• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevam 1. Kajian Teori a. Matematika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevam 1. Kajian Teori a. Matematika"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevam 1. Kajian Teori

a. Matematika

Ada berbagai pendapat mengenai pengertian matematika. James dan James (1976) mengungkapkan, matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Namun pembagian yang jelas sulit dibuat, sebab cabang-cabang itu semakin bercampur. Sebagai contoh ada yang mengatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan yang luas, aritmetika, aljabar, geometri dan analisis dengan aritmetika mancakup teori bilangan dan analisis. (Tim MKPBM Jurusan Pend. Matematika UPI, 2001: 18).

Lebih lanjut, Tim MKPBM Jurusan Pend. Matematika UPI (2001: 19) mengungkapkan bahwa ada ilmuwan yang menganngap bahwa ilmu komputer dan statistik bukan bagian dari matematika. Matematika adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri. Matematika adalah ilmu yang terstruktur yang bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan sebagainya. Menurut pendapat ini, matematika sukar dan kurang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut aliran sosial constructivsm, matematika adalah hasil dari kegiatan manusia yang terorganisir, suatu konstruksi sosial, suatu hasil budaya, dan pengetahuan yang mungkin salah sebagaimana pengetahuan yang lain (Ernest, 1998). Matematika memilki ciri yaitu abstrak, umum, objektif, formal, rational, bersifat teoritis, dan sangat terkait dengan justifikasi (Ernest, 1991). Matematika memiliki objek abstrak, struktur deduktif aksiomatik, konsep epistemologis self evidensi, sifat artificial, sifat non empiris, kebenaran yang tidak mutlak, manfaat sebagai sumber penalaran, dan manfaat sebagai alat deduksi (Hardi Suyitno, 2008)

(2)

Menurut Karso, dkk (1993: 2), “sasaran matematika itu tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Matematika itu tidak hanya berkaitan dengan bilangan beserta operasi-operasinya, namun berhubungan pula dengan unsur lainnya. Matematika tidak dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan kuantitas, karena dalam geometri kuantitas kurang mendapat penekanan dibandingkan dengan kedudukan. Lebih-lebih di abad sekarang ini perkembangan matematika mengarah pada hubungan, pola bentuk dan struktur.”.

Lebih lanjut Karso, dkk (1993: 3) mengungkapkan, meskipun matematika itu sukar, abstrak, dan terasa kurang kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-konsep matematika. Matematika telah banyak memberikan sumbangannya dalam mengembangkan IPA dan teknologi. Ini membuktikan matematika bertalian erat dengan kehidupan sehari-hari. Malahan tidak sedikit konsep matematika sendiri yang erat dengan kehidupan, misalnya tentang kesamaan, lebih besar, lebih kecil, penjumlahan, pengukuran dan sebagainya.

Kline (1973) dalam Karso, dkk (1993: 3) mengatakan, “matematika itu bukan pengetahuan yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaannya itu untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam.”.

Johnson dan Rising (1972) dalam Karso, dkk (1993: 3) mengungkapkan, “matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik; matematika itu adalah bahasa, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi; matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasikan, sifat-sifat atau teori atau teori itu dianut secara deduktif berdasarkan kepada unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak, aksioma-aksioma, sifat-sifat atau teori-teori yang telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola, keteraturan pola atau ide; dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada

(3)

keterurutan dan keharmonisannya. Jadi jelas, bahwa matematika itu adalah ilmu deduktif”.

Reys dkk (1984) dalam Ruseffendi (1992: 28) mengatakan, “matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.”.

Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, oleh karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Pada mulanya cabang-cabang matematika yang ditemukan adalah Aritmetika atau Berhitung, Aljabar dan Geometri. Setelah itu ditemukan Klakulus yang berfunsi sebagai tonggak penopang terbentuknya cabang matematika baru yang lebih kompleks, antara lain Statistika, Topologi, Aljabar (Linier, Abstrak, Himpunan), Geometri (Sistem Geometri, Geometri Linier), Analisis Vektor, dan lain-lain. (Tim MKPBM Jurusan Pend. Matematika UPI, 2001: 19-20).

Karso, dkk (1993: 3-12) mengungkapkan bahwa matematika adalah ilmu tentang struktur, matematika adalah ilmu deduktif, ilmu tetang pola dan hubungan, serta matematika sebagai bahasa, seni, dan ratunya ilmu.

Jadi, matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola berpikir, pola pengorganisasian pembuktian yang logik, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan jelas, bahasa simbol mengenai ide, pengetahuan struktur yang terorganisasikan, memiliki objek yang abstrak, deduktif, namun mendasari ilmu-ilmu lain yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari.

b. Pemecahan Masalah 1) Masalah

Sebelum disampaikan mengenai pengertiam pemecahan masalah, terlebih dahulu disampaikan tentang pengertian masalah. Masalah bersifat relatif, artinya masalah bagi seseorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat itu atau bahkan bagi orang itu sendiri beberapa saat kemudian (Wahyudi, dkk., 2012:82).

(4)

Masalah bagi seseorang bersifat pribadi atau individual. Masalah dapat diartikan suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seorang individu atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Dengan demikian ciri suatu masalah adalah: (1) individu menyadari/mengenali suatu situasi (pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi). Dengan kata lain individu tersebut mempunyai pengetahuan prasyarat. (2) individu menyadari bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan (aksi). Dengan kata lain menantang untuk diselesaikan. (3) langkah pemecahan suatu masalah tidak harus jelas atau mudah ditangkap orang lain. dengan kata lain individu tersebut sudah mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah itu meskipun belum jelas.

(Siswono, 2013:5) Sejalan dengan hal tersebut, dalam Wahyudi, dkk (2012: 82) diungkapkan, “Masalah timbul apabila seseorang menginginkan sesuatu tetapi tidak segera mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memperolehnya. Jadi, masalah adalah sesuatu yang timbul akibat adanya “rantai yang terputus” antara keinginan dan cara mencapainya. Keinginan atau tujuan yang ingin dicapai sudah jelas, tetapi cara untuk mencapai tujuan itu belum jelas.”

Lebih lanjut, Siswono (2013: 5) mengungkapkan bahwa masalah yang dapat mendorong siswa berpikir kreatif adalam masalah yang divergen, yaitu masalah yang memungkinkan jawabannya beragam tetapi benar sesuai pertanyaan, atau mungkin cara, strategi, maupun metode penyelesaiannya dapat beragam.

Siswono (2013: 5) menyatakan bahwa masalah menurut aspek keterbukaannya dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkat:

a) Tingkat pertama, masalah terbuka sederhana, yaitu jika masalah yang meminta jawaban atau cara yang tampaknya berbeda hanya pada representasinya saja dan umumnya hanya terkait satu konsep saja. Misalkan “selesaikan persamaan linier berikut” atau “berikan beberapa persamaan yang termasuk persamaan kuadrat”. Masalah itu terbuka tetapi cara penyelesaian diajarkan dan diberikan ketika siswa baru belajar materi tersebut, seperti cara substitusi, eliminasi, atau grafik.

(5)

b) Tingkat kedua, masalah terbuka kamuflase, masalah kadangkala terkait dengan “realitas” yang semu (diidealisasikan) dan memerlukan berbagai strategi penyelesaian atau memiliki jawaban yang bermacam-macam tetapi benar.

c) Tingkat ketiga, masalah terbuka nyata (factual), yaitu masalah yang terkait dengan konteks yang sebenarnya termasuk konteks matematika yang abstrak dan cara penyelesaiannya menggunakan gabungan berbagai strategi serta memiliki jawaban berbeda. Jika masalahnya merupakan masalah murni matematika,maka umumnya terkait dengan berbagai konsep atau teori.

