• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Humaniora

Dibawah Bimbingan

Dr. Amelia Fauzia 19710325 199903 2004

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Oleh:

NOVIYATI WIDIYANI

102022024379

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKATA

(3)

kepada kita semua, sehingga kita diberikan nikmat yang tidak terhingga. Atas sifat

pemurah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

merupakan salah satu syarat untuk memnuhi gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) di

Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam tidak lupa

tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah merekonstruksi umat

dari zaman kegelapan menuju era pencerahan.

Selanjutnya, perkenankanlah penulis untuk dapat mencurahkan terima

kasih yang terkira kepada segenap pihak, seperti penulis paparkan di bawah ini,

yang telah banyak membantu dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Sebab penulis

menyadari, tanpa bimbingan dan motivasi dari semua pihak, terasa sangatlah

penulis mampu melewati rintangan ini.

Dengan penuh hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

Dr. Komarudin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

dimana penulis mencoba menggapai cita-cita dari tempat yang mulia ini. Penulis

sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. Abd. Wahid

Hasyim, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. Juga kepada Bapak

Drs. H. Ma’ruf Misbah. MA., dan Bapak Usep Abdul Matin, S.Ag., MA., MA.,

selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam, yang selalu

memberi motivasi dan semangat, juga kepada Bapak Drs. Azhar Saleh, selaku

pembimbing akademik.

(4)

penulis ditengah aktifitas yang sangat padat.

Terima kasih yang setulus hati penulis ucapkan kepada ayah dan ibu, yang

tidak dapat dilukiskan dengan rangkaian kata-kata. Kasih sayang, ketabahan dan

kesabaran beliau selalu menyertai penulis di setiap waktu, yang tidak

henti-hentinya untuk selalu mendorong dan memberi semangat agar tegar menghadapi

hidup. Juga kepada Suami dan anakku Adirga Agustiar yang selalu penulis

rindukan keberadaannya di sisi penulis. Dan penulis ucapkan terimakasih juga

kepada kakakku Iis Supriyatna yang selama ini banyak membantu dalam berbagai

hal, dan adik-adikku yang penulis cintai dan sayangi: Muti’ah, Yus dan Yudi.

Keluarga adalah pemberi semangat dan inspirator bagi penulis.

Ucapan terima kasih, juga penulis haturkan kepada KH. Husein

Muhammad, selaku tokoh dalam penulisan skripsi ini, dan juga kepada Bapak

Marzuki, M.Ag., Ibu Alifatud Darojati Kusumaningtyas, S. Sos, MSi., Mba

Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, M. Si., yang telah memberi pencerahan kepada

penulis.

Ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada pengasuh Pondok

pesantren al- Hikmah Bumi Jaya, Para Guru MA. Al-Hikmah, Khususnya kepada

KH. Syaifudin beserta keluarga, ”Matur nuwun atas do’anya.” Tak lupa untuk

kawan-kawan seperjuangan di Pondok Pesantren al- Hikmah Bumi Jaya, yang

kini sedang sedang menapaki karir, “Yak opo kabare?”.

(5)

bersama mereka bersatu untuk mengharumkan nama almamater.

Tidak lupa penulis berterima kasih yang teramat dalam kepada para dosen

di Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan pencerahan pikiran

kepada penulis sebagai jalan untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Demikian secercah pengantar skripsi ini penulis sampaikan, atas kerja

samanya, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap,

gerak dan langkah kita dalam “mengais” ilmu tak pernah lekang oleh zaman.

Amin….

Ciputat, Agustus 2010

Penulis

(6)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Survey Pustaka ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Sistematika Penyusunan ... 13

BAB II GERAKAN KESETARAAN JENDER DI INDONESIA ... 15

A. Gerakan Kesetaraan Jender dalam Lintasan Sejarah ... 15

B. Islam dan Wacana Gerakan Kesetaraan Jender ... 23

C. Jender, Ulama, dan KH. Husein Muhammad ... 29

BAB III BIOGRAFI KH. HUSEIN MUHAMMAD ... 37

A. Riwayat Hidup ... 37

B. Pengalaman Organisasi ... 41

C. Karya-Karyanya ... 45

(7)

A. Kiprahnya dalam Organisasi ... 51

B. Kritik Wacana Terhadap Tradisi Pesantren ... 57

C. Hermeneutika Feminisme KH. Husein Muhammad ... 68

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran-saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

vi

sehari-hari menjadi salah seorang pengasuh pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun Cirebon ini lahir dan menjadi salah seorang aktivis hak-hak perempuan yang paling menonjol, bukan hanya di kalangan pesantren tapi juga di kalangan aktivis perempuan muslim secara keseluruhan dengan kemampuannya yang sangat baik dan khazanah literatur Islam dari Kiai yang pernah belajar di Kairo, Mesir ini selalu menarik.

KH. Husein Muhammad adalah salah satu dari ulama yang sedang ikut melakukan pembaharuan ini dengan mengusung isu wacana kesetaraan dan keadilan jender dengan paradigma feminisme Islam (fiqh/ hukum Islam), karena menurut beliau, “kehidupan masyarkat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya, pola tradisi, kebudayaan dan pola hidup masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks keagamaan, karena pengaruh agama terhadap kebudayaan sangat besar.”.

Berbagai pemikirannya yang cerdas menjadikan Kyai Husein sebagai tokoh yang berpengaruh dalam konstitusi serta pembelaannya terhadap perjuangan kesetaraan jender membawanya aktif dalam kegiatan berbagai organisasi, disamping memproduksi gagasan-gagasan pembelaan terhadap perempuan, Kyai Husein juga melakukan aktivitas atau kegiatan yang berhubungan dengan pembelaan terhadap perempuan. Sikap pembelaan Kyai Husein terhadap perempuan juga diwujudkan dengan membuat atau mendorong para perempuan untuk terlibat dalam organisasi-organisasi sosial dan politik.

Peran penting Kyai Husein dalam pemikiran keislaman adalah karena beliau membangun kembali pemikiran-pemikiraan keislaman dan menawarkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih adil, lebih humanis dan lebih menjanjikan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.

(9)

Pada bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana latar belakang masalah,

dan pada bab ini juga akan dibuat pembatasan dan rumusan masalah agar skripsi

ini tidak terlalu melebar, juga akan diberi tujuan penelitian dan juga survey

pustaka, karna pasti sudah ada beberapa tulisan yang menulis tentang pemikiran

KH. Husein Muhammad, dan tidak lupa juga akan dibuat metodologi penelitian

agar lebih mengena pada inti penulisan dan juga sistematika penyusunan.

A. Latar Belakang Masalah

Diskursus tentang jender akhir ini semakin menggelinding, menembus

sekat-sekat birokrasi, perguruan tinggi, rumah tangga bahkan pondok pesantren

yang selama ini dianggap sebagai “sarang konservatif” terhadap berbagai arus

pemikiran kontemporer dan sekuler, seperti pemikiran tentang jender, lambat laun

sudah merespon wacana tersebut. Fenomena baru memperlihatkan adanya

sejumlah Kyai dan Nyai pesantren menaruh minat terhadap isu kesetaraan dan

keadilan jender.

Meskipun perbincangan terhadap jender sudah semakin merebak namun

ada pengamatan, masih sering terjadi kesalahfahaman tentang apa yang dimaksud

dengan konsep jender. Kesalahfahaman tentang jender bukan hanya terjadi di

kalangan awam, tetapi juga menimpa kalangan terpelajar. Istilah jender sering kali

dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan terlebih lagi jender diartikan dengan

“jenis kelamin perempuan” , ini jelas salah. Begitu disebut jender, yang terbayang

(10)

dalam benak mereka adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan

padahal, istilah “jender” bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan

melainkan juga jenis kelamin laki-laki.

Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara

jenis kelamin (sex) dan jender. Yang dimaksud dengan jenis kelamin adalah

perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki.

Adapun yang dimaksud “jender” seperangkat sikap, peran, tanggung jawab,

fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat

bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan

dibesarkan.1

Kesimpulannya, jender adalah suatu konsep yang mengacu pada

peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial

yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.

Dekade 1930-an merupakan satu tahap penting dalam sejarah pergerakan

kaum perempuan Indonesia. Pada periode ini, perubahan dan akhirnya

pertentangan ideologi mulai memasuki wacana perempuan. Gagasan kemajuan

yang menjadi tema sentral pada dekade pertama abad 20, mulai mengalami

pergeseran, atau lebih tepatnya pengkayaan strategi dan perspektif, yang kerap

menimbulkan pertentangan satu sama lain di kalangan organisasi perempuan.2

Dalam setiap masyarakat selalu ada pembagian kerja antara perempuan

dan laki-laki, sehingga dikenal peran jender yang berbeda antara perempuan dan

1

Dr. Siti Musdah Mulia, MA., dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, (Jakarta: LKAG, 2003), hal. vii-ix. Untuk selanjutnya akan ditulis keadilan dan kesetaraan jender.

2

(11)

laki-laki. Konsekwensinya logis dari peran terebut adalah bahwa pekerjaan di

rumah tanggga merupakan tugas dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan

yang demikian itulah yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan bagi

perempuan.

