• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Wacana Terhadap Tradisi Pesantren

BAB III BIOGRAFI KH. HUSEIN MUHAMMAD

B. Kritik Wacana Terhadap Tradisi Pesantren

Ada fenomena yang menarik, bahkan boleh dibilang mencengangkan begitu kita mengamati perkembangan pemikiran masyarakat Islam Indonesia termasuk pesantren yang selama ini dikenal kaum konservatif. Fenomena menarik itu adalah munculnya keberanian melancarkan analisis kritis yang cukup mendasar dan tajam terhadap sejumlah wacana keagamaan konservatif yang selama ini ada. Wacana kritis telah lahir terutama dari para pemikir muda. Para pemikir baru yang cenderung ”kritis” tampaknya mengendap rasa resah dan kecewa yang mendalam ketika melihat stagnasi yang panjang dalam perdebatan kaum muslimin.10

Salah satu dari kritik wacana keagamaan adalah soal posisi kaum perempuan, karena dalam kurun waktu sangat panjang posisi kaum perempuan masih tetap tidak berubah, mayoritas masyarakat masih memandang kaum perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua di hadapan laki-laki. Akan tetapi disadari pula bahwa ada realitas lain yang juga tidak mungkin dinafikan oleh siapapun, bahkan kaum perempuan semakin banyak yang tampil kepermukaan dan mengambil posisi kaum laki-laki, kaum perempuan memegang posisi lebih tinggi dari laki-laki. Sayang oleh kaum konservatif, realitas ini tetap saja dianggap

9Marzuki Wahid, Wawancara Pribadi, 6 Agustus 2010. 10KH. Husein , Islam Agama Ramah, hal. 79.

tidak sah atas nama agama. Ini karena superioritas perempuan dianggap bertentangan dengan ajaran agama.11

Pada tataran praktis, dalam konteks kepemimpinan perempuan di kalangan pesantren, Kyai Husein mengkritik budaya dan hak kepemimpinan dikalangan laki-laki misalnya, kepemimpinan dalam bentuk apapun tetap berada di tangan laki-laki. Jika Kiai wafat, maka penggantinya juga anaknya yang laki-laki, meskipun anak Kiai yang pertama atau yang tertua adalah perempuan, bahkan meski mereka memiliki kapasitas keilmuan yang cukup dan lebih baik dari anak laki-laki. Jika Kiai tidak mempunyai anak kecuali perempuan, maka hak kepemimpinan berikutnya biasanya tidak berpindah kapada anak perempuan, melainkan diserahkan kepada saudaranya yang laki-laki atau menantunya yang alim (pandai).12

Pandangan umum yang terdapat dalam kitab-kitab klasik menunjukan posisi subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Pada satu sisi, para Kiai/Ulama memang sering menyampaikan pandangannya bahwa kaum laki-laki dan perempuan adalah makhluk Tuhan yang sama kedudukkaannya di hadapan Allah SWT. Mereka sama-sama berkewajiban melaksanakan ibadah kepada-Nya dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, demikian pula laki-laki dan perempuan berkewajiban menuntut ilmu sejalan dengan Hadits Nabi: ”menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Akan tetapi ketika memasuki persoalan-persoalan praktis seperti kepemimpinan perempuan dalam wilayah politik, maka pandangan kesetaraan ini tidak muncul.

11KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. 80. 12

Dalam Fatayat NU seperti Maria Ulfah Anshar dalam bukunya yang berjudul ”Nalar Politik Perempuan Pesantren” beliau berkata bahwa sejak beliau terpilih menjadi ketua umum di PP Fatayat NU semangat melakukan perubahan dan merespon berbagai problem perempuan seperti mendapat tempat, tersalurkan melalui Fatayat NU yang mayoritas berasal dari komunitas Pesantren. Dan kesadaran beliau terinspirasi dari berbagai tulisan pikiran, gagasan, obrolan dan pengalaman dari banyak pihak dan salah satunya adalah KH. Husein Muhammad.13

