TERGERUSNYA
RUANG AMAN PEREMPUAN
DALAM PUSARAN
POLITIK POPULISME
CATATAN KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN
TAHUN 2017
TERGERUSNYA RUANG AMAN PEREMPUAN
DALAM PUSARAN POLITIK POPULISME
CATATAN TAHUNAN
TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakarta, 7 Maret 2018
UCAPAN TERIMAKASIH DAN DAFTAR LEMBAGA MITRA PENGADA LAYANAN YANG BERPARTISIPASI
Komnas Perempuan mengucapkan terimakasih kepada sejumlah lembaga mitra pengada layanan di berbagai wilayah di Indonesia yang mau bekerjasama dalam berbagi data sehingga Catatan Tahunan (CATAHU) 2018 berhasil diterbitkan. Semua lembaga mitra pengada layanan tersebut adalah:
137. PPT Arum Dalu Kab. Bantul
211. Polres Tanah Laut 212. Polres Kota Banjarmasin 213. Polres Tapin
214. P2TP2A Kota Banjarmasin 215. P2TP2A Kab. Tanah Laut
SULAWESI TENGAH
216. RS Bhayangkara Palu
SULAWESI BARAT
217. PN Polewali 218. PN Majene
SULAWESI SELATAN
219. PN Bantaeng 220. PN Bulukumba 221. PN Palopo 222. PN Parepare 223. PN Sinjai
224. PN Watansoppeng 225. GIPA (Global Inklusi
Perlindungan AIDS) 226. LBH Makassar
SULAWESI UTARA
227. Terung Ne Lumimuut 228. Swara Parangpuan 229. RS Bhayangkara TK III
Manado
SULAWESI TENGGARA
230. Aliansi Perempuan Sulawesi Tenggara (Alpen Sultra) 231. Yayasan Lambu Ina Raha 232. Polda Sulawesi Tenggara
GORONTALO
233. PN Gorontalo
MALUKU
234. LAPPAN
(LembagaPemberdayaan Perempuan & Anak) 235. Yayasan Gasira
MALUKU UTARA
236. PN Soasio
PAPUA BARAT
UCAPAN TERIMA KASIH
Komnas Perempuan menyampaikan terimakasih kepada lembaga – lembaga yang mengirimkan data ke Komnas Perempuan namun karena keterlambatan pengiriman, data tersebut tidak bisa diolah. Lembaga tersebut adalah :
DI YOGYAKARTA
1. PN Sleman
BANTEN
2. PN Rangkas Bitung
KALIMANTAN BARAT
3. PN Putussibaau
TIM PENULIS
Tim Penulis Data Kualitatif
Adriana Venny Aryani, Aflina Mustafainah, Asma’ul Khusnaeny, Budi Wahyuni,
Choirunnisa, Chrismanto Purba, Christina Yulita Purbawati, Dahlia Madanih, Dahlia
Oktaviana, Dela Feby Situmorang, Dwi Ayu Kartika Sari, Dyah Ayu Kartika, Elwi
Gito, Ema Mukarramah, Hayati Setia Intan, Indah Sulastry, Mariana Amiruddin,
Miranti Olivia, Muhamad Daerobi, Ngatini, Nina Nurmila, Nur Qamariyah, Pera
Sopariyanti, Rina Refliandra, Rita Fortuna, Sondang Frishka Simanjuntak, Soraya
Ramli, Siti Nurwati Hodijah, Sri Nurherwati, Thaufiek Zulbahary, Winda Junita Ilyas,
Yuniyanti Chuzaifah
Tim Pengolah Data Kuantitatif
Aflina Mustafainah, Choirunnisa, Dela Feby Situmorang, Dwi Ayu Kartika Sari,
Fadliyati Ulya, Heni Rahmawati, Lidya Apriliani, Mariana Amiruddin, Rayhana
Anwarie, Tri Wahyuni, Winda Junita Ilyas
Tim Diskusi
DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH
ACTIP: Asean Convention on Trafficking in Person AMDAL: Analisis Dampak Lingkungan
APH: Aparat Penegak Hukum
APBN: Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APL: Areal Penggunaan Lain
ASEAN: Association of South East Asia Nations BADILAG: Badan Peradilan Agama
BPBD: Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPJS: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPPKB: Badan Pemberdayaan Perempuan dan Kaluarga Berencana
BNP2TKI: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia BSNP: Badan Standar Nasional Pendidikan
CATAHU: Catatan Tahunan
Cyber Grooming: Penggunaan teknologi untuk dengan sengaja mencari calon korban yang memiliki potensi (baik secara pendidikan, usia, kondisi tubuh, ataupun ekonomi) untuk dilecehkan ataupun ditipu
Cyber Harrassment: Pengiriman teks secara terus menerus dengan memanfaatkan teknologi, baik internet, ponsel, ataupun perangkat lain, yang dimaksudkan untuk menyakiti, mengganggu, menakut-nakuti ataupun mengancam seseorang Cyber Prostitutio: Tindakan yang berhubungan dengan layanan pornografi online
DI/TII: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia DIM: Daftar Inventarisasi Masalah
DIY: Daerah Istimewa Yogyakarta
DKI Jakarta: Daerah Khusus Ibukota Jakarta
DNA: Deoxyribonucleic Acid
DP3AKB: Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
DPD: Dewan Perwakilan Daerah
DPO: Daftar Pencarian Orang
DPR: Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah E-KTP: (Elektronik-)Kartu Tanda Penduduk
FAX: Faksimile
FGM/C: Female genital Mutilation/Circumsisi FHUI: Fakultas Hukum Universitas Indonesia FPI: Front Pembela Islam
FPR: Front Perjuangan Rakyat
Gerebek: Mendatangi dengan tiba-tiba untuk menangkap (menggeledah, menyergap, dan sebagainya) yang dilakukan orang banyak
GMI: Gereja Methodis Indonesia
GMKI: Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia GSBI: Gabungan Serikat Buruh Independen
HAM: Hak Asasi Manusia
HAP: Hak Asasi Perempuan
HIV/AIDS: Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome
HPH: Hak Perambahan Hutan
HRW: Human Right Watch
HT: Hutan Tanaman Industri
Impersonation/Cloning
(Pemalsuan Identitas): Penggunaan teknologi untuk meniru identitas korban atau menggandakan identitas orang lain agar dapat mengakses informasi pribadi pihak korban, mempermalukan korban, atau menghubungi paksa korban
Illegal Contents: Kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data ataupun informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, melanggar hukum, dan mengganggu ketertiban umum
ILO: International Labor Organization
IN: Inkuiri Nasional
Incest: Hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri.
IRT: Ibu Rumah Tangga
Inpres: Instruksi Presiden
JAI: Jemaah Ahmadiyah Indonesia
JPU: Jaksa Penuntut Umum
JR: Judicial Review
KDP: Kekerasan Dalam Pacaran
KDRT: Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kejari: Kejaksaan Negeri
Kejati: Kejaksaan Tinggi
KJRI: Konsulat Jenderal Republik Indonesia KKR: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KLHS: Kajian Strategis Lingkungan Hidup
KMP: Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Pacar KMS: Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Suami
KOM: Komunitas
KONI: Komite Olahraga Nasional indonesia
KPPPA: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak KPAI: Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KTAP: Kekerasan Terhadap Anak Perempuan
KTP: Kekerasan terhadap Perempuan
KTP berbasis cyber: Kejahatan cyber dengan korban perempuan seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi. Salah satu bentuk kejahatan ini yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto/video pribadi di media sosial dan/atau website pornografi. Kasus seperti ini biasanya menghebohkan publik sehingga menambah beban psikis bagi korban.