Perbedaan jender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu

kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketikadilan jender. Akan tetapi, realitas

di masyarakat menunjukkan bahwa berbedaan jender telah melahirkan berbagai

bentuk ketidakadilan, misalnya dalam pemberian beban kerja, perempuan selain

dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga ia juga harus

menunjukkan prestasi kerja yang lebih baik di tempat kerjanya.3

Bentuk lain lagi dari ketidakadilan jender adalah marginalisasi atau

pemiskinan ini disebabkan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan

perempuan dinilai lebih mudah dari pada pekerjaan laki-laki dan akibatnya

upahnya menjadi lebih murah.

Ketidakadilan jender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni

anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari

kepentingan laki-laki. Ini terjadi baik dalam rumah tangga maupun dalam

kehidupan bermasyarakat. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan

itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan emosinya, sehingga perempuan

tidak bisa tampil sebagai pemimpin, juga bisa terjadi dalam kasus pelecehan

seksual, masyarakat berkecenderungan menyalahkan kaum perempuan, padahal

mereka adalah korbannya.

3

(12)

Berbagai manifestasi ketidakadilan jender tersebut saling terkait. Wujud

ketidakadilan itu “tersosialisasi” dalam masyarakat. Jender adalah konstitusi

sosial, maka seharusnya bisa diubah. Perubahan tersebut merubah perilaku jender,

diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, serta didukung oleh

berbagai pranata sosial yang ada.4

Gerakan perempuan di manapun memiliki keunikan sendiri, tidak

terkecuali Indonesia. Salah satu keunikan itu adalah bertemunya kelompok

perempuan tak berbasis agama dengan kelompok perempuan berbasis agama. Ini,

seperti dikatakan Zaenah Anwar, aktivis perempuan muslim dari Malaysia, telah

menempatkan gerakan perempuan Islam di Indonesia pada posisi penting bahkan

menjadi ‘tolok ukur’ dalam diskursus Islam dan perempuan di dunia Islam.

Lebih jelasnya, pada saat ini wacana Islam dan pemberdayan perempuan

secara intensif disosialisikan oleh institusi-institusi keislaman yang peduli pada

pemberdayaan perempuan. Antara lain oleh Fatayat NU, Muslimat NU, Aisyiyah

Muhammadiyah, Fahmina Institute, Yayasan Rahima, PSW-PSW Peguruan

Tinggi Islam, dan lainnya. Kesemua institusi tersebut menggunakan pendekatan

yang mirip; pemberdayaan perempuan dengan menggunakan argumentasi

keagamaan.5

Gerakan untuk kemajuan kaum perempuan telah menjadi isu penting

dalam perkembangan wacana sosial-intelektual Islam di Indonesia. Sejumlah

tokoh muncul dengan gagasan untuk mendorong kaum perempuan memiliki

4

Dr. Siti Musdah, Keadilan dan Kesetaraan Jender, hal. x-xi. 5

KH. Husein Muhammad, dkk, Modul Kursus Islam dan Gender; Dawrah Fiqh

(13)

posisi lebih tinggi, bahkan terlibat dalam peran-peran di luar dunia tradisional

mereka sebagai ibu rumah tangga. Bersamaan dengan itu, berbagai upaya

dilakukan untuk mewujudkan gagasan-gagasan mereka. Pendirian lembaga

pendidikan Rahma el-Yunusiah di Sumatra Barat, Penerbitan surat kabar

perempuan oleh Roehana Koedoes di wilayah yang sama, pendirian

organsasi-organisasi perempuan dalam organsasi-organisasi pergerakan seperti Muhammadiyah, dan

sejumlah upaya lain, semua itu merupakan wujud dari gerakan kaum perempuan

di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam konteks sejarah Indonesia

gerakan-gerakan di atas barangkali disebut sebagai “gelombang pertama” kaum perempuan

bergerak. Kemajuan yang menjadi dasar pergerakan Indonesia secara umum –

menjadi satu isu pertama pergerakan mereka, yang diterjemahkan dalam rumusan

emansipasi. Kaum perempuan menuntut hak-hak mereka bisa terlibat dalam dunia

yang diakui hanya milik laki-laki.6

Perbincangan sekitar jender yang hingar bingar dewasa ini pada gilirannya

harus menarik keterlibatan para tokoh agama. Ini karena mereka dengan

pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama yang dimilikinya telah memberikan

warna yang cukup signifikan dalam menciptakan konsitusi sosial dalam kaitannya

dengan relasi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki dua sisi yang saling

berhadapan. Wacana ini bisa membawa agama untuk kemajuan masyarakat atau

justru mereduksi pesan-pesan agama. Ini semua tergantung pada

persfektif-persfektif keagamaan yang diyakininya.7

6

Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal.4. 7

(14)

Sejarah telah mencatat beberapa kasus dimana perempuan telah

menempati posisi kuat, sebagaimana terjadi dalam peradaban Mesir, tetapi kasus

tersebut hanya beberapa dan tidak memcerminkan kondisi umum perempuan pada

waktu atau sejak saat itu. Mengenai kelembutan perempuan yang dikenal sebagai

anugrah Tuhan, adalah murni hal kebetulan yang tidak menunjukan bahwa

perempuan sangat dihormati atau bermartabat. Andaipun memang demikian,

kasus-kasus tersebut hendaklah dipandang sebagai kekecualian-kekecualian yang

jarang terjadi dan tidak mempengaruhi hukum umum yang berlaku.8

Seperti yang kita ketahui sebagian Aktivis muslim Indonesia yang dulunya

juga mengembangkan karir di kelompok-kelompok LSM perempuan, yang

memang sejak awal tidak ada embel-embel Islam atau agamanya, malah

mengambil peran dengan mengubah paradigma melihat perempuan di Indonesia.9

Seperti telah diakui oleh Lies Marcoes Natsir, salah seorang pionir gerakan

ini, justru mencoba memasukan isu perempuan kedalam diskursus Islam, dan

sebaliknya. Meskipun tidak semua umat muslim Indonesia dapat menerima tapi

hasilnya sangat menarik. Wacana Islam dan perempuan menjadi penting, dan

berkelanjutan serta mendapatkan cukup perhatian di media massa. Pada masa

inilah, yakni awal hingga pertengahan dekade tahun 1990-an, wacana feminisme

di Indonesia tidak melulu didominasi oleh pandangan feminisme sekuler, dan

bahkan sebagian diantaranya beralih kefeminisme Islam. Dalam konteks inilah

kemunculan aktivis-aktivis Muslim Indonesia menjadi penting.10

8

Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001). hal.18. untuk selanjutnya akan ditulis menggugat sejarah.

9

Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal. 132. 10

(15)

Kemunculan seorang K.H. Husein Muhammad11 dalam konteks

pemberdayaan fiqh perempuan di Indonesia patut dicatat secara khusus. Kyai

yang sehari-hari menjadi salah seorang pengasuh pesantren Darut Tauhid,

Arjawinangun Cirebon ini lahir dan menjadi salah seorang aktivis hak-hak

perempuan yang paling menonjol, bukan hanya dikalangan pesantren tapi juga di

kalangan aktivis perempuan muslim secara keseluruhan dengan kemampuannya

yang sangat baik dan khazanah literatur Islam dari Kyai yang pernah belajar di

Kairo, Mesir ini selalu menarik.12

Kalau kita bertanya mungkinkah laki-laki bisa menjadi feminis, maka

pertanyaan itu menjadi secara teoritis bertentangan dengan feminisme itu sendiri.

Alasannya adalah pertama, tujuan feminisme sebagai gerakan peningkatan

kesadaran jender untuk menghasilkan sebuah transformasi sosial, tentunya

mengandaikan bahwa laki-laki ‘tertular’ ide-ide feminisme. Kedua, feminisme

untuk menjadi kekuatan moral, sosial dan politik, memerlukan dukungan

masyarakat, termasuk kaum laki-laki. Ketiga, dengan menolak laki-laki dalam

kategori feminis, justeru feminisme mempertahankan suatu pandangan esensial

dengan menentukan bahwa hanya perempuanlah yang bisa menjadi feminis.

Kontroversi tentang feminis laki-laki disandarkan pada dua pandangan

yang berbeda, yaitu, laki-laki dapat menyatakan diri feminis sepanjang mereka

ikut berjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Disisi lain, laki-laki tidak dapat

11

Untuk selajutnya ditulis Kyai Husein 12

(16)

menjadi feminis karena mereka tidak mengalami diskriminasi dan penindasan

sebagaimana kaum perempuan.13

Kyai Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminisme Islam,

bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki atau laki-laki yang melakukan

pembelaan terhadap perempuan yang berada pada pandangan yang ketiga.14

Kyai Husein adalah salah satu dari ulama yang sedang ikut melakukan

pembaharuan ini dengan mengusung isu wacana kesetaraan dan keadilan jender

dengan paradigma feminisme Islam (fiqh/ hukum Islam), karena menurut beliau,

“kehidupan masyarkat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama

masyarakatnya, pola tradisi, kebudayaan dan pola hidup masyarakat Indonesia

banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks

keagamaan, karena pengaruh agama terhadap kebudayaan sangat besar.15

Dari uraian yang talah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk membahas

lebih mengenai sejarah gerakan kesetaraan jender dan peran KH. Husein

Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia, karenanya penulis

membuat skripsi ini dengan judul:” PERAN KH. HUSEIN MUHAMMAD

DALAM GERAKAN KESETARAAN JENDER DI INDONESIA”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mengantisipasi agar tulisan ini tidak terlalu melebar maka penulis

hanya membatasi pada bagaimana peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan

kesetaraan jender di Indonesia sejak tahun 1993 sampai sekarang.

