• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA

F. Kromatografi Lapis Tipis

Teknik identifikasi dan pemisahan senyawa fisikokimia yang paling banyak dipakai adalah teknik kromatografi. Selain menggunakan teknik kromatografi kertas (KKt), cara terbaik untuk memisahkan dan mengidentifikasi senyawa fenol sederhana adalah dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Kelebihan KLT adalah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya (Harborne, 1987).

Senyawa fenol dideteksi setelah hidrolisis jaringan tanaman (segar atau kering) dalam suasana asam, basa, atau setelah pemekatan ekstrak tanaman (Harborne, 1987). Senyawa yang dipisahkan berupa larutan, ditotolkan pada fase diam dalam bentuk bercak atau garis. Fase diam yang terdiri atas bahan butiran halus, ditempatkan pada pelat penyangga gelas atau logam. Campuran akan dipisahkan berupa larutan akan ditotolkan dan menghasilkan bercak. Fase diam ini kemudian diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang sesuai (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan

kapiler (pengembangan), dan bercak pemisahan dideteksi dengan pereaksi- pereaksi yang lazim untuk senyawa yang dimaksud (Stahl, 1985).

1. Fase diam

Lapisan dibuat dari salah satu fase diam yang khusus digunakan untuk kromatografi lapis tipis yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Dua sifat yang penting dari fase diam adalah besar partikel serta homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada mereka. Partikel yang butirannya sangat besar tidak akan memberikan hasil yang baik dan salah satu alasan untuk menaikkan hasil pemisahan adalah menggunakan fase diam yang butirannya halus. Sebelum digunakan lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab serta bebas dari uap laboratorium (Sastrohamidjojo, 2002).

Kebanyakan fase diam yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder), yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan pada lapisan, serta menambah adesi pada gelas penyokong. Pengikat yang paling sering digunakan yaitu kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdagangan, silika gel telah diberi pengikat dan diberikan nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 2002).

Untuk memisahkan terpena berdasarkan jumlah ikatan rangkap ialah menggunakan plat KLT silika gel yang waktu penyaputannya menggunakan bubur silika gel yang dibuat dengan larutan 2.5% AgNO3 dalam air, sebagai pengganti air (Harbone, 1987).

2. Fase gerak

Pada kromatografi lapis tipis, fase gerak biasanya terdiri dari atas satu atau beberapa pelarut. Fase ini bergerak terhadap fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Pelarut yang digunakan harus mempunyai kualitas analitik dan bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin dengan maksimum tiga komponen (Stahl, 1969).

Pada saat penggunaan fase gerak campuran beberapa pelarut organik sebaiknya mempunyai kepolaran yang serendah mungkin. Salah satu alasan penggunaan itu untuk mengurangi serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Pelarut mempunyai sifat kepolaran yang tinggi dalam campuran akan mengakibatkan perubahan sistem menjadi sistem partisi dan campuran larutan fase gerak dapat dikatakan baik jika dapat memberikan kekuatan bergerak sedang (Sastrohamidjojo, 2002).

3. Penempatan cuplikan

Penotolan sampel pada kromatografi lapis tipis menggunakan alat mikropipet berujung runcing. Pada penotolan sampel diusahakan sedekat mungkin dengan lempeng. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan cuplikan sedapat mungkin larutan yang mudah menguap dan mempunyai polaritas rendah. Garis akhir dapat dibuat dengan menandai lapisan dengan jarak rambat fase gerak sepuluh hingga lima belas sentimeter (Sastrohamidjojo, 2002).

4. Elusi

Bila sampel telah ditotolkan, lapisan kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap pelarut fase gerak yang digunakan. Lempeng fase diam dicelupkan dalam fase gerak sedalam kira-kira 0.5-1.0 cm. Bejana kromatografi ditutup rapat untuk meyakinkan homogenitas atmosfer dalam bejana, maka dinding dalam bejana dilapisi dengan lembaran kertas saring yang ujungnya direndam dalam fase gerak (Sastrohamidjojo, 2002).