KTI: Kekerasan Terhadap Istri
KUHAP: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KTKLN: Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
KWRSS: Kerukunan Waria dan Bissu se-Sulawesi Selatan
LBH: Lembaga Bantuan Hukum
LPA: Lembaga Perlindungan Anak
LPSK: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat
MA: Mahkamah Agung
Malicious Distribution: Penggunaan teknologi untuk memanipulasi korban dengan ancaman penyebaran foto atau video pribadi korban
Meme: Ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya
MHA: Masyarakat Hukum Adat
Misi: Rumah juru dakwah Jamaah Ahmadiyah
MoU: Memorandum of Understanding
MPHPA: Masyarakat Peduli Hak Perempuan Dan Anak MPU: Majelis Permusyawaratan Ulama
MS: Mahkamah Syar’iyah
MUI: Majelis Ulama Indonesia
NAD: Nangroe Aceh Darussalam
NASDEM: Partai Nasional Demokrat
NKRI: Negara Kesatuan Republik Indonesia
NTB: Nusa Tenggara Barat
NTT: Nusa Tenggara Timur
ODHA: Orang dengan HIV/AIDS
OMS: Organisasi Masyarakat Sipil
Online Defamation: Penghinaan yang dilakukan dengan bantuan teknologi, komputer dan/atau internet dimana seseorang menyebarkan informasi yang salah, mempublikasikan materi penghinaan tentang seseorang di situs web atau mengirimkan email yang berisi fitnahan kepada seluruh teman atau keluarga korban yang bertujuan untuk mencemarkan reputasi
Online Prostitutio: Tindakan yang berhubungan dengan layanan pornografi online OP2 ICPPR: Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak Sipil Dan Politik P2TP2A: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
PA: Pengadilan Agama
PAGI: Persatuan Anak Guru Indonesia
PBB: Persatuan Bangsa-Bangsa
PERADI: Perhimpunan Advokat Indonesia
Perma: Peraturan Mahkamah Agung
Permen: Peraturan Menteri Perpres: Peraturan Presiden
Persekusi: Pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas;
PKDRT: Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PKI: Partai Komunis Indonesia
PKNI: Persaudaraan Korban Napza Indonesia PKPA: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKS: Partai Keadilan Sejahtera
PLTA: Pembangkit Listrik Tenaga Air
PN: Pengadilan Negeri
PMI: Pekerja Migran Indonesia
PNA: Partai Nasional Aceh
PNPS: Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama PT KAI: Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia
PPTKIS: Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
PTN: Pengadilan Tinggi Negeri
Polda: Kepolisian Daerah
Polres: Kepolisian Resort
POLRI: Kepolisian Republik Indonesia Polsek: Kepolisian Sektor
PP: Peraturan Pemerintah
PPHAM: Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia
PPM: Perempuan Pekerja Migran
PPT: Pusat Pelayanan Terpadu
PRT: Pekerja Rumah Tangga
PT: Pengadilan Tinggi
PT KLS: Perseroan terbatas Kurnia Luwuk Sejati
PTA: Pengadilan Tinggi Agama
PTPPO: Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
RPK: Ruang Pelayanan Khusus
RAN: Rencana Aksi Nasional
RAN P3AKS: Rencana Aksi Nasional Perlindungan Perempuan dan Pemberdayaan Anak dalam Konflik Sosial
RP: Relasi Personal
RPTC: Rumah Perlindungan/Trauma Centre
RS: Rumah Sakit
RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah
RUU: Rancangan Undang Undang
SD: Sekolah Dasar
SDA: Sumber Daya Alam
SDGs: Sustainable Development Goals
SDM: Sumber Daya Manusia
SE: Surat Edaran
SEMA: Surat Edaran Mahkamah Agung
SHGB: Sertifikat Hak Guna Bangunan
SK: Surat Keputusan
SLTA: Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTP/SMP: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SP3: Surat Perintah Penghentian Penyelidikan
SPM: Standar Pelayanan Minimal
STIE: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Th: Tahun
TKI: Tenaga Kerja Indonesia
TKW: Tenaga Kerja Wanita
TNI AD: Tentara Nasional Indonesia-Angkatan darat
TPU: Tempat Pemakaman Umum
Trafficking: Perdagangan Manusia
UNAS: Ujian Nasional
UPR: Unit Pengaduan untuk Rujukan
UU ITE: Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
UUD NRI 1945: Undang –Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945
UU MD3: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah.
UN: United Nation
Walhi: Wahana Lingkungan Hidup
WCC: Women Crisis Centre
WHO: World Health Organization
RINGKASAN EKSEKUTIF
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia, serta pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun melalui email resmi Komnas Perempuan, dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Tahun 2017 Komnas perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 32%, yaitu 237 formulir.
Tahun 2017 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 74 % dari tahun 2016. Jumlah kasus KTP 2017 sebesar 348.446, jumlah ini melonjak jauh dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 259.150. Sebagian besar data bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh PN/PA. Data ini dihimpun dari 3 sumber yakni; [1] Dari PN / Pengadilan Agama sejumlah 335.062 kasus. [2] dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.384 kasus; [3] dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan dan (4) dari divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat dan surat elektronik.
Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 71% (9.609). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 26% (3.528) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 1,8% (217). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.982 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual kasus 2.979 ( 31%), psikis 1.404 (15%) dan ekonomi 1.244 kasus (13%).
Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3,528 kasus. 76% kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (911), Pelecehan Seksual (704) dan Perkosaan (699). Sementara itu persetubuhan sebanyak 343 kasus. Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara, kasus penggusuran yang dilaporkan dan atau dipantau yang terjadi pada warga Batu Ampar (Bali) dan Cilincing (Jakarta) dan kasus ancaman penggusuran di Taman Sari (Jawa Barat) dan warga Baraya Raya (Sulawesi Selatan).
CATAHU 2018 ini menggambarkan beragam spectrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2017. Beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian diantaranya kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, persekusi Online dan offline, maraknya situs dan aplikasi prostitusi online berkedok agama (Misalnya, ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman kriminalisasi perempuan dengan menggunakan UU ITE, serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di dunia maya.
Pada tahun 2017 kekerasan seksual masih terjadi dan terus mengancam perempuan. Kasus perkosaan kepada siswi SMP di Bengkulu dan anak sekolah di sebuah TK di Bogor merefleksikan bahwa anak dan remaja perempuan sulit mendapatkan ruang aman, bahkan di wilayah institusi pendidikan yang seharusnya memberi melindungi mereka. Kasus-kasus pelecehan seksual di kendaraan umum, antara lain di kereta api juga menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapat jaminan keamanan di ruang publik. Situasi ini kembali menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual sesegera mungkin.
CATAHU 2018 juga menyorot ancaman femisida dan KDRT terhadap perempuan dan anak perempuan. Bahkan bentuk kekerasannya semakin diperparah dengan mutilasi. Terkait dengan pelaku KTP, hal yang memprihatinkan adalah para pejabat publik dan tokoh masyarakat juga terlibat sebagai pelaku. Ironisnya, perspektif pejabat publik yang seharusnya bertanggung jawab melindungi perempuan dari kekerasan, justru mengkhawatirkan dengan memberi pernyataan publik yang memojokkan korban, termasuk korban perkosaa. Tahun 2017, Politisasi spiritualitas dan agama untuk eksploitasi seksual semakin menggambarkan bagaimana tubuh perempuan terus menghadapi ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual. Alih-alih mendapat perlindungan dan akses keadilan, perempuan korban KTP justru kerap menjadi korban kriminalisasi.
Kekerasan juga dihadapi PRT dan PRT migran. Hal ini diperparah dengan rentannya mereka terhadap perdagangan orang. Kekerasan terhadap mereka kerap diperparah dengan kriminalisasi yang menyebabkan mereka semakin tidak berdaya. Terlebih, hingga saat ini, belum ada payung hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak mereka. Pekerja migran perempuan pada tahun 2017 banyak yang menghadapi ancaman hukuman mati. Upaya pembelaan yang dilakukan pemerintah Indonesia menghadapi dilema karena pada saat yang sama Indonesia melakukan eksekusi mati di dalam negeri.
Visum Gratis sebagai Akses Keadilan bagi Korban Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak DKI Jakarta, Integrasi Layanan Darurat 112 oleh Pemda DKI untuk Layanan KtP, Putusan Judicial Review UU Administrasi Kependudukan No. 23 Tahun 2006 dan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan bagi Penghayat, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi yang Menolak Permohonan Perluasan Pasal Perzinahan, Pengesahan Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), Kebijakan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, Perluasan Akses Pemulihan Perempuan Korban Berusia Anak. Hal lain yang menggembirakan juga adalah ketika PN Jakarta Selatan mengabulkan seluruh tuntutan seorang perempuan disabilitas yang mengalami diskriminasi dari maskapai penerbangan Etihad yang menurunkannya dari pesawat karena dianggap tidak mampu menyelamatkan dirinya. Pihak tergugat harus membayar kerugian yang diderita penggugat sebesar Rp.537 juta akibat tindakan diskriminatif tersebut. Kemenangan ini merupakan terobosan baru di bidang hukum dalam melindungi kaum disabilitas dan konsistensi pemerintah dalam menjalankan UU no.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Di sisi lain, CATAHU 2018 juga mencatan berbagai hambatan menciptakan perlindungan hokum bagi perempuan. Ini dapat dilihat dari lambannya perkembangan RUU PKS dan mandeknya pembahasan RUU PRT di DPR. Di lain pihak, perkembangan pembahasan RUU KUHP di DPR memunculkan kekhawatiran kalangan perempuan atas potensi diskriminasi dan kerentanan baru perempuan. RUU KUHP harus dipastikan untuk meniadakan kriminalisasi apapun terhadap perempuan khususnya perempuan korban kekerasan.