13

KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. xxii. 14

Ibid, hal. xxiv. 15

(17)

Sebagai rumusan masalah penulis merangkumnya dalam suatu pertanyaan:

1. Bagaimana kiprah KH. Husein Muhammad dalam organisasi?

2. Bagaimana pengaruh kesetaraan jender di dunia pesantren?

3. Bagaimana metodologi hermeneutika feminisme KH. Husein Muhammad?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kiprah atau peran KH. Husein Muhammad

dalam organisasi yang digelutinya.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari kesetaraan jender di dunia

pesantren?

3. Untuk mengetahui bagaimana metodologi hermeneutika feminisme yang

digunakan KH. Husein Muhammad.

D. Survey Pustaka

Penulisan ini bercorak penulisan pemikiran dan peran seorang tokoh

bernama Kyai Husein, dan tentunya ada beberapa topik yang sudah dibahas oleh

beberapa orang mengenai pemikiran-pemikiran Kyai Husein. Untuk itu penulis

membuat survey pustaka untuk membedakan beberapa tulisan mengenai tokoh

Kyai Husein yang telah ditulis oleh beberapa penulis seperti:

Buku yang berjudul tentang Kiai Husein Membela Perempuan, yang ditulis

oleh Nuruzzaman. Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Tahun 2005. Buku ini

(18)

hak-hak perempuan. Nuruzzaman mengekplorasi wacana feminisme Kyai Husein di

pesantren disertai dengan berbagai pro kontra dalam memahami isu jender.

Buku selanjutnya adalah ”Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan

Kyai Pesantren”, penerbit; LKiS Yogyakarta, Tahun 2004, dengan editor Nuruzzaman dkk, buku ini menjelaskan tentang bagaimana apresiasi terhadap

gagasan feminisme Islam Kyai Husein, dan buku ini merupakan kumpulan

tulisan-tulisan yang diproduksi oleh Kyai Husein dalam kurun waktu beberapa

tahun.

Kemudian ada juga skripsi saudara Nanang Qosim mahasiswa Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul Hermeneutika Feminisme Muslim

(Study Pemikiran KH. Husein Muhammad), dalam skripsinya penulis menjelaskan bagaimana kerangka metodologi hermeneutika feminisme Kyai Husein dan

menjelaskan bagaimana aplikasi dan implikasi dari metodologi hermeneutika

feminis muslim dan menjelaskan relevansi hermeneutika feminis Kyai Husein

dengan konteks perempuan di Indonesia kontemporer.

Dan kemudian ada juga skripsi dari Saudari Mala Hayati mahasiswi

al-Ahwal asy-Syahhsyah dengan judul ”Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam

Fiqh (Study Terhadap Pandangan KH. Husein Muhammad Tentang Hak Aborsi)”, dalam skripsinya penulis tersebut menguraikan pandangan-pandangan Kyai Husein terhadap hukum-hukum Fikiyyah yang berkaitan dengan hak

reproduksi perempuan. Dan penyusun skripsi tersebut menemukan bahwa dalam

(19)

melahirkan termasuk di dalam adalah menolak untuk berhubungan jika istri dalam

keadaan capek.

Dari beberapa tulisan di atas, yang membedakan dengan skripsi ini adalah

peran dari tokoh Kyai Husein, dimana dalam ini dijelaskan bagaimana peran

beliau dalam gerakan kesetaraan jender, baik dari aktifitas, pemikiran maupun

gagasan-gagasan Kyai Husein, terutama pada gerakan kesetaraan jender di

Indonesia.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan study sejarah, yang lebih

menekankan pada kajian pemikiran seorang tokoh, yang mengacu pada bidang

sejarah intelektual yang dibatasi pada periode kontemporer di Indonesia.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Kualitatif, yang memerlukan pemahaman lebih

mendalam. Untuk pengumpulan data, dalam pencariaan data pada penelitian ini

adalah Library Reseach, yaitu melalui riset kepustakaan untuk mengkaji

sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau belum.16

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data otentik data langsung dari tangan

pertama tentang masalah yang diungkapkan. Secara sederhana data ini

16

(20)

juga disebut data asli.17 Sumber data primer menjadi acuan pokok dari

study ini, yaitu Kiai Husein Membela Perempuan, yang ditulis oleh

Nuruzzaman. Selain itu juga diambil dari karya-karya ilmiah KH.

Husein yang lainnya, baik berupa buku maupun artikel-artikel yang

beliau tulis.

Sumber data primer juga didapat dari hasil wawancara (interview)

yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Wawancara ini dibutuhkan

untuk mempertanyakan hal-hal baru ataupun yang sedang berkembang

sesuai konteks kebutuhan. Kemudian hasil wawancara tesebut

dikaitkan dengan hasil penelitian.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang tidak bersifat otentik.18 Data

sekunder ini diperoleh dari buku-buku, sebagai penunjang dari data

primer. Seperti tulisan-tulisan tentang pemikiran dan biogarafi KH.

Husein Muhammad. Misalnya, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas

Wacana dan Jender. 3. Analisis Data

penelitian ini menggunakan analisis data Deskriptif Analitis, digunakan

agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang obyektif. Maksudnya

adalah berusaha mendeskriptifkan, menginterpretasikan apa yang ada baik

mengenai kondisi atas hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses

17

Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995), hal. 80

18

(21)

yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang

sedang berkembang.19

F. Sistematika Penyusunan

Merujuk pada apa yang dituliskan di atas dan untuk mempermudah

pembahasan, skripsi ini disusun sistematis melalui bab dan sub bab dengan

membagi pembahasan menjadi empat bab. Yang secara garis besar diuraikan

sebagai berikut:

Bab pertama, berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penyusunan.

Bab kedua memaparkan tentang gerakan kesetaraan jender di Indonesia

dengan sub bab membahas tentang gerakan kesetaraan jender dalam lintasan

sejarah, Islam dan wacana gerakan kesetaraan jender, dan juga jender, ulama, dan

KH. Husein Muhammad.

Bab ketiga mengupas tentang Biografi Kyai Husein, dengan sub bab

membahas tentang riwayat hidup, pengalaman organisasi, aktifitas dan

karya-karyanya.

Bab keempat membahas tentang peran Kyai Husein dalam gerakan

kesetaraan jender, dengan sub bab membahas kiprah Kyai Husein dalam

organisasi, kritik wacana terhadap tradisi pesantren, hermeneutika feminisme

Kyai Husein.

19

(22)

Bab kelima, adalah penutup yang berisikan kesimpulan yang diambil

berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan

(23)

Pada bab ini akan dipaparkan tentang bagaimana gerakan kesetaraan

jender dalam lintasan sejarah dan juga memaparkan tentang wacana gerakan

kesetaraan jender dalam pandangan Islam dan juga menjelaskan tentang pelibatan

ulama atau seorang KH. Husein Muhammad dalam isu-isu jender.

A. Gerakan Kesetaraan Jender dalam Lintasan Sejarah

Fakta sejarah membuktikan bahwa pada akhir abad ke-19 ditengarai

sebagai awal mulanya muncul gerakan perempuan di Indonesia, walaupun situasi

dan kondisinya mungkin berbeda dengan gerakan perempuan di belahan dunia

lain. Isu-isu yang dimunculkan tidak keluar dari persoalan sosial dan politik yang

sangat riil yang dialami oleh kaum perempuan yang ingin bangkit dari

ketertindasan.1

Benih pergerakan perempuan di Indonesia dimulai dari Kartini

(1879-1908), dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia muncul sebagai tokoh

perempuan yang tercerahkan oleh kondisi politik penjajahan yang sangat

bersahabat dengan golongan priyayi. Setelah mengalami proses yang cukup

panjang, beliau bangkit untuk memperjuangkan dan memperbaiki kondisi

masyarakat yang sangat patriarki.

1

Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta; PSW UIN Jakarta, 2003), hal. 13. Untuk selanjutnya akan ditulis pengantar kajian.

