• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebab Perceraian Menurut Provinsi (n=335.062) CATAHU

PEREMPUAN DAN PEMISKINAN

PRT, Kebijakan Bermigrasi dan Human Trafficking

Sepanjang 2017, BNP2TKI mencatat 35 % (92.158 orang) dari total penempatan TKI pada 2017 (261.820 orang) adalah PRT (pekerja rumah tangga/domestic workers), meningkat hingga dua kali lipat (46.849 orang) di tahun 2016. Sebanyak 71 pekerja migran Indonesia menjadi korban perdagangan orang, sementara Kemenlu mencatat 277 kasus yang mana versi dari Bareskrim terdapat 123 kasus. Data yang dikumpulkan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2017 dari OMS dan mitra penyedia layanan mencatat ada 177 kasus perdagangan orang. Pada tahun 2017, Komnas Perempuan juga menerima 10 pengaduan kasus PRT dan PRT migran yang menjadi korban perdagangan orang, bahkan disertai kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kriminalisasi. Para korban diperdagangkan di dalam negeri (wilayah Indonesia) dan di luar negeri (4 ke Malaysia, 1 Singapore dan 1 Timor Tengah) untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual hingga indikasi hilangnya organ tubuh, femisida dan hilang jejak. Asal korban tersebut dari NTT, NTB, Ambon, Makasar, Lampung, Medan dan Jateng. Seluruh korban sulit mendapatkan akses untuk melapor, karena diisolasi, terancam nyawa apabila melapor, ancaman denda pada orang tua, atau diancam dengan pembunuhan karakter. Kasus- kasus ini sebagian bisa dipulangkan, tetapi perkembangan proses hukum dan impunitas menjadi PR besar dalam penanganan trafiking.

Pemerintah Indonesia masih dalam posisi di peringkat (tier) dua dalam pemberantasan perdagangan orang. Daftar persoalan yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketidakpahaman petugas dengan indikator perdagangan manusia berdasarkan UU No. 21 tahun 2017 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang menghambat upaya proses identifikasi korban, minimnya pemahaman tentang kerentanan perempuan dan dampak trafiking, impunitas pelaku terutama ketika pelaku trafiking adalah orang dekat dan berpengaruh, lemahnya koordinasi antar negara dan antara pusat dan daerah. Selain itu moratorium sepihak pengiriman ke Saudi dan ke Malaysia tanpa target waktu yang jelas, membuka peluang pengiriman undocumented PRT migran yang

Sejumlah komitmen dan upaya negara yaitu mengadakan pelatihan bagi para pegawai pemerintah dan penegak hukum, penyadaran masyarakat yang memiliki resiko lebih besar menjadi korban perdagangan orang, memperkuat prosedur identifikasi korban yang sejalan dengan peningkatan sosialisasi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PTPPO) 2015-2019.47 Selain itu, Indonesia juga sudah meratifikasi ACTIP (Asean Convention on Trafficking in Person). Adapun upaya hukum, contoh dari NTT, Polda melalui Ditreskrimun menangani 26 kasus perdagangan orang selama tahun 2017, dengan tersangka 33 orang, proses penyelidikan sebanyak 5 kasus, dan tahapan penyidikan sebanyak 10 kasus

Pekerja Rumah Tangga Kekerasan seksual dan Ancaman Kriminalisasi

Komnas Perempuan menerima sejumlah pengaduan yang mengkriminalisasi PRT perempuan korban kekerasan seksual (KS) karena minimnya pengetahuan tentang hak kesehatan reproduksi sebagai hak hidup mendasar perempuan: 1) PRT (24 tahun) yang dikriminalisasi karena dituduh membunuh bayi hasil relasi seksual dengan pacarnya. Kehamilan tersebut tidak disadarinya karena keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Dampak hukum yang dialami N adalah pidana dengan dugaan upaya menghilangkan nyawa bayinya. Komnas Perempuan hadir memberikan kesaksian atas kasus yang ditangani LBH APIK, bahwa N tidak bermaksud membunuh bayinya. Namun karena ketidak pahaman kesehatan reproduksi (Kespro) telah menjadikan N abai terhadap perubahan tubuhnya. N berusaha menutupi kesakitan dan perdarahan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Ketimpangan relasi gender dalam relasi personal tidak hanya membuat N mengalami kehamilan hasil kekerasan seksual, tetapi juga kematian bayinya. 2) Kasus PRT usia anak (15 tahun), korban pemalsuan usia menjadi 18 tahun agar bisa bekerja sebagai PRT. Ia menjadi korban kekerasan seksual pacarnya, hamil dan setelah beberapa bulan menjadi PRT melahirkan secara diam-diam. Ia memotong sendiri tali pusar bayi yang mengenai leher bayinya hingga tak terselamatkan. Dalam kesaksian ahli, Komnas Perempuan memberi keterangan di Pengadilan bahwa B korban kekerasan seksual dan tidak paham tentang Kespro. Putusan Pengadilan memvonis bebas dengan pembinaan delapan belas bulan pada B.