Data-data CATAHU di atas menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Trend KtP :
a. Kekerasan terhadap perempuan semakin beragam dan lintas ruang, sementara sistem
pencegahan dan penanganan bergerak lamban
b. Memburuknya situasi KDRT yang ditandai dengan terungkapnya kasus pembunuhan
isteri (femicida) masih tingginya gugat cerai oleh isteri, membutuhkan upaya penyelesaian
yang menyeluruh dan menyentuh akar persoalan. Semakin terbukanya poligami dan lenturnya perkawinan anak ditengarai turut memperparah KDRT. Di sisi lain, negara cenderung mendorong harmoni keluarga melalui upaya mediasi. Termasuk publik yang semakin mempromosikan keutuhan institusi perkawinan melalui isu over kriminalisasi perzinahan, penutupan lokalisasi, tanpa melihat akar masalah kekerasan terhadap perempuan
c. Kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber adalah kekerasan yang muncul ke
permukaan dengan massif namun minim pelaporan dan penanganan. Padahal kejahatan terhadap perempuan ini bisa berdampak panjang, dimana viktimisasi pada korban potensial seumur hidup dan pelaku punya ruang lebih luas untuk impun karena belum mumpuninya hukum untuk mencegah dan menanganinya.
d. Kejahatan seksual menampakkan peningkatan maupun perluasan bentuk, termasuk kasus
e. Budaya menyalahkan korban dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang dialaminya, masih terus berlangsung hingga sekarang. Perempuan menjadi sasaran yang disalahkan, dibully termasuk dalam konteks perselingkuhan, poligami dan kejahatan perkawinan lainnya. Sementara pelaku utama justeru lolos dari penghakiman sosial.
B. Peta korban dan pelaku
• Peta korban KtP di ranah personal/KDRT dan komunitas yang dapat diidentifikasi melalui usia, pendidikan dan profesi mereka adalah perempuan yang sedang puncak produktif dari segi sosial biologis. Adapun peta pelaku adalah mereka dengan pendidikan terakhir SLTA dan juga dalam rentang usia produktif antara diatas 25 tahun. Artinya penduduk Indonesia yang terinterupsi hidupnya karena menjadi korban dan pelaku kekerasan adalah mereka yang mayoritas sedang bertanggungjawab untuk menjaga dan mereproduksi generasi.
• Perempuan yang mengalami kekerasan dalam usia produktif, mengundang kerentanan
ekonomi dan perlu dilihat konektifitasnya dengan banyaknya perempuan yang menjadi pengedar narkoba atau terjebak dalam ligkaran ekonomi yang merentan kan kehidupan perempuan.
• Tingginya korban maupun pelaku dalam rentang usia pendidikan bahkan ada dibawah
usia 5 tahun, membutuhkan kecermatan untuk melihat sejauh mana peran keluarga dan lembaga pendidikan dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan di lembaga pendidikan.
• Pelaku yang memiliki otoritas dan kekuasaan secara politik dan spiritual cenderung
minim dilaporkan dan minim didokumentasi misalnya anggota DPR, petinggi militer, tokoh agama dan tokoh spiritual, pelaku dari korporasi.
Pemiskinan dan konflik SDA
1. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Sumber Daya Alam antara lain karena
prioritas pembangunan dan politik infrastruktur yang massif, impunitas dan supremasi korporasi, pengabaian hak masyarakat adat, pembangkangan hukum dan diskoneksi kebijakan pusat dan daerah.
2. Penaklukan resistensi dan relisiensi komunitas korban dengan politisasi hak tenurial, isolasi
dari akses mendasar (pemutusan sambungan listrik), kriminalisasi dan stigmatisasi pembela termasuk perempuan pembela HAM. Selain itu ketidaksabaran negara dalam memberikan hak informasi dan ruang aspirasi yang sejati bagi masyarakat, telah memicu membuat konflik di antara masyarakat dimana perempuan sangat terdampak baik di publik maupun domestik.
3. Kekerasan terhadap Pekerja Migran
(a) Kekerasan terhadap migran minim terlaporkan dan didokumentasi oleh lembaga
layanan jaringan Catahu. Selain itu perlindungan hukum untuk menyoal kasus kekerasan yang mereka hadapi juga terhambat oleh rapuhnya perlindungan hukum dengan UU migran tahun 2004. Perlindungan yang dilakukan negara cenderung bergantung kepada keseriusan komitmen pengampu tanggung jawab dalam lembaga negara.
(b) Perdagangan narkoba memperburuk perlindungan buruh migran, karena kemenjadi
Peran negara :
1. Efektitas perlindungan hukum: KDRT masih sangat dominan menjadi isu kekerasan yang dikenali dan dilaporkan karena adanya perlindungan hukumnya. Penyelesaian KDRT cenderung diselesaikan dengan perceraian dibanding dengan memproses dimensi pidananya. Situasi inilah yang memicu impunitas. Namun penting membaca kedayagunaan dan implementasi UU PKDRT yang cenderung digunakan korban untuk melaporkan namun semakin kecil digunakan untuk melindungi perempuan dari kekerasan yang dihadapinya, terutama dengan banyaknya kriminalisasi perempuan korban KDRT karena aparat negara salah baca masalah.
2. Pendokumentasian/Pendataan KtP :
1. Perbaikan data dari sejumlah lembaga negara berkonstribusi untuk mempermudah pemetaan
kekerasan terhadap perempuan dan akses perlindungan korban. Termasuk akses keadilan di lembaga peradilan yang terdokumentasi dengan baik
2. Data KtP Papua dari tahun-ketahun melalui Catahu cenderung tembus pandang, tidak
terdokumentasi sehingga tak ada peta penanganan.
3. Pengetahuan Negara tentang KtP :
Terdapat perubahan perspektif dan penamaan kategori kekerasan terhadap perempuan sebagai penyebab perceraian di Badan Peradilan Agama. Antara lain tidak lagi mengkategorikan poligami sehat atau poligami tidak sehat.
4. Akses Layanan : Lembaga layanan dari OMS sejauh ini yang paling dipercaya atau terbanyak
dipercaya korban untuk menangani kasusnya.Perempuan korban dan masyarakat telah menggunakan mekanisme LNHAM dalam memutus mata rantai kekerasan dan mendapatkan akses layanan.
Rekomendasi:
1. Pencegahan
1. Kementrian Komunikasi dan Informasi segera membangun sistem dan teknologi untuk
mencegah meluasnya kekerasan terhadap perempuan berbasis siber
2. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak untuk mengimplementasi kan
ACTIP guna mencegah dan menangani perdagangan perempuan di Indonesia setidaknya di kawasan ASEAN bersama dengan lembaga-lembaga strategis di regional, nasional dan lokal
3. Kepolisian R.I melakukan pendokumentasian secara nasional dan massif tentang kejahatan
femisida sebagai bentuk kejahatan klimaks dari KtP agar terpetakan penyebab, pola dan langkah-langkah pencegahannya
4. Kementrian Pendidikan nasional melakukan evaluasi sistem pendidikan dan turut mencegah
kekerasan di lembaga pendidikan khususnya SLTP dan SLTA.
5. Kementrian Bappenas melakukan evaluasi arah dan prioritas pembangunan untuk
2. Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Perempuan Korban
1) Kepolisian RI,Kejaksaan Agung RI dan Mahkamah Agung RI : Membangun SOP
penanganan Kejahatan cyber dan pemulihan perempuan korban
2) Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Memastikan UU PKDRT substansi dan
mekanismenya dijalankan oleh semua pihak terutama perlindungan pada korban dan akses keadilan bagi korban serta penghukuman untuk mencegah impunitas
3) Kementrian Dalam Negeri melakukan pengawasan dan pembinaan atas penyelenggaraan good
governance untuk melindungi perempuan dari kekerasan terhadap perempuan
4) Kementrian koordinator PMK melakukan sistem pencegahan dan penanganan isu-isu
memicu dan berdampak konflik di masyarakat untuk memastikan hak keadilan dan pemulihan bagi warga negara.