(24)

Sebenarnya di era sebelum Kartini telah muncul beberapa srikandi yang

sangat peka terhadap masalah politik dan mempunyai kesadaran dan kemampuan

untuk bahu membahu dengan kaum pria memanggul senjata, seperti yang

dilakukan oleh Martha Cristina Tiahahu (1818), Nyi Ageng Serang (1752-1828),

Cut Nya Dien (1850-1908), dan Cut Mutia (1870-1910). Mereka tampil mewakili

golongan perempuan untuk berperang melawan penjajah Kolonial Belanda.2

Dalam abad ke-19 khususnya selama tahun-tahun kemelut menjelang

perang Jawa terdapat cukup bukti tentang peranan penting perempuan dalam

perdagangan, kemiliteran, politik dan kehidupan sosial di kalangan Istana Jawa

Tengah. Bahkan jauh sebelumnya, pada masa Kalinyamat, peran perempuan

dalam bidang kesejahteraan masyarakat tak terbantahkan, demikian pula pada

masa Sultanat Aceh.3

Pada masa kolonial Belanda inilah organisasi-organisasi perempuan mulai

bermunculan, imbasnya perempuan muslimpun ikut andil mendirikan

organisasi-organisai Islam, seperti Sarekat Perempuan Indonesia, Muslimat NU, “Sopo

Tresno” yang kemudian berganti nama menjadi “Aisyiyah”, dll.4 Pendiri

Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat, para wanita adalah partner kaum

lelaki, demikian juga dalam bidang pendidikan, sehingga Nyai Dahlan mencoba

memperkenalkan pemikiran bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk

menuntut ilmu setinggi-tingginya.5

2

Fadilah, Pengantar Kajian, hal. 12. 3

Ibid, hal. 19. 4

Fadilah, Pengantar Kajian, hal. 22. 5

(25)

Setelah Belanda kalah pada 1942, penguasa Indonesia berpindah tangan

dari Belanda ke Jepang. Keadaan rakyat tidak jauh berbeda, bahkan lebih

menyedihkan, begitu juga yang dihadapi dengan Nyai Dahlan dengan

Aisyiyyahnya yang tidak boleh berorganisasi sendiri sebagai pergerakan wanita.6

Semua organisasi pada masa Kolonial Jepang dibubarkan dan sebagai gantinya

didirikan organisasi-organisasi yang kegiatannya diarahkan untuk membantu

Jepang dalam menghadapi tentara sekutu. 7

Organisasi perempuan yang ada pada masa ini adalah Gerakan Istri Tiga

A, organisasi yang menginduk pada Gerakan Tiga A (‘Pemimpin Asia’, Pelindung

Asia’, Cahaya Asia”) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Syamsudin yang berkedudukan

di Jakarta; Barisan Pekerja Perempuan Putera, organisasi perempuan yang

menginduk pada Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dibentuk Jepang sebagai

pengganti Gerakan Tiga A. Organisasi ini dipimpin oleh Ny. Sunaryo

Mangunpuspito. Pada saat yang sama Jepang juga mendirikan organisasi

perempuan bernama Fuzinkai (sejenis Dharma Wanita) yang didalamnya terdapat

“barisan putri” yang dipimpin oleh Siti Dalima.8

Selanjutnya pada masa orde lama gerakan perempuan terlihat dalam

Revolusi Fisik atau perang kemerdekaan. Pada bulan Oktober 1945 untuk pertama

kalinya organisasi kelaskaran perempuan dibentuk. Organisasi yang dibentuk oleh

Ny. Aruji Kartawinata di Bandung itu bernama Lasykar Wanita Indonesia

(Lasywi). Dalam kurun waktu 1945-1949 kaum perempuan mengambil bagian

dalam membela negara dengan membentuk organisasi-organisasi. Di kalangan

6

Jajat, Ulama Perempuan, hal. 59. 7

Ibid, hal. 25. 8

(26)

muslimat berdiri organisasi kelaskaran bernama Laskar Muslimat yang berpusat di

Bukit Tinggi dan Laskar Sabil Muslimat yang ada di Padang Panjang. selain itu,

dari Kalangan Angkatan Bersenjata dibentuk Korps Polisi Wanita (POLWAN),

Persatuan Istri Tentara (persit) dan Persatuan Istri Angkatan Udara (Persatuan Istri

Ardia Garini) yang lebih dikenal dengan nama PIA. Dalam suasana yang tegang

dalam perang kemerdekaan, berdirinya banyak organisasi perempuan sangat

membantu dalam melakukan berbagai kegiatan untuk meringankan kesulitan

hidup di garis belakang dan membantu memperkuat semangat patriotik.9

Dalam perjalanannya, KOWANI pernah terjebak pertentangan internal.

Pertentangan ini disebabkan karena tokoh-tokoh PKI yang terlibat didalamnya

mendaftarkan KOWANI dalam keanggotaan organisasi dunia bernama GWDS

yang berhaluan komunis. Beberapa organisasi Islam yang menyadari kenyataan

tersebut menyatakan keluar dari keanggotaan KOWANI pada kongresnya yang

ke-4 tahun 1948. Pertentangan memuncak pada tahun 60-an yang berakhir dengan

coup d’etat gagal yang dilancarkan PKI. Akibat dari itu semua, akhirnya organisasi perempuan yang memihak komunis dikeluarkan dari federasi.10

Sebagai reaksi atas berbagai persoalan yang timbul, organisasi-organisasi

perempuan merasa perlu untuk melakukan konsolidasi. Pada tahun 1950, tepatnya

pada bulan November, organisasi perempuan yang pada masa Revolusi

kemerdekaan mengalami perpecahan didirikan kembali. Organisasi ini bernama

Kongres Wanita Indonesia. Kongres yang dilaksanakan tahun 1950 ini bertujuan

untuk menciptakan kesempurnaan kemerdekaan Indonesia, terlaksananya

9

Jajat Burhanuddin (ed), Ulama Perempuan, hal. 29. 10

(27)

hak wanita sebagai manusia dan warga negara, keamanan, dan ketentraman

dunia. Kongres juga mengatur agar dapat dibuat undang-undang perkawinan yang

melindungi perempuan dan menetapkan jumlah anggota laki-laki dan perempuan

yang seimbang dalam panitia penyidik hukum perkawinan.11

Di bawah rezim otoriter orde baru, implikasi politik terhadap peran

laki-laki dan perempuan (kemudian disebut dengan peran jender) ini ternyata sangat

besar. Yang terjadi tidak hanya ada upaya domestikasi perempuan sebagai

instrumen untuk tujuan-tujuan ekonomi politik. Hal ini jelas diilustrasikan dalam

kasus program Keluarga Berencana (KB).12

Pada tahun 1996, Gerwani dibubarkan dan ditetapkan sebagai organisasi

terlarang. Ketika soeharto naik Gerwani dipaksa masuk Golkar. Di tahun yang

sama kementrian urusan wanita dibentuk dalam kabinet. Dapat dikatakan pada

masa ini gerakan perempuan di Indonesia dapat dibilang memasuki masa yang

sangat lesu.13

Kemudian pada tahun 1997 Soeharto berhasil digulingkan dan berganti

kepemimpinan oleh BJ. Habibie dan di sini dibentuk Komisi Nasional

Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan. Lembaga ini di bentuk tahun 1999.

Sementara periode kepemimpinan Gus Dur banyak aktivis perempuan mulai

bergema suaranya, tabu terhadap PKI dan ideologi komunispun dihapusnya

sekaligus. Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang pengerusutamaan

11

Ibid, hal. 37. 12

Jajat Burhanuddin (ed), Ulama Perempuan, hal. 45. 13

(28)

jender di tandatangani Gus Dur. Kementrian pemberdayaan perempuan mulai

gencar mengkampanyekan kesetaraan jender.14

Pada tulisan ini akan difokuskan pada gerakan perempuan di Indonesia

pada tahun 1990-an. Karena pada dekade ini gerakan perempuan mulai berada

dalam kerangka ideologi feminisme yang menekankan kesetaraan jender.15

Pemerintahan orde baru telah menempatkan kaum perempuan sebagai

‘partner yang manis” bagi pembangunan. Isu gerakan perempuan yang

berkembang berkisar dalam satu pemikiran yang menempatkan mereka sebagai

sumber daya pembangunan, dengan ungkapan lain, politik jender pemerintahan

orde baru telah memakai pendekatan Women In Development (WID), dimana

perempuan terintegrasi sepenuhnya dalam derap pembangunan .16

Dalam sebuah konferensi Internasional tentang kependudukan dan

pembangunan di Kairo pada tahun 1994, muncul kritikan-kritikan yang sangat

pedas terhadap perkembangan isu dan praktek kesetaraan perempuan, khususnya

di negara-negara maju. Upaya pengembangan wacana dan gerakan perempuan ini

mulai digalakkan oleh lembaga donor program Women in Development (WID)

dengan mengajak peran serta perempuan didalam upaya pembangunan bangsa,

dimana istilah “pembangunan” menjadi sebuah jargon sosial-ekonomi, dan

bahkan politik.17

14

Ibid, hal. 123-124. 15

Amelia Fauzia, dkk, Tentang Perempuan Islam; Wacana dan Gerakan, (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 79. Untuk selanjutnya akan ditulis wacana dan gerakan.

16

Ibid, hal. 83. 17

(29)

Kemudian pada tahun 1995 di Beijing, konferensi serupa mulai

membicarakan isu perempuan dengan lebih tajam lagi pada saat inilah berbagai

upaya yang bisa mengisi kekosongan, menjembatani dan mensosialisasikan

gagasan kesetaraan perempuan mendapatkan dukungan. Di Indonesia, gagasan

dari Beijing ini terus mulai digulirkan. Kearifan lokal yang menjadi suatu kata

kuncinya lalu dikaitkan dengan permasalahan perempuan di Indonesia.