Dalam mengusung gagasan pembelaan terhadap perempuan di Pesantren, Kyai Husein juga mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan, terutama para Kiai pesantren-pesantren lain yang ada di Cirebon dan wilayah lain di Jawa, selain dukungan dari banyak pihak, Kyai Husein juga harus menghadapi sejumlah penentang gagasannya. Reaksi penentangan terhadap gagasan beliau misalnya nampak ketika beliau harus menjelaskan gagasan-gagasannya kepada para Kiai di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, dan Kiai-kiai alumni Pesantren Lirboyo yang tinggal di Cirebon melakukan penolakan walaupun tidak frontal.14

Kyai Husein juga mengalami pertentangan hebat dari dalam kalangan Pesantren dimana beliau dibesarkan, karena pemikiran-pemikirannya terutama pembelaan Kyai Husein terhadap perjuangan kesetaraan jender yang dianggap tabu bahkan haram untuk dibicarakan dilingkungan Pesantren yang menjunjung tinggi dan terlalu tendensius dalam membentuk pola pikir Pesantren yang tradisional-konservatif-patriarkhis, sebuah kekalahan eksistensial penafsiran dari

13

Maria Ulfah Anshar, Nalar Politik Perempuan Pesantren, (Cirebon:Fahmina Institute, 2006), hal. xxiii. Untuk selaanjutnya akan ditulis nalar politik perempuan.

ajaran jika pemikiran Kyai Husein dibiarkan tumbuh dan berkembang di lingkungan Pesantren. Kyai Husein telah menjadi penyebar kesetaraan berfikir para santri, maka dengan alasan apapun pemikiran Kyai Husein harus dihentikan bahkan dihilangkan jangan sampai virusnya menggerogoti ranah berfikir santri yang selama ini sudah terkonstruk dengan kuat. Begitulah pertentangan yang terjadi.

Menurut salah seorang aktivis dalam organisasi Rahima AD. Kusumaningtiyas mengatakan: ”resistensi itu wajar, karena pandangan yang disampaikan Kyai Husein menurut awam itu ”tidak biasa.” Apalagi ketika berbicara soal selain pembelaan secara keseteraan gender.”15

Ketika bicara soal gender, maka kita juga bicara soal relasi. Sehingga wajar yang kupingnya mendengar Kyai Husein menjadi tidak biasa. karena itu sama saja mengkritik budaya yang ada diinternal mereka sendiri, seperti kiai yang suka poligami, tokoh agama yang menjustifikasi kekerasan dengan teks agama. Hal-hal semacam itu adalah persoalan kritik diinternal mereka sendiri. Dalam tradisi Pesantren sendiri terkadang ada ”labelling” hierarki, sehingga yang mengaku Pesantren langsung atau tidak, itu adalah persoalan power disana. Selain itu juga karena persentuhan dari proses belajar di luar, karena Kyai Husein dulu belajar di Al-Azhar, dan beliau banyak mengutip pendapat progresif.

Dalam konteks Pesantren, pendapat progresif dianggap relevan atau tidak, itu yang menjadi perdebatan. Yang kedua, ketika Kyai Husein melakukan ”membaca ulang teks klasik,” mau tidak mau akhirnya membacanya dengan cara kritis, sehinga otomatis beliau akan menyatakan sepakat dengan imam A, B, atau C. Dan beliau juga menawarkan sebuah rujukan yang tidak biasa digunakan oleh kalangan Pesantren, misalnya mengkritik

15

imam. Muslim di Indonesia kebanyakan NU dan sangat diwarnai pandangan yang sangat kental Imam Syafi’i, ketika ada orang yang mengkritik terhadap Syafi’i, maka kemudian akan menyatakan su’ul adab. Padahal yang ingin beliau perkenalkan adalah bahwa selain Imam Syafi’i juga ada imam lain, dan selain itu beliau melintasi dari garis sunni-syiah. Selain itu, dalam mazhab ulama klasik yang banyak kental stereotype diskriminasinya, yang lebih dulu dipukul adalah kiai. FK3 kebetulan juga pernah membuat kritik atas Tafsir Uqud al-Lujain, ”Wajah Baru atas Relasi Suami Istri.” Itu sebetulnya mengkritik teks-teks yang selama ini disajikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Kemudian dicoba diterjemahkan ulang supaya teks itu menjadi lebih baik.16