5) Kementrian Perumahan Rakyat memberikan prioritas untuk perumahan, yang diprioritaskan
kepada korban kekerasan terhadap perempuan termasuk pada single parent untuk mencegah dari jeratan sindikasi narkoba, sasaran trafficking, maupun migrasi yang tidak terlindungi.
3. Menciptakan hukum yang menjamin pemajuan HAM
1) Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI dan Mahkamah Agung RI menghentikan hukuman
mati dan memastikan fair trial bagi perempuan-perempuan yang terjebak dalam lingkaran
perdagangan narkoba, termasuk memberikan pemulihan bagi perempuan pengguna
dibanding langkah-langkah punitive/penghukuman.
2) DPR.RI bersama Pemerintah :
a. Membangun mekanisme partisipatoris dalam penyusunan Prolegnas bersama
Lembaga HAM Nasional, masyarakat dan kelompok korban.
b. dalam proses revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika perlu membuka
peluang untuk melihat perempuan yang terjebak dalam lingkaran perdagangan narkoba sebagai korban perdagangan orang
c. menggunakan prinsip-prinsip perlindungan korban dan prinsip HAM perempuan
dalam membahas dan mengesahkan RUU KS dan RKUHP.
METODOLOGI: KOMPILASI DATA DARI LEMBAGA MITRA PENGADA LAYANAN
Pengumpulan data catatan tahunan (disingkat CATAHU) Komnas Perempuan berdasarkan pemetaan laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia, serta pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun melalui email resmi Komnas Perempuan. (silakan lihat daftar lembaga yang berpartisipasi dalam memberikan data kepada Komnas Perempuan)
Metode yang dilakukan Komnas Perempuan adalah dengan beberapa cara:
1. Bekerjasama dengan pemerintah yang telah memiliki mekanisme membangun dan mengolah data dari seluruh provinsi di Indonesia, yaitu Badan Peradilan Agama (BADILAG). BADILAG memiliki data lengkap tentang angka perceraian dan telah melakukan kategorisasi penyebab perceraian berdasarkan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Data ini membantu Komnas Perempuan menemukan penyebab-penyebab berdasarkan kekerasan berbasis gender dalam ranah Perkawinan atau Rumah Tangga. Komnas Perempuan juga mengambil data unduhan tentang perceraian yang disajikan melalui situs internet resmi dari putusan perkara Mahmah Agung, untuk menemukan kasus perceraian selain yang beragama Islam.
2. Mengirimkan formulir kuesioner yang perlu diisi oleh lembaga-lembaga yang menangani perempuan korban kekerasan baik kepada pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Formulir kuesioner yang dibuat Komnas Perempuan memuat tentang identifikasi kasus kekerasan berbasis gender. Kesediaan pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil sangat membantu Komnas Perempuan dalam menyajikan data temuan kekerasan terhadap perempuan.
3. Mengolah data pengaduan yang langsung datang Komnas Perempuan dari Unit Pengaduan dan Rujukan maupun dari email.
4. Menyajikan tambahan data dari mitra berdasarkan kelompok perempuan rentan yaitu Kekerasan terhadap Komunitas Minoritas Seksual, Perempuan dengan Disabilitas, Perempuan dengan HIV, serta WHRD (Women Human Rights Defender/Perempuan Pembela HAM)
Lembaga-Lembaga yang berkontribusi data untuk CATAHU
A. Pemerintah
BADILAG: Badan Peradilan Agama PN: Pengadilan Negeri
UPPA: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kepolisian)
RPTC: Rumah Perlindungan/Trauma Center (Kementrian Sosial) Rumah Sakit
PPT: Pusat Layanan Terpadu
Pemerintah memiliki lembaga-lembaga yang membangun data berdasarkan laporan tentang kekerasan berbasis gender, diantaranya dalam ranah perkawinan, atau rumah tangga atau hubungan personal (biasa disebut relasi personal).
- Badan Peradilan Agama (Pengadilan Agama)
Komnas Perempuan pada akhir tahun 2017 berhasil menjalin kerjasama dengan BADILAG (Badan Peradilan Agama) untuk penyediaan data perceraian yang telah diolah berdasarkan kategori penyebab perceraian. Diantaranya ditemukan perceraian disebabkan oleh kasus KDRT, kekerasan berbasis fisik, psikis, ekonomi, poligami, perselingkuhan, dan lain sebagainya. Laporan tersebut berdasarkan UU Perkawinan.
Sementara itu lembaga-lembaga dibawah pemerintah yang memberikan data berdasarkan kuesioner yang dikirimkan Komnas Perempuan adalah:
- Kepolisian: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
- RPTC (Rumah Perlindungan/Trauma Center) dibawah Kementrian Sosial
- Rumah Sakit (RS)
- P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)
- PPT (Pusat Pelayanan Terpadu)
- DP3AKB (Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana)
B. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan WCC (Women Crisis Center)
Komnas Perempuan mellihat tentang pentingnya inisiatif organisasi masyarakat sipil di berbagai provinsi di Indonesia dalam membuka layanan pengaduan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan. Demikian pula Women Crisis Center (WCC) yang dibangun khusus untuk pelayanan korban. Kehadiran dan partisipasi mereka sangat membantu Komnas Perempuan menemukan berapa laporan korban serta bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban. Komnas Perempuan bahkan dapat menemukan data kategori pelaku kekerasan. Data pelaku ini diharapkan dapat mempermudah banyak pihak untuk menganalisa akar kekerasan serta bagaimana melakukan pencegahan dan pemulihan. Keberadaan organisasi masyarakat sipil sangatlah penting didukung oleh semua pihak karena merekalah yang dapat menjangkau langsung korban dan memiliki metode yang lebih komprehensif mulai dari pendampingan, penanganan sampai pemulihan korban.
Kategorisasi dalam Penyajian Data CATAHU
CATAHU menyajikan tampilan data kekerasan terhadap perempuan berdasarkan kategori berikut ini:
- Kategori berdasarkan data kuesioner yang telah diterima Komnas Perempuan dari berbagai lembaga layanan baik pemerintah maupun LSM
- Data dari PA ini menambah angka total kasus KtP secara signifikan, khususnya di ranah rumah tangga (KDRT)/relasi personal (RP). Namun demikian analisis tetap dilakukan terpisah agar menjadi jelas kebutuhan penanganan kasus di lembaga-lembaga mitra pengada layanan (selain PA).
- Kategori pengaduan langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengajuan dan Rujukan (UPR) dan email resmi Komnas Perempuan.
Kategori lainnya adalah berdasarkan ranah yaitu:
- Kategori Privat atau biasa disebut KDRT/Ranah Personal (RP),
- Kategori Publik atau Komunitas
- Kategori negara.
Ketiga kategori ini untuk menunjukkan bagaimana perempuan mengalami kekerasan dari berbagai aspek mulai dari rumah atau orang terdekat, ruang publik, hingga dampak kebijakan negara.
Pengiriman Formulir Data Catahu dan Tingkat Respon
Berikut adalah data pengiriman dan penerimaan Formulir Kuesioner Komnas Perempuan kepada lembaga-lembaga yang bersedia berpartisipasi.
Pengiriman kuesioner dilakukan dalam jumlah yang beragam. Komnas Perempuan melakukan verifikasi data setiap tahun dimana ada beberapa lembaga yang sudah tutup ataupun kehilangan kontak, serta adanya perubahan struktur dalam lembaga pemerintah seperti P2TP2A yang berubah fungsinya sebagai unit pelaksana teknis di tahun lalu. Komnas Perempuan menyadari bahwa terdapat kendala yang berdampak dalam pengembalian kuesioner, pertama berkaitan dengan keberlangsungan lembaga mitra, kedua pemahaman atas pengisian formulir kuesioner, ketiga tingkat kebutuhan lembaga mitra tentang pengolahan data, serta tidak adanya sumber daya manusia di lembaga-lembaga mitra tersebut. Atas keadaan tersebut Komnas Perempuan sangat membutuhkan untuk melakukan pengembangan kapasitas atau membimbing mitra lembaga baik pemerintah maupun LSM yang ingin
PN RPTC UPPA RS WCC LSM/
OMS P2TP2A PPT DP3AKB Jumlah
Kirim 272 5 154 63 14 157 46 26 14 751
Terima 72 3 51 13 10 63 17 5 3 237
Prosentase 26% 60% 33% 21% 71% 40% 37% 19% 21% 32%
Tahun ini tingkat respon pengembalian kuesioner dari mitra lembaga sebesar 32%, namun masih sangat cukup membantu Komnas Perempuan untuk mendapatkan temuan kekerasan terhadap perempuan di berbagai provinsi di Indonesia. Dalam diagram di atas terlihat respon tertinggi adalah WCC, RPTC, LSM dan P2TP2A.