Permasalahan perempuan lalu dikaji, siapa yang tertindas dan siapa yang

menindas dan bagaimana pencarian jalan keluarnya.

Dengan demikian, tumbuhnya pemikiran Islam yang berpihak pada

perempuan, atau biasa juga disebut pemikiran Islam feminis, pada saat yang sama

tidak bisa difahami terpisah dari lembaga donor internasional.18

Sejauh menyangkut perkembangan pemikiran Islam dan jender di

Indonesia kontemporer, jurnal Ulumul Qur’an (UQ) jurnal untuk diseminasi

pemikiran Islam modern memiliki posisi sangat penting. Pada tahun 1989, UQ

memuat satu tulisan tentang Islam dan masalah kesetaraan jender, berupa

terjemahan dari karya Jane I. Smith dan Yvonne Haddad, “Hawwa: Citra

Perempuan Dalam Al-Qur’an.” Dalam artikel ini, kedua penulis perempuan

berusaha menggugah kesadaran masyarakat Muslim tentang posisi subordinatif

perempuan, yang selama ini dianggap memperoleh legitimasi ajaran Islam. Oleh

karena itu, artikel tersebut menunjukan bahwa pembenaran atas praktik-praktik

“anti kesetaraan jender” merupakan konstruksi budaya muslim yang bersifat

patriarkis, yang sangat memperoleh pendasarannya dalam al-Qur’an.

18

(30)

Setahun kemudian, dalam edisi tahun 1990, UQ kembali memuat artikel

dengan corak pembahasan serupa. Artikel tersebut berupa terjemahan dari karya

Riffat Hassan, seorang feminis Muslim terkemuka asal Pakistan, “Teologi

Perempuan dalam Tradisi Islam”. Sebagaimana halnya artikel pertama yang

disebut diatas, karya Riffat Hassan juga berusaha membongkar pemikiran

keagamaan Muslim, yang bukan hanya tidak berpihak pada perempuan, tapi lebih

dari itu telah memberi sumbangan penting bagi lahirnya praktik-praktik sosial

keagamaan yang menempatkan perempuan berada dibawah dominasi kaum

laki-laki. Dan corak penafsiran demikian itulah yang telah diterima oleh kalangan

Muslim, dan mewarnai secara dominan perkembangan pemikiran dan gerakan

Islam.19

Jurnal UQ, khususnya dalam tulisan-tulian tentang jender telah menjadi

sumber inspirasi bagi gerakan dan pemikiran Islam tentang perempuan di

Indonesia. Dalam memperkuat politik jendernya, Orde Baru mengelompokkan

organisasi perempuan untuk membantu pemerintah dan menyebarluaskan

ideologi jender, diantaranya: Dharma Wanita untuk isteri PNS; Dharma Pertiwi

untuk para isteri yang suaminya bekerja di militer dan kepolisian; Pembinaan

Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk perempuan yang tidak masuk dalam

kelompok pertama dan kedua, khususnya untuk yang di pedesaan. Melalui ketiga

organisasi ini rezim orba mengontrol perempuan Indonesia.

Pada era 1990-an, perspektif feminisme berkembang sangat pesat

dikalangan aktivis perempuan yang berbasis LSM. Jika pada masa sebelumnya

19

(31)

gerakan perempuan masih berada pada koridor emansipasi, pada dekade 1990-an

mulai berada dalam kerangka ideologi feminisme yamg menekankan kesetaraan

jender.20

Pada masa Reformasi atau pada era 2000-an, terjadi perubahan

fundamental, yaitu dari wacana ke gerakan, dari gerakan sosial kegerakan politik,

dari jalan ke parlemen. Koalisi dan aliansi gerakan perempuan berkembang

dimana-mana dengan agenda bersama. Gerakan perempuan menjadi bagian tidak

terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi.21

Hingga perkembangan selanjutnya dari masa Megawati Soekarno Putri

sampai pada masa pemerintahan SBY-JK, tak melemahkan gerakan Jender di

Indonesia. Selain kabinet Indonesia Bersatu ini memenuhi janjinya dengan

mengangkat 4 kader perempuan untuk menduduki posisi menteri, juga selalu

mendorong kebijakan di berbagai bidang yang responsif jender serta memberi

ruang kreatif terhadap inisiatif Civil Sociey untuk selalu berkarya demi

pemberdayaan perempuan.22

B. Islam dan Wacana Gerakan Kesetaraan Jender

Pembahasan tentang gerakan kesetaraan jender bukanlah barang baru

dalam pemikiran Islam, karena hampir setiap pemikir Islam di masa lalu selalu

memiliki bahasan eksklusif tentang perempuan. Tetapi anehnya wacana

keperempuanan atau yang kini dikenal dengan wacana feminisme menjadi

20

Dr. Umi Sumbulah, M.Ag, Spektrum Gender, Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 51-52. Untuk selanjutnya akan ditulis spektrum jender.

21

Umi, Spektrum Gender, hal. 52. 22

(32)

kontroversial. Kesadaran akan ketertindasan perempuanlah yang menjadikan

feminisme memiliki karakter “memihak” dan tidak jarang “menggugat”. Bahkan

tidak menutup kemungkinan bahwa keberpihakan feminisme terhadap nasib kaum

perempuan ini “diterjemahkan” sebagai ancaman bagi laki-laki.

Dewasa ini sudah sudah banyak feminis-feminis muslim di dunia Islam,

Seperti: Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, Amina Wadud Muhsin,

dan sebagainya. Sedangkan dalam kancah keindonesiaan diantaranya: Wardah

Hafidz, Lies Marcoes Natsir, Siti Ruhaini, Nurul Agustina.23

Kecendrungan menarik terjadi di Indonesia dimana wacana agama dan

perempuan ramai dibicarakan. Tidak saja dikembangkan oleh kaum perempuan

tetapi juga oleh kaum laki-laki termasuk kalangan rohaniawan, tetapi istilah

teologi feminis tidak secara eksplisit digunakan. Mereka lebih cenderung

menggunakan istilah persepektif perempuan dalam agama atau menggunakan

analisis jender dalam agama ketimbang teologi feminis. Bukan berarti istilah

jender tidak mendapat respon yang keras dari kalangan umat beragama di

Indonesia tetapi reaksi terhadap feminisme nampaknya lebih keras dibandingkan

dengan istilah jender.24

Aktivitas gerakan perempuan memberikan banyak manfaat yang banyak di

petiknya melalui keterlibatan dalam aktivitas pergerakan perempuan Islam.

Beberap manfaat itu seperti berikut di bawah ini:

1. Menyadarkan perempuan akan nilai dan kedudukannya ditengah

masyarakat.

23

Dra. Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis, hal. 34. 24

(33)

2. Perempuan tidak akan dapat memperoleh wawasan yang cukup memadai

dan terpilih secara ideal kecuali melalui pergerakan.

3. Aktivitas ditengah jamaah akan menggerakan kaum perempuan yang biasa

malas, pasif dan bergantung pada orang lain dalam mewujudkan

tujuan-tujuan umum.

4. Membersihkan kabut kebusukan yang menutupi pemikiran akibat

kemandekan berfikir karena sikap individualis, egois materialis, apatisme

sosial, politik dan agama.

5. Aktivitas dalam pergerakan dapat menghindarkan kejenuhan pada

perempuan.

6. Pada umumnya perempuan tidak melakukan shalat jamaah di Mesjid,

bahkan beberapa hari dalam setiap bulan tidak melakukan shalat, hal itu

dapat melemahkan rohani dalam dirinya.

7. Aktivitas dalam jamaah perempuan akan mendidik perempuan untuk suka

bekerja sama dalan hal-hal yang bermanfaat.

8. Aktivitas perempuan didalam pergerakan akan menjauhkannya dari hal-hal

yang kurang berarti.

9. Gerakan perempuan Islam menumbuhkan keberanian dalam diri

perempuan untuk memerangi adat dan tradisi usang yang bertentangan

dengan tujuan pergerakan.

10.Ketika memasuki medan aktivitas pergerakan perempuan Islam, ia akan

berkenalan dengan saudara-saudaranya seiman yang terdidik dengan

(34)

11.Sejauhmana muslimah aktivitas belajar dan terdidik untuk bersikap malu

di jalan, pasar, dan di tempat-tempat umum, sejauh itu pula ia belajar

berani melawan kemungkaran dan kezaliman yang menimpanya atau

masyarakatnya.

12.Aktivitas haraki mengajarkan agar perempuan teratur dalam segala urusan

hidupnya.

13.Tanzhim haraki akan menyingkap kemampuan kreativitas berfikir,

intelektual.

14.Aktivitas pergerakan akan mempertajam sikap kemandirian dalam diri

perempuan dalam koridor umum Islam tanpa intervensi dari siapapun

kecuali dalam rangka penyampaian pandangan dan musyawarah.25

Tentang berbagai manfaat aktivitas pergerakan perempuan di atas, dapat di

simpulkan bahwa aktivitas pergerakan bagi perempuan merupakan suatu

keharusan demi terwujudnya sasaran-sasaran utama Islam, demi mencapai tujuan

berubahnya kepribadian perempuan, dan merupakan kemestian untuk

merealisasikan kehadiran perempuan dipentas masyarakat agar ia berpartisipasi

dalam proses reformasi total.

