• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebab Perceraian Menurut Provinsi (n=335.062) CATAHU

KTP DI LEMBAGA PENDIDIKAN

Fenomena Perkosaan oleh Gang Rape dengan Kekerasan 2017

Secara umum, kasus perkosaan sepanjang 2017 masih menjadi fenomena yang memprihatinkan. Tren perkosaan yang dilakukan secara bergiliran jumlahnya masih tinggi dan terjadi secara sporadis di beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan berdasar informasi media dan analisis dari Kriminologi.id, ada 10 kasus perkosaan yang bisa dikategorisasikan sebagai perkosaan terkejam karena disertai dengan kekerasan dan pembunuhan, dan sebagian dilakukan oleh sekelompok laki-laki (gang rape). Di Tasikmalaya pada 10 Maret 2017, dua remaja diperkosa oleh empat pemuda dengan motif diberi obat penenang; di Samarinda pada 15 Maret 2017 seorang siswi SMP diperkosa oleh 13 pemuda yang berprofesi sebagai sopir angkot dengan modus diberi sabu-sabu dan disekap; di Karangasem pada 17 April 2017 seorang remaja (14 tahun) diperkosa oleh sembilan pemuda dengan modus disekap; di Bengkulu Selatan pada 9 Mei 2017 seorang istri diperkosa di depan suaminya oleh empat pemuda saat mereka duduk-duduk di sirkuit Padang Panjang dengan modus dituduh berbuat mesum; di Bone Sulawesi Selatan pada 22 Agustus 2017 seorang siswi SMP di sekap selama 5 hari dan diperkosa oleh lima laki-laki; di Malang pada 1 Oktober 2017 seorang remaja 14 tahun diperkosa oleh lima pengamen; di Luwu Sulawesi selatan seorang siswi SMP diperkosa secara bergiliran oleh 21 lelaki pada akhir Juni 2107.

Salah satu pelaku adalah teman korban sendiri. Terakhir, seorang permpuan warga Medan Tembung diperkosa secara bergiliran oleh empat lelaki temannya sendiri hingga tewas38.

Melihat maraknya modus perkosaan di atas, Komnas Perempuan menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi “Darurat Kekerasan Seksual”. Negara tidak boleh tinggal diam dan menganggap bahwa masalah ini dengan sebelah mata. Indoensia membutuhkan sebuah Undang-undang yang mampu melindungi warga negaranya, khususnya perempuan dari rasa takut, karena siapa pun bisa menjadi korban, melihat pelaku tidak jarang orang-orang yang dikenalnya. Keberadaan Undang-undang ini tidak hanya soal bagaimana melindungi, tetapi juga bagaimana negara ini melakukan pencegahan yang komprehensif di segala lini. Untuk itu, Komnas Perempuan memandang bahwa pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera dilakukan.

Kasus-kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Kasus Perkosaan di Gorontalo, Kriminalisasi Korban Perkosaan

Sepanjang 2017 merupakan tahun yang masih menunjukkan tingginya kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya di dunia pendidikan. Sejumlah kasus masuk dalam pengaduan Komnas Perempuan, seperti perkosaan siswi Madrasah Aliyah (RB) Telaga Biru Gorontalo oleh guru matematika (MYS). Korban diperkosa di bawah ancaman tidak akan diluluskan bila tidak mau menuruti keinginan gurunya. Perkosaan ini terjadi sepanjang Desember 2016 sebanyak tujuh kali. Dalam kondisi tekanan mental akhirnya korban menceritakan kepada keluarganya dan melaporkan ke Kepolisian sektor Telaga Biru pada 18 Desember 2016 dengan No perkara P/45/XII/2016/Sek.Tlg Biru. Pihak Polsek Telaga Biru menyarankan penyelesaian dengan kekeluargaan. Selama proses penyidikan, korban yang dalam kondisi trauma tidak didampingi oleh Unit PPA Polda Gorontalo. Menyikapi kasus ini, Komnas Perempuan sangat menyesalkan perkosaan yang dilakukan oleh guru sekolah dengan memanfaatkan relasi kuasa, yang semestinya sebagai pennndidik menjadi pendidik pengasuh, dan pelindung anak didiknya. Upaya mendapat keadilan semakin jauh ketika korban dan keluarga mengalami reviktimisasi dengan dilaporkan balik oleh pelaku.

Dalam surat dukungannya No. 011/KNAKTP/Pemantauan/Surat Dukungan/II/2017, Komnas Perempuan telah memberikan rekomendasi dan mendorong kepada Kepolisian Gorontalo untuk mengimplementasikan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Selain itu, Komnas Perempuan juga mendorong Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Mabes Polri untuk melakukan asistensi dan pengawasan terhadap penanganan kasus ini. Surat dukungan Komnas Perempuan ini juga ditembuskan kepada instansi dan Kementerian terkait, seperti Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Dinas Pendidikan Daerah Gorontalo.