Grafik di atas menunjukkan pengiriman dan pengembalian (penerimaan) kuesioner dari berbagai propinsi di Indonesia, bahwa sumber data CATAHU yang dilakukan Komnas Perempuan hampir meliputi seluruh Indonesia, meskipun dengan keterbatasan-keterbatasan yang telah dijelaskan di atas. Tahun ini ada penambahan data dari Provinsi Kaltara (Kalimantan Utara).
Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan LSM/OMS sama dengan tahun lalu, sementara P2TP2A turun jumlahnya tetapi dengan respon yang meningkat. Menarik melihat naiknya angka pengaduan ke Rumah Sakit dan UPPA yang adalah lembaga pengada layanan dibawah pemerintah. Peningkatan tersebut menunjukkan semakin banyaknya korban yang berani melapor, tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban meningkat kepada lembaga layanan pemerintah. Selain itu lembaga layanan memiliki kesadaran tentang pentingnya pendokumentasian. Namun terdapat lembaga yang melakukan kerja penanganan namun tidak melakukan pengolahan data, sehingga tidak ada data yang dapat digunakan.
Khusus untuk Papua tidak ditemukan angka bukan berarti tidak ada korban. Fenomena kekerasan di Papua sering melalui penyelesaian adat yang tidak tercatat. Sementara itu lembaga pengada layanan LSM lebih banyak dari Papua Barat, tetapi belum terdokumentasi. Oleh karena itu Komnas Perempuan ke depan menganggap perlunya mengagendakan sosialisasi Catahu di Papua dan Papua Barat.
Pengiriman (751) dan Penerimaan (237) Formulir Data Menurut Provinsi CATAHU 2018
Terima
GAMBARAN UMUM: JUMLAH PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN TAHUN 2018
Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017 dalam CATAHU 2018
Keterangan: Diagram berdasarkan data dari Badilag dan data kuesioner yang diterima Komnas Perempuan dari tahun ke tahun.
Sebagian besar data catahu yang dikompilasi Komnas Perempuan bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani oleh PA. Dari total 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dikompilasi Komnas Perempuan pada tahun 2017, sebanyak 335.062 kasus atau 96% adalah data PA dan 13.384 kasus atau 3% adalah data dari 237 lembaga mitra pengada layanan yang mengisi dan mengembalikan formulir pendataan Komnas Perempuan.
Dari data berdasarkan kuesioner tersebut tampak kekerasan terhadap Perempuan di tahun 2017 dalam Catahu 2018 mengalami peningkatan yaitu sebesar 348.446 kasus naik sekitar 25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2016) yaitu sebesar 259.150.
Kenaikan jumlah tersebut tidak dapat disimpulkan bertambahnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan melihat bahwa peningkatan tersebut justru menunjukkan semakin banyaknya korban yang berani melapor. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban pada lembaga-lembaga pengada layanan. Selain itu lembaga layanan semakin memiliki kesadaran tentang pentingnya melakukan pengolahan data. Angka yang disajikan tersebut untuk membantu banyak pihak termasuk negara tentang bagaimana pencegahan dan pemulihan dilakukan. Meningkatnya keberanian korban untuk melapor tidak mungkin tanpa adanya lembaga pengada layanan, dan tanpa adanya kepercayaan masyarakat terutama korban. Oleh karena itu sistem dan lembaga-lembaga yang menerima layanan pengaduan atau pelaporan korban perlu didukung keberlangsungannya baik oleh masyarakat maupun negara.
25,522
54,425
143,586
105,103 119,107
216,156
279,688 293,220
321,752
259,150
348,446
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Data KTP Lembaga Mitra Pengada Layanan
Seperti disebutkan pada metodologi, penyajian data dibedakan menjadi data dari form kuesioner yang datang dari lembaga layanan, yang juga memuat data-data khusus mengenai perempuan dengan disabilitas, WHRD dll, data pengadan langsung ke Komnas Perempuan, dan data dari badan peradilan agama.
Berikut adalah jumlah kasus yang dilaporkan oleh masing-masing lembaga pengada layanan baik LSM, WCC, maupun pemerintah.
Kasus terbanyak yang dilaporkan adalah melalui LSM (3,797 kasus), dan Kepolisian melalui UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) sebanyak 2,839 kasus. Kasus terlaporkan ini menunjukkan tingginya kepercayaan dan kebutuhan masyarakat terutama korban terhadap lembaga pengada layanan tersebut, atau lembaga tersebut lebih mudah diakses dan dikenal oleh masyarakat dan korban sebagai tempat mengadu.
0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000
PN RPTC UPPA RS WCC LSM/OMS P2TP2A DP3AKB PPT
1,058 117
2,839 2,044
890
3,797 1,979
409 251
Angka Kekerasan Berdasarkan Data Propinsi
Sementara angka kekerasan terhadap perempuan berdasarkan propinsi yang tertinggi adalah DKI Jakarta (1,999), kedua Jawa Timur (1,536) dan ketiga Jawa Barat (1,460) dilaporkan tertinggi, tetapi tingginya angka tersebut belum tentu menunjukkan banyaknya kekerasan di propinsi tersebut. Komnas Perempuan melihat tingginya angka berkaitan dengan jumlah tersedianya Lembaga Pengada Layanan di propinsi tersebut, dan kepercayaan masyarakat untuk mengadu.
Sangat mungkin rendahnya angka kekerasan terhadap perempuan di propinsi tertentu disebabkan oleh tidak adanya lembaga tempat korban melapor atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang tersedia, atau rasa tidak aman apabila melapor. Berikut diagram data yang dimaksud.
Ac
POLA KTP TAHUN 2016
Angka Kekerasan Berdasarkan Ranah Personal (Pribadi), Komunitas dan Negara
Komnas Perempuan membuat kategorisasi berdasarkan ranah pribadi, komunitas dan negara untuk menggambarkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam hubungan-hubungan kehidupan perempuan dengan lingkungannya, baik secara pribadi, di ruang kerja atau di komunitas dan di ruang publik, maupun negara. Melalui kategorisasi ini dapat menjelaskan ranah mana yang paling berisiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Diagram di bawah ini masih menunjukkan ranah yang paling berisiko bagi perempuan, yaitu kekerasan dalam ranah personal, yaitu diantaranya perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT), dan dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran) yaitu sebesar 71%. Ranah pribadi ini justru yang paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual.
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perkawinan dan Hubungan Pribadi
Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah pribadi terjadi dalam berbagai bentuk. Melalui bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan perempuan dengan orang terdekat, dapat menggambarkan kekerasan yang terjadi pada korban. Bentuk-bentuk tersebut adalah kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak perempuan berdasarkan usia anak (KTAP), kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar, kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga, dan ranah personal lainnya.
Privat 9.609
71%
Komuni tas 3.528
26% Negara
247 1,8%
KTP menurut Ranah (n=13.384) CATAHU 2018
KTI, 5,167 KDP, 1,873
KTAP, 2,227
KMS,
155 KMP, 44
PRT, 140
RP LAIN, 3
CATAHU tahun 2018 ini menunjukkan hal yang baru, berdasarkan laporan yang diterima pengada layanan, pada tahun 2017 terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) yang lebih tinggi di banding tahun lalu yaitu sebanyak 2,227 kasus (tahun 2016 KTAP sebanyak 1.799 kasus). Di tahun 2017 ini ,angka kekerasan tertinggi adalah kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 5,167 kasus, dan kemudian kekerasan dalam pacaran (KDP) terbesar ketiga setelah kekerasan terhadap anak yaitu sebesar 1,873 kasus. Pola ini sama seperti tahun lalu dimana kekerasan terhadap istri (KTI) menempati persentase tertinggi yaitu 57% (5.784), diikuti kekerasan dalam pacaran (KDP) 21% (2.171).