Untuk memahami posisi perempuan dalam Islam harus tetap mengacu

kapada sumber-sumber Islam yang utama, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Hanya

saja pemahaman terhadap dua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada

pemaknaan tekstual, melainkan memperhatikan juga segi kontekstualnya.26

25

Shalah Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, (Solo:

Intermedia, 2001), hal. 104-108. Untuk Selanjutnya akan ditulis membangun gerakan. 26

(35)

Prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam al-Qur’an antara lain

mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba. Tuhan dan

sebagai wakil tuhan di bumi, laki-laki dan perempuan di ciptakan dari unsur yang

sama, lalu keduanya terlibat dalam drama kosmis, ketika Adam dan Hawa

sama-sama bersalah yang menyebabkannya jatuh ke bumi. Dan sama-sama-sama-sama berpotensi

untuk mencapai ridha Tuhan, di dunia dan di akhirat.

Meskipun ditemukan sejumlah ayat yang kelihatannya lebih memihak

kepada laki-laki, seperti dalam soal kewarisan, persaksian, poligami, dan

hak-haknya sebagai suami atau sebagai ayah, ayat-ayat yang berbicara tentang hal

tersebut semuanya turun untuk menanggapi suatu sebab khusus, meskipun

redaksinya menggunakan lafadz umum. Jumhur ulama dan kebanyakan mufasir

berpegang kepada konsep lafadz umum, yakni menerapkan petunjuk ayat

bedasarkan bunyi lafadz. Adapun segolongan kecil ulama berpegang kepada

konsep sebab khusus, yakni mempertimbangkan kualitas peristiwa, pelaku, dan

kondisi khusus yang menyebabkan ayat itu turun. Akibat penerapan metodologi

yang berbeda maka pendapat jumhur ulama terhadap ayat-ayat jender cenderung

lebih tekstual, sementara ulama minoritas cenderung lebih kontekstual.27

Dalam kenyataan sejarah, kondisi obyektif sosial-budaya tempat kitab suci

tersebut diturunkan menjadi referensi penting di dalam memahami teks-teks

tersebut. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih, maka nuansa budaya yang

melingkupi kitab suci itu perlu diidentifikasi nilai-nilai universal dan tujuan

umum yang terkandung di dalam kitab suci itu.

27

(36)

Jika dibaca dan direnungkan, ternyata banyak ajaran al-Qur’an yang secara

langsung ataupun tidak langsung, menuju kepada terwujudnya akan kesetaraan

jender. Pesan-pesan kesetaraan tersebut mencakup berbagai jenis peran dan

kegiatan, baik yang berkaitan dengan eksistensi maupun prestasi dan kualitasnya

dihadapan tuhan, juga di dalam masyarakatnya.

Agak berbeda dengan al-Qur’an, yang nampak dalam hadits selama ini,

posisi perempuan terpinggirkan, sekalipun ada juga ditemui hadits-hadits yang

memandang respek terhadap perempuan. Banyak sekali teks hadits yang

memojokkan perempuan, seperti: penghuni neraka kebanyakan perempuan,

perempuan kurang akalnya, perempuan kurang agamanya, setiap bepergian wajib

izin suaminya, jika menolak ajakan suami di tempat tidur akan dilaknat sampai

pagi.

Dalam fiqh, asumsi dan opini terhadap perempuan nampaknya

mendominasi, sehingga rumusan fiqh seringkali memposisikan perempuan dalam

the second class. Ironisnya, fiqh yang sebenarnya merupakan hasil pemahaman para ulama, yang melibatkan penalaran, dipengaruhi oleh subjektivitas

mujtahidnya, sarat dengan pertimbangan kultural, dan bertujuan untuk

kemaslahatan umat tersebut, seringkali diyakini sebagai agama itu sendiri.

Sehingga ia dianggap sebagai barang paten, dan tidak boleh dirubah sesuai dengan

tuntutan zaman. Keyakinan semacam ini yang harus direvisi atau bahkan

dibongkar.28 Sehingga, rumusan-rumusan fiqh, baik yang secara langsung

mengacu pada bunyi teks al-Qur’an dan hadits maupun hasil istinbat para

28

(37)

mujtahid, pada dasarnya sama-sama dapat dikaji ulang, dan mungkin

menumbuhkan rumusan baru.

C. Jender, Ulama dan KH. Husein Muhammad

Apa yang dimiliki dalam kesadaran intelektual mereka adalah bahwa

perbedaan-perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan merupakan kodrat

yang tidak bisa dirubah. Pandangan mereka tersebut mengacu pada teks-teks kitab

klasik, baik mengenai tafsir maupun fiqh. Hampir semua kitab ini menyebutkan

bahwa akal dan fisik laki-laki lebih cerdas dan lebih kuat dari pada akal dan fisik

perempuan.

Sedangkan istilah Jender sendiri di kalangan ulama merupakan kata yang

masih sangat asing. Kesan pertama yang mereka tangkap adalah bahwa ia

merupakan bahasa Inggris atau bahasa orang Barat. Ada upaya dari para aktivis

perempuan untuk mencari padanan istilah ini dalam bahasa Arab dengan harapan

akan lebih simpatik diterima para ulama, namun tetap saja tidak ditemukan.

Sepanjang pengalaman Kyai Husein mensosialisasikan isu-isu Islam dan jender di

hadapan para ulama, respon pertama yang diperlihatkan mereka adalah

kecurigaan-kecurigaan. Kecurigaan pada upaya isteri untuk melawan suami dan

sebagainya.29

Atas dasar inilah teks-teks klasik menyimpulkan, Tuhan memposisikan

laki-laki sebagai makhluk superior dan pemilik otoritas atas perempuan baik

dalam wilayah rumah tangga maupun sosial-politik (publik). Gagasan untuk

29

(38)

memperjuangkan kesetaraan jender ini pun mengalami perdebatan. Perdebatan ini,

disamping muncul dalam seminar dan diskusi, juga nampak sengit dalam

musyawarah nasional yang di selenggarakan oleh organisasi para ulama NU tahun

November 1998, di Lombok. Pandangan yang sama juga terungkap dalam

Konferensi Umat Islam Indonesia tahun 1999 ketika menolak presiden

perempuan.30

Terkait dengan perdebatan beberapa tokoh masyarakat tentang presiden

perempuan, yang pernah dibahas dalam Kongres Umat Islam II Tahun 2004 di

Jakarta, mendapat perhatian begitu besar dari berbagai kalangan. Munculnya

wacana tersebut tidak lepas kepentingan suatu golongan yang mendompleng

melalui gerakan sekularisme, karena gerakan ini dianggap berusaha memisahkan

urusan agama dalam politik, sehingga penerapan politik tidak terikat dalam aturan

agama.

Menurut Luthfi Bashori, salah seorang pengurus MUI Malang dan

Pengasuh Ribath Al-Murthadla Al-Islam. Pembahasan boleh tidaknya seorang

wanita menjadi presiden tentunya harus ditinjau dai segi hukum Islam, baik secara

global maupun terperinci. Dari segi ilmiah, bisa dirujuk dari pendapat ulama

Ahlussunnah wal Jam’ah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam karangan kitab ulama salaf, umumnya tidak memperbolehkan wanita menjadi

presiden. Adapun yang memperbolehkannya, kebanyakan ditulis oleh ulama

kontemporer seperti Muhammad al-Gazhali. Dan itupun sudah banyak disanggah

oleh para ulama yang berpegang pada ulama salaf. Jadi jelas gerakan ini menolak

30

(39)

formalisasi agama dalam hukum, sehingga gerakan ini bertentangan dengan

hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.31

Bahkan secara tegas diungkapkan oleh kalangan fundamentalis, bahwa

salah satu proyek liberalisasi Islam adalah menyebarluaskan paham kesetaraan

gender di kalangan muslim dan proyek ini didanai oleh negara-negara barat.

Menurut Adian Husaini, seorang tokoh KISDI (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah

Indonesia) yang mengkritisi isu-isu kesetaraan jender, Mengatakan bahwa salah

satu program politik luar negri AS di Indonesia adalah memberikan pendaaan

kepada berbagai organisasi muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan

jender dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai diantara para pemimpin

perempuan dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesentren

melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Dengan

demikian, proyek ini tidak jauh berbeda dengan kaum misionaris yang

membagi-bagikan makanan kepada kaum muslim.32

Lebih lanjut, Adian memaparkan adanya ungkapan rezim laki-laki

menindas kaum wanita adalah fantasi berlebihan kaum jender yang terasuki

perasaan kebencian. Jika ada sejumlah kasus, dimana laki-laki menindas wanita,

itu dilakukan karena kebejatan akhlaknya.

