak.

Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam “Women Studies Ensiklopedia” dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensial seksual pada manusia. Dalam buku “Sex and Gender “yang ditulis Hilary M Lips, gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Gender adalah tentang bagaimana seseorang berperan menjadi laki-laki atau perempuan yang dipengaruhi oleh sosial,

kepercayaan, agama, dan lingkungan dimana ia berada. Gender tidak baku dan dapat berubah sewaktu-waktu (Korbarri, 2013).

Gender (gender) merujuk pada konsep laki-laki atau perempuan berdasarkan dimensi sosial budaya dan psikologi. Gender dibedakan dari jenis kelamin, yang melibatkan dimensi biologis. Peran gender (gender role) adalah harapan sosial yang menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak, dan merasakan (Santrock, 2009a: 217).

Jadi perbedaan gender adalah perbedaan perilaku, sifat-sifat, peran, kedudukan, tanggung jawab, nilai, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan dan bukan takdir Tuhan. Perbedaan ini terbentuk melalui proses sosial dan kultural yang panjang, dapat berubah dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, maupun dari kelas masyarakat satu ke kalas lainnya. Perbedaan gender merupakan harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan dimana ia berada tentang bagaimana laki-laki-laki-laki dan perempuan harus berpikir, bertindak, dan merasakan. Perbedaan gender juga berkaitan dengan perbedaan kebutuhan, peluang, dan hambatan yang akan dihadapi laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya.

Gender secara perlahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya berdasarkan konstruksi sosial di masyarakat, kaum laki-laki harus bersifat kuat. Kaum laki-laki kemudian terlatih dan termotivasi untuk menjadi secara fisik lebih kuat dan besar. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, hal tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan dan seolah-olah bersifat biologis. Namun, perlu diingat pedoman bahwa setiap sifat yang melekat pada jenis kelamin tertentu, sepanjang bisa dipertukarkan, tidak universal, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat. Dalam hal lain, sering diungkapkan bahwa mengelola rumah tangga sering dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal hal tersebut adalah konstruksi kultural dan bisa dipertukarkan, maka hal tersebut adalah gender (Fakih, 2012: 10-11).

Jadi, sepanjang suatu perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan, tidak universal, maka hal tersebut merupakan perbedaan gender, dan hasil konstruksi masyarakat bukan ketentuan Tuhan.

Jensen (2008: 144-145) mengungkapkan, ketika mulai mempelajari masalah gender, pertanyaannya apakah perbedaan-perbedaan tersebut dikarenakan kondisi biologis, ataukah kondisi sosial? Jensen membedakan perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi faktor sosial, dengan perbedaan yang bersifat anatomi. Terkait hal tersebut, Lippa (2005) dalam Santrock (2009a: 217) mengungkapkan, ada berbagai cara untuk memandang perkembangan gender. Beberapa menekankan faktor biologis dalam perilaku laki-laki dan perempuan, yang lain menekankan faktor sosial atau kognitif.

Mengenai perbedaan-perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, atau yang terkait dengan anatomi, banyak ilmuwan telah mencatat adanya perbedaan-perbedaan fisik antara otak laki-laki dan perempuan. Perbedaan struktural ini dapat menjadi faktor yang membedakan perilaku, perkembangan, dan pemrosesan kognitif antara laki-laki dan perempuan (Jensen, 2008 :147).

Jensen ( 2008 :148-149) menyebutkan bahwa bagian-bagian otak laki-laki dan perempuan berbeda. Kumpulan serat antarbelahan otak yang disebut komisura anterior terlihat lebih besar pada otak perempuan. Ini memungkinkan perempuan untuk mengikat informasi verbal dan non verbal dengan lebih efisien. Para ahli perkembangan neuro-anatomi menyebutkan adanya perbedaan rata-rata pertumbuhan otak mulai dari beberapa bulan sampai lima tahun. Hal ini mungkin merupakan alasan mengapa anak laki-laki melebihi anak perempuan dalam tugas-tugas spasial, sedangkan anak perempuan melebihi anak laki-laki dalam keterampilan verbal dan membaca pada awal kehidupan mereka.

