• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh

suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase

atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah

tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan

adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul

atau kerapatan muatan ion (Anonim, 1995).

Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan

berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat

cair, dan fase diam, dapat berupa cair atau padat (Johnson dan Stevenson, 1991).

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut dengan

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik

pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis bahan obat, baik dalam bulk atau dalam sediaan farmasetik, serta obat dalam cairan biologis (Rohman, 2009).

Selama prosesnya, KCKT menggunakan tekanan tinggi untuk mendorong eluen

melewati kolom dengan ukuran partikel mikron, dan memberikan pemisahan yang

baik pada analit dengan jumlah pikogram sampai mikrogram (Christian, 2004).

1. Manfaat, Keuntungan, dan Keterbatasan KCKT

Secara umum, kegunaan KCKT adalah untuk: pemisahan sejumlah

senyawa organik, anorganik, dan senyawa biologis; analisis ketidakmurnian

(impurities); analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatil); penentuan molekul-molekul netral, ionik, dan zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan

senyawa-senyawa dalam jumlah sedikit (trace elements), dalam jumlah banyak, dan dalam skala industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan

dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Sistem KCKT memiliki beberapa keuntungan antara lain: waktu analisis

yang singkat, penentuan analit dapat dilakukan pada jumlah mikro, hasil

pemisahan tinggi dan kondisi yang cukup (Roth dan Blaschke, 1985). Selain

kelebihan tersebut, KCKT juga memiliki keterbatasan yaitu jika analit yang akan

dianalisis sangat kompleks maka resolusi yang baik sulit diperoleh (Gandjar dan

2. Instrumentasi KCKT

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas beberapa komponen

yaitu: wadah fase gerak; sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan

sampel; kolom; detektor; wadah penampung buangan fase gerak; tabung

penghubung; dan suatu komputer, integrator atau perekam (Gandjar dan Rohman,

2007). Secara umum, instrumentasi KCKT dapat dilihat pada gambar 4 berikut.

Gambar 4. Instrumentasi KCKT (Kazakevich and Nair, 1996) 3. Kromatografi Partisi Fase Terbalik

Konsep pada kromatografi partisi yaitu perlakuan sampel dalam kondisi

cair-cair tergantung pada kelarutannya di dalam kedua cairan yang terlibat. Jika

solut ditambahkan ke dalam kondisi yang terdiri atas dua pelarut yang tidak saling

bercampur dan keseluruhan kondisi dibiarkan seimbang, solut akan tersebar

diantara kedua fase menurut persamaan berikut:

K =

K adalah koefisien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase

diam dan Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Skooget al.,1998). Kromatografi partisi dapat dibagi menjadi 2 yaitu kromatografi cair-cair

dan kromatografibonded-phase.Pada kromatografi cair-cair, fase diamnya berupa cairan yang tertahan pada penyangga. Pada kromatografi bonded-phase, fase

diamnya berikatan secara kimia pada suatu permukaan penyangga misalnya saja

pada silika (Skooget al.,1998).

Sistem kromatografi dapat dibagi menjadi 2 yaitu fase normal dan fase

terbalik. Pada kromatografi fase normal digunakan fase diam polar dan pelarut

yang kurang polar. Kekuatan eluen ditingkatkan dengan menambahkan pelarut

yang lebih polar. Sementara pada kromatografi fase terbalik digunakan fase diam

bersifat nonpolar atau kurang polar dan pelarutnya lebih polar. Kekuatan eluen

ditingkatkan dengan menambahkan pelarut yang kurang polar (Harris, 1995).

Pada kromatografi fase terbalik biasanya digunakan fase diam C8 atau

C18. Adanya gugus SiOH bebas pada kolom C18 dapat menyebabkan peak mengalami tailing, terutama untuk senyawa yang bersifat basa. Hal ini dapat diatasi dengancappedmenggunakan klorotrimetilsilan yang ukurannya yang kecil dapat berikatan dengan gugus silanol (Skoog et al., 1998). Selain itu, dapat pula digunakan trietilamin (TEA) atau dimetiloktilamin (Snyderet al.,1997).