Kini atas nama paham kesetaraan jender, wanita muslimah diprovokasi bahwa wanita tidak harus menyusui, sebab itu bukan kodrati; wanita diminta menuntut hak talak, menuntut persamaan status dalam rumah tangga, dengan menolak kepemimpinan suami; wanita diajak memberontak kepada laki-laki. Atas nama jender pula, wanita menolak kewajibannya untuk mengurus rumah tangga, sebab laki-laki punya

31

Luthfi Bashori, Presiden Wanita dalam Wacana Hukum Islam, Makalah seminar dalam mengahadapi pemilu 2004, http://www.pejuangislam.com/, 27 April 2009.

32

Adian Husaini, Merombak Kurikulum Demi Kesetaraan Gender,

(40)

kewajiban sama... Pada akhirnya, paham kesetaraan jender yang kini disebarkan secara masif oleh agen-agen feminis di lingkungan Perguruan Tinggi tampak lebih merupakan bentuk cultural shock (gegar budaya) orang-orang kampung yang silau dengan peradaban Barat. Mereka tidak berpikir panjang akan akibatnya bagi keluarga dan masyarakat Muslim. Pada buku-buku mereka, terlihat jelas, mereka begitu rakus menelan konsep-konsep pemikir Barat tanpa sikap kritis. Lebih ironis, jika paham ini disebarkan hanya untuk menjalankan proyek-proyek Barat untuk merusak masyarakat Muslim, melalui kaum wanitanya.33

Problem ini sebenarnya dipicu oleh ketidaksiapan kalangan feminis

sekuler ketika mereka pertamakali menggagas isu jender di Indonesia. Pada tahun

80-an ketika isu jender diangkat, mereka secara pukul rata menyalahkan agama

sebagai salah satu penyebab ketertindasan perempuan. Perubahan mulai terlihat

ketika kalangan feminis muslim yang dipelopori oleh Wardah Hafiz mengundang

nara sumber dari luar seperti Rifat Hassan (tahun 90) dan Ashgar Ali Engineer

(1992).34

Berbagai upaya tersebut, khusunya di kalangan masyarakat berbasis

pesantren ini bukannya tanpa hambatan. Hambatan ini tidak lain adalah mapannya

stereotip-stereotip negatif tentang perempuan. Apalagi stereotip itu didukung

teks-teks klasik yang bersumber dari Kitab Kuning. Walau beragam stereotip itu

selama puluhan tahun telah lebih dulu mengakar dalam pemahaman masyarakat

dan komunitas pesantren akibat penafsiran yang bias gender dan patriarki, namun

telah mulai bisa “diadvokasi” oleh komunitas pesantren sendiri. Hal ini bisa

dilihat dari mulai munculnya pesantren penggerak pemberdayaan masyarakat

untuk hak-hak perempuan. Seperti, PP. Al-Hamidiyah, Depok-Jabar; PP.

An-Nizhomiyyah, Pandeglang-Banten; PP. Aqidah Usymuni, Sumenep-Madura; PP.

33

Ibid. 34

(41)

Nurul Huda, Garut- Jabar; PP. Al-Ittihad, Rawabango-Cianjur-Jabar; atau PP.

Nurul Islam, Jember-Jatim; dan sebagainya. Pesantren-pesantren ini telah

melakukan upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang nilai-nilai kesetaraan

antara lelaki dan perempuan.35

Upaya yang terus menerus untuk mensosialisasikan gagasan kesetaraan

jender oleh para aktivis LSM perempuan Islam berbasis pesantren pada akhirnya

menuai hasil yang memberikan harapan baru yang lebih optimistik. Terlihat dari

semakin banyaknya ulama, terutama ulama muda dari pondok pesantren yang

kemudian memahami dengan baik wacana ini pada satu sisi, dan terlibat secara

aktif mengembangkan wacana-wacana tersebut pada sisi yang lain. Hal ini tidak

terlepas dari peran sejumlah ulama Indonesia yang concern pada upaya

pemberdayaan berbasis pesantren, seperti Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman

Wahid; KH. Husein Muhammad; Badriyah Fayumi; Faqihuddin Abdul Kodir; dan

lainnya. Tampak dari sini, pengorganisasian berbasis komunitas pesantren ini,

juga bukan hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. Keberhasilan ini dalam

banyak pengalaman lebih disebabkan oleh paling tidak tiga hal:

Pertama, karena penyampaian fakta-fakta dan realitas sosial yang tidak mungkin dibantah yang berkaitan dengan ketidakadilan yang ada di dalam komunitas Muslim. Kedua, karena kemampuan aktivis menganalisa secara kritis wacana-wacana agama menyangkut isu-isu jender yang terdapat dalam literatur acuan para ulama malalui pendekatan budaya mereka; klasik vs klasik. Ketiga, karena berkembangnya kesadaran baru dalam masyarakat muslim akan keharusan penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang juga menjadi pesan utama agama.36

35

Hafidzoh Almawaliy, Pengorganisasian Umat; Upaya Sadar Membela Hak-Hak Perempuan, Swara Rahima, No. 29 Th. IX, Desember 2009, hal. 9-10.

36

(42)

Di sini Kyai Husein terlibat dalam gerakan kesetaraan jender dengan

mengusung isu utama yaitu gagasan Islam dan jender beliau juga disebut sebagai

pewaris semangat intelektualisme dan aktivisme ulama-ulama salaf. Beliau tampil

dengan berbagai pemikirannya yang kritis dan tajam untuk mengais,

mengumpulkan dan mempropagandakan kebenaran-kebenaran yang

‘termarjinalkan’ itu atau juga kebenaran-kebenaran yang sengaja ‘dimarjinalkan’

oleh kelompok-kelompok atau kepentingan-kepentingan tertentu yang sesaat dan

bahkan menyesatkan.

Misalnya, penolakan secara tegas yang dilakukannya terhadap pemahaman

inferior dan subordinasi perempuan, ia kemudian tampil dengan

mempropagandakan secara konsisten tentang kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan; tindakan kekerasan atas nama agama oleh kelompok-kelompok

tertentu dalam beragam bentuknya; dan penindasan/eksploitasi manusia atas

manusia yang lain. Disini Kyai Husein tampil dengan wacana humanisme

Islamnya.37

Kyai Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminisme Islam,

bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki atau laki-laki yang melakukan

pembelaan terhadap perempuan. Kesadaran Kyai Husein akan penindasan

perempuan muncul ketika beliau pada tahun 1993 diundang dalam seminar

tentang perempuan dalam pandangan agama-agama. Sejak itu Kyai Husein

mengetahui ada masalah besar yang dihadapi dan dialami perempuan. Dalam

kurun waktu yang panjang, kaum perempuan mengalami penindasan dan

37

(43)

eksploitasi. Dari situ Kyai Husein diperkenalkan dengan gerakan feminisme, yang

berusaha dan memperjuangkan martabat manusia dan kesetaraan sosial (jender).

Kyai Husein merasa disadarkan akan adanya peran para ahli agama (agamawan),

bukan saja Islam tapi dari seluruh agama, yang turut memperkuat posisi

subordinasi perempuan dari laki-laki.38

Dengan mengusung gagasan feminisme Islamnya, Kyai Husein melakukan

pembelaan terhadap perempuan, menurut beliau pembelaan terhadap perempuan

dapat membawa dampak sangat strategis bagi pembangunan manusia.

Sebagaimana yang diungkapkannya:

Banyak orang beranggapan bahwa masalah penindasan terhadap perempuan adalah masalah yang tidak besar, padahal masalah yang dialami dan dihadapi perempuan adalah masalah besar, karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis manusia, dan ketika perempuan dijadikan nomor dua maka ini sebenarnya adalah masalah besar bagi kemanusiaan.39

Perbedaan KH. Husein Muhammad dengan feminis lain adalah dalam hal

wilayah yang digarap. Wilayah perjuangan Kyai Husein adalah wilayah agama,

khususnya pesantren; yaitu budaya yang melegitimasi agama sebagai bagian dari

kehidupan sosialnya, hampir semua prilaku yang dilakukan merujuk pada agama.

Wilayah inilah yang sangat dominan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 40

Untuk itu pada bab dua ini penulis menyimpulkan bahwa Perjuangan Kyai

Husein dalam gerakan kesetaraan jender meskipun mendapat tantangan, namun

beliau tidak mudah untuk menyerah, melalui pemikiran-pemikiran cerdasnya

38

KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. xxiv. 39

Ibid, hal. xxi. 40

(44)

akhirnya tidak sedikit ulama yang sepakat dengan beliau dan ikut serta dalam

(45)

Pada bab ini akan dipaparkan tentang riwayat hidup Kyai Husein dan

berbagai pengalaman organisasi yang digelutinya, juga berbagai karya-karya Kyai

Husein yang begitu banyak dan concern dalam isu-isu jender khususnya di

Indonesia.