Standar Ganda Sikap Pemerintah Indonesia tentang Ancaman Hukuman Mati di dalam Negeri dan di Luar Negeri

Salah satu isu yang perlu menjadi perhatian serius adalah ancaman hukuman mati terhadap para pekerja migran Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, hingga bulan Desember 2017, ada 142 WNI di seluruh dunia terancam hukuman mati dan sebagian besar dari mereka berada di Arab Saudi dan Malaysia.48 Mereka dituntut hukuman mati atas dugaan tindak pidana yang dilakukan antara lain pembunuhan, narkoba, penculikan, sihir, zina dan kepemilikan senjata api. Tiga (3) kasus di antaranya dalam situasi kritikal, yaitu atas nama Tuti Tursilawati, Eti binti Toyib dan Zaini Misrin.

Pada level internasional, pemerintah Indonesia memiliki reputasi yang baik sebagai negara yang memberikan perlindungan dan bantuan hukum pada warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. Upaya pembebasan sejumlah pekerja migran melalui berbagai upaya baik pemberian bantuan hukum, diplomasi antar negara, langkah politis, dan negosiasi bilateral. Selama periode 2011-2017, upaya hukum untuk WNI/PMI yang telah dilakukan berhasil melepaskan 391 WNI/TKI dari ancaman hukuman mati.

47

Namun pada saat yang sama melakukan eksekusi mati di dalam negeri. Sikap ini menunjukkan standar ganda pemerintah terhadap pelaksanaan hukuman mati. Praktek eksekusi hukuman mati di Indonesia juga menunjukan peningkatan yang signifikan yaitu sedikitnya ada 134 orang masuk dalam daftar tunggu eksekusi mati49 dan telah mengeksekusi 18 orang. Hal ini berkenaan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo mengendalikan kondisi darurat nasional terhadap narkotika.

Standar ganda ini dikuatkan lagi dengan sikap pemerintah pada forum PBB mengenai hukuman mati. Setelah sebelumnya menentang resolusi yang menyerukan negara anggota PBB untuk “Menerapkan moratorium eksekusi dengan tujuan menghapuskan hukuman mati”, akhirnya pada tahun 2012 dan 2014 Pemerintah Indonesia abstain dalam pengambilan suara dalam sidang Majelis Umum PBB mengenai Resolusi Moratorium Penggunaan Hukuman Mati. Namun, pada 17 November 2016 dalam sidang Majelis Umum PBB, hal yang sama juga dilakukan Indonesia abstain dalam perhitungan 2016. 115 negara menolak hukuman mati, 38 setuju dan dan 31 abstain. Indonesia berada dalam 31 negara yang tidak menolak dan tidak menerima resolusi mengenai moratorium hukuman mati. Abstain dalam pengambilan suara tetapi tetap menjalankan praktik eksekusi hukuman mati.

Pemerintah Indonesia terlihat enggan mengadopsi rekomendasi mekanisme internasional terkait moratorium hukuman mati, salah satu rekomendasi dalam proses Universal Periodik Review (UPR) ke-3 pada Mei 2017 lalu yang meminta pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan moratorium hukuman mati dengan landasan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, pemerintah Indonesia didesak untuk melakukan ratifikasi terhadap protokol opsional kedua kovenan internasional hak sipil dan politik (OP2 ICCPR). Substansi dari protokol ini adalah pelarangan total terhadap eksekusi mati di bawah jurisdiksi negara Indonsia.

Catatan penting lain terkait penanganan WNI/PMI yang terancam hukuman mati adalah: pemerintah memfasilitasi sebagian keluarga dengan informasi perkembangan kasus dan memfasilitasi pertemuan keluarga dengan pekerja migran terpidana mati yang dalam status kritis di negara tujuan kerja, serta melakukan upaya hukum. Kendati demikian hasil pantauan Komnas Perempuan atas dampak hukuman mati pada migran dan keluarganya, menunjukkan bahwa hukuman mati bukan hanya menghilangkan nyawa terdakwa tetapi juga keluarganya, dimana menunggu adalah bentuk penghukuman dan penyiksaan karena dalam ketakutan yang tidak pernah berhenti.