Pada analisis sampel, metode KCKT yang sering digunakan adalah

kromatografi fase terbalik. Pada kromatografi ini biasanya digunakan kolom

dengan kemasan fase terikat yang bersifat stabil karena fase diam terikat secara

kimia pada penyangga sehingga tidak mudah terbawa oleh fase gerak (Skoog et al., 1998). Pelarut yang biasa digunakan adalah air dan dapat ditambahkan pula metanol, etanol, asetontril dan tetrahidrofuran untuk mengatur kepolaran fase

gerak (Snyder et al., 1997). Kromatografi fase terbalik ini dapat memberikan pemisahan yang sangat baik dan dapat mengeliminasipeak tailing(Harris, 1995).

4. Fase gerak

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat

bercampur dan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Elusi dapat dilakukan

dengan isokratik (komposisi fase gerak tetap sama selama elusi) atau dengan cara

bergradien (komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi). Elusi bergradien

digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika

sampel mempunyai kisaran polaritas yang sama (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pelarut yang digunakan dalam KCKT harus standar KCKT dan disaring

dengan penyaring dengan ukuran pori 0,2 m. Pelarut yang digunakan harus

murni dan tidak mengandung gas untuk menghindari pembentukan gelembung

gas ketika melewati katup atau memasuki bejana piston. Suatu sistem degassing dibutuhkan untuk menghilangkan udara dalam larutan (Christian, 2004). Adanya

gas dalam fase gerak akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa

dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis (Rohman, 2009).

Syarat-syarat fase gerak untuk KCKT adalah: murni, tanpa cemaran;

tidak bereaksi dengan kemasan; sesuai dengan detektor; dapat melarutkan

cuplikan; mempunyai viskositas rendah; memungkinkan memperoleh kembali

cuplikan dengan mudah (jika diperlukan); dan harganya wajar (Johnson dan

Stevenson, 1991).

Pemilihan fase gerak yang digunakan terutama berdasarkan kepolaran

campuran pelarut yang semakin linier dengan pelarut murni. Tingkat kepolaran

pelarut menggambarkan kekuatan pelarut dalam mengelusi suatu senyawa.

Keterangan: P’= indeks polaritas

= fraksi volume pelarut (Gritteret al.,1991).

Untuk mengetahui nilai indeks polaritas dari fase gerak yang digunakan

maka dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel I. Nilai indeks polaritas pelarut (Snyderet al.,1997) Pelarut Indeks

Polaritas

Eluotropic values UV Cut off(nm) Alumina C18 Silika Heksan 0,1 0,01 - 0,00 195 Sikloheksan 0,2 0,04 - - 200 Toluen 2,4 0,29 - 0,22 284 Tetrahidrofuran 4,0 0,45 3,7 0,53 212 Etil asetat 4,4 0,58 - 0,48 256 Aseton 5,1 0,56 8,8 0,53 330 Metanol 5,1 0,95 1,0 0,70 205 Asetonitril 5,8 0,65 3,1 0,52 190 Air 10,2 - - - 190

Bila kita mempunyai campuran yang mengandung 80% metanol (P’ = 5,1) dan 20% air (P’= 10,2), maka kepolaran pelarut tersebut adalah:

P’=1P1’+2P2’

P’= (0,8 x 5,1) + (0,2 x 10,2) = 6,12

Tabel I menunjukkan bahwa semakin besareluotropic valuesdari pelarut maka semakin mudah pula dalam mengelusi sampel. Semakin besar indeks

polaritas yang dimiliki oleh pelarut maka semakin bersifat polar pelarut yang

5. Fase Diam

Kebanyakan fase diam yang digunakan pada KCKT berupa silika yang

dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi atau polimer-polimer

stiren dan divinil benzen. Permukaan silika bersifat polar dan sedikit asam karena

adanya residu silanol (Si-OH). Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan

menggunakan pereaksi seperti klorosilan. Hasil reaksi yang diperoleh disebut

dengan silika fase terikat yang stabil terhadap hidrolisis karena terbentuk

ikatan-ikatan siloksan (Si-O-O-Si). Silika yang dimodifikasi ini mempunyai karakteristik

kromatografik dan selektivitas yang berbeda jika dibandingkan dengan silika yang

tidak dimodifikasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

6. Waktu retensi (tR) dan resolusi

Waktu tambat atau waktu retensi (tR) merupakan selang waktu yang

diperlukan oleh analit mulai saat injeksi hingga keluar dari kolom dan sinyalnya

ditangkap oleh detektor (Mulja dan Suharman, 1995). Faktor resolusi adalah

ukuran pemisahan dari 2 puncak. Daya pisah (R) diukur dengan persamaan

berikut:

Rs = t − t (W + W )/2=

2∆t W + W

Nilai tR1 dan tR2 adalah waktu retensi senyawa, diukur pada titik

maksimum puncak dan t adalah selisih antara tR1 dan tR2. Nilai W2 dan W1

adalah lebar alas puncak. Pemisahan dua senyawa dapat dilihat pada gambar 5

Gambar 5. Pemisahan dua senyawa (Johnson dan Stevenson, 1991)

7. Kolom dan kinerjanya

Kolom biasanya dibuat dari stainless steel berbentuk pipa yang mempunyai lapisan dalam. Kolom yang biasa digunakan memiliki panjang 10-30

cm dengan diameter dalam 4,5-5 mm dan diameter luar ¼ inci (6,3 mm) (Moffat

and Moss, 1986).

Kolom KCKT harganya mahal dan mudah terdegradasi oleh adsorpsi

sampel dan pelarut yang tak murni yang bersifat ireversibel. Oleh karena itu, pada

bagian awal kolom dilindungi oleh guard column dengan panjang 1 cm dan mengandung fase diam yang sama dengan kolom utama. Kolom kromatografi

juga dapat dipanaskan untuk menurunkan viskositas pelarut. Hal ini akan

mengurangi tekanan yang dibutuhkan dan dapat meningkatkan kecepatan aliran.

Dengan menaikkan suhu dapat mengurangi volume retensi dan meningkatkan

resolusi dengan mempercepat difusi solutnya. Namun hal ini dapat mendegradasi

fase diam dan mengurangi umur kolom (Harris, 1995).

Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan kolom

dan kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja kolom dapat dilihat dari kemampuan

kolom dalam memisahkan senyawa. Batasan yang paling sering digunakan yaitu

mencegah pelebaran pita atau dapat menghasilkan puncak sangat sempit (Johnson

dan Stevenson, 1991).

a. Teori Lempeng (Plate Theory)

Salah satu ukuran kinerja kolom adalah jumlah lempeng teoritik yang

dihitung dengan persamaan:

N = 5,54 (

/) atau N = 16 ( )

Dimana t adalah waktu retensi dari analit dan Wh/2adalah lebarpeakpada setengah dari tinggipeakdiukur daribaseline(Adamovics, 1997).

Gambar 6. Cara mengukur tR, Wh/2dan W suatu kromatogram (Rohman, 2009)

Jumlah pelat teori berbanding lurus dengan panjang kolom. Tinggi atau

jarak yang setara dengan pelat, H atau Height Equivalent to a Theoritical Plate (HETP), merupakan ukuran efisiensi kolom yang lebih disukai karena

memungkinkan perbandingan antara kolom yang panjangnya berlainan. Nilai H

berkaitan dengan jumlah pelat teori menurut persamaan berikut:

H = HETP =

Berdasarkan persamaan di atas, L menunjukkan panjang kolom (biasanya dalam

b. Teori Laju (Rate Theory)

Pada waktu migrasi, analit mengalami transfer antara fase diam dan fase

gerak berkali-kali. Waktu tinggal pada fase diam ataupun fase gerak tidak teratur

dan tergantung pada tersedianya energi termal dari lingkungannya yang

memungkinkan transfer tersebut. Analit hanya dapat bergerak bila berada dalam

fase gerak sehingga migrasi di dalam kolom tidak teratur. Hal ini mengakibatkan

laju rata-rata analit relatif terhadap fase gerak bervariasi sehingga terjadi

pelebaran puncak analit (Johnson dan Stevenson, 1991).

Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan Van

Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Rohman, 2009) :

H = A

1 + C /μ/ + B

μ+ C μ + C μ /

Dimana : H = ukuran efisiensi kolom (makin kecil nilai H maka kolom makin efisien) µ = kecepatan alir fase gerak

A = difusi Eddy B = difusi longitudinal

Cs= transfer massa pada fase diam Cm= transfer massa pada fase gerak

8. Profil puncak dan pelebaran puncak

Selama pemisahan pada kromatografi, solut secara individual akan

Gaussian. Profil atau pita secara perlahan-lahan akan melebar dan sering

membentuk profil yang asimetri karena solut mengalami migrasi ke fase diam.

a. Difusi Eddy. Kolom biasanya dikemas dengan partikel fase diam yang

berukuran kecil. Fase gerak melewati kolom dan membawa molekul sampel yang

ada di dalamnya. Namun beberapa molekul sampel melewati kolom lebih cepat

dibandingkan molekul lain. Adanya difusi Eddy (pengalihan/diversi)

menyebabkan molekul sampel semakin lama meninggalkan kolom (Rohman,

2009). Mekanisme difusi Eddy dapat dilihat pada gambar 7 berikut.