Jadi, masalah adalah suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seseorang ketika ia tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Masalah bagi seseorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat itu atau bahkan bagi orang itu sendiri beberapa saat kemudian. Sesuatu dapat dikatakan masalah bagi individu jika: (1)individu mengenali situasi, dalam arti memiliki pengetahuan prasyarat untuk menyelesaikannya;(2) individu menyadari bahwa situasi tersebut menuntut sebuah aksi, sehingga individu merasa tertantang untuk mnyelesaikannya;(3) individu mengerti tujuan yang ingin dicapai dalam menyelesaikan masalah, namun langkah penyelesaian masalahnya sendiri belum jelas. Masalah yang dapat mendorong siswa berpikir kreatif adalam masalah yang divergen.

2) Pemecahan Masalah.

Lidinillah ( 2009: 1-2) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu kemampuan berpikir yang menuntut suatu tahapan berpikir. Pemecahan masalah adalah suatu usaha individu menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk menemukan solusi dari suatu masalah.

Solso, Maclin O.H, dan Maclin M.K (2008: 434) mengungkapkan “pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.”.

(6)

Santrock (2009b: 26) mengungkapkan, “pemecahan masalah melibatkan penemuan sebuah cara yang sesuai untuk mencapai suatu tujuan.”.

Jensen (2008: 289) mengungkapkan pemecahan masalah sangat baik bagi otak. Membuat orang menjadi lebih pintar dan lebih kreatif dalam jangka waktu yang cukup lama. Terutama jika terkait hal-hal yang menantang, kebaruan, dan tugas kompleks yang membutuhkan tindakan berpikir yang intens. Sejalan dengan hal ini, Pehkonen (1997) dalam Siswono (2013: 5) juga menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat mendorong kreativitas.

Siswono (2013: 5) mengungkapkan, “Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan masalah, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban”.

Hudojo (1998) dalam Wahyudi, dkk (2012: 81) mengungkapkan pemecahan masalah adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya

Pemecahan masalah dalam pengajaran matematika diartikan sebagai penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematika yang telah atau sedang dipelajari untuk menyelesaikan soal non rutin, yakni soal yang menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya. (Wahyudi, dkk., 2012: 82)

Rasiman (2012: 2) menjelaskan, “Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dipengaruhi beberapa faktor, baik faktor intern maupun ekstern. Faktor intern meliputi: kecerdasan, motivasi, minat, bakat, dan kemampuan matematika maupun perbedaan gender. Faktor ekstern, antara lain: sarana, prasarana, media, kurikulum, guru. Fasilitas belajar dan sebagainya”. Lebih lanjut, Arends (2008) dalam Rasiman (2012: 2) menjelaskan “Anak laki-laki lebih rasional, semangat tertuju pada hal yang bersifat intelek, abstrak, sehingga lebih baik dalam berpikir logis dan kritis”.

(7)

Jadi pemecahan masalah adalah suatu usaha individu yang terarah, menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahamannya untuk mencapai suatu tujuan yaitu menemukan solusi dari suatu masalah. Langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan masalah, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Dalam matematika, pemecahan masalah adalah penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematika yang telah atau sedang dipelajari untuk menyelesaikan soal non rutin, yakni soal yang menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya Pemecahan masalah dapat mendorong kreativitas, karena terkait hal yang menantang dan membutuhkan tindakan berpikir yang intens. Faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika diantaranya adalah motivasi dan perbedaan gender. Terkait dengan faktor gender, anak laki-laki cenderung lebih rasional, lebih baik dalam berpikir logis dan kritis.

b. Tingkat Berpikir Kreatif 1) Beripikir

Ahmadi dan Supriyono (1991: 30) mengungkapkan bahwa berpikir adalah daya jiwa yang dapat meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam proses berpikir adalah:

a) Hubungan sebab musabah b) Hubungan tempat

c) Hubungan waktu d) Hubungan perbandingan

Ahmadi dan Supriyono (1991: 30) juga mengungkapkan, “Berpikir itu proses yang “dialektis” artinya selama kita berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab, untuk dapat meletakkan hubungan pengetahuan kita”. Lebih lanjut, Sujanto (2004: 56) menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama proses tanya jawab tersebutlah yang memberi arah kepada pikiran kita .

(8)

Dalam berpikir kita memerlukan alat yaitu akal (ratio). Hasil berpikir dapat diwujudkan dengan bahasa.

Berpikir melibatkan kegiatan memanipulasi dan mentransformasi informasi dalam memori. Kita berpikir untuk membentuk konsep, menalar, berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir secara kreatif dan memecahkan masalah. Murid-murid dapat berpikir mengenai hal-hal yang konkret, seperti liburan di pantai atau cara untuk menang dalam permainan video game. Mereka juga dapat memikirkan subjek yang lebih abstrak, seperti arti dari kebebasan atau identitas. Mereka dapat berpikir mengenai masa lampau (seperti apa yang terjadi kepada mereka bulan lalu) dan masa depan (seperti apakah kehidupan mereka pada tahun 2020). Mereka dapat berpikir mengenai kenyataan (seperti bagaimana mendapatkan hasil yang lebih baik pada ujian berikutnya) dan fantasi (seperti apakah rasanya bertemu Elvis Presley atau mendaratkan pesawat ruang angkasa di Mars).

(Santrock, 2009b: 7-8). Menurut Purwanto (2011: 43) dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan. Sebab setiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Lebih lanjut Purwanto (2011: 43) mengungkapkan, “Berpikir adalah suatu keaktipan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Kita berpikir untuk menemukan pemahaman/pengertian yang kita kehendaki.”

Menurut Presseisen (2001), berpikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif, aksi mental ketika pengetahuan diperoleh. Sementara, menurut Fisher (dalam Ratnaningsih, 2007), berpikir berkaitan erat dengan apa yang terjadi dalam otak manusia dan fakta-fakta yang ada di dunia, berpikir mungkin bisa divisualisasikan, dan berpikir (apabila diekspresikan) bisa diobservasi dan dikomunikasikan.

Beyer, (1984, dalam Presseisen, 2001), mengemukakan bahwa berpikir merupakan manipulasi mental terhadap input dari panca indera untuk merumuskan pikiran, memberi alasan, atau penilaian. Maskanian, (1992), mengemukakan definisi berpikir secara umum, yaitu; menyusun pemikiran dan gagasan dengan penalaran, membentuk sebuah pendapat, menilai, mempertimbangkan, mempekerjakan dan membawa panca indera intelektual seseorang untuk bekerja, memusatkan pikiran seseorang pada suatu subjek yang diberikan (Izzati, 2009: 50).

Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingintahuan. Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir

(9)

tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang diberikan sebelumnya. Sementra, kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) membuat siswa untuk mempresentasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) digunakan apabila seseorang menerima informasi baru dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali untuk keperluan pemecahan masalah berdasarkan situasi (Dyah, 2013). Lebih lanjut Aulia (2013) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kreatif.

Lebih rinci, Sagala (2003) mengemukakan bahwa berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan pengertian, yaitu melalui proses mendeskripsikan ciri-ciri objek yang sejenis, meklasifikasi ciri-ciri yang sama, mengabstraksi dan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki; (2) pembentukan pendapat, yang dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, menerima atau mengiakan, dan pendapat asumtif, yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal; dan (3) Pembentukan keputusan atau kesimpulan sebagai hasil pekerjaan akal. Sementara, Ibrahim dan Nur (2000), mendefinisikan berpikir sebagai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang saksama (Izzati, 2009: 50).

Menurut Guilford (1967) dalam Santrock (2009b: 21) berpikir dibagi menjadi berpikir konvergen dan berpikir divergen. Berpikir konvergen menghasilkan satu jawaban benar dan yang merupakan karakteristik dari jenis ujian konvensional. Berpikir divergen menghasilkan banyak jawaban terhadap pertanyaan yang sama dan yang lebih merupakan karateristik kreativitas.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan kegiatan mental yang melibatkan manipulasi informasi dalam memori, membangun hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki, untuk dapat memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingintahuan. Berpikir dibagi menjadi berpikir divergen dan berpikir

(10)

konvergen. Ada pula ahli yang menggolongkan berpikir menjadi berpikir dasar dan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kreatif termasuk dalam berpikir divergen dan berpikir tingkat tinggi.