Kekerasan Terhadap Perempuan Pengguna Napza

Komnas Perempuan menerima laporan dari Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), dari hasil riset dengan University of Oxford dan berbagai pihak lain, berhasil mendengar 731 perempuan pengguna Napza dengan jarum suntik (Penasun) dari beberapa wilayah di Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Dengan rentang usia 18-46 tahun yang secara aktif menyuntikan Napza dalam 12 bulan terakhir. Riset dilakukan pada 2015, namun dimensi kekerasan berbasis gender terus berlangsung selama 2017 yang sebagian berkorelasi dengan temuan Komnas Perempuan dalam pemantauan isu drug trafficking dan hukuman mati. Selain itu Komnas Perempuan menerima pengaduan 88 perempuan dari salah satu Lapas yang terpidana mati dan seumur hidup.

Hasil temuan PKNI yang disampaikan pada Komnas Perempuan yakni: 1) Marginalisasi dan isolasi sosial perempuan pengguna Napza baik yang mengganggur, memiliki anak dan tanggungan lainnya, serta pendapatan bulanan di bawah rata-rata pengeluaran bulanan nasional Indonesia. Mereka berresiko menukar seks dengan uang ekstra, obat-obatan atau untuk memenuhi kebutuhan dasar. 2) Hidup dengan HIV, sebagian dapat mengakses terapi antiretroviral yang menyelamatkan nyawa, tapi mereka masih alami diskriminasi karena status mereka sebagai pengguna Napza, terutama dari Staf

medis, serta sulitnya mengakses layanan kesehatan karena jarak geografis. 3) Program pencegahan kekerasan dan penanganan kekerasan yang belum menargetkan perempuan pengguna Napza, termasuk akses keadilan yang terbatas. Padahal mereka rentan exploitasi yang dilakukan aparat penegak hukum. 4) Kekerasan dari pasangan intim yang dipercaya seperti suami atau pacar, baik fisik, psikis dan seksual. 5) Perempuan yang menyuntikkan Narkoba juga riskan mengalami tingkat overdosis yang tinggi, aborsi yang tidak aman, serta kebutuhan kesehatan reproduksi serta kontrasepsi yang tidak terpenuhi.

Penggusuran

Pengusiran Janda-janda Pensiunan TNI dari Rumah Dinas TNI Cijantung, Bulak Rantai, Tanah Kusir dan Barabaraya Makassar

Sejumlah warga menjadi korban pengusiran dari rumah dinas Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tanah Kusir, Cijantung, Bulak Rante dan warga non rumah dinas TNI Barabaraya Makassar melakukan pengaduan ke Komnas Perempuan. Mereka umumnya Lansia dan janda pensiunan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut mereka, tanah dan rumah yang selama ini ditinggali, bukanlah milik TNI. Untuk yang di wilayah Tanah Kusir, sejarahnya: mereka mengumpulkan dana yang merupakan uang tunjangan tinggal di Losmen, dana dikumpulkan ke Komandan untuk dibelikan rumah. Sementara di Bulak Rante dan Cijantung merupakan hibah atas jasa mereka sebagai pahlawan Nasional. Sedangkan di wilayah Bara-baraya, Makassar merupakan tanah milik seorang tuan tanah yang dibeli oleh Kodam VII Wirabuana (sekarang Kodam XIV Hasanuddin) untuk rumah dinas satu wilayah. Sementara wilayah lain tanah tersebut dibeli secara perseorangan oleh warga non keluarga TNI. Namun dalam proses penggusuran rumah dinas TNI di Barabaraya, objek tanah milik warga turut digusur, meski telah bersertifikat. Peristiwa pengusiran ini dibarengi berbagai modus pemalsuan sertifikat.

Pengusiran paksa dan pengambilalihan paksa rumah dinas dan tanah milik warga yang dilakukan TNI mengabaikan kelompok rentan seperti Lansia dan anak-anak. Cara intimidatif yang dilakukan TNI menimbulkan trauma dan tekanan psikis. Dampaknya, korban merasakan runtuhnya tatanan kehidupan keluarga dan kehidupan sosial yang telah dibangun dengan sepenuh upaya. Misalnya menitipkan anak sekolah ke tetangga sangat mungkin dilakukan sembari orangtuanya melakukan aktivitas ekonomi. Kemudian rasa takut dan kecemasan yang luar biasa karena merasa dalam posisi tidak pasti, bahwa sewaktu-waktu harus kehilangan tempat tinggal dan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Sementara dampak pada gangguan fisik seperti kesehatan yang menurun dan kondisi emosional yang tidak stabil terjadi karena trauma saat mendengar sirine, melihat truk TNI atau melihat anggota TNI-AD akibat peristiwa pengusiran dan pengosongan paksa yang tidak manusiawi.

