• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS TIROID

Dalam dokumen Skenario B Blok 14 tahun 2014 (Halaman 57-69)

Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang amat membahayakan, meskipun jarang terjadi. Hampir semua diawali oleh faktor pencetus. Pada keadaan ini dijumpai dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Karena mortalitas sangat tinggi, kecurigaan krisis saja cukup menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Hingga kini patogenesisnya belum jelas: Free-hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Faktor resiko krissi tiroid: surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stres fisik ataupun psikologik, infeksi, dsb).

Kecurigaan akan terjadi krisis tiroid apabila terdapat triad: 1). Menghebatnya tanda tirotoksikosis, 2). Kesadaran menurun dan 3). Hipertermia. Apabila terdapat triad maka kita

58

dapat emneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok: hipertermia, takikardia, dan disfungsi susunan saraf.

Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, >45 highly suggestive, 25-44 suggestive of

impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil.

Tabel Kriteria Diagnostik untuk Krisis Tiroid (Burch-Wartosky, 1993)

Disfungsi pengaturan panas

Suhu (oF) 99-99.0 100-100.9 101-101.9 102-102.9 103-103.9 >104.0 5 10 15 20 25 30 Disfungsi kardiovaskular Takikardi 99-109 110-119 120-129 130-139 >140 5 10 15 20 25

Efek pada susunan saraf pusat

Tidak ada Ringan (agitasi)

Sedang (delirium, psikosis, letargi berat) Berat (koma, kejang)

0 10 20 30 Gagal jantung Tidak ada

Ringan (edema kaki) Sedang (ronki basal) Berat (edema perut)

0 5 10 15 Disfungsi gastrointestinal-hepar Tidak ada

Ringan (diare, nausea/muntah/ nyeri perut)

Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)

0 10 20 Fibrilasi atrium Tidak ada Ada Riwayat pencetus Negatif Positif 0 10 0 10 Patofisiologi

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating

hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid.

Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.

Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar

59

tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine

monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium,

sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.

Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.

Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapabeta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.

Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive

60

iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan

terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

Tatalaksana

Pengobatan harus segera diberikan, jika mungkin dirawat di bangsal dengan kontrol baik.  Umum. Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan lain)

dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, jika perlu obat sedasi, kompres es.

Mengoreksi hipertiroid dengan cepat; a) memblok sintesis hormon baru: PTU dosis

besar (loading dose 600-1000 mg) diikuti dosisi 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg; b) memblok keluarnya cikal bakal hormon dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8 jam) atau SSKI (larutan kalium yodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam). Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV, jika tidak solusio lugol/SSKI tidak memadai; c) menghambat konversi perifer dari T4  T3 dengan propanolol, ipodat, penghambat beta dan/atau kortikosteroid.

 Pemberian hidrokortison dosis stres (100 mg tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannya adalah karena defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.

 Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin karena aspirin akan melepas ikatan protein-hormon tiroid, hingga free-hormon meningkat.

 Apabila dibutuhkan, propanolol dapat digunakan sebab di samping mengurangi takikardi, juga menghambat konversi T4  T3 di eprifer. Dosis 20-40 mg tiap 6 jam.  Mengobati faktor pencetus, misalnya infeksi. Respons pasien (klinis dan membaiknya

kesadaran) umumnya terlihat dalam 24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu.

Komplikasi

Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal. Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid

61

yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.

Prognosis

Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.

Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).

62 Pemeriksaan Tiroid

Untuk mendiagnosis penyakit hipertiroid harus dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik dan tes darah laboratorium untuk melihat kadar hormon T3, T4 dan THS. Jika kadar hormon tiroid tinggi dan kadar hormon THS rendah, hal ini mengindikasikan kelenjar tiroid terlalu aktif yang disebabkan oleh adanya suatu penyakit. Bisa juga dideteksi dengan menggunakan scan tiroid yang menggunakan sinar X-ray untuk melihat kelenjar tiroid setelah menggunakan iodin radioaktif melalui mulut (Bararah, 2009).