Perempuan lebih unggul daripada laki-laki dalam keterampilan-keterampilan/tugas-tugas sebagai berikut:

1) Keterampilan motorik 2) Ujian perhitungan

3) Mengingat posisi objek, mengingat petunjuk di sepanjang rute perjalanan

4) Mengeja, mengolah kata-kata, dan menggunakan memori verbal 5) Sensitivitas terhadap stimuli eksternal (kecuali stimuli visual) 6) Membaca ekspresi bahasa tubuh/mimik wajah

Laki-laki biasanya lebih unggul daripada perempuan dalam keterampilan-keterampilan/tugas-tugas sebagai berikut:

1) Terampil dalam menentukan target 2) Konsentrasi dan fokus yang lebih luas

3) Kemampuan matematis dan penyelesaian masalah 4) Navigasi bentuk-bentuk geometris ruang

5) Formasi pemeliharaan kebiasaan 6) Berbagai tugas spasial

(Jensen, 2008: 149) Jensen (2008:154) mengungkapkan “banyak perilaku laki-laki dan perempuan terlihat lebih masuk akal ketika dipertimbangkan dalam konteks perkembangan otak”. Jadi, perbedaan perkembangan otak antara laki-laki dan perempuan telah mempengaruhi perilaku dari lak-laki dan perempuan.

Hal yang serupa mengenai perbedaan anak laki-laki dan perempuan dalam hal pemikiran disampaikan sebagai berikut:

Arends (2008) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan kemampuan kognitif antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih rasional, semangat tertuju pada hal yang bersifat intelek, abstrak, sehingga lebih baik dalam berpikir logis dan lebih kritis. Sedangkan anak perempuan lebih akurat dan mendetail dalam membuat keputusan, ingatannya lebih baik, lebih emosional, dan lebih tertarik pada keterampilan verbal (Rasiman, 2012: 2).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan otak antara laki-laki dan perempuan adalah perbedaan biologis. Akan tetapi perbedaan otak yang sifatnya biologis tersebut ternyata melahirkan perbedaan perilaku dan kognitif antara laki-laki dan perempuan.

Lebih lanjut, menurut Santrock (2009a: 217-218) bagian otak yang terlibat dalam pengungkapan emosional menunjukkan lebih banyak aktivitas metabolis pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Gur, dkk., 1995). Selain itu, bagian lobus parietal (salah satu cuping otak di bagian ujung kepala) yang berfungsi dalam keterampilan visual dan ruang pada laki-laki, lebih besar daripada daripada perempuan (Frederikse, dkk., 2000). Namun, otak mempunyai tingkat plastisitas yang tinggi dan bahwa pengalaman bisa mengubah pertumbuhannya. Singkatnya, biologis bukan menjadi tujuan untuk isu dan perilaku gender. Pengalaman sosialisasi anak-anak memegang peranan yang sangat penting (Lippa, 2005).

Berdasarkan pendapat tersebut, pengalaman dapat mengubah pertumbuhan otak, dan dalam hal perbedaan perilaku gender yang lebih memegang peran penting adalah pengalaman sosialisasi bukan hal yang sifatnya biologis.