Tapi yang menjadi persoalan adalah kritik terhadap seorang Syekh Nawawi al-Bantani, yang mungkin dikalangan masyarakat beliau dianggap sebagai ulama kharismatik, dipuja dan dihormati, sehingga kritik terhadap beliau menjadi masalah karena begitu berani mengkritik Syakh Nawawi. Hal itu memunculkan resistensi di beberapa kalangan, terutama di kalangan Pesantren salaf. Terkadang Kyai Husein sering cerita kalau dia dihakimi di hadapan para kyai, seperti misalnya di Pesantren di Sidogiri, Pasuruan. Situasi terakhir lagi, selain pada persoalan konservatifnya yang masih berada di Pesantren salaf, yang banyak merujuk pada teks-teks klasik itu sendiri ada satu, fundamentalis. Kalau konservatifme itu sendiri karena memang tahunya yang itu, tapi kalau fundamentalisme itu susah, karena mereka hanya mau tahu yang itu. Jadi ini rujukannya bukan pada soal Imam Syafi’i, misalnya mereka bilang Qur’an dan Hadis dirahmati, tapi mereka membaca bahwa Qur’an dan Hadits pun diinterpretasi oleh manusia, bahwa dirahmati pun juga harus dibaca secara kritis. Hadits pun dilihat levelnya, apakah sohih, hasan, dhoif, dan harus dilihat juga dari sisi matannya. Tapi mereka seringkali tidak mau tahu. Sebuah Hadits sendiri

16

hanya ditampilkan begitu saja teks-nya, tapi tidak diceritakan apa pesan dibaliknya.

Kyai Husein sebenarnya cukup hati-hati ketika masuk kedalam wilayah yang masih kontroversial di masyarakat. Seperti yang diceritakan Mba AD tentang pengalamannya menemani Kyai Husein saat pelatihan di Madura, ada yang tanya soal imam perempuan, kemudian Kyai Husein cerita soal teks Hadits-nya, persyaratan imam, kemudian cerita soal Ummu Waroqoh, berarti boleh. Tapi Kyai Husein pesan ”jangan diekspos”. Karena itu beliau cukup bijak untuk menyatakan suatu kesulitan sebagai produk ijtihad pemikiran. Kalau misalnya perempuan menjadi ketua RT, itu masih diterima. Tapi kalau perempuan menjadi imam sholat di Masjid, itu akan menimbulkan kegoncangan dan karena itu beliau berkeyakinan yang penting ada maslahatnya, sehingga beliau tidak memaksakan.17

Tapi pada hal-hal yang terkait dengan hak dasar perempuan, itu sesuatu yang tidak bisa ditunda. Misalnya, dalam hal relasi setara, boleh menentukan sendiri siapa pendamping hidupnya, dia boleh mengekspresikan dirinya dengan cara bekerja di luar rumah. Hal seperti ini, beliau sangat mensupport dan menyarankan bahwa situasi seperti ini tidak bisa ditunda. Kaum muslimin pada umumnya memandang bahwa pernyataan-pernyataan yang mengandung kultur budaya patriarkhis memiliki legitimasi yang kuat, karena dikemukakan oleh para penafsir al-Qur’an, para ahli Hadits dan para ahli Fiqh yang paling otoritataif. Dalam sebagian masyarakat kita boleh jadi pikiran-pikiran para ulama besar itu

17

dianggap sebagai kebenaran-kebenaran yang tak dapat digugat dan dikritisi. Bagi masyarakat Pesantren mereka adalah para ulama besar, para pewaris Nabi dan sejumlah predikat lain yang memiliki otoritas keagamaan yang sulit ditemukan kekurangannya, karena kemampuannya membaca teks-teks agama yag sangat tinggi. Tidak sedikit pula pandangan yang menganggap bahwa mengkritisi pikiran mereka sama dengan mengkritik dan melecehkan agama.