Penggusuran oleh PT. KAI di Kebon Jeruk Bandung

PT. Kereta Api Indonesia DAOP II (PT KAI) melakukan penggusuran warga yang bermukim di wilayah Kebon Jeruk, Kota Bandung pada tanggal 26 Juli 2016. Penggusuran dilakukan oleh 1.143 personil gabungan polisi berpakaian dan bersenjata lengkap, TNI, Polsuska, Satpol PP dan Karyawan PT.KAI. Warga telah bermukim selama 20 tahun di lahan yang tak terpakai milik PD. Pasar Pemda Kota Bandung. Warga melakukan pembayaran pajak bumi dan bangunan di atas lahan tersebut. Atas penggusuran tersebut, warga melakukan gugatan kepada PT. KAI di Pengadilan Negeri. Putusan PN menyatakan PT. KAI bersalah. Kemudian PT. KAI melakukan banding di Pengadilan Tinggi Negeri Bandung dan belum ada putusan, sehingga putusan belum dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Namun PT. KAI telah memerintahkan warga mengosongkan lokasi dan membongkar bangunan di atas lahan sengketa tersebut. Surat pertama dikirim tanggal 11 Juli 2017 dan surat kedua tanggal 21 Juli 2017. PT. KAI juga melaporkan pidana warga terkait kejahatan terhadap ketertiban

Akibat penggusuran, warga kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian dan rasa aman karena harus menghadapi panggilan dari pihak berwajib atas laporan PT KAI. Warga tinggal di tempat tidak layak huni yaitu tenda dan Rusun Rancacili (warga yang tinggal membayar sewa Rusun). Kesehatan mereka mulai terganggu, ibu hamil melahirkan di tenda dan ada Lansia yang hidup sendiri mendapatkan intimidasi dari Polisi. Ibu, anak dan Lansia masih trauma atasn perlakuan polisi. Peristiwa ini tidak mendapat perhatian dari Walikota Bandung dan DPRD Bandung, meski warga telah melakukan upaya dialog.

Perempuan dalam Konflik Sumber Daya Alam dan Konflik Tata Ruang

Pembangkangan Hukum, Dampak dan Ancaman Keberlanjutan Kehidupan Perempuan di Pegunungan Kendeng

Sedulur sikep pertama kali didirikan oleh kakek moyang saya (Samin Surosentiko) yang mula-mula di Blora, karena aksi perjuangannya melawan kolonial ia sempat dibuang di Digul dan Sawah lunto, tapi ajaran kami sendiri masih dipelihara sampai sekarang karena peninggalan itu

bukan hanya tanah, air dan benda-benda tapi juga ajaran dan nilai-nilai50.

Ajaran dan nilai yang diwariskan oleh leluhur kerap menjadi bahan bakar dari sebuah perlawanan. Bagi komunitas sedulur sikep nilai ini mewarnai gerak mereka dalam melakukan koreksi atas kebijakan pembangunan. Gunarti konsisten dan memegang teguh nilai-nilai pemeliharaan lingkungan, yaitu sumber air dan keberlanjutan pangan bagi warga yang hidup di wilayah pegunungan kendeng. Bersama perempuan lainnya, Gunarti merepresentasikan gerakan perempuan dalam “Sembilan Kartini Kendeng”. Mereka bersama menyelamatkan air dengan berjalan kaki, menyemen kaki, mendirikan tenda perjuangan demi keberlanjutan kehidupan.

Konsistensi gerakan perempuan beriring dengan usaha korporasi yang selama bertahun-tahun, terus mengincar kawasan kars di pegunungan Kendeng. Usaha korporasi ini tersublimasi pada izin pendirian pabrik semen yang terus ditawarkan ke pemerintah daerah di sekitar kawasan pegunungan Kendeng sejak tahun 2006. Tentunya pabrik semen untuk tujuan komersialisasi atas nama pembangunan. Pembangunan berkelanjutan dengan maksud pemeliharaan ekologi, sejatinya menghormati kebijakan pemerintah. Namun sangat disayangkan karena izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah terbukti keliru dalam proses juridis. Juga pada penetapan wilayah karts pegunungan Kendeng yang termuat dalam Kajian Strategis Lingkungan Hidup (KLHS). Hingga saat ini masyarakat Kendeng menunggu niat baik Presiden Republik Indonesia untuk mendesak Gubernur Jawa Tengah mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang berprespektif lingkungan.

