• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kronologis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan

2.3.2. Kronologis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Alasan yang mendorong pemerintah berorientasi hanya pada eskploitasi kayu dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan antara lain karena strategi pembangunan yang lebih didasarkan pada kebutuhan ekspor. Hal ini ditandai, antara lain dengan upaya diversifikasi ekspor dari minyak bumi dan gas merambah ke sumberdaya alam lain, yaitu hutan melalui kegiatan pembalakan dalam skala besar dan komersial dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Strategi ini menurut World Bank (2000) telah mengakibatkan tingginya tingkat ekspansi ekonomi selama hampir tiga dekade terakhir. Kegiatan pembalakan sekala besar dan komersial melalui sistem HPH diduga telah menjadi salah satu penyebab utama kerusakan serta penurunan kualitas ekosistem hutan dan lingkungan. Sementara itu, turut memperparah keadaan adalah fakta bahwa berbagai kegiatan ekspolitasi hutan dan industri perkayuan telah menimbulkan satu konglomerasi negatif, karena berbagai industri tersebut didominasi oleh segelintir konglomerat. Bahkan dalam banyak hal, HPH telah dimanfaatkan sebagai bagian dari kronisme politik. Dalam konstelasi seperti ini, kartel pemasaran kayu lapis, dinilai telah memberikan pengaruh sangat besar dalam proses penentuan arah kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan pembangunan sektor kehutanan. Uraian berikut merupakan ilustrasi yang menggambarkan secara ringkas kronologis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan .

Pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dimulai secara intensif sejak tahun 1967, sebagai tidak lanjut dari kerjasama dengan IMF pada tahun 1966. Dari kerjasama tersebut, Indonesia mulai menerima pinjaman dana internasional, me mbuka diri bagi investasi asing, dan mulai mengembangkan kebijakan ekonomi pasar yang bertumpu pada pertumbuhan. Selanjutnya, kebijakan ekonomi pasar ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya paket kebijakan pengelolaan hutan yang tediri dari Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, PP No. 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, dan PP No. 21 tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan. Paket kebijakan tersebut menciptakan iklim kondusif bagi perusahaan-perusahaan (termasuk perusahaan-perusahaan asing) untuk memulai kegiatan eksploitasi hutan skala besar secara komersial. Hasilnya, pada era ’70-an Indonesia

mengalami ”timber booming”, dan mulai masuk pada jajaran negara pengekspor

kayu bulat terbesar di dunia. Pada tahun 1982, kayu menjadi sumber devisa negara terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi (Departemen Kehutanan, 1993).

Selama tahun 1980 - 1985 pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan yang mengharuskan adanya peningkatan pasokan kayu bulat untuk kebutuhan peningkatan industri perkayuan dalam negeri, dengan alasan untuk meningkatkan nilai tambah yang kemudian dilanjutkan dengan penghentian ekspor kayu bulat. Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang industri kehutanan terpadu yang berbasiskan pada kayu lapis. Kondisi ini melahirkan dominasi industri kayu lapis yang kemudian menghantarkan negara Indonesia sebagai pengekspor kayu lapis terbesar di dunia. Pada tahun 1987 Indonesia tercatat menguasai 58 persen dari total ekspor kayu lapis dunia. Sejak akhir tahun 80-an indsutri kayu lapis terus mengalami perkembangan antara lain karena adanya kebijakan pajak ekspor yang akhirnya hanya menguntungkan perkembangan industri tersebut dibanding terhadap industri perkayuan lainnya (Departemen Kehutanan, 1993).