2) Berpikir Kreatif

Weisberg (2006) dalam Siswono (2013: 3) mengungkapkan bahwa berpikir kreatif mengacu pada proses-proses dalam menghasilkan suatu produk kreatif yang merupakan karya baru (inovatif) yang diperoleh dari suatu aktivitas/kegiatan terarah sesuai tujuan. Jika seseorang menghasilkan sesuatu yang baru menurutnya, tetapi sudah dihasilkan orang lain, maka ia masih dapat dikatakan kreatif.

Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang sebelumnya yang belum dilakukan (www.braistorming. co.uk).

Pandangan lain tentang berpikir kreatif diajukan oleh Krulik dan Rudnick (1999), yang menjelaskan bahwa berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian dan reflektif dan menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-ide, membangun ide-ide baru dan menentukan efektivitasnya. Juga melibatkan kemampuan untuk membuat keputusan dan menghasilkan produk yang baru (Siswono dan Rosyidi, 2005: 2-3).

Pehkonen (1997: 65) mengungkapkan berpikir kreatif adalah kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran, yang menghasilkan sesuatu yang baru.

Berpikir kreatif dalam matematika erat kaitannya dengan pemecahan masalah. Masalah yang dapat mendorong siswa berpikir kreatif adalah masalah terbuka (Pehkonen, 1997: 64). Masalah terbuka atau masalah divergen yaitu masalah yang memungkinkan jawabannya beragam tetapi benar sesuai pertanyaan, atau mungkin cara, strategi, maupun metode penyelesaiannya dapat beragam (Siswono, 2013: 5). Lebih lanjut, Siswono dan Rosyidi (2005: 2) mengungkapkan, “Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu

(11)

praktek pemecahan masalah, pemikiran divergen menghasilkan banyak ide-ide. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya”.

Dalam membahas tentang berpikir kreatif tidak akan lepas dari kreativitas. Santrock (2009b: 21) mengungkapkan “Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir mengenal sesuatu, dalam cara yang baru dan tidak biasa serta memikirkan solusi-solusi unik terhadap masalah”. Solso, dkk (1995:444) menjelaskan, “Kreativitas adalah suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan”. Jadi berpikir kreatif adalah berpikir untuk mengenal sesuatu atau menemukan solusi dari masalah dengan cara yang baru dan tidak biasa.

Suwarsono (2013: 3) mengartikan kemampuan berpikir kreatif sebagai kreativitas, yang didefinisikan oleh Munandar (1997) sebagai suatu proses yang muncul dalam bentuk kefasihan (kelancaran), fleksibilitas (keluwesan), dan orisinalitas (kebaruan). Kefasihan diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan secara cepat, dimana tekanannya adalah pada kuantitas, bukan kualitas. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan bermacam-macam gagasan dalam jumlah yang cukup besar, tanpa harus bersusah payah. Orisinalitas mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang secara statistik adalah unik atau tidak biasa untuk populasi yang beranggotakan individu yang bersangkutan.

Sejalan dengan hal tersebut, Silver (1997: 74) menjelaskan bahwa untuk menilai berpikir kreatif anak-anak dan orang dewasa digunakan tiga komponen kunci yaitu kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespon sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan-perubahan pendekatan ketika merespon perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespon perintah. Gagasan ketiga aspek berpikir kreatif tersebut diadaptasi oleh beberapa ahli dalam matematika (Siswono dan Rosyidi, 2005: 3).

Akan tetapi, dalam konteks matematika kriteria kefasihan kurang berguna jika dibanding dengan fleksibilitas. Misalnya saja jika siswa diminta untuk

(12)

membuat soal matematika yang jawabannya 10, siswa mungkin akan menjawab 1+9, 2+8, dan seterusnya. Jawaban siswa tersebut menunjukkan kefasihan, tetapi kurang dapat menunjukkan kreativitas karena aspek fleksibilitas belum terpenuhi. Fleksibilitas menekankan pada banyaknya ide-ide berbeda yang digunakan. Jadi dalam matematika untuk menilai produk divergensi dapat menggunakan kriteria fleksibilitas dan keaslian. Kriteria lain yang dapat digunakan adalah kelayakan (appropriatness). Dalam hal ini, respon matematis mungkin menunjukkan keaslian yang tinggi, tetapi tidak berguna jika tidak sesuai dalam kriteria matematis umumnya. Misalnya untuk menjawab 10 , seorang siswa menjawab 5. Meskipun menunjukkan keaslian yang tinggi tetapi jawaban tersebut salah (Siswono dan Rosyidi, 2005: 3)

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah disampaikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif dalam matematika erat kaitannya dengan pemecahan masalah. Berpikir kreatif dalam memecahkan masalah dapat diartikan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan dalam memecahkan masalah. Zulkarnain (2002) dalam Sagala (2010: 6-7), menyatakan, “Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas dapat berupa kemampuan berpikir dan sifat kepribadian yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kemampuan berpikir terdiri dari kecerdasan (inteligensi) dan pemerkayaan bahan berpikir berupa pengalaman dan ketrampilan. Faktor kepribadian terdiri dari ingin tahu, harga diri dan kepercayaan diri, sifat mandiri, berani mengambil resiko dan sifat asertif”. Dengan demikian, kemampuan menghadapi tantangan dan kesulitan dapat mempengaruhi kreativitas. Ini sejalan dengan pendapat yang mengungkapkan bahwa pemecahan masalah dapat mendorong kreativitas. Sebab dalam pemecahan masalah siswa dituntut untuk memiliki sikap ulet dalam menghadapi kesulitan. Jadi, kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) dipengaruhi oleh kemampuan siswa menghadapi kesulitan.

(13)

Faktor yang dapat menyebabkan munculnya variasi atau perbedaan kreativitas yang dimiliki individu, yang menurut Hurlock (1993) yaitu jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan kelahiran, ukuran keluarga, lingkungan tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan), dan intelejensi. Mengenai faktor jenis kelamin, dijelaskan bahwa anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Untuk sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan untuk mandiri, didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil resiko dan didorong oleh para orangtua dan guru untuk lebih menunjukkan inisiatif dan orisinalitas (Sagala, 2010: 7-8). Jadi dapat disimpulkan faktor jenis kelamin dapat mempengaruhi kreativitas dikarenakan keberanian anak laki-laki untuk mengambil risiko dalam menghadapi kesulitan.

3) Tingkat Berpikir Kreatif

Dalam kehidupan ini ada orang yang dapat meghasilkan karya-karya besar di bidang teknologi maupun pengetahuan, ada pula orang yang tidak dapat berkreasi tetapi hanya memakai atau tidak mempunyai pengetahuan atau ketrampilan sama sekali. Keadaan ini menunjukkan adanya tingkat atau derajat kreativitas atau kemampuan berpikir kreatif seseorang yang berbeda (Siswono dan Budayasa, 2006: 1).

Tingkat berpikir kreatif seseorang dapat dipandang sebagai suatu kontinum yang dimulai dari derajat terendah sampai tertinggi. Apabila diambil seorang individu sebarang, maka kita dapat menempatkan ia dalam kontinum tingkat berpikir kreatif itu. Tetapi karena banyaknya individu dapat terbilang (bersifat diskrit), maka pendekatan untuk mengetahui derajat berpikir kreatif itu berupa klasifikasi hirarkhis yang diskrit (Siswono dan Budayasa, 2006: 1-2).