Kasus kekerasan Seksual di Sekolah Swasta Bergengsi di Jakarta Utara

Pada tanggal 16 Agustus 2017, Komnas Perempuan diundang oleh Polda Metro Jaya untuk melakukan gelar kasus dan rapat koordinasi untuk pemulihan korban terkait kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan. Beberapa minggu sebelumnya, Polda menerima laporan dari orang tua salah satu murid sebuah SMP swasta bergengsi, yang anak perempuannya (usia 14 tahun) menjadi korban pelecehan seksual dari gurunya yang mengirim konten porno ke telpon selularnya.

Setelah menangkap dan menyelidiki pelaku, polisi menemukan ada lima korban lain yang mengalami kekerasan seksual. Diduga masih banyak korban lainnya karena korban kekerasan seksual umumnya malu untuk melapor. Korban lainnya tidak hanya di SMP tempat pelaku mengajar, bahkan hingga SMA dan alumni yang saat ini sudah kuliah di sebuah perguruan tinggi. Diduga pelaku menelusuri data korban melalui buku alumni, mengingat pelaku baru satu tahun bekerja di sekolah tersebut. Kelima korban berhasil ditelusuri karena video yang disimpan pelaku di laptop pribadinya. Modus yang dilakukan pelaku adalah dengan melakukan chatting di WA grup dengan murid-murid di kelasnya, selanjutnya ia chatting dengan korban di jalur pribadi dan mulai mengirim konten porno. Korban lalu diminta masturbasi dan direkam oleh pelaku. Pelaku bahkan datang ke rumah korban ketika orang tuanya tidak ada dan melakukan kekerasan seksual. Korban sulit menolak keinginan pelaku karena pelaku mengancam akan menyebarkan video korban jika korban tidak menuruti keinginannya.

Komnas Perempuan minta kepada aparat penegak hukum agar pelaku mendapat pemberatan hukuman karena dilakukan oleh pendidik dan terjadi di lingkup pendidikan. Guru umumnya sangat dihormati oleh murid didiknya, dan pelaku telah menyalahgunakan wewenang itu untuk melakukan ekspolitasi seksual terhadap anak didiknya. Komnas Perempuan juga berharap polisi dapat menemukan seluruh korban dan korban mendapatkan program pemulihan mengingat para korban sangat trauma dan usianya sebagian masih anak-anak.

Sama halnya dengan kasus kekerasan seksual di Jakarta International School, pihak sekolah ini juga terkesan menutupi dan menghalang-halangi kerja polisi. Karenanya Komnas Perempuan berharap agar sekolah ikut bertanggung jawab, kooperatif terhadap penegak hukum dan memperbaiki sistem rekrutmen misalnya menelusuri rekam jejak, sehingga tidak lagi terjadi keberulangan yaitu menerima seorang tenaga pendidik yang ternyata adalah seorang predator seksual.

Siswi Berprestasi Korban Perkosaan, Dihentikan Hak Pendidikannya

Kasus kekerasan seksual yang juga masuk dalam pengaduan Komnas Perempuan adalah kasus DAP, siswi SMA Negeri 1 Bojong yang menjadi korban perkosaan oleh pacarnya hingga menyebabkan korban hamil. Korban dan pacar akhirnya menikah tanggal 28 Februari 2017. Kehamilan korban menyebabkan guru BP dan pihak sekolah melarang korban untuk mengikuti Ujian Nasional (UN), meskipun telah terdaftar sebagai peserta UN. Kasus ini telah didampingi oleh LRC KJHAM dan PPT Kabupaten Pekalongan dan akhirnya korban mendapatkan haknya mengikuti ujian. Saat acara doa bersama menjelang ujian nasional di sekolah, Kepala sekolah menyampaikan kepada siswa-siswinya: "Saya tidak akan meluluskan siswa yang telah mencoreng nama baik sekolah, meskipun Presiden meminta kepada saya, saya tidak akan pernah mau meluluskan".

Dalam pengumuman ujian nasional tahun 2017, korban dinyatakan tidak lulus padahal setelah melihat hasil nilai, nilai korban berada di atas rata-rata teman korban yang lulus. Kebijakan sekolah ini mencerminkan bahwa keberadaan Permendikbud RI No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan belum diimplementasikan dengan sungguh-sungguh oleh sekolah.

Kasus yang dialami DAP ini hanya contoh, bila melihat kasus-kasus korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang tersebar di beberapa daerah, maka banyak murid perempuan yang kehilangan hak pendidikan karena menjadi korban. Menyikapi kasus seperti ini Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Kementerian terkait, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengevaluasi implementasi Permen tersebut, sejauh mana telah mampu memberi perlindungan bagi siswi korban kekerasan seksual.

Dokumen terkait