Sedangkan dalam pandangan sosialisasi, Santrock (2009a: 218-220) mengungkapkan, ada teori psikoanalitik dan kognitif sosial. Keduanya mendeskripsikan bahwa pengalaman sosial yang mempengaruhi perkembangan gender anak-anak. Adapula teori kognitif yang mengungkapkan interaksi antara anak dan lingkungan sosial merupakan kunci utama untuk perkembangan gender. Orang tua mendorong anak laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam jenis permainan dan aktivitas yang berbeda. Anak perempuan diberi boneka, didorong untuk lebih memiliki karakter mengasuh daripada anak laki-laki. Para ayah kemungkinan besar akan terlibat dalam permainan yang agresif dengan anak laki-laki mereka. Para orang tua mengizinkan remaja putra mereka untuk memiliki lebih banyak kebebasan daripada remaja putri mereka. Kawan-kawan sebaya juga sering menghargai dan menghukum perilaku yang berkaitan dengan gender. Anak laki-laki bergaul dengan anak laki-laki, anak perempuan bergaul dengan anak perempuan. Kawan-kawan sebaya mereka memainkan peran sosialisasi gender tentang perilaku yang bisa diterima dan yang tidak bisa diterima untuk kelompok gender tertentu. Televisi juga mempunyai peran sosialisasi gender yang menggambarkan perempuan dan laki-laki dalam peran gender tertentu. Televisi menghadirkan laki-laki sebagai seseorang yang lebih kompeten daripada

perempuan. Sekolah dan guru juga memiliki pengaruh sosialisasi gender terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Teori skema gender, yang merupakan teori kognitif gender yang saat ini diterima dimana-mana, menyatakan bahwa pengelompokan gender muncul ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan persepsi gender tentang apa yang pantas dan tidak pantas menurut gender dalam budaya mereka.

Berdasarkan pendapat tersebut, adanya perbedaan gender dibentuk oleh lingkungan yaitu orang tua, kawan sebaya, lingkungan sekolah dan guru, serta tayangan televisi yang mereka lihat sehari-hari. Semuanya memberikan pemahaman kepada anak laki-laki dan perempuan tentang apa yang pantas dan tidak pantas bagi dirinya menurut budaya mereka.

Terkait perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang terkondisi secara sosial, Jensen (2008 :145) mengemukakan, representasi kaum perempuan kurang dalam hal akademik dan pencapaian jenjang karier di bidang teknologi, matematika, sains, dan komputer. Hal tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh ekspektasi sosial tentang anggapan bahwa anak laki-laki dan perempuan berbeda dalam menetapkan sasaran, memberikan respon, keyakinan, dan konteks permasalahan.

Lebih lanjut, Santrock (2009a: 222) mengungkapkan, dalam hal keterampilan matematika dan IPA, berbagai temuan menunjukkan anak laki-laki berprestasi lebih baik dalam matematika. Dalam bidang matematika, para peneliti menemukan laki-laki mempunyai keterampilan visual ruang yang lebih baik. Keterampilan ini penting dalam pelajaran geografi dan geometri, juga dimensi dan bidang. Dalam hal Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), anak laki-laki memang mendapatkan prestasi yang sedikit lebih baik daripada anak perempuan.

Para ahli mengungkapkan, hal tersebut disebabkan oleh pengalaman yang dimiliki anak laki-laki dan anak perempuan. Ada lebih banyak teladan matematika dan IPA laki-laki daripada perempuan dalam budaya ini. Anak laki-laki mengambil lebih banyak mata pelajaran matematika dan IPA. Selain itu, orang tua mempunyai harapan yang lebih tinggi pada anak laki-laki, untuk keterampilan

matematika dan IPA. Mereka membeli lebih banyak buku matematika dan IPA untuk anak laki-laki mereka. Mereka mengatakan anak laki-laki mempunyai bakat matematika yang lebih baik, dan berkomentar bahwa laki-laki lebih sesuai untuk berkarier dalam matematika (Santrock, 2009a: 223)

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, kecenderungan anak laki-laki lebih berbakat di bidang matematika, IPA, teknologi, dan komputer daripada anak perempuan pada dasarnya terbentuk karena anggapan masyarakat, budaya, bahkan orang tua mereka sendiri.