Listrik untuk Siapa? Konflik Masyarakat Hukum Adat Seko melawan PT. Seko Power Prima.

Pemerintah Kabupaten Luwu Utara mengeluarkan izin prinsip usaha penyediaan tenaga listrik kepada PT. Asripower (kemudian berubah nama menjadi PT. Seko Power Prima) yang diikuti dengan melakukan ekplorasi pada tahun 2012. Dalam eksplorasinya PT. Seko Power Prima tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Seko, dalam proses konsultasi terkait pembangunan PLTA. Termasuk menjelaskan dampak yang dirasakan masyarakat setelah proyek ini berjalan. Proyek ini menerobos 645 hektar wilayah tanah adat dan lahan warga. Padahal tanah tersebut telah ditetapkan sebagai tanah adat Seko dalam Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang Pengakuan keberadaan Masyarakat Adat Seko.

Rencana pembangunan ini akan berdampak besar pada kerusakan lingkungan. MHA Seko telah melakukan langkah-langkah konsultasi kepada pemerintah daerah dan pihak terkait lain namun mereka tidak mendapatkan dukungan. Perempuan yang menolak pembangunan PLTA mengejawantahkan dengan meninggalkan rumah, mendirikan dan tinggal di tenda di Poririang, titik pengeboran kedua setelah Ratte (lokasi PLTA yang sudah dilakukan pengeboran). Di tenda ada 300 perempuan dan anak (warga dari 2 desa). Polisi dan Tentara beberapa kali datang ke tenda ini untuk memaksa ibu-ibu pulang, dengan melakukan pengrusakan tenda dan tembakan gas air mata serta menggunakan kekerasan yakni mendorong, memukul, hingga beberapa perempuan luka, pingsan, dan mengalami trauma. Sementara di sekolah, anak yang orangtuanya menolak pembangunan PLTA, mendapat tekanan dari guru sekolahnya.

Duabelas orang yang menolak proyek PLTA mendapatkan tekanan secara hukum dengan cara dikriminalisasi, diputus bersalah melakukan pengrusakan, dan divonis tujuh bulan penjara. Satu diantara mereka mendapatkan putusan inkracht dari Mahkamah Agung: dua tahun penjara setelah Jaksa melakukan kasasi terhadap korban. Sebelum melakukan penyidikan pada 12 orang tersebut, beberapa penduduk telah menjadi DPO (daftar pencarian orang) oleh Polres Masamba pada tahun 2016. Kepala Desa Tanamakaleang dan Polisi dari Polres Masamba bahkan menyisir dan menggeledah rumah warga saat dini hari untuk menemukan DPO. Proses tersebut tidak memperhatikan dampak pada perempuan, anak-anak dan Lansia, akibatnya trauma dan depresi masih dialami oleh anggota keluarga DPO. Sepuluh orang diantara korban kriminalisasi mendapatkan kekerasan fisik berupa penganiayaan saat berada di tahanan Polres Masamba. Dua diantaranya masuk rumah sakit akibat pemukulan tersebut.

Terhadap kasus ini, Komnas Perempuan melakukan dialog dengan korban, pendamping korban, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Komnas Perempuan merekomendasikan Polres Masamba mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) pada DPO. Bupati Luwu Utara menyetujui melakukan dialog dengan warga Seko di lokasi domisili warga. Bahwa listrik yang disiapkan benar-benar untuk kesejahteraan warga dan bukan untuk perusahaan tambang yang juga telah mengantongi izin dari pemerintah. Sementara untuk pemulihan korban perempuan dan anak yang mengalami trauma, Komnas Perempuan meminta Pemda mempersiapkan program pemulihan bagi korban.