Untuk mendiagnosis hipertiroid bisa menggunakan Indeks Wayne seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Indeks Wayne

No. Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat

Nilai

1. Sesak saat kerja +1

2. Berdebar +2

3. Kelelahan +3

4. Suka udara panas -5

5. Suka udara dingin +5

6. Keringat berlebihan +3

7. Gugup +2

8. Nafsu makan naik +3

9. Nafsu makan turun -3

10. Berat badan naik -3

11. Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak

1. Tyroid Teraba +3 -3

2. Bising Tyroid +2 -2

3. Exoptalmus +2 -

4. Kelopak Mata Tertinggal Gerak Bola Mata +1 -

5. Hiperkinetik +4 -2

63 7. Tangan Panas +2 -2 8. Tangan Basah +1 -1 9 Fibrilasi Atrial +4 - 10. Nadi Teratur <80 x/menit 80-90 x/menit >90 x/menit - - +3 -3 - - Hipertiroid : ≥ 20 Eutiroid: 11 - 18 Hipotiroid: <11 Palpasi

Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi :

 Perluasan dan tepi

 Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba trachea dan kelenjarnya.

 Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

 Hubungan dengan m. sternocleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam daripada musculus ini.

 Limfonodi dan jaringan sekitar

Auskultasi

Pada auskultasi perlu diperhatikan adanya bising tiroid yang menunjukkan adanya hipertiroid.

Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium

Pemeriksaan kadar TSH, T3 total, Free T4, dan T4 total. 2. Radiologi

Thorax à adanya deviasi trakea, retrosternal struma, coin lesion (papiler), cloudy (folikuler).

64

Leher AP lateral à evaluasi jalan nafas untuk intubasi pembiusan. 3. USG

Dilakukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul di posterior yang secara klinis belum dapat dipalpasi. Di samping itu, dapat dipakai untuk membedakan nodul yang padat atau kistik serta dapat dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan biopsy aspirasi jarum halus.

4. Scanning tiroid (pemeriksaan sidik tiroid)

Memakai uptake I131 yang didistribusikan ke tiroid untuk menentukan fungsi tiroid. Normalnya uptake 15-40 % dalam 24 jam. Bila uptake > normal disebut hot area, sedangkan jika uptake < normal disebut cold area (pada neoplasma)

5. Pemeriksaan sitologi melalui biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus. Cara pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan diagnosis suspek maligna ataupun benigna.

Beberapa tes digunakan untuk menilai fungsi tiroid. Biasanya digunakan multipel tes untuk menilai secara umum keadaan tiroid pada pasien. Tes tersebut harus disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, sebagai contoh TSH dibutuhkan dan baik digunakan untuk keadaan nodul tiroid yang secara klinis eutiroid.

1. TSH, diukur menggunakan radioimunoassay dengan menggunakan antibodi terhadap TSH. Nilai normal adalah 0,5-5 µU/ml. TSH biasanya meningkat pada keadaan hipotiroid. TSH juga menggambarkan kemampuan hipofise anterior untuk mendeteksi free T4 dan fungsinya dalam mengeluarkan TSH.

2. Total T4 dan total T3, Nilai total T4 55-150 nmol/L dan T3 1,5-3,5 nmol/L. Keduanya didapat melalui radioimunoassay. Total T4 merefleksikan pengeluaran langsung dari tiroid sedangkan total T3 selain dari tiroid juga berasal dari perubahan oleh jaringan dan organ lain, sehingga nilai total T3 tidak cocok menggambarkan fungsi tiroid. Total T4 meningkat pada keadaan hipertiroid dan peningkatan tiroglobulin pada kehamilan, pengguna hormonal estrogen dan progesteron atau kongenital. Total T4 menurun pada hipotiroid, penurunan tiroglobulin akibat penggunaan steroid dan protein loss seperti pada sindrom nefrotik. Total T3 meningkat pada hipertiroid dan awal hipotiroid.

3. Free T4 dan Free T3, Nilai free T4 12-18 pmol/L dan nilai free T3 3-9 pmol/L. Tes ini dilakukan untuk menilai awal hipertiroid dimana nilai total T4 masih normal

65

sedangkan nilai free T4 meningkat. Pada pasien dengan organ resisten T4 (Refetoff syndrome), level T4 meningkat sedangkan TSH normal.

Free T3 sama dengan free T4 dapat menilai awal hipertiroid dimana total T4 dan total T3 masih normal saat dilakukan pemeriksaan.

4. TRH, Bermanfaat untuk menilai fungsi hipofise dalam mengeluarkan TSH. Disuntikan TRH 500 µg dan nilai kadar TSH 30-60 menit kemudian. TSH harus bernilai sekurangnya 6 µIU/ml setelah disuntikan. Tes ini juga digunakan untuk menilai pasien dengan curiga hipertiroid namun sensitif terhadap pemeriksaan radioimunoassay.