Sejalan dengan hal tersebut, Haylock (1997) dalam Hidayatulloh, dkk (2013: 446) mengatakan bahwa kreativitas memiliki berbagai tingkatan seperti halnya pada tingkatan kecerdasan. Karena kreativitas merupakan perwujudan dari

(14)

proses berpikir kreatif, maka berpikir kreatif juga mempunyai tingkat. Seseorang dapat mempunyai kemampuan (derajat lebih tinggi atau rendah) untuk menghasilkan karya-karya yang baru dan sesuai di bidangnya, sehingga mereka dikatakan lebih atau kurang kreatif. Penjelasan itu menunjukkan bahwa dalam suatu bidang, dapat dikatakan seseorang memiliki tingkat kreativitas yang berbeda sesuai dengan karya yang dihasilkan. Velikova, Bilchev dan Georgieva (2004) dalam Siswono (2007: 3) juga mengungkapkan adanya derajat atau tingkat yang berbeda dalam kreativitas siswa di sekolah, meskipun penelitiannya terbatas pada siswa berbakat.

Ide tentang tingkat berpikir kreatif telah diungkapkan oleh beberapa ahli, diantaranya:

a) De Bono dalam Barak & Doppelt (2000) dalam Siswono (2007: 3- 4) mendefinisikan 4 tingkat pencapaian dari perkembangan ketrampilan berpikir kreatif, yaitu kesadaran berpikir, observasi berpikir,strategi berpikir dan refleksi pemikiran.

Tabel 2.1: Tingkat Berpikir Kreatif dari De Bono

Level 1: Awareness of Thinking

General awareness of thingking as a skill. Willingness to think about something. Willingness to investigate a particulas subject. Willingness to listen to others.

Level 2: Observation of Thinking

Observation of the implications of action and choice, consideration of peers’points view, comparison of alternative.

Level 3: Thinking Strategy.

Intentional use of a number of thinking tools, organization of thinking as a sequence of steps. Reinforcing the sense of purpose in thinking.

Level 4: Reflection on Thinking.

Structured use of tools, clear awareness of reflective thinking, assesment of thinking by thinker himself. Planning thinking task and methods to perfom them.

(15)

1) Tingkat 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan tugasnya saja.

2) Tingkat 2 menunjukkan berpikir kreatif yang lebih tinggi karena siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritma-algoritma pemrograman.

3) Tingkat 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi berikutnya karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan antara bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan tindakan atau kondisi-kondisi logis dari sistem tindakan.

4) Tingkat 4 merupakan tingkat tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final membandingkan dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap keberhasilan atau kesulitan selama proses pengembangan, dan memberi saran untuk meningkatkan perencanaan dan proses konstruksi.

Tingkat berpikir kreatif ini menggambarkan secara umum strategi berpikir tidak hanya dalam matematika. Barak dan Doppelt mengembangkan kriteria tingkat berpikir berdasar ide ini untuk tugas portofolio siswa. Dalam matematika yang mempunyai objek abstrak, untuk menentukan kriteria tingkat berpikir kreatif perlu ditunjukkan komponen kreativitas (kebaruan, fleksibilitas, kefasihan) agar aspek divergensi dalam langkah penyelesaian masalah atau selesaiannya diketahui. Dalam tingkat ini tidak memperlihatkan aspek kebaruan,fleksibilitas maupun kefasihan (fluency) dari produk berpikir kreatif individu sehingga sulit untuk mengidentifikasinya dalam proses pembelajaran matematika.

b) Gotoh (2004) dalam Siswono (2007: 4-5) mengungkapkan tingkatan berpikir matematis dalam memecahkan masalah terdiri 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris (informal), algoritmis (formal) dan konstruktif (kreatif). Dalam istilah lain Ervynck (Sriraman, 2005) menamakan tingkat teknis persiapan, aktifitas algoritmis dan aktifitas kreatif (konseptual, konstruktif).

(16)

Tabel 2.2: Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh

Stage 1: Emperical (informal) activity.

In this stage, some kind of tecnical or practical application of mathematical rules andprocedures are used to solve problems without a certain kind of awareness.

Stage 2: The algoritmic (formal) activity.

In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out mathematicaloperations, calculating, manipulating and solving.

Stage 3: The constructive (creative) activity.

In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve non-routine problem such as a problem of finding and constructing some rule.

1) Dalam tingkat pertama, berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan dan prosedur matematis digunakan untuk memecahkan masalah tanpa suatu kesadaran yang pasti/tertentu,sehingga masih dalam coba-coba.

2) Dalam tingkat kedua, teknik-teknik matematis digunakan secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan, manipulasi dan penyelesaian masalah. 3) Dalam tingkat ketiga, pengambilan keputusan yang non algoritmis ditunjukan

dalam memecahkan masalah non rutin seperti suatu masalah penemuan dan pengkonstruksian beberapa aturan.

Tingkatan yang dikembangkan ini lebih menekankan pada klasifikasi cara siswa memecahkan masalah matematika dengan memanfaatkan konsep-konsep matematika yang sudah diketahui. Tingkat pertama, siswa memecahkan masalah dengan coba-coba.Tingkat kedua, ia menggunakan langkah matematis yang sudah diketahui dan tingkat ketiga,ia mampu menciptakan langkah matematis sendiri.

Pembagian ini mengesankan bahwa penyelesaian dari masalah maupun langkahnya yang diberikan tunggal. T idak tampak bagaimana produktivitas siswa melahirkan ide-ide dan menerapkannya untuk menyelesaikan masalah sebagai ciri berpikir kreatif dalam matematika. Sehingga perlu tingkatan yang menunjukkan kemampuan siswa dalam menjalin (mensintesis) ide, membangkitkan ide maupun menerapkannya dalam memecahkan masalah matematika.

(17)

c) Siswono (2008) dalam Siswono (2013: 9) mengembangkan perjenjangan kemampuan berpikir kreatif.

Tabel 2.3. Perjenjangan kemampuan berpikir kreatif Siswono (2008): Tingkat Berpikir

Kreatif (TBK)

Karakteristik

TBK 4 (Sangat Kreatif)

Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan, atau kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan masalah

TBK 3 (Kreatif)

Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan fleksibilitas dalam memecahkan masalah

TBK 2 (Cukup Kreatif)

Peserta didik mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam memecahkan masalah

TBK 1 (Kurang Kreatif)

Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan masalah

TBK 0 (Tidak Kreatif)

Peserta didik tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif yaitu (kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan)

Dasar pengkategorian (Siswono, 2013: 10) karakteristik berpikir kreatif peserta didik dalam memecahkan masalah tersebut didasarkan pada tiga indikator yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan.

1) Kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memberi jawaban masalah yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan beragam, bila jawaban-jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, misalnya jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Kefasihan dalam pemecahan masalah membuat seseorang mampu memperkirakan segala kemungkinan jawaban bagi suatu masalah.

(18)

2) Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas sangat penting dalam memecahkan masalah sebab orang yang memiliki fleksibilitas dalam memecahkan masalah, jika tidak dapat memecahkan suatu masalah dengan suatu cara, ia tidak langsung menyerah dan akan mencoba cara yang lain.

3) Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berebda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang tidak biasa dilakukan oleh individu (peserta didik) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, misalnya bangun datar yang merupakan gabungan dari berbagai macam bangun datar. Kebaruan dalam memecahkan masalah membuat seseorang mampu berinovasi untuk menghasilkan ide-ide yang baru.

Nampak bahwa dalam perjenjangan kemampuan berpikir kreatif yang disampaikan Siswono (2008) tersebut menekankan pada pemikiran divergen yang didasarkan pada aspek kebaruan dan fleksibilitas sebagai komponen penting. Oleh karena itu dalam mendesain soal yang digunakan untuk mengukur tingkat berpikir kreatif seseorang, perlu diperhatikan bahwa soal tersebut harus merupakan soal atau masalah yang sifatnya divergen. Maksudnya adalah soal tersebut memungkinkan adanya jawaban benar maupun cara penyelesaian yang beragam.

Kebaruan dan fleksibilitas ditempatkan pada posisi yang lebih penting karena kebaruan merupakan ciri utama dalam menilai suatu produk pemikiran kreatif, yaitu harus berbeda dengan sebelumnya dan sesuai dengan permintaan tugas dan fleksibilitas menunjukkan pada produktivitas ide (banyaknya ide-ide) yang digunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Sedangkan kefasihan lebih menunjukkan pada kelancaran siswa memproduksi ide yang berbeda dan sesuai permintaan tugas (Siswono, 2007:8 ).