Keluarnya angka kekerasan terhadap anak perempuan yang tinggi menjadi angka yang perlu menjadi perhatian, bahwa menjadi anak perempuan di dalam rumah bukan lagi hal yang aman. Diantara mereka mengalami kekerasan seksual. Perhatian dan keberanian melaporkan anak perempuan kepada lembaga layanan menunjukkan kebutuhan anak perempuan untuk mendapatkan pendampingan dan perlindungan. Sementara itu berikut adalah diagram bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal.
Diagram diatas menunjukkan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (41%), dan seksual sebanyak (31%). Kekerasan seksual menjadi terbanyak kedua yang dilaporkan, dan menunjukkan rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.
Fisik 41%
Seksual 31% Psikis
15%
ekonomi 13%
Kekerasan Seksual dalam Ranah Privat
Komnas Perempuan menganggap perlunya melihat lebih dalam tentang bentuk kekerasan seksual apa saja yang dialami korban di ranah keluarga atau KDRT, berikut adalah diagramnya.
Diagram di atas sangat mengejutkan karena kekerasan seksual di dalam rumah yang banyak dilaporkan adalah kasus incest yaitu sebesar 1,210 kasus, kedua adalah kasus eksploitasi seksual/persetubuhan sebanyak 555 kasus, dan kemudian perkosaan dan pencabulan.
Angka tentang incest menunjukkan pelaku kekerasan seksual terbanyak dilakukan oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga. Selain itu kekerasan seksual dalam hal incest yang pelakunya adalah anggota keluarga menjadi semakin banyak terlaporkan. Kekerasan seksual dalam bentuk incest ini paling banyak dilaporkan kepada LSM, Kepolisian (UPPA), P2TP2A, dan Pengadilan Negeri.
Kasus incest tertinggi dengan pelaku ayah dan paman (lihat kategori pelaku) yang termasuk kategori kekerasan seksual atau ranah privat. Ini menunjukkan baik ayah maupun paman adalah dua orang yang seharusnya menjadi pelindung bukan lagi menjadi sosok yang aman untuk korban. Hal lainnya adalah, bagaimana dengan hukuman kebiri pada kasus incest ini? Total kasus incest tahun 2017 sejumlah 1,210 yang dilaporkan ke polisi sebanyak 266 (22%) dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).
pencabulan perkosaan percobaan perkosaan Persetubuhan / Eksploitasi seksual pelecehan seksual Marital Rape incest kekerasan seksual lain
379 619 2
555 32
172
1,210 10
Kategori Pelaku Kekerasan Seksual dalam Keluarga dan Hubungan Personal
Komnas Perempuan memiliki kepentingan untuk melihat data pelaku kekerasan seksual di ranah rumah tangga dan relasi personal yang banyak dilaporkan. Berikut adalah diagramnya.
Kekerasan seksual yang terjadi di dalam ranah pribadi paling banyak dilakukan oleh pacar, sementara dalam KDRT menjadi kedua terbesar yaitu dilakukan oleh Ayah Kandung, Paman, Kakak Kandung dan Kakek Kandung. Kekerasan seksual juga dilakukan oleh pihak Suami, yang selama ini dianggap tidak mungkin.
Pada pelaku pacar, menunjukkan bahwa banyak terjadi pemaksaan hubungan seksual pada pasangan yang masuk dalam kategori perkosaan. Data kekerasan dalam pacaran tertinggi didapatkan dari polisi (UPPA), Rumah Sakit, dan Pengadilan Negeri. Artinya bahwa bila kasus pacaran dianggap berzinahan, tidak sedikit di dalamnya adalah perempuan korban perkosaan yang sangat mungkin menjadi terkena hukuman perzinahan. Korban yang seharusnya dilindungi menjadi mengalami kriminalisasi.
ibu PRT laki laki Mantan Pacar Pacar Suami Mantan Suami Majikan Sepupu Kakak ipar Kakak Tiri Kakak Angkat Kakak Kandung Paman Ayah asuh Ayah angkat Ayah tiri Ayah Kandung Kakek Tiri Kakek Kandung
2 1 8
1,528 192
12 24
44 51 10 1
89
322 2
2
205
425 3
58
Sedangkan jika melihat laporan dari lembaga layanan angka kekerasan seksual datang paling tinggi dari LSM/OMS dan kedua adalah 292 kasus datang dari UPPA ini menunjukkan kepercayaan korban kepada lembaga selain lembaga berbasis masyarakat. Kekerasan seksual di ranah privat juga mulai dikenali oleh lembaga pemerintah.
Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik atau Komunitas
Komnas Perempuan melalui data lembaga layanan, menemukan bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas. Ranah komunitas biasanya adalah di lingkungan kerja, bermasyarakat, bertetangga, ataupun lembaga pendidikan atau sekolah. Berikut adalah diagramnya.
Sebanyak 76% kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (911), Pelecehan Seksual (704) dan Perkosaan (699). Sementara itu persetubuhan sebanyak 343 kasus. Untuk pencabulan, korban perempuan dewasa seringkali tidak mau menggunakan kata pencabulan melainkan perkosaan. Pencabulan bisa jadi adalah lingkup pelecehan seksual yang tidak ada rujukan hukumnya. Untuk persetubuhan, 343 kasus berpotensi soal perzinahan, dan sangat mungkin terjadi reviktimisasi korban.
PN
Berikut adalah tabel bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud.
Kekerasan Seksual sebagai angka tertinggi di ranah komunitas paling banyak dilaporkan kepada lembaga Kepolisian (UPPA), LSM dan P2TP2A.
911
Jenis dan Bentuk KTP Ranah Komunitas (n=3.528) CATAHU 2018
Pelaku Kekerasan Seksual di Ranah Komunitas
Melihat tingginya angka kekerasan seksual di ranah komunitas, Komnas Perempuan mengeluarkan data khusus tentang karakteristik Pelaku berikut ini.
Angka pelaku tertinggi dari diagram di atas adalah teman, sebesar 1.106, lalu diikuti tetangga yang masih dalam lingkungan rumah. Diagram diatas juga menunjukkan guru sebagai pelaku, tokoh agama dan tokoh masyarakat dan juga atasan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku tidak mengenal jabatan dan status sosial tertentu. Melihat tingginya pelaku adalah teman dan tetangga, masih menunjukkan bahwa korban mengalami kekerasan oleh orang terdekat di rumah dan lingkungan hidupnya.
Bagan berikut ini menunjukkan laporan tentang pelaku adalah teman dan tetangga paling banyak diterima oleh Kepolisian (UPPA), P2TP2A, LSM dan rumah sakit. Sementara laporan tentang pelaku adalah guru paling banyak menerima laporan adalah Pengadilan Negeri (PN), dilanjutkan P2TP2A dan Kepolisian (UPPA). Sementara pelaku Tokoh Agama laporannya diterima oleh Rumah sakit dan WCC.
104 147
257 2
12 125 54
863
1,106
Tidak Diketahui Orang Tidak Dikenal Orang Lain Tokoh Masyarakat Tokoh Agama Guru Atasan Kerja Tetangga Teman
Pelaku Kekerasan Seksual Ranah Publik/Komunitas (n= 2.670) CATAHU 2018
Pelaku Kekerasan Seksual Ranah Komunitas berdasarkan Lembaga Layanan (n=2.670) CATAHU 2018
Teman
Tetangga
Atasan Kerja
Guru
Tokoh Agama
Kekerasan di Ranah Negara
Pengaduan kekerasan di Ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara adalah kasus kriminalisasi dalam konflik sumberdaya alam, termasuk diantaranya penggusuran. Berikut adalah data tersebut sebanyak 247 kasus di wilayah Bali, Jawa Barat, Jakarta dan Sulawesi Selatan.
Kekerasan di ranah negara yang tercatat dalam data kuesioner adalah sebagai berikut:
1 Bali Penggusuran Warga Batuampar Warga - Polisi 25 2 Jawa Barat
Ancaman
penggusuran Tamansari
Warga -
Pemerintah 136
3 Jakarta Penggusuran Cilincing
Warga -
Pemprov DKI 19
4
Sulawesi Selatan
Ancaman
KARAKTERISTIK KORBAN DAN PELAKU
Indikator Ketimpangan Relasi dari Usia, Pendidikan dan Profesi Korban Pelaku
Data mengenai karakteristik korban dan pelaku, disatukan analisisnya antara data lembaga layanan dan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan. di ranah privat dapat dilihat dalam sejumlah grafik mengenai usia, dan grafik tentang pendidikan, serta grafik pekerjaan korban dan pelaku. Data ini dapat menjadi indikator ketimpangan relasi antara pelaku dengan korbannya.