Kyai Husein tidak hanya sekedar mengkritisi, tetapi juga memberi penjelasan agar masyarakat dapat membaca al-Qur’an secara lebih konprehensif. Menurut beliau dengan begitu maka akan menemukan sejumlah ayat-ayat yang menyebutkan tentang kesetaraan manusia, tentang kemulian manusia diantara makhluk Tuhan yang lain, tentang kesetaraan peran, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di tengah-tengah kehidupan sosial-politik, tentang keharusan berbuat baik sesama manusia, tentang keharusan menegakkan keadilan terhadap siapapun, serta tentang keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan segala urusan bersama. Semuanya jelas merupakan prinsip-prinsip utama dalam pandangan ajaran agama Islam yang harus direalisasikan dalam tatanan kehidupan bersama.18

Kyai Husein memberi contoh misalnya adalah arahan dari perkawinan poligami menuju monogami. Di tengah tradisi yang membolehkan kawin tak terbatas, pembatasan istri maksimal empat adalah terobosan yang luar biasa. Itu disertai dengan catatan bahwa yang paling dekat kepada keadilan ialah perkawinan monogami, beristri satu, seperti yang dinyatakan al-Qur’an:

18

”kemudian jika kamu takut tidak dapat brlaku adil maka (kawinilah) seoranng saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’ 4:3)

Lebih dari itu, pada ayat lainnnya, dinyatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya meskipun berusaha keras. Allah berfirman:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikaan diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ 4:129)

Menurut Kyai Husein, kedua ayat tersebut secara tegas menekankan bahwa keadilan merupakan prinsip mendasar yang diajarkan al-Qur’an untuk dipakai dalam seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan perkawinan. Kedua ayat itu bukan melegitimasi poligami sebagaimana difahami banyak orang. Poligami hanyalah solusi sementara bagi umat Islam pada masa-masa awal, sehingga mereka terbebas dari perkawinan tak terbatas yang dikutuk karena serat dengan ketidakadilan, menuju perkawinan monogami yang lebih menjamin keadilan.19

Bagi Kyai Husein kesadaran atas teks-teks pemikiran dan wacana keagamaan sudah saatnya menjadi perhatian serius, agar dapat difahami dan ditemukan makna subtansial teks, pada gilirannya akan memberi jalan bagi upaya-upaya kearah perwujudan ide kamanusiaan universal Islam tersebut secara lebih

19

KH. Husein, dkk, Modul Kursus Islam dan Jender; Dawrah Fiqh Perempuan, (Cirebon: Fahmina Institute, 2006), hal. 47. untuk selanjutnya akan ditulis dawrah fiqh perempuan.

luas, dari sini kita juga akan melihat bahwa Islam akan selalu relevan dengan tuntutan kemaslahatan sosial yang selalu berubah-ubah. Pada sisi lain hukum Islam tidak hanya merupakan diktum-diktum yang mati. Hal lain yang perlu direnungkan dan disadari adalah bahwa sejarah manusia selalu berubah dari zaman ke zaman dan dari satu tempat ketempat yang lain dan terus berjalan. Perubahan atas wacana-wacana keagamaan, dan pikiran-pikiran manusia merupakan keniscayaan sejarah.20

Menyangkut hukum keluarga, bahkan di Syiria telah memiliki Qanun al-Ahwal al-Syakhshiyyah tahun 1953. setelah berlaku selama 22 tahun, undang-undang ini kemudian diamandemen menjadi UU Nomor 35 tahun 1975 dengan maksud untuk menjamin hak-hak perempuan dalam pandangan Islam. Sebelum diamandemen, berkenaan dengan poligami UU tersebut (pasal 17) menyatakan demikian, ”hak poligami bagi suami diperbolehkan asalkan suami dapat membuktikan bahwa ia mampu untuk memberi hidup kepada istri”. Setelah diamandemen, pasal poligami itu berbunyi, ”pengadiln bisa saja tidak memberikan izin untuk poligami kecuali ada justifikasi hukum untuk poligami dan mampu membiayai dua istri”. Dengan mempersyaratkan perizinan dari pihak pengadilan, maka sedikitnya telah memperpanjang dan mempersulit proses poligami.21