A. Riwayat Hidup

KH. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, pada tanggal 9 Mei 1953 dari

pasangan KH. Muhammad Asyrofuddin (alm) dan Nyai Hj. Ummu Salma

Syathori (almh). Ayahanda Kyai Husein merupakan seorang ulama kharismatik

dari kota udang tersebut. Diambil menantu oleh KH. Syahtori ketika beliau

nyantri dipondok tersebut. Selain mengajar mengaji dan menjadi guru agama di pesantren itu, ayahanda Kyai Husein juga seorang penyair dan pandai menulis

puisi. Dari hasil pernikahannya dengan Hj. Nihayah Fuadi Amin ini telah

dikaruniai 5 orang anak: Hilya Auliya (lahir 1991), Layali Hilwa (lahir 1992),

Muhammad Fayyaz Mumtaz (lahir 1994), Najla Hammaddah (lahir 2002) dan

Fazla Muhammad (lahir 2003).1

Karier pendidikannya dimulai dari lingkungan keluarga yang sangat

religius, kemudian menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri

Jawa Timur, tahun 1873. Selain itu, ia melanjutkan study ke Perguruan Tinggi

1

KH. Husein, dkk, Modul Kursus Islam dan Gender; Dawrah Fiqh Perempuan, (Cirebon: Fahmina Institute, 2007), hal. 325. Untuk selanjutnya akan ditulis dawrah fiqh perempuan.

(46)

Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, tamat tahun 1980. Lalu meneruskan Dirasah

Khasshah di al-Azhar Kairo, Mesir hingga Tahun 1983. Sepulang dari Mesir, ia memimpin Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat

hingga sekarang. Kyai ‘nyentrik’ dan ‘idola anak muda’ ini cukup produktif

dalam hal tulis menulis.2

Nasab Kyai diperoleh dari Ibunya yang merupakan putri pendiri Pesantren

Dar al-Tauhid yaitu KH. A. Syathori. Sedangkan ayahnya hanyalah orang biasa

yang diambil menantu oleh Kyai di pesantren tersebut. Akan tetapi, walaupun

orang biasa, Kyai Muhammad juga merupakan keturunan keluarga yang biasa

mengenyam pendidikan pesantren, sehingga secara kultural Kyai Husein lahir dan

tumbuh dari keluarga pesantren.3

Saudara Kyai Husein berjumlah delapan orang, yaitu:

1. Hasan Thuba Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlah at-

Thalibin, Bojonegoro, Jawa Timur

2. Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid, Cirebon

3. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid,

Cirebon

4. Ubaidah Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah

5. Mahsum Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid, Cirebon

6. Azza Nur Laila, Pengasuh Pondok Pesantren HMQ Lirboyo, Kediri

7. Salman Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras,

Jombang, Jawa Timur

2

KH. Husein, Spiritualitas Kemanusiaan; Perspektif Islam Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hal 315. Untuk selanjutnya akan ditulis spiritualitas kemanusiaan.

3

(47)

8. Faiqoh, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur

Semua saudara KH Kyai Husein yang menjadi pengasuh di banyak

pesantren menunjukkan bahwa mereka merupakan keturunan keluarga yang

peduli terhadap pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari figur kakek mereka KH. A..

Syathori yang giat memperjuangkan pendidikan dengan menggunakan sistem

pendidikan Madrasah, padahal pada waktu itu sistem pendidikan Madrasah belum

banyak digunakan oleh pesantren.4

Kyai Husein mengenyam pendidikan baik pendidikan agama, yang

merupakan kultur keluarganya dan juga pendidikan umum. Pendidikan agama

mula-mula diperoleh dari kakeknya dan juga Madrasah Diniyah (agama).

Disamping itu Kyai Husein juga bersekolah di Sekolah Dasar, selesai tahun 1966,

kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1

Arjawinangun, selesai tahun 1969. Ketika menjalani pendidikan di SMP, banyak

hal dilakukan oleh Husein kecil, dia aktif dalam organisasi sekolah bersama

rekan-rekannya dan juga menghafal al-Qur’an sampai memperoleh tiga juz. Hal

ini menunjukkan bahwa Kyai Husein merupakan sosok orang yang haus akan

pengetahuan dan pengalaman sejak masih belia. Ketika anak seusianya lebih

senang bermain, Kyai Husein justru giat belajar dan menambah pengetahuan.

Setelah lulus dari SMP, Buya Husein –Sapaan akrab beliau dikalangan

anggota Fahmina Institue –, merantau ke Jawa Timur, belajar di Pesantren

Lirboyo Kediri. Sebuah Pesantren besar di Jawa Timur yang terkenal melahirkan

banyak Kyai, banyak hal yang dilakukan beliau mondok. Ketika santri lain keluar

4

(48)

untuk mencari hiburan di kota pada waktu-waktu tertentu, hal itu justru

dimanfaatkan oleh beliau untuk mencari surat kabar untuk dibaca, ”Biasanya

santri Lirboyo sepengetahuannya keluar atau jalan-jalan pada hari Kamis sore

sampai Jum’at sore”, bahkan beliau sempat mengirimkan tulisannya kepada koran

setempat.5

Setelah tamat dari Lirboyo tahun 1973, Husein muda melanjutkan

pengembaraannya dalam mencari ilmu di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an

(PTIQ) Jakarta, sebuah perguruan tinggi yang mengkhususkan kajian tentang

al-Qur’an dan mewajibkan mahasiswanya hafal al-al-Qur’an ketika belajar di PTIQ,

Kyai Husein melanjutkan hafalan al-Qur’annya hingga selesai.

Selama kuliah di PTIQ, darah aktivisnya tidak terbendung. Kyai Husein

bersama teman-temannya mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

(PMII) Rayon Kebayoran Lama. Bahkan pada tahun 1979 beliau menjadi Ketua

Umum Dewan PTIQ. Selain itu dengan berbekal pengetahuan jurnalistik yang dia

peroleh dari pendidikan jurnalistik bersama Mustofa Hilmy, seorang yang pernah

menjadi redaktur Tempo, Kyai Husein juga aktif menulis dan mempelopori

majalah dinding kampus. Dari jiwa menulis inilah yang mengantarkan beliau

dalam kancah internasional dan diakui sebagai tokoh feminis muslim sekaligus

dikenal dengan ”kyai gender”.

Semua aktivitas semasa kuliah menunjukkan bahwa Kyai Husein

merupakan orang yang tidak mau membuang waktunya dengan sia-sia. Beliau

selalu ingin mengisi waktunya dengan mengkaji berbagai pengetahuan. Kyai

5

(49)

Husein memperoleh gelar sarjana tahun 1980, pada tahun yang sama beliau

berangkat ke Kairo, Mesir atas saran gurunya Prof. Ibrahim Husein untuk

mempelajari Ilmu Tafsir al-Qur’an. Selama di Kairo, beliau benar-benar

memanfaatkan waktunya dengan baik. Di al-Azhar inilah beliau mulai berkenalan

dengan buku-buku yang dikarang oleh pemikir besar seperti Qasim Amin, Ahmad

Amin maupun buku filsafat dari Barat yang ditulis dalam Bahasa Arab seperti

Nietzsche, Sartre, Albert Camus, dan lain-lain.6

Pendidikan di al-Azhar sampai tahun 1983, dan pada tahun itu pula beliau

kembali ke tanah air untuk melanjutkan perjuangan kakeknya mengembangkan

Pesantren Dar at Tauhid walaupun ada tawaran menjadi dosen di PTIQ.

Dapat dikatakan, sejak muda Kyai Husein memang seorang yang akrab

dengan dunia pengetahuan, mulai dari beliau belajar al-Qur’an bahkan

menghafalnya sejak usia dini, belajar di Pesantren yang merupakan kultur

keluarganya, sampai ketika beliau belajar Ilmu Tafsir di Kairo.7

B. Pengalaman Organisasi

Begitu banyak pengalaman organisasi yang digeluti oleh Kyai Husein

diantaranya sebagai pendiri, pengasuh, ketua, kepala madrasah aliyah, wakil

ketua, penanggung jawab, dewan redaksi, konsultan, dan tim pakar. Untuk lebih

jelasnya antara lain:

1. Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon.

6

Nuruzzaman, Kiai Husein Membela, hal. 6. 7

(50)

2. Ketua Badan Koordinasi TKA-TPA Wilayah III Cirebon,

(1992-Sekarang).

3. Ketua KOPONTREN Darut al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon

(1994-Sekarang).

4. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Arjawinangun,

Cirebon (1996-sekarang).

5. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara Arjawinangun, Cirebon

(1998-Sekarang).

6. Ketua Umum DKM Masjid Jami’ Fadhlullah Arjawinangun, Cirebon

(1998).

7. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon (1999).

8. Pendiri/Wakil Ketua Puan Amal Hayati Jakarta, (1999-Sekarang).

9. Ketua Umum Yayasan Wali Sanga, (1996-Sekarang).

10.Pendiri dan Ketua Dewan Kebijakan Fahmina Institute, Cirebon.

(1999-Sekarang)

11.Pendiri dan Pengurus Yayasan Rahima Jakarta, (2000-Sekarang).

12.Pendiri Puan Amal Hayati Cirebon (Women Crisis Center/WCC Balqis),

(2001-Sekarang)

13.Anggota Pengurus Associate The Wahid Institute Jakarta

(2004-Sekarang).

14.Pemimpin Umum atau Penanggung Jawab Majalah Dwi Bulanan Swara

Referensi

Dokumen terkait