Antonius, Hudiono, dan Sri Riyanti ( 2013: 8-10)meneliti tentang tingkat berpikir kreatif siswa di SMP Negeri 2 Nanga Taman menemukan bahwa pada

(19)

kelompok siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang, maupun rendah, kebanyakan memiliki tingkat berpikir kreatif dalam kategori cukup kreatif. Dengan rincian, pada siswa kelompok atas 40 % siswa kreatif, 50 % siswa cukup kreatif, dan 10 % siswa kurang kreatif. Pada siswa kelompok sedang, 10 % kreatif, 80 % cukup kreatif, dan 10 % kurang kreatif. Pada kelompok tinggi, 9% kreatif, 55 % cukup kreatf, dan 36 % kurang kreatif.

Pada penelitian ini, tingkat berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah didefinisikan sebagai tingkatan kemampuan siswa dalam berpikir kreatif, yakni dalam menghasilkan ide-ide kreatif bagi pemecahan suatu masalah. Sedangkan kriteria tingkat berpikir kreatif yang digunakan adalah kriteria tingkat berpikir kreatif yang dikembangkan oleh Siswono (2008) yang mendasarkan karakteristik berpikir kreatif peserta didik dalam memecahkan masalah pada tiga indikator, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan.

d. Adversity Quotient (AQ) 1) Pengertian Adversity Quotient (AQ)

Paul G Stoltz merumuskan suatu kecerdasan baru yang disebut dengan Adversity Quotient (AQ). Adversity berasal dari bahasa Inggris yang artinya kesengsaraan, kemalangan (Echols dan Shadily, 1996:14). Menurut Stoltz (2000:8-9) Adversity Quotient (AQ) dapat diartikan sebagai ukuran untuk mengetahui respons seseorang dalam menghadapi kesulitan. Adversity Quotient (AQ) memberitahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan seberapa jauh kemampuannya untuk mengatasi kesulitan tersebut.

Senada dengan hal tersebut, Sudarman (2012: 56) mengungkapkan ada beberapa istilah lain yang sering digunakan, misalnya AQ adalah kecerdasan ketahanmalangan (Candisa, 2006), AQ adalah potensi kegigihan (Subiyanto, 2006), AQ adalah kehandalan mental (Laksomono, 2006), dan AQ adalah kecerdasan ketangguhan (Efendi, 2005).

(20)

2) Karakter Manusia Berdasarkan Kategori AQ

Berdasarkan responsnya dalam menghadapi suatu kesulitan, Stoltz (2000: 18-24) dapat mengkategorikan seseorang menjadi Quitters (orang-orang yang berhenti), Campers (orang-orang yang berkemah), atau Climbers (si pendaki). Quitters atau orang-orang yang berhenti, maksudnya adalah orang-orang yang mundur, berhenti dalam menghadapi kesulitan. Para Quitters menolak segala bentuk tantangan dalam kehidupan. Mereka memilih lari dari tantangan dan mengabaikan potensi yang mereka miliki. Para Quitters ini adalah orang-orang yang memiliki AQ rendah.

Campers atau orang yang berkemah, maksudnya adalah orang-orang yang mau menghadapi tantangan sampai tingkat tertentu kemudian berhenti karena telah merasa cukup puas dengan apa yang telah mereka capai atau karena bosan dalam menghadapi situasi yang tidak bersahabat. Campers mudah merasa puas terhadap apa yang sudah dicapai dan mengabaikan segala kemungkinan yang masih dapat terjadi. Mereka melepaskan kesempatan untuk maju yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber daya yang mereka miliki diarahkan dengan maksimal. Para Campers ini adalah orang-orang yang memiliki AQ sedang.

Climbers atau si pendaki, maksudnya adalah orang-orang yang dalam hidupnya terus menerus berusaha melakukan perbaikan-perbaikan. Climbers menyambut baik adanya tantangan dalam hidup dan selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk dapat melewati kesulitan dalam kehidupan. Climbers sangat gigih dan ulet dalam menghadapi kesulitan. Saat menemui jalan buntu mereka akan segera mencari jalan lain. Ketika perasaan lelah dalam berusaha datang, mereka akan terus introspeksi diri dan bertahan. Climbers menempuh kesulitan dengan keberanian dan disiplin sejati. Para Climbers ini adalah orang-orang yang memiliki AQ tinggi.

Lebih lanjut, Stoltz (2000: 25-27) mengungkapkan bahwa Quitters memperlihatkan sedikit ambisi, semangat minim, mengambil risiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif. Campers masih memperlihatkan sejumlah

(21)

inisiatif, sedikit semangat dan beberapa usaha. Climbers bisa memotivasi diri, punya semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik.

Adversity Quotient (AQ) membedakan Quitters, Campers, dan Climbers. Ketika menghadapi kesulitan Quitters akan menyerah sebelum mencoba, Campers akan berusaha sampai tingkat tertentu kemudian berhenti, dan Climbers akan terus bertahan menghadapi kesulitan (Stoltz, 2000: 48).

3) Pengukuran AQ dan Pengkategorian AQ

Stoltz (2000: 119-120) mengungkapkan bahwa untuk mengukur Adversity Quotient seseorang digunakan instrumen yang disebut Adversity Response Profile (Profil Respons terhadap Kesulitan). Adversity Response Profile (ARP) ini memberikan suatu gambaran singkat yang baru dan sangat penting mengenai apa yang mendorong seseorang dan apa yang mungkin menghambat seseorang untuk melepaskan seluruh potensinya. ARP ini sudah terbukti validitas dan keandalannya.

Adversity Response Profile (ARP) terdiri dari 30 butir soal yang menggambarkan sebuah peristiwa. Pada setiap peristiwa ada dua pertanyaan yang digunakan untuk mengukur dimensi- dimensi AQ yaitu CO2RE. Pada setiap

pertanyaan ada pilihan mengenai respons seseorang dalam menghadapi peristiwa. (Stoltz, 2000: 122-129).

Selanjutnya, berdasarkan skor yang diperoleh dari ARP ini AQ seseorang dapat dikategorikan menjadi Climbers (166-200), Campers (95-134) dan Quitters (0-59). Karena AQ terletak pada sebuah rangkaian, pemenggalan-pemenggalannya agak berubah-ubah. Tidak ada perbedaan yang nyata antara orang yang memiliki AQ 134 dan orang yang memiliki AQ 135. Namun demikian, ada perbedaan antara orang-orang yang memiliki kaegori AQ Climbers, Campers dan Quitters (Stoltz, 2000: 138).

4) Deskripsi Umum Orang-Orang dengan Kisaran AQ Tertentu

Stoltz (2000: 139) menjelaskan deskripsi umum tentang orang-orang yang memiliki skor AQ pada kisaran tertentu adalah sebagai berikut:

(22)

a) 166-200. Orang mungkin mempunyai kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang berat dan terus bergerak maju dalam hidupnya.

b) 135-165. Orang mungkin sudah cukup bertahan menembus tantangan-tantangan dan memanfaatkan sebagian besar potensinya yang berkembang setiap hari.

c) 95-134. Orang pada kisaran ini biasanya lumayan baik dalam menempuh liku-liku hidup sepanjang segala sesuatunya berjalan relatif lancar. Ia mungkin akan berkecil hati dengan menumpuknya tantangan hidup.

d) 60-94. Orang pada kisaran ini cenderung kurang memanfaatkan potensi yang dimiliki. Kesulitan dapat menimbulkan kerugian besar dan membuatnya semakin sulit menghadapi tantangan.

e) 59 ke bawah. Orang pada kisaran ini telah mengalami penderitaan dalam sejumlah hal seperti motivasi, energi, kesehatan, vitalitas, kinerja, dan harapan.