Gambar 7. Difusi Eddy dalam kromatografi kolom (Rohman, 2009)

b. Difusi longitudinal. Adanya difusi longitudinal molekul analit dalam

kolom dapat menyebabkan kromatogram menjadi lebar seiring berjalannya waktu.

Pelebaran kromatogram ini juga dipengaruhi oleh kecepatan alir dimana

kontribusi pelebaran kromatogram oleh difusi longitudinal akan semakin menurun

bila kecepatan alir semakin meningkat (Snyderet al., 2010).

c. Transfer massa. Transfer massa dinyatakan dengan nilai Cstationarydan Cmobile. Nilai Cstationary merupakan solut yang tertahan karena adanya fase diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul lainnya

lebih encer (tidak terlalu kental) sehingga koefisien difusi semakin kecil.

Mekanisme transfer massa pada fase diam dapat dilihat pada gambar 8 berikut.

Gambar 8. Transfer massa pada fase diam (Willardet al.,1988)

Cmobile menggambarkan adanya peristiwa dimana solut dalam fase diam bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Mekanisme transfer massa pada fase

gerak dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Transfer massa pada fase gerak (Willardet al.,1988)

9. Detektor

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor

universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan

tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri

massa; dan golongan detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi analit

secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi, dan

Syarat detektor yang digunakan dalam KCKT yaitu stabil, reprodusibel,

tidak mendestruksi sampel (Skoog et al.,1998), sensitif pada konsentrasi rendah pada tiap analit, memberikan respon yang linear (sinyal proporsional dengan

konsentrasi analit), dan tidak melebarkan peak. Detektor juga harus tidak sensitif pada perubahan suhu dan komposisi pelarut (Harris, 1995).

Banyak senyawa organik mengabsorpsi sinar pada 254 nm dan oleh

karena itu banyak digunakan detektor dengan panjang gelombang tertentu. Akan

tetapi, detektor dengan variasi panjang gelombang dapat membantu untuk

menaikkan sensitivitas deteksi dengan menggunakan panjang gelombang

maksimum (Moffat and Moss, 1986).

Pemilihan detektor yang tepat dapat meningkatkan selektivitas dan

sensitivitas serta mengurangibaseline noise(Snyderet al.,1997). Sebagian besar analisis obat menggunakan detektor yang memberikan respon absorpsi pada sinar

UV atau sinar tampak pada solut ketika melewati flow-cell. Detektor ini memberikan sensitivitas yang bagus pada banyak senyawa, tidak terpengaruhi

oleh fluktuasi kecil pada kecepatan aliran dan suhu, dan bersifat non-destruktif

(Moffat and Moss, 1986).

10. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif

Suatu kromatogram hanya memberikan sepasang informasi kualitatif

tentang suatu analit yaitu waktu retensi dan letak senyawa tersebut pada fase diam

setelah proses elusi berlangsung (Skoog et al., 1998). Waktu retensi yang menunjukkan identitas suatu senyawa merupakan selang waktu yang diperlukan

senyawa mulai pada saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya

ditangkap oleh detektor. Analisis secara kualitatif dilakukan dengan cara

membandingkan waktu retensi senyawa murni dengan waktu retensi senyawa

yang dimaksud dalam sampel (Gritteret al.,1991).

Analisis kromatografi secara kuantitatif berdasarkan atas perbandingan

antarapeak heightataupeak areadengan satu atau lebih standar yang digunakan. Pengukuran berdasarkanpeak heightdapat dilakukan dengan ketelitian tinggi bila tidak terjadi pelebaran peak. Pengukuran berdasarkan peak area lebih banyak digunakan dibanding pengukuran berdasarkan peak height karena tidak terpengaruh oleh pelebaranpeak(Skooget al.,1998).

Dokumen terkait