Pada akhir tahun 1980 -an beberapa wilayah utama pemasok bahan baku kayu (antara lain Sumatera Utara dan Kalimantan Timur) mulai mengalami kelangkaan kayu akibat eksploitasi berlebihan. Beberapa wilayah lain pun pada periode yang sama, mulai memperlihatkan kecenderungan serupa. Sebagai tindak lanjut untuk mengatasi permasalahan kelangkaan kayu pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI)

yang diiringi dengan pengembangan industri pulp dan kertas. Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mengenai pengembangan Perkebunan Besar Kelapa Sawit.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya sampai tahun 1980-an, produk hasil hutan didominasi oleh kayu bulat. Kemudian, industri perkayuan bergeser dominasinya ke industri kayu lapis sejalan dengan kebijakan peningkatan industri hilir di dalam negeri melalui pengurangan ekspor kayu bulat, sampai akhirnya pelarangan secara penuh ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Kondisi ini telah memberikan implikasi meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang dicerminkan oleh tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang begitu tinggi (bervariasi antara 1,3 – 2,4 juta ha per tahun).

Untuk mengatasi tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang semakin meningkat, pemerintah mengkaji penerapan pengelolaan hutan tradisional oleh masyarakat lokal, khusunya masyarakat adat yang pada saat munculnya sistem HPH berbagai sistem pengelolaan hutan tradisonal ini tidak terakomodasi dengan baik, dan bahkan termarjinalisasi. Sesungguhnya, ada beberapa kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan pemberdayaan masyarakat, seperti program pengembangan hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, bina desa hutan, pembangunan masyarakat desa hutan, aneka usaha kehutanan, dan hutan cadangan pangan, namun implementasi dari kebijakan-kebijakan ini di lapangan dinilai tidak optimal dan tidak mencapai sasaran yang digariskan. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak berhasil menjawab persoaln riil yang menjadi akar dari berbagai gejala yang justru muncul dan berkembang di tengah masyarakat, yakni persolan ketidakjelasan sistem kepemilikan (tenurial system) dan hak-hak kepemilikan (property rights) (Khans, 1996).

Ada pula kebijakan kehutanan yang berkaitan dengan aspek rehabilitasi dan konservasi hutan dan lingkungan, antara lain kegiatan reboisasi dan penghijauan, pembangunan Hutan Tanaman Industri, dan ratifikasi berbagai perjanjian internasional berkaitan dengan tujuan konservasi seperti CITES. Beberapa kebijakan ini dalam pelaksanaannya justru tidak sejalan dengan tujuan rehabilitasi dan konservasi itu sendiri. Hutan Tanaman Industri (HTI) bahkan menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan alam (World Bank, 1993). Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya dukungan pemerintah dalam bentuk dana reboisasi (DR). Insentif dana reboisasi pada program HTI ternyata

menyebabkan peningkatan permintaan akan areal-areal hutan alam untuk alasan pemenuhan bahan baku, karena dalam waktu yang bersamaan telah dilakukan investasi besar-besaran dalam rangka memperbesar kapasitas industri pulp dan kertas. Menurut World Bank (2000) akibat ketidaktepatan insentif ini, hutan -hutan alam menjadi rusak, sementara areal-areal yang benar-benar ditanami jauh lebih rendah dari yang ditargetkan.

Sejalan dengan laju perkembangan HTI, perkebunan besar juga memperlihatkan kecepatan serupa pada waktu yang bersamaan. Hal ini dicerminkan oleh meningkatnya pembukaan perkebunan besar kelapa sawit dan karet. Kondisi ini dipacu oleh kebijakan pemerintah yang cenderung mendukung pembangunan perkebunan skala besar. Hal ini tertuang antara lain dalam peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa perkebunan dapat diusahakan di kawasan hutan konservasi. Akibatnya, permintaan lahan perkebunan besar juga turut meningkat dan turut mendorong meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan.

Kronologis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikeluarkan pemerintah memberikan gambaran bahwa paradigma pebangunan kehutanan yang dianut tidak akan kondusif untuk pencapaian pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh laju deforestasi dan degradasi hutan yang semakin besar, semakin meningkatnya bermacam konflik baik konflik vertikal maupun horizontal yang terkait dengan pemanfaatan dan kepemilikan lahan, kapasitas indu stri perkayuan nasional yang melebihi kemampuan pasokan kayu bulat dari hutan alam secara lestari, ketimpangan redistribusi manfaat hasil hutan, dan peningkatan konversi hutan alam untuk perkebunan besar (Proyek Agenda 21 Sektoral, 2000).