Korban dan pelaku di ranah privat/personal kebanyakan berusia 25-40 tahun. Baik korban dan pelaku terbanyak dalam usia produktif. Sementara data yang paling mengejutkan adalah bahwa ada pelaku berusia 5 tahun yang dilaporkan sebanyak 14 kasus dari LBH APik Aceh. yang dilaporkan dalam bentuk pelecehan seksual kepada teman sebaya.
<5 th 6-12 th 13-18 th 19-24 th 25-40 th >40th Tidak
Usia Korban dan Pelaku Kekerasan Ranah Komunitas
CATAHU 2018
Pelaku
Korban
<5 th 6-12 th 13-18 th 19-24 th 25-40 th >40th
Usia Korban dan Pelaku KDRT/RP
CATAHU 2018
Pelaku
Korban
0 100 200 300 400 500 < 5 th
6-12 th 13-18 th 19-24 th 25-40 th >40 Tidak TeridentiXikasi
(TT)
Usia Korban dan Pelaku Pengaduan Langsung Ke
Komnas Perempuan CATAHU 2018
Pendidikan terendah pelaku adalah sekolah dasar, sementara korban tidak sekolah, sementara pendidikan tertinggi baik korban maupun pelaku lulus perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan tetap mengalami subordinasi sekalipun pendidikan tinggi. Dengan demikian pandangan pendidikan tinggi perempuan dapat menjadi posisi tawar terhadap posisinya dalam keluarga, masyarakat ataupun negara tidak dapat dibuktikan. Data tentang latar belakang pendidikan korban maupun pelaku di atas untuk menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam pendidikan rendah ataupun tinggi, dan tahun ini terdapat data tentang pelaku dalam usia yang belum sekolah. Sementara dari data profesi menunjukkan korban paling banyak berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sementara pelaku berprofesi sebagai karyawan swasta. Data tersebut menunjukkan ketimpangan relasi antara korban dengan pelaku sekalipun perempuan dengan pendidikan tinggi, tidak serta merta merubah posisi tawar terhadap pelaku. Hampir semua data tersebut tertinggi adalah tidak teridentifikasi, bisa jadi persoalannya ada pada pendokumentasian atas faktor tersebut atau masalah administrasi kependudukan yang belum sinkron dengan
tidak sekolah <SD SD SLTP SLTA PT Lainnya tidak
Pendidikan Korban dan Pelaku Ranah Privat/
Personal CATAHU 2018
Pelaku
Korban
tidak sekolah <SD SD SLTP SLTA PT Lainnya tidak
Pendidikan Korban dan Pelaku Ranah Komunitas
CATAHU 2018
Pelaku
Korban
0 100 200 300 400 500 600 700 Tidak Sekolah
SD SLTP SLTA PT Tidak TeridentiXikasi (TT)
Tingkat Pendidikan Korban Pelaku Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan CATAHU 2018
Pelaku
IRT
Profesi Korban Pelaku Data Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan CATAHU 2018
Pelaku
Kekerasan terhadap Komunitas Minoritas Seksual, Perempuan dengan Disabilitas, Perempuan Rentan Diskriminasi (HIV/AIDS) dan WHRD (Perempuan Pembela HAM)
Sejak 8 tahun yang lalu, formulir pendataan CATAHU dilengkapi dengan satu lembar isian untuk mendata korban kekerasan yang dialami komunitas minoritas seksual dan pada tahun 2016 Komnas Perempuan melengkapi formulir pendataan dengan data kekerasan yang dialami pada perempuan dengan disabilitas dan perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS).
Kekerasan terhadap Komunitas Minoritas Seksual
Pada tahun 2017 ada 24 kasus yang didokumentasikan oleh pengada layanan yang mengirimkan formulir pendataan kembali ke Komnas Perempuan. Jenis kekerasan yang dialami komunitas minoritas seksual dapat dilihat dalam tabel berikut
Nama Lembaga Bentuk Kasus Jumlah Pelaku Tindakan yang dilakukan lembaga
LBH Jakarta
Penggerebekan kegiatan LGBT - ill
treatment 2
Masyarakat Pendampingan hukum saat pemeriksaan
LBH Apik
Semarang Pemalsuan data 1 Keluarga Pendampingan bersama jaringan Yayasan Savy
Amira Kekerasan ekonomi 1 Pasangan LGBT
Pendampingan psikologis
Bireuen 1 Pemda Pendampingan hukum
LBH Banda Aceh
5 Saudara kandung Memberi pendampingan
psikologis dan mencatatkan kasus
Institute Kekerasan seksual berbasis SOGIEB dr
keluarga 1 Teman kuliah
Memberi pendampingan
Ardhanary Institute
Diskriminasi berbasis SOGIEB dari
komunitas 1 Teman kuliah
Memberi pendampingan
psikologis dan mencatatkan kasus
LBH Makasar Pembubaran kegiatan 1
Kelompok LGBT - aparat kepolisian
Mengeluarkan rilis, bersurat ke polisi meminta klarifikasi. Meminta audiensi ke polisi
eLSPA Kekerasan fisik 1 Anak - Masyarakat
Pendampingan dan penguatan terhadap korban
SPEK - HAM Solo
Penganiayaan
terhadap waria 1 Teman satu komunitas
Konseling dan konsultasi hukum
orientasi seksual 1 Mantan pacar Di rujuk ke Ardhanary Institute
LBH Masyarakat
Ancaman
penyebarluasan data pribadi lewat sosial
media 1 Pacar LSL Melakukan konsultasi hukum
Kekerasan terhadap Perempuan dengan Disabilitas
Pada tahun 2014 Komnas Perempuan Melengkapi formulir pendataan mengenai kekerasan yang dialami perempuan dengan disabilitas. Di tahun ini lembaga mitra/pengada layanan mendokumentasikan sebanyak 48 kasus. Yang menggembirakan pada tahun ini ada 4 laporan yang datang dari kepolisian. Data dapat diamati dalam tabel berikut:
Nama
Lembaga Bentuk Kekerasan
Jumlah
Kasus Jenis Disabilitas Pelaku
Tindakan yang dilakukan Lembaga
Yayasan Atma
Jogjakarta Penipuan 1 Tuna grahita Teman
Pendampingan Hukum
SAPDA
Jogjakarta Pelecehan oleh guru 1 Tuna rungu Guru
Assesment, Melakukan
oleh tetangga 3 Tuna grahita Tetangga
Assesment,
LBH Apik
Foremba Kekerasan seksual 1 Tuna wicara Satpam
Pendampingan hukum dan penguatan korban
Yayasan
Foremba Kekerasan seksual 1 Tuna wicara Tetangga
Pendampingan hukum dan penguatan korban
Yayasan
Foremba Kekerasan seksual 1 Tuna netra
Mantan
Pacar Konseling
Yayasan
Foremba Kekerasan seksual 1 Tuna grahita
Pedagang keliling
Pendampingan hukum
HWDI Pusat Perkosaan oleh guru
1 Disabilitas
intelektual Guru
Pendampingan dan rujukan psikologis
HWDI Pusat Perkosaan oleh teman 1
Medan Kekerasan Psikis 1
Difable ( tidak
memiliki kaki ) Suami Pendampingan
Sanggar Suara
Down Sindrom Tetangga Mediasi Akara
Tuna wicara Tetangga Penegakan Hukum
WCC Rifka
Mental tetangga Penegakan Hukum Polres
Polres Sleman KTAP Seksual Incest
1 Tuna wicara dan
tuna rungu Kakak ipar Penegakan Hukum
Polres Sleman Perkosaan Personal 1
Tidak diketahui paman
Perempuan dengan HIV AIDS
Di tahun 2016 Komnas Perempuan melengkapi formulir pendataan dengan data kekerasan terhadap perempuan dengan HIV AIDS, tidak setiap tahun ada lembaga yang menangani kasus perempuan dengan HIV AIDS mengirimkan data nya, di tahun ini ada sejumlah lembaga yang mendokumentasikan dan mengirimkan kembali form pendataan Komnas Perempuan. Jumlah kasus dan jenis kekerasan dapat dilihat sebanyak 19 kasus sbb:
Nama Lembaga Bentuk Kasus Jumlah Pelaku
Tindakan yang dilakukan
ODHA 1 Keluarga dan tetangga Bantuan Psikologis dan hukum
Yayasan Foremba NTT
Yayasan Gasira Ambon KDRT fisik 1 suami
Memberikan pendampingan hukum, rujuk ke lembaga yg memberikan pendampingan bagi korban HIV " yayasan pelangi "
LBH Masyarakat
GIPA ( Global Inklusi
Dalam formulir pendataan Komnas Perempuan terdapat data dari lembaga mitra terkait kekerasan yang dialami perempuan pembela HAM (women human’s rights defender - WHRD). Pada CATAHU kali ini kekerasan terhadap perempuan pembela HAM datang dari 3 wilayah yaitu Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Tenggara, seperti bisa dilihat dari tabel berikut:
Kasus yang dialami pendamping seringkali datang karena proses pendampingan kepada korban, sehingga pelaku (misal suami/keluarga suami) melakukan ancaman dan teror kepada pendamping. Status sebagai WHRD dengan aktifismenya dianggap sebagai perempuan yang ter-stigma sebagai perempuan yang “melawan” budaya patriarki, adat, agama. Dengan demikian WHRD adalah salah satu kelompok rentan kekerasan yang perlu mendapatkan perlindungan.