5) Dimensi-Dimensi Pembentuk AQ dan Deskripsi Karakteristik Orang Berdasarkan Tinggi Rendahnya Skor pada Tiap Dimensi

Seperti telah disebutkan sebelumnya, AQ terdiri atas empat dimensi yaitu CO2RE. CO2RE adalah akronim dari Control (Kendali), Origin & Ownership

(Asal Usul dan Pengakuan), Reach (Jangkauan), dan Endurance (Daya Tahan). Dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan AQ keseluruhan seseorang.

Bahkan skor AQ keseluruhan seseorang meskipun signifikan, hanya sedikit mengungkapkan tentang mengapa AQ seseorang berada di kisaran atas, tengah, atau bawah. Angka tersebut juga tidak dapat memberitahu apa yang harus diperlukan untuk meningkatkannya. Seseorang harus melihat dengan teliti setiap dimensi CO2RE untuk memahami AQ-nya sepenuhnya (Stoltz, 2000: 140).

a) Control (C)

Dimensi yang pertama adalah C yang merupakan singkatan dari control atau kendali. Dimensi ini mempertanyakan: “Berapa banyak kendali yang dirasakan seseorang terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan?”.

(23)

Kendali yang sebenarnya hampir tidak bisa diukur, namun kendali yang dapat dirasakan jauh lebih penting. Dimensi ini berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan perngaruh, dan mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya

(Stoltz, 2000: 141).

Kekuatan dari kendali yang diasakan sangatlah tinggi. Tanpa kendali seperti itu, harapan dan tindakan akan hancur. Dengan kendali seperti itu, hidup dapat diubah dan tujuan-tujuan akan terlaksana. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi ini cukup dramatis. Mereka yang skor AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada orang yang skor AQ-nya rendah. Akibatnya orang dengan skor AQ tinggi akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Mereka cenderung memilih menjadi Climbers dengan terus berusaha menaklukkan tantangan. Sementara orang yang skor AQ-nya rendah memilih menjadi Campers atau Quitters (Stoltz, 2000: 142-143).

Orang yang skornya rendah pada dimensi C ini cenderung berpikir bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan sama sekali. Sedangkan orang yang skor AQ-nya lebih tinggi apabila berada pada situasi yang sama cenderung yakin bahwa pasti ada yang bisa mereka lakukan, pasti ada jalan. Keuletan dan tekad yang tak kenal lelah timbul dari skor AQ yang tinggi. Mereka kebal terhadap ketidakberdayaan. Dengan merasakan tingkat kendali bahkan yang sangat kecil sekalipun, akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya (Stoltz, 2000: 143).

Berdasarkan skor yang diperoleh dalam dimensi C ini, dapat dilihat deskripsi orang-orang pada kisaran skor tertentu. Pertama, pada ujung yang tinggi (38-50 poin). Semakin tinggi skor AQ dan skor seseorang dalam dimensi ini, semakin besar orang merasa bahwa ia mempunyai kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. Semakin besar kendali yang dirasakan, orang akan lebih berdaya dan proaktif. Semakin besar skor C seseorang, semakin besar

(24)

kemungkinan seseorang menghadapi kesulitan, tetap teguh dalam niat, dan lincah dalam mencari suatu penyelesaian masalah. Kedua, pada kisaran tengah (24-37 poin). Seseorang mungkin merespons peristiwa-peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendalinya, tergantung pada seberapa besar peristiwa itu. Seseorang mungkin mudah berkecil hati dan sulit untuk mempertahankan perasaan mampu memegang kendali jika dihadapkan pada kesulitan atau tantangan yang lebih berat. Ketiga, pada ujung yang rendah (10-23 poin). Semakin rendah skor AQ dan skor seseorang dalam dimensi ini, semakin besar kemungkinannya ia merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk berada diluar kendalinya, dan hanya bisa berbuat sedikit untuk mencegah atau membatasa kerugian yang ditimbulkan. Orang-orang yang rendah kemampuan pengendaliannya menjadi tak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Skor pada ujung yang rendah mengindikasikan mudah diserang kesulitan. (Stoltz, 2000 144-145).

b) Origin & Ownership (O2)

Dimensi yang kedua adalah O2 yaitu origin (asal usul) dan ownership

(pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal: “Siapa atau apa yang menjadi asal-usul

kesulitan?” dan “Sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu?”. Kedua pertanyaan tersebut nampak mirip namun jika dicermati ada perbedaan yang besar antara keduanya (Stoltz, 2000: 146-147).

Origin atau asal usul ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQ-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestiAQ-nya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul kesulitan tersebut. Rasa bersalah sebenarnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu membuat seseorang banyak belajar dengan merenungi, belajar dan menyesuaikan tingkah laku untuk perbaikan. Atau mungkin rasa bersalah dapat menyebabkan penyesalan. Penyesalan membuat seseorang mempertimbangkan apa ada hal-hal yang dilakukannya yang telah menimbulkan kesulitan. Penyesalan yang sewajarnya

(25)

merupakan motivator yang kuat dan bisa memperbaiki kerusakan yang dirasakan. Rasa bersalah harus ditempatkan pada kadar yang tepat. Diperlukan kemampuan seseorang dalam menilai apa yang dilakukannya dengan benar atau salah dan bagaimana memperbaikinya. Respon asal usul yang rendah karena adanya beban rasa bersalah yang tidak sewajarnya dan terus-menerus akan menggerogoti kemampuan orang untuk belajar dari kesalahan. Rasa bersalah dan penyesalan yang berlebihan akan melemahkan semangat, menghancurkan energi dan harapan. Rasa bersalah yang kadarnya tepat dapat menggugah orang untuk bertindak, tetapi rasa bersalah yang berlebihan dapat menimbulkan kelumpuhan (orang enggan berbuat apa-apa untuk memperbaiki) karena menjadi loyo dan berkecil hati (Stoltz, 2000: 147-148).

Orang yang skor asal-usulnya rendah cenderung berpikir bahwa semua yang terjadi adalah kesalahannya. Semakin rendah skor asal usul, semakin besar kecenderungan menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya semakin tinggi skor asal usul orang semakin dapat menempatkan perannya dalam suatu kesalahan pada tempat yang sewajarnya. Ia juga dapat menilai secara adil kemungkinan sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari luar. Ia akan menilai perannya dalam menimbulkan kesulitan dan belajar dari tingkah laku sedemikian rupa sehingga menjadi lebih cerdik, cepat, dan efektif bila lain kali menghadapi situai serupa. Orang yang skor asal-usulnya tinggi cenderung berpikir bahwa penyebab kesulitan mungkin saja waktunya tidak tepat, ada sejumlah faktor yang berperan dalam menimbulkan kesulitan, dapat segera mengetahui cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaannnaya lebih baik lagi dan akan menerapkannya jika berada dalam situasi yang sama (Stoltz, 2000: 148-149).

Yang terlebih penting lagi dalam menghadapi kesulitan adalah bersedia mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan dan bersedia memikul tanggung jawab. Ini adalah paro kedua dari dimensi O2 yaitu Ownership atau pengakuan.

Orang yang skor AQ-nya tinggi tidak mempersalahkan orang lain sambil mengelak dari tanggung jawab. Mereka lebih unggul dalam belajar dari kesalahan. Mereka cenderung mengakui akibat tanpa mengingat penyebabnya. Rasa

(26)

tanggung jawab ini memaksa orang untuk bertindak dan membuat mereka yang skor AQ-nya lebih tinggi lebih berdaya daripada mereka yang skor AQ-nya rendah. Ia akan meningkatkan tanggung jawab mereka sebagai salah satu cara memperluas kendali, pemberdayaan, dan motivasi dalam mengambil tindakan. Semakin tinggi skor pengakuan seseorang maka semakin besar ia mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin rendah skor pengakuan, semakin besar seseorang tidak mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya (Stoltz, 2000: 150-153).

Skor pada dimensi O2 ini adalah gabungan dari skor origin dan ownership.