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) poligami masih dimungkinkan untuk dilakukan. Pandangan seperti ini dapat disangkal dengan dua alasan berikut: [1] asas perkawinan dalam Islam adalah monogami dan bukan poligami. Oleh

20

KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. 96. 21

karena itu, perkawinan poligami jelas bertentangan dengan asas tersebut. [2] perkawinan poligami dalam prakteknya sangat menyakitkan bagi istri. Beberapa penelitian menemukan sebuah fakta bahwa sebagian besar perkawinan poligami dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan seizin istri. Dengan fakta ini, maka tindak kebohongan yang begitu menykitkan telah terjadi. Kejujuran dan keterbukaan yang semestinya menjadi landasan utama dalam rumah tangga kemudian menjadi rapuh.22

Persoalan-persoalan yang menyangkut perempuan benar-benar mendapatkan perhatian yang serius dalam sumber-sumber syari’ah Islam. Al-Qur’an maupun hadits Nabi menyebutkan tema perempuan ini dalam banyak tempat. Bahkan sejumlah nama surah dalam al-Qur’an diambil dari nama perempuan atau masalah perempuan. Ada yang dalam bentuk nama jender, seperti al-Nisa, atau nama person, seperti Maryam, maupun yang menjadi persoalan perempuan, seperti al-Thalaq, al-Mumtahanah, al- Mujadilah dan sebagainya. Tidak banyak kitab-kitab suci yang membicarakan begitu luas persoalan perempuan selain kitab suci al-Qur’an. Menurut bapak Marzuki Wahid ketua fahmina Cirebon mengaatakan bahwa; ”Kyai Husein dalam mengkritik tradisi Pesantren sebenarnya dapat dikatakan kalau bahasa Muqsid itu ”memulung,” memulung serpihan-serpihan Aqwalul Ulama yang ada dalam kitab kuning.”

Jadi sebetulnya kitab kuning itu adalah arena yang cukup luas, di dalam kitab kuning itu ada mulai dari konserfativme sampai ke liberal, ada orang yang sangat anti terhadap kesetaraan juga ada orang yang sangat pro dengan kesetaraan.

22

Misalnya kita baca pemikiran Ibnu Rusy atau pemikirannya Imam Fakhrudin ar-Razi mereka itu sudah luar biasa dan Kyai Husein mengambil pemikiran-pemikiran ulama yang mendukudung keadilan dan kesetaraan jender yang mendukung penegakan kemanusiaan, yang mendukung kerangka berfikir yang lebih terbuka. Beliau memulung dari khazanah-khazanah klasik itu sebetulnya tidak terlalu deskontruktif karena Kyai Husein masih menggunakan kerangka berfikir yang sama dengan orang-orang Pesantren, mulai dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Kiyas, Dalil-dalil Fiqh kemudian juga dengan basis kitab kuning. KH. Husein Muhammad melakukan kajian ulang, tafsir ulang terhadap beberapa isu-isu sosial yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan.23

Secara umum hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan sebagimana diungkapkan oleh al-Qur’an maupun Sunnah Nabi saw. Diturunkan atau disampaikan kepada masyarakat Arab yang secara budaya telah menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, lemah. Karena itu adalah wajar jika teks-teks Syari’ah masih memberikan kekuasaan kepada laki-laki untuk memimpin dan menentukan kehidupannya serta menafkahinya. Menurut Kyai Husein al-Qur’an tidak begitu saja mengakui dan menerima tradisi-taridsi yang terjadi di masa itu sebagaimana adanya, sepanjang tradisi tersebut telah menyimpang dari prinsip-prinsip kemanusiaan, maka al-Qur’an melakukan kritik dan koreksi serta mengajukan gagasan baru kearah kondisi yang lebih baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan.24

23

Marzuki Wahid, Wawancara Pribadi, 6 Agustus, 2010. 24

Dokumen terkait