Nama lembaga
pendamping korban 1 ancaman
Pelaku dari kasus
pendamping korban 5 Ancaman
PENGADUAN LANGSUNG KE KOMNAS PEREMPUAN
Setiap tahun Catahu selalu mencatat data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan terpisah dengan data yang dikumpulkan dari lembaga layanan untuk menghindari terjadinya double counting. Mengingat pengaduan yang masuk dapat saja berasal dari korban/pendamping korban yang adalah lembaga layanan atau setiap pengaduan yang masuk dapat dirujuk ke lembaga layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Beberapa alasan korban untuk mengadu langsung ke Komnas Perempuan diantaranya membutuhkan bantuan, dukungan, perlindungan, kasus mentok dalam artian telah melapor ke institusi terkait namun tidak ada respon atau penanganan lebih lanjut, lembaga layanan yang sulit diakses dan tidak berjalan secara maksimal, dan lainnya.
Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan di bawah koordinasi Sub Komisi Pemantauan, melalui dua mekanisme pengaduan yaitu:
1. Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR), yang didirikan sejak tahun 2005 untuk menerima pengaduan yang datang langsung maupun melalui telepon.
2. Divisi Pemantauan yang menerima pengaduan lewat surat dan email.
Untuk kedua saluran pengaduan ini, Komnas Perempuan membangun mekanisme dukungan bagi kasus KTP yang bersifat politis seperti: pelaku adalah pejabat publik/tokoh masyarakat, korbannya massal, dan/atau kasus yang sedang menjadi perhatian nasional/internasional, dan menemui kesulitan dalam proses penyelesaian perkara serta membutuhkan dukungan Komnas Perempuan terutama dalam proses hukum. Sepanjang tahun 2017 Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 1.301 kasus. Sejumlah 952 kasus melalui UPR/datang dan telepon dan sebanyak 349 kasus melalui Divisi Pemantauan/surat dan email.. Berikut rinciannya:
Dari total 1.301 kasus tersebut ada yang tidak ditindaklanjuti, yakni sejumlah 143 kasus karena: bukan kekerasan berbasis gender (tidak GBV) sebanyak 81 kasus, hanya minta atau memberi informasi/klarifikasi/tidak teridentifikasi (tidak bisa ditelusuri) sebanyak 62 kasus. Banyaknya kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, namun tidak berbasis gender atau hanya minta atau memberi informasi/klarifikasi/tidak teridentifikasi menunjukkan makin besarnya harapan masyarakat terhadap Komnas Perempuan untuk dapat menyelesaikan kasus yang dihadapinya dan semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami di lingkungannya. Juga menggambarkan kebutuhan masyarakat untuk didengar dan direspon atas peristiwa pelanggaran dan kejahatan yang dialaminya.
KDRT/RP Komunitas Negara TBG
Informasi/ KlariXikasi/
Tidak teridentiXikasi
datang dan telp 739 115 8 49 41
surat dan email 193 80 23 32 21
jumlah 932 195 31 81 62
Sekaligus menjadi catatan bagi Komnas Perempuan dalam mensosialisasikan mandat Komnas Perempuan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender. Berdasarkan diagram di atas, ranah kekerasan terbanyak yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan adalah Ranah Privat/Personal sebanyak 932 kasus (80%), Publik/Komunitas 195 kasus (17%) dan Negara 31 kasus (3%). Pengaduan tertinggi atas kasus kekerasan terhadap perempuan banyak dilakukan oleh orang terdekat yang mempunyai relasi personal dan sangat dikenal oleh korban. Relasi personal nampak dari hubungan pelaku dengan korbannya. Dimana dilihat dari segi usia, pekerjaan, pendidikan,status sosial, dan profesi. Sama halnya dengan data KtP dari mitra pengada layanan, dimana ranah privat/personal menempati angka tertinggi.
Dari tabel diatas menunjukkan dalam kurun waktu 5 tahun berjalan, data pengaduan selalu diatas angka 1.000 kasus, ditahun 2017 sejumlah 1.301 kasus, di tahun 2016 sebanyak 1.353 kasus, tahun 2015 sebanyak 1.248 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.094, tahun 2013 sebanyak 1.508, dan tahun 2012 sebanyak 1.291 kasus.
Bentuk KtP Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1,291 1,508
1,094 1,248 1,353 1,301
Jumlah Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan dari tahun 2012-2017
CATAHU 2018
tahun jumlah pengaduan
Fisik 23%
Psikis 44% Ekonomi
17%
Seksual 16%
Sementara itu bentuk kekerasan yang dialami korban yang mengadu ke Komnas Perempuan adalah sebagai berikut: kekerasan fisik sebanyak 531 kasus (23%), kekerasan psikis 995 kasus (44%), kekerasan ekonomi 397 kasus (17%), dan kekerasan seksual 369 kasus (16%). Komnas Perempuan mencatat, satu korban bisa saja mengalami banyak bentuk kekerasan atau yang disebut dengan kekerasan berlapis. Dan kekerasan psikis merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi. Kekerasan psikis yang dilaporkan misalnya: perselingkuhan, ingkar janji menikah, poligami, mendapat ejekan, kata-kata kasar, pengancaman, diusir dari rumah, dicerai sepihak, dikriminalkan, dsb.
Ranah Privat/Personal
Jenis kekerasan yang masuk dalam ranah privat/personal seperti dapat dilihat dalam grafik diatas, kekerasan terhadap isteri – KTI (606 kasus) merupakan kasus yang paling banyak diadukan. Kemudian berturut-turut: Kekerasan dalam Pacaran – KDP (119 kasus), Kekerasan Mantan Suami – KMS (55 kasus), Kekerasan terhadap Mantan Pacar – KMP (47 kasus), Kekerasan terhadap Anak Perempuan – KTAP atau kekerasan yang dialami oleh korban berusia anak atau korban dalam posisi/relasinya sebagai anak (95 kasus), Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga – PRT (3 kasus), dan KDRT/Relasi Personal lain – KDRT/RP Lain (7 kasus). KDRT/RP lain seperti: kekerasan terhadap menantu, sepupu, kekerasan oleh kakak/adik ipar atau kerabat lain.
Dalam Kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI), teridentifikasi berbagai macam bentuk diantaranya yang dominan adalah perselingkuhan yang dilakukan oleh suami dan ketika perselingkuhan tersebut diketahui oleh istri, pelaku melakukan kekerasan baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Perkawinan yang beristri lebih dari seorang juga banyak ditemukan dalam kasus KTI tanpa sepengetahuan istri (dalam KUHP dikenal dengan kejahatan perkawinan). Bentuk lainnya yaitu kriminalisasi KDRT dimana ketika istri menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mencoba untuk keluar dari lingkaran kekerasan dengan melaporkan suami ke kepolisian, namun suami melakukan pelaporan balik kepada istri dengan berbagai tuduhan mulai dari tuduhan penelantaran, pencemaran nama baik, dan sebagainya, sehingga tidak jarang korban yang akhirnya menjadi terdakwa. Dalam persidangan Majelis Hakim justru meletakkan perempuan bekerja, berpendidikan
0 100 200 300 400 500 600
KTI KDP KMS KMP KTAP PRT KDRT/RP lain
504 86
50 23
70 2
4
102 33
5 24 25 1 3
Jenis Kekerasan Ranah Privat/Personal Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan (n=932)
CATAHU 2018