Sangat menjengkelkan jika orang terus mempersalahkan diri namun tidak mau mengakui dan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan kesulitan tersebut. Orang yang skor AQ-nya tinggi meskipun mereka dapat menilai dengan tepat perannya dalam menimbulkan suatu kesalahan akan tetapi ia bukanlah orang terus menerus mengelak dan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Ia tidak mmpersalahkan diri terus menerus, namun segera mengambil tindakan sebagai tanggung jawabnya atas suatu peristiwa, seringkali tanpa mengingat penyebabnya (Stoltz, 2000: 154).

Ada perbedaan gender pada dimensi O2 ini. Kaum wanita cenderung

mempersalahkan diri sendiri sebagai penyebab peristiwa buruk. Sedangkan kaum pria cenderung lebih memusatkan perhatian pada akibat-akibat daripada perannya sebagai penyebab kesulitan (Stoltz, 2000: 155).

Berdasarkan skor pada dimensi O2 ini dapat dilihat deskripsi orang-orang

pada kisaran skor tertentu. Pertama, pada ujung yang tinggi (38-50 poin). Skor yang lebih tinggi pada dimensi ini mencerminkan kemampuan untuk menghindari diri dari perilaku menyalahkan diri yang berlebihan sambil mengakui akibat dari kesulitan dan menempatkan tanggung jawab orang itu sendiri pada tempat yang tepat yang mendorongnya untuk bertindak. Ia akan memiliki kemampuan penyesalan yang sewajarnya dan belajar dari kesalahan. Kedua, pada kisaran tengah (24-37 poin). Orang merespons peristiwa-peristiwa yang penuh dengan kesulitan sebagai sesuatu yang kadang berasal dari luar dan kadang berasal dari

(27)

diri sendiri. Ia kadang menyalahkan diri sendiri secara berlebihan atas akibat dari kesulitan. Barangkali ia menganggap dirinya bertanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul, tapi ia mematasi tanggung jawab pada hal-hal dimana ia merupakan penyebab langsungnya, dan tidak bersedia memberi lebih banyak kontribusi. Ketiga, pada ujung yang rendah (10-23 poin). Semakin rendah skor AQ dan skornya dalam dimensi ini, orang akan menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang terutama merupakan kesalahannya (entah itu benar atau sebaliknya). Orang juga mungkin akan menolak pengakuan atas akibat yang timbul dan menghindar dari tanggung jawab untuk menangani situasinya (Stoltz, 2000: 156-157).

c) Reach (R)

Dimensi yang ketiga adalah R yaitu reach (jangkauan). Dimensi ini mempertanyakan “Sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?”. Semakin rendah skor pada dimensi ini semakin besar kemungkinannya orang menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas, sambil menyedot kebahagiaan dan ketenangan pikirannya. Sebaliknya, semakin tinggi skor pada dimensi ini semakin besar kemungkinan seseorang membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi (Stoltz, 2000: 158-159).

Berdasarkan skor pada dimensi R ini dapat dilihat deskripsi orang-orang pada kisaran skor tertentu. Pertama, pada ujung yang tinggi (38-50 poin). Semakin tinggi skor AQ dan skornya pada dimensi ini, semakin besar kemungkinannya orang merespons kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif ia membatasi jangkauan kesulitan, ia merasa semakin lebih berdaya dan menghadapi tantangan hidup dengan lebih mudah. Membatasi jangkauan kesulitan dapat membuat orang semakin jernih dalam berpikir dan mengambil tindakan Kedua, pada kisaran tengah (24-37 poin). Orang mungkin akan merespon peristiwa buruk sebagai sesuatu yang spesifik. Namun kadang juga akan membiarkan peristiwa itu masuk ke wilayah lain dalam hidupnya, terutama

(28)

pada waktu merasa kecewa atau lemah. Ketiga, pada ujung yang rendah (10-23 poin). Semakin rendah skor AQ dan skornya pada dimensi ini, semakin besar kemungkinan orang memandang kesulitan sebagai sesuatu yang menyebar ke wilayah lain kehidupannya. Membiarkan kesulitan menjangkau wilayah-wilayah lain dalam kehidupan akan membuat beban semakin berat dan kewalahan untuk mengatasinya. Gangguan kecil dapat menjadi bencana dan akan membuat orang tidak mampu lagi menghadapi tantangan hidup (Stoltz, 2000: 159-162).

d) Endurance (E)

Dimensi yang keempat adalah E yaitu endurance (daya tahan). Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan: “Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung?” dan “Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?”. Semakin rendah skor E seseorang maka semakin besar kemungkinan orang akan menganggap kesulitan dan/atau penyebabnya akan berlangsung lama (Stoltz, 2000: 162).

Berdasarkan skor pada dimensi E ini dapat dilihat deskripsi orang-orang pada kisaran skor tertentu. Pertama, pada ujung yang tinggi (38-50 poin). Semakin tinggi skor AQ dan skornya pada dimensi ini, semakin besar kemungkinannya orang memandang kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Ini akan meningkatkan energi, optimisme, kemungkinan untuk bertindak, serta kemampuan menghadapi tantangan. Kedua, pada kisaran tengah (24-37 poin). Orang mungkin akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Hal ini akan menunda orang untuk bertindak mengatasi kesulian. Dalam tantangan yang kecil sampai menengah mungkin ia sudah bagus dalam mempertahankan keyakinan dan terus melangkah ke depan. Namun bila tantangan cukup berat ia akan dibuat lemah dan harapannya lenyap. Ketiga, pada ujung yang rendah (10-23 poin). Semakin rendah skor AQ dan skornya pada dimensi ini, semakin besar kemungkinan oang memandang kesulitan dan penyebabnya akan berlangsung lama. Ini akan memunculkan perasaan tak berdaya

(29)

dan hilangnya harapan. Orang cenderung kurang bertindak dalam menghadapi kesulitan karena menganggapnya sebagai hal yang permanen (Stoltz, 2000: 164-166).

6) AQ dan Kreativitas

Menurut futuris Joel Barker, kreativitas muncul dari keputusasaan. Maksudnya adalah kreativitas dapat muncul ketika kita dapat bangkit setelah merasa lelah dalam berusaha dan berhenti sejenak. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Dengan kemampuan untuk mengatasi kesulitan tersebut, seseorang dapat tetap bertahan dan melanjutkan usahanya dalam menaklukkan tantangan kehidupan meski rasa lelah sempat membuat mereka berhenti untuk beberapa saat. Orang yang kreatif adalah orang yang selalu percaya bahwa apa yang dilakukannya akan mendatangkan hasil. Orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan akan menjadi orang yang tidak mampu bertindak kreatif (Stoltz, 2000: 94). Lebih lanjut Stoltz (2000: 11) mengungkapkan bahwa “mereka yang memiliki skor AQ lebih tinggi menikmati serangkaian manfaat termasuk kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang rendah skor AQ-nya. Dengan demikian orang dengan kategori AQ Climbers memiliki kemampuan berpikir kreatif yang paling tinggi diantara ketiga kategori AQ, disusul kategori AQ Campers, kemudian Quitters.

Dalam penelitian ini, AQ siswa diukur dengan menggunakan angket ARP. Namun penyusunan angket ARP yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan pembelajaran matematika dan berpedoman pada ARP yang telah disusun Stoltz.

(30)

e. Perbedaan Gender

Gender berasal dari bahasa Inggris yaitu “gender”. Dalam Kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian sex dan gender. Sex dan gender dalam kamus sama-sama diartikan sebagai jenis kelamin (Enchols dan Shadily, 1996 : 265-517).

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.’’ (Fakih 2012: 7-8). Lebih lanjut Fakih (2012: 8) mengungkapkan ‘’Alat-alat tersebut melekat pada diri manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.’’

Jadi perbedaan jenis kelamin berkaitan dengan perbedaan alat-alat biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan suatu ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah maupun dipertukarkan.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep tentang gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke

(31)

kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 2012: 8:9).

Menurut Oakley (1972) dalam Fakih (2012: 71-72), “Gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang”.