Hilangnya Tanah Warga Pulau Pari akibat Penyangkalan Negara

Penduduk Pulau Pari, sebuah kawasan di kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, menggantungkan hidupnya dari bekerja sebagai nelayan, petani budidaya rumput laut dan mengembangkan pariwisata. Mereka hidup turun temurun dan memiliki hak kepemilikan tanah dengan bukti surat girik tanah. Warga juga membayar pajak tanah dan bangunan miliknya (PBB). Namun di tahun 1985 terjadi penarikan surat girik dan surat tanah lainnya oleh petugas Kelurahan Pulau Tidung untuk dilakukan pembaharuan. Sejak itulah, surat tanah warga Pulau Pari tak kembali dan warga tidak dapat melakukan pembayaran.

Selanjutnya PT Bumi Pari Asri (BPA) yang telah menguasai 90% dari total wilayah Pulau Pari menawarkan kerjasama untuk mengembangkan pariwisata dengan warga, namun warga tetap menolak karena selama ini warga telah mengelola parawisata secara swadaya. Penolakan warga ini justru ditanggapi dengan melakukan pengukuran dan penyegelan rumah serta penginapan milik warga secara paksa yakni pada tanggal 16 dan 30 Maret 2016. Pada tanggal 18 Mei 2016, PT. BPA juga memasang plang yang berisi pemberitahuan kepemilikan lahan yang disertai ancaman pidana pasal 167 jika ada yang melanggar memasuki atau memanfaatkan lahan. Selanjutnya PT. PBA mensomasi dan melaporkan beberapa warga ke Kepolisian atas tuduhan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Warga Pulau Pari lalu melakukan demonstrasi di depan istana Merdeka karena PT. PBA telah

Nomor 1592/1991 tentang Pembagian Tiga Zona Pulau Pari. Tetapi PT. PBA berdalil memegang sertifikat hak guna bangunan (SHGB) sejak tahun 2014.

Aksi warga direspon dengan kehadiran 80 anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya dan Polres Kepulauan Seribu, empat anggota TNI, dan 30 anggota Satpol PP Kelurahan dan Kecamatan Kepulauan Seribu, yang mendatangi warga dengan maksud akan memasang plang di salah satu lahan milik warga. Warga segera berkumpul di lokasi lahan dan melakukan aksi penolakan. Pada aksi tersebut, ratusan perempuan warga Pulau Pari berdiri di depan menghadang aparat keamanan melakukan pemasangan plang. Aksi ini mendapat perlawanan dari aparat keamanan, hingga warga Pulau Pari mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti dijambak, diinjak, dipukul, ditendang, dan dicekik. 16 orang luka-luka, delapan diantaranya adalah perempuan. Kemudian empat orang warga dilaporkan ke Kepolisian. Kondisi ini menimbulkan ketakutan bahkan traumatik khususnya pada ratusan perempuan dan anak. Mereka juga terpaksa kehilangan tempat tinggal untuk mencari perlindungan di luar Pulau Pari, kehilangan mata pencaharian, dan anak-anak terpaksa putus sekolah. Perempuan yang suaminya ditangkap dan ditahan terpaksa menjadi tulang punggung keluarga dan menanggung pengasuhan anak seorang diri serta anak-anaknya menanggung beban moril atas status orang tuanya yang ditahan oleh Kepolisian.

Memutus Akses Listrik sebagai Upaya Penaklukan Hak dan Perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Karunsi’e Dongi atas Tanahnya

Masyarakat Hukum Adat (MHA) Karunsi’e Dongi meninggalkan wilayah leluhurnya di Nuha Kabupaten Luwu Timur tahun 50an dalam peristiwa pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Mudzakkar. Setelah peristiwa tersebut berlalu, mereka kembali ke tanah leluhurnya, namun ternyata telah berdiri PT. Inco yang sekarang bernama PT. Vale. Perusahaan ini mendapat kontrak karya dari pemerintahan masa Soeharto sebagai penerima hak konsesi tambang nikel. Di atas tanah leluhur mereka telah tertata bandara, lapangan golf dan perkantoran. Konflik terjadi karena PT. Vale tidak menginginkan perkampungan MHA Karunsi’e Dongi dibangun kembali. Akhirnya mereka hidup dalam tekanan dan ketiadaan fasilitas seperti listrik. Kasus ini diangkat dalam public hearing dalam kegiatan Inkuiri Nasional Komnas HAM: ‘Hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan’ tanggal 29 Agustus 2014. Hadir Bupati Luwu Timur sebagai terlapor, yang berjanji untuk menghormati MHA Karunsi’e Dongi dan mengakomodasi hak mereka sebagai warga negara, namun sampai tahun 2017, mereka tidak memperoleh fasilitas listrik.

Merespon kasus ini, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada Bupati Kabupaten Luwu

Dokumen terkait