Sagala (2010: 7-8) mengungkapkan bahwa anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Untuk sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan untuk mandiri, didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil resiko dan didorong oleh para orangtua dan guru untuk lebih menunjukkan inisiatif dan orisinalitas.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Clark (1983) dalam Noviyanti, dkk (2011: 8) menjelaskan salah satu faktor penunjang berkembangnya kreativitas adalah situasi yang mendorong tanggung jawab dan kemandirian. Oleh karena itu Hurlock (1999) dalam Tartono dan Purnamasari (2009: 195) mengungkapkan bahwa anak laki-laki cenderung lebih besar kreativitasnya daripada anak perempuan, terutama setelah masa kanak-kanak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki dituntut untuk lebih mandiri, sehingga anak laki-laki biasanya lebih berani mengambil resiko dibanding anak perempuan. Anak perempuan cenderung diberi perintah untuk lebih patuh terhadap perintah orang tua, kurang diberi kebebasan untuk berpendapat dan cenderung dimanja.

Stoltz (2000:47) mengungkapkan bahwa Carol Deweck menemukan bahwa sejak dini, guru mempengaruhi anak-anak perempuan dengan mengatakan bahwa kegagalan disebabkan mereka tidak memiliki kemampuan, sedangkan kepada anak laki-laki diajarkan bahwa kegagalan itu disebabkan mereka tidak

memiliki motivasi. Lebih lanjut (Stoltz, 2000: 83) hal tersebut menyebabkan anak perempuan mengaitkan kegagalan sebagai hal yang permanen seperti kebodohan, sedangkan anak laki-laki mengaitkan kegagalan pada sumber-sumber yang sementara, misalnya kurangnya kerja keras. Akibatnya anak perempuan cenderung merespon kegagalan dengan pesimis, sedangkan laki-laki cenderung optimis. Sehingga anak laki-laki lebih unggul dalam menghadapi permasalahan, hal ini sejalan dengan pernyataan Zheng Zhu (2007: 199) bahwa ada perbedaan gender dalam pemecahan masalah.

Dengan demikian dapat disimpulkan, karena perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan adalah konstruksi masyarakat, maka perbedaan tersebut adalah perbedaan gender. Anak laki-laki cenderung diperlakukan untuk lebih mandiri dan berani mengambil risiko. Anak perempuan diperlakukan untuk menjadi anak yang patuh, kurang diberi kebebasan berpendapat dan cenderung dimanja. Perbedaan gender berupa perbedaan perlakuan tersebut mempengaruhi perbedaan kreativitas antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang diciptakan oleh guru dalam memberikan respon mengenai penyebab kegagalan anak laki-laki adalah karena kurang kerja keras sedangkan pada anak perempuan dikarenakan kebodohan telah menyebabkan anak laki-laki lebih ulet dalam menghadapi suatu permasalahan. Jadi, perbedaan gender dapat melahirkan perbedaan anak laki-laki dan perempuan dalam hal pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kreatif.

f. Tinjauan Materi Segiempat

Materi segiempat merupakan materi matematika yang diajarkan pada siswa kelas VII SMP Semester Genap. Materi ini merupakan salah satu bagian dari materi geometri. Pada materi geometri ini dapat dibuat masalah-masalah yang sifatnya divergen (memungkinkan banyak jawaban atau cara penyelesaian). Sehingga siswa dapat memunculkan kemampuan berpikir kreatifnya dalam memecahkan masalah terkait materi segiempat.

Pada penelitian ini, yang akan dibahas khusus penggunaan materi segiempat dalam pemecahan masalah. Standar kompetensi pada materi segiempat

ini adalah Standar kompetensi 6. Memahami konsep segiempat dan segitiga serta menentukan ukurannya. Mengenai kompetensi dasar dan indikator pada materi ini, dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4. Kompetensi Dasar dan Indikator Terkait Materi Segiempat

Kompetensi Dasar Indikator

6.3 Menghitung keliling dan luas bangun segitiga dan segi empat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah

Menghitung keliling dan luas bangun segiempat serta

menggunakannya dalam pemecahan masalah

Dokumen terkait