Nurhaeni (2009) mengungkapkan, “Secara umum gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran, kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan melaui konstruksi secara sosial maupun kultural”. Haspels dan Suriyasarn (2005) mengungkapkan, “Gender adalah sebuah variabel sosial untuk menganalisa perbedaan laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab dan kebutuhan serta peluang dan hambatan.” (Rostyaningsih, 2010: 3).

Lebih lanjut, Fakih (2012: 72) mengungkapkan bahwa perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender. Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender. Misalnya jika secara biologis kodrat wanita dengan alat reproduksinya dapat melahirkan maka kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak.

Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam “Women Studies Ensiklopedia” dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensial seksual pada manusia. Dalam buku “Sex and Gender “yang ditulis Hilary M Lips, gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Gender adalah tentang bagaimana seseorang berperan menjadi laki-laki atau perempuan yang dipengaruhi oleh sosial,

(32)

kepercayaan, agama, dan lingkungan dimana ia berada. Gender tidak baku dan dapat berubah sewaktu-waktu (Korbarri, 2013).

Gender (gender) merujuk pada konsep laki-laki atau perempuan berdasarkan dimensi sosial budaya dan psikologi. Gender dibedakan dari jenis kelamin, yang melibatkan dimensi biologis. Peran gender (gender role) adalah harapan sosial yang menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak, dan merasakan (Santrock, 2009a: 217).

Jadi perbedaan gender adalah perbedaan perilaku, sifat-sifat, peran, kedudukan, tanggung jawab, nilai, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan dan bukan takdir Tuhan. Perbedaan ini terbentuk melalui proses sosial dan kultural yang panjang, dapat berubah dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, maupun dari kelas masyarakat satu ke kalas lainnya. Perbedaan gender merupakan harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan dimana ia berada tentang bagaimana laki-laki-laki-laki dan perempuan harus berpikir, bertindak, dan merasakan. Perbedaan gender juga berkaitan dengan perbedaan kebutuhan, peluang, dan hambatan yang akan dihadapi laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya.

Gender secara perlahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya berdasarkan konstruksi sosial di masyarakat, kaum laki-laki harus bersifat kuat. Kaum laki-laki kemudian terlatih dan termotivasi untuk menjadi secara fisik lebih kuat dan besar. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, hal tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan dan seolah-olah bersifat biologis. Namun, perlu diingat pedoman bahwa setiap sifat yang melekat pada jenis kelamin tertentu, sepanjang bisa dipertukarkan, tidak universal, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat. Dalam hal lain, sering diungkapkan bahwa mengelola rumah tangga sering dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal hal tersebut adalah konstruksi kultural dan bisa dipertukarkan, maka hal tersebut adalah gender (Fakih, 2012: 10-11).

(33)

Jadi, sepanjang suatu perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan, tidak universal, maka hal tersebut merupakan perbedaan gender, dan hasil konstruksi masyarakat bukan ketentuan Tuhan.

Jensen (2008: 144-145) mengungkapkan, ketika mulai mempelajari masalah gender, pertanyaannya apakah perbedaan-perbedaan tersebut dikarenakan kondisi biologis, ataukah kondisi sosial? Jensen membedakan perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi faktor sosial, dengan perbedaan yang bersifat anatomi. Terkait hal tersebut, Lippa (2005) dalam Santrock (2009a: 217) mengungkapkan, ada berbagai cara untuk memandang perkembangan gender. Beberapa menekankan faktor biologis dalam perilaku laki-laki dan perempuan, yang lain menekankan faktor sosial atau kognitif.

Mengenai perbedaan-perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, atau yang terkait dengan anatomi, banyak ilmuwan telah mencatat adanya perbedaan-perbedaan fisik antara otak laki-laki dan perempuan. Perbedaan struktural ini dapat menjadi faktor yang membedakan perilaku, perkembangan, dan pemrosesan kognitif antara laki-laki dan perempuan (Jensen, 2008 :147).

Jensen ( 2008 :148-149) menyebutkan bahwa bagian-bagian otak laki-laki dan perempuan berbeda. Kumpulan serat antarbelahan otak yang disebut komisura anterior terlihat lebih besar pada otak perempuan. Ini memungkinkan perempuan untuk mengikat informasi verbal dan non verbal dengan lebih efisien. Para ahli perkembangan neuro-anatomi menyebutkan adanya perbedaan rata-rata pertumbuhan otak mulai dari beberapa bulan sampai lima tahun. Hal ini mungkin merupakan alasan mengapa anak laki-laki melebihi anak perempuan dalam tugas-tugas spasial, sedangkan anak perempuan melebihi anak laki-laki dalam keterampilan verbal dan membaca pada awal kehidupan mereka.

Perempuan lebih unggul daripada laki-laki dalam keterampilan-keterampilan/tugas-tugas sebagai berikut:

1) Keterampilan motorik 2) Ujian perhitungan

(34)

3) Mengingat posisi objek, mengingat petunjuk di sepanjang rute perjalanan

4) Mengeja, mengolah kata-kata, dan menggunakan memori verbal 5) Sensitivitas terhadap stimuli eksternal (kecuali stimuli visual) 6) Membaca ekspresi bahasa tubuh/mimik wajah

Laki-laki biasanya lebih unggul daripada perempuan dalam keterampilan-keterampilan/tugas-tugas sebagai berikut:

1) Terampil dalam menentukan target 2) Konsentrasi dan fokus yang lebih luas

3) Kemampuan matematis dan penyelesaian masalah 4) Navigasi bentuk-bentuk geometris ruang

5) Formasi pemeliharaan kebiasaan 6) Berbagai tugas spasial

(Jensen, 2008: 149) Jensen (2008:154) mengungkapkan “banyak perilaku laki-laki dan perempuan terlihat lebih masuk akal ketika dipertimbangkan dalam konteks perkembangan otak”. Jadi, perbedaan perkembangan otak antara laki-laki dan perempuan telah mempengaruhi perilaku dari lak-laki dan perempuan.

Hal yang serupa mengenai perbedaan anak laki-laki dan perempuan dalam hal pemikiran disampaikan sebagai berikut:

Arends (2008) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan kemampuan kognitif antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih rasional, semangat tertuju pada hal yang bersifat intelek, abstrak, sehingga lebih baik dalam berpikir logis dan lebih kritis. Sedangkan anak perempuan lebih akurat dan mendetail dalam membuat keputusan, ingatannya lebih baik, lebih emosional, dan lebih tertarik pada keterampilan verbal (Rasiman, 2012: 2).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan otak antara laki-laki dan perempuan adalah perbedaan biologis. Akan tetapi perbedaan otak yang sifatnya biologis tersebut ternyata melahirkan perbedaan perilaku dan kognitif antara laki-laki dan perempuan.

Gambar

Tabel 2.1: Tingkat Berpikir Kreatif dari De Bono  Level 1: Awareness of Thinking
Tabel 2.2: Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh  Stage 1: Emperical (informal) activity
Tabel 2.3. Perjenjangan kemampuan berpikir kreatif Siswono (2008):
Tabel 2.4. Kompetensi Dasar dan Indikator Terkait Materi Segiempat
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Lobe merupakan pengetahuan lokal tentang penangkapan ikan kembung yang dikumpulkan dengan cahaya lampu pada malam hari di tengah teluk, kemudian digiring ke

Teks prosedur merupakan teks yang berisi tujuan dan langkah- langkah yang harus diikuti agar suatu pekerjaan dapat dilakukan (Kemendikbud, 2014:84). Didalam

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam dua sik- lus, dapat disimpulkan bahwa melalui pene- rapan model pembelajaran Think Talk Write

Dan untuk menganalisis tentang efektivitas model inkuiri terbimbing dalam meningkatkan sikap ilmiah dan keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPA di

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan resin komposit packable dengan intermediate layer resin komposit flowable menggunakan

Karena keterbatasan waktu, biaya, tenaga, serta agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari tujuannya, maka masalah penelitian ini dibatasi pada perbedaan