5. Antibodi tiroid, Anti tiroglobulin (anti-Tg), anti mikrosomal, antitiroid peroksidase (anti-TPO) dan tiroid stimulating imunoglobulin (TSI) merupakan antibodi terhadap tiroid. Anti Tg dan anti TPO tidak menilai fungsi tiroid namun bermanfaat pada penyakit autoimun seperti tiroiditis, penyakit grave, goiter multinodular dan kadang-kadang pada neoplasma tiroid.

6. Tiroglobulin serum, Normalnya tiroglobulin tidak dikeluarkan kedalam sirkulasi dalam jumlah besar namun dapat meningkat jumlahnya pada keadaan destruksi tiroid seperti cancer, setelah total tiroidektomi, ablasi iodin radioaktiv, tiroiditis dan keadaan hiperaktifitas tiroid seperti grave disease dan goiter multinodular.

66

Nn.Ss, 22 th

Autoimunitas oleh

limfosit B dan T Hiperplasia tiroid hormon tiroid Hipersekresi

Tiroid dirangsang terus menerus T supressor Reseptor adrenergik Antigen reseptor TSH T helper IgG WBC Glikosaminoglikan di orbita Vasodilatasi pada faring Sel B menghasilkan antibodi thyrothropin stimulating Fibroblast Akumulasi di lemak dan otot orbita

Pembesaran otot ekstravaskuler dan adiposa Eksoftalmus Faring hiperemis Produksi saliva Bakteri tumbuh Oral hygiene buruk Infeksi

Batuk pilek Sakit tenggorokan Kelenjar tiroid Penekanan leher Struma diffusa TSH ditekan FT4 Grave’s disease NE & E TSH Tirotoksitosis Dekompensasi sel – sel tubuh

Krisis tiroid Katekolamin Metabolisme Kesadaran Kontraksi otot Berkeringat Stimulus ganglion basalis Vasodilatasi Demam Tremor V Rx kimia Gugup cemas susah tidur terburu – buru

Konsumsi O2 Kerja myocardium

Panas tubuh Suplai O2 ke otak SSP Takikardia Reseptor β1 Hipertensi Syok Hipotensi

67 Kesimpulan

68 Daftar Pustaka

Anonim. Available from :Http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2010/02/16/status- Anonim. Available from : Http://yayanakhyar.wordpress.com/tag/etiologi-batuk/ Accessed Barrett K, Brooks H, Boitano S, Barman S. Ganong’s review of medical ph siolog . 23rd edition. New York: McGraw Hill; 2010

Bindu Nayak, MD, Kenneth Burman, MD, Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinol Metab Clin N Am 35 (2006) 663–686.

Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme.In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009

Ganong, William. Kelenjar Thyroid, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi kedua puluh. Jakarta, McGraw-Hill & EGC. 2003.

Gardjito, Widjoseno et al (editor). 1997. Sistem Endokrin, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Hal. 925-945. Penerbit EGC. Jakarta

Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Hamdan, H. 2013. (Online, http://hamdan-hariawan-fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249askep%20endokrinaskep%20krisis%20tiroid.html, diakses pada 2 Januari 2014). Harrison, Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. 2014. Prinsip-Prinsip Ilmu

Penyakit Dalam, Ed. 13, Vol.5 . Jakarta : EGC.

http://www.endocrine.niddk.nih.gov/pubs/graves/Graves_508.pdf

http://www.fk.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/SKDI-Tahun-2012.pdf http://www.pom.go.id/pom/publikasi/artikel/artikel02.html

ikaapda.com/resources/Endokrin/Reading/krisis-tiroid.pdf

Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta : EGC.

Misra M, Singhal A, Campbell D. Thyroid storm. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/394932-print.

Padang : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas [Online] (diakes dalam

http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf pada 1 Januari 2014 pemeriksaan-neurologi/ Accessed on December, 17th 2014

Price, Sylvia A.. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed. 6. Jakarta : EGC

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38940/4/Chapter%20ll.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39717/4/Chapter%20II.pdf

69

Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print.

Schwartz, Seymour I., et. al. Tiroid dan Paratiroid, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2000.

Sherwood L. Human physiology. From cells to system. 7th edition. Belmont: Brooks/Cole; 2010

Syaifuddin. Kelenjar Thyroid. Struktur dan Komponen Tubuh Manusia, edisi pertama. Jakarta, Widya Medika. 2002.

Thomson, A. D., et. al. Penyakit Kelenjar Endokrin, Catatan Kuliah Patologi, edisi ketiga. Jakarta, EGC.1997

Dalam dokumen Skenario B Blok 14 tahun 2014 (Halaman 57-69)

Dokumen terkait