Dalam kromatografi lapis tipis terdapat dua metode pengembangan yaitu : a. Pengembangan sinambung, yakni membiarkan bagian atas lempeng menjulur keluar melalui sebuah celah pada tutup bejana kromatografi. Bila fase gerak telah mencapai celah itu maka akan terjadi penguapan yang sinambung, mengakibatkan aliran pelarut yang tetap pada lempeng (Anonim, 1995b).

b. Pengembangan berulang, yakni setelah dilakukan pengembangan kemudian dikeringkan lalu dikembangkan lagi pada sistem pelarut yang sama ataupun yang berbeda hingga didapatkan pemisahan yang baik. Ini sangat berguna pada pemisahan senyawa yang mempunyai perbedaan polaritas (Moffat, 1986).

5. Deteksi

Pada kromatografi lapis tipis, bercak dari senyawa umumnya tidak berwarna sehingga untuk menentukan bercak tersebut dapat dilakukan secara fisika dan kimia.

a. Fisika. Metode-metode fisika yang sering digunakan meliputi fluoresensi sinar ultraviolet serta pencacahan radioaktif. Pada senyawa-senyawa yang dapat

berfluoresensi maka bercak akan terlihat di bawah sinar ultraviolet. Namun jika senyawa tersebut tidak berfluoresensi ditentukan dengan indikator fluoresensi pada fase diam sehingga pada bercak akan terlihat hitam sedangkan tempat yang tanpa bercak berfluoresensi (Stahl, 1969).

b. Kimia. Metode kimia yang sering digunakan untuk mendeteksi bercak pada kromatografi lapis tipis dengan menyemprotkan suatu pereaksi kimia. Senyawa-senyawa organik dapat dilakukan dengan penyemprotan H2SO4 pekat. Untuk pembentukan warna yang optimal diperlukan suhu 2000C kurang lebih selama 10 menit, noda yang akan teramati berwarna hitam. Cara ini efektif untuk menentukan bercak tetapi tidak baik untuk identifikasi (Sastrohamidjojo, 2002). 6. Penilaian kromatografi

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi lapis tipis biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf .

Jarak rambat bercak Rf =

Jarak rambat fase gerak

Angka Rf berjarak antara 0.00-1.00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Sedangkan hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 menghasilkan nilai berjarak 0-100.

Dalam mengidentifikasi bercak pada pelat kromatogram lazimnya menggunakan harga Rf (retardation factor). Rf didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pengembang. Karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Markham, 1988).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga Rf dalam kromatografi lapis tipis adalah :

a. sifat dari penyerap serta derajat aktivitasnya.

b. tebal serta kerataan lapisan; ketidakrataan lapisan penyerap akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tidak rata pada daerah plat sehingga harga Rf juga tidak sama.

c. kemurnian fase gerak; pelarut yang tidak murni akan memberikan pemisahan yang tidak baik. Demikian pula jika fase gerak yang digunakan berupa campuran, maka perbandingan yang dipakai harus diperhatikan.

d. kejenuhan bejana kromatografi; pemisahan yang dilakukan dalam bejana yang mempunyai kejenuhan tidak sama mengakibatkan harga Rf tidak sama.

e. suhu; pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan fase. Jumlah cuplikan yang berlebihan memberikan tendensi noda berbentuk ekor yang akan mengakibatkan kesalahan harga Rf. f. kesetimbangan; pada bejana kromatografi yang tidak jenuh dengan uap pelarut akan menyebabkan pada saat pengembangan untuk permukaan pelarut yang cekung dan ini akan mengakibatkan fase gerak lebih cepat merambat pada bagian tepi daripada bagian tengah. Hal ini mengakibatkan kesalahan dalam penentuan harga Rf (Sastrohamidjojo, 1991).

Dokumen terkait