• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review UU Nomor 5 Tahun 1979 dan UU Nomo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review UU Nomor 5 Tahun 1979 dan UU Nomo"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Ahmad Naufal Azizi 15/384251/SP/26963

Review UU Nomor 5 Tahun 1979 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 Relasi Vertikal dan Horizontal Desa

UU Nomor 5 Tahun 1979

Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, nuansa ‘pendudukan’ dan ‘penguasaan’ negara atas desa sangatlah kental terasa. Negara menjadikan desa sebagai struktur terkecil dan terendah yang langsung berada di bawah kekuasaan Camat. Alih-alih mampu menjadikannya tuan di rumah sendiri, Desa justru dijadikan alat politik oleh rezim administratif yang hanya bertugas membantu urusan pemerintah pusat saja. Walaupun mendapatkan status otonomi desa, pada kenyataannya pemerintahan desa tidak pernah lepas dari garis intruksi vertikal yang harus bertanggung jawab kepada struktur pemerintah yang ada di tingkat atasnya. Pada akhirnya, otonomi yang didapatkan desa saat itu dapat kita sebut sebagai sebuah kesemuan belaka.

Sementara itu, keberadaan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai salah satu lembaga desa dalam pemerintahan desa yang sebenarnya diharapkan mampu mendorong terciptanya demokratisasi di tingkat desa justru hanya menjadi alat legitimasi keputusan Kepala Desa saja. Hal tersebut dikarenakan Kepala Desa ditempatkan sekaligus sebagai Ketua LMD dan LKMD, sehingga pemerintah pusat dapat mengontrol dan melaksanakan program mereka secara penuh di desa –dengan pertama-tama menguasai Kepala Desa. Melihat perjalanan dinamika pemerintahan desa tersebut, dapat kita pahami bahwa aktor-aktor supra desa memiliki kekuasaan dan andil besar atas aktivitas apa yang terjadi di dalam desa.

Disisi lain, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 ini didasarkan atas politik stabilitas dan sentralisasi sehingga menghambat demokratisasi masyarakat desa.1 Tujuan Negara tidak lain adalah untuk menyeragamkan kedudukan pemerintah desa dan ketentuan adat-istiadat yang masih berlaku, maka secara otomatis

(2)

semua kesatuan pemerintahan desa yang disebut marga dihapuskan dengan perangkat-perangkatnya yang ada sekaligus dibentuk pemerintahan desan dan lingkup kekuasaan wilayahnya.2

Secara substansial Undang-undang ini sepenuhnya mencerminkan stelsel dan pendekatan Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO) dan Inlandse Gementee Ordonantie voor Buitengewesten (IGOB) yang memisahkan Pemerintahan Desa dari Pemerintahan Daerah, yang semestinya Pemerintahan Desa menjadi bagian dari Pemerintahan Daerah.3 Problematika hukum lain yang prinsipal terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1979 yang mendapatkan kritikan adalah penyeragaman (uniformitas) nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa. Padahal dalam merumuskan arah kebijakan hukum pemerintahan Desa perlu pengakuan dan penghormatan terhadap asal usul yang bersifat istimewa pada eksistensi Desa, yakni dengan memperbolehkan penggunaan nama seperti dusun, marga, nagari, meunasah, gampong, negorij dan lain sebagainya yang mekanisme pemerintahan didasarkan pada adat istiadat masing-masing.4

Dalam sistem pemerintahan Desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 yang disebut dengan Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretaris Desa dan kepala-kepala urusan yang merupakan staf pembantu Kepala Desa dalam menjalankan hak wewenang dan kewajiban Pemerintahan Desa. Sekretaris Desa sekaligus menjalankan tugas dan wewenang Kepala Desa sehari-hari apabila Kepala Desa berhalangan. Pemerintahan Desa juga dilengkapi dengan Lembaga Musyawarah Desa yang berfungsi menyalurkan pendapat masyarakat di Desa dengan memusyawarahkan rencana yang diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi ketetapan Desa.5

UU Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa Desa bukan lagi sebagai wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksana

2 Muhammad Sholahuddin. (2016). Kajian Yuridis Pengaturan Kewenangan Desa Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Karya Ilmiah Mahasiswa Fak. Hukum, 2(1). Hal. 12-13.

3 Ateng Syafruddin dan Suprin Na’a. (2010). Dalam Muhammad Sholahuddin. (2016). Hal 13. 4 Ibid. Hal 13.

(3)

daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah kabupaten, sehingga setiap warga Desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya.6 Salah satu arah politik hukumnya adalah kembali memasukkan pengaturan tentang pemerintahan desa sebagai satu kesatuan yang integral dalam undang-undang pemerintahan daerah. Di samping itu, juga telah memperbolehkan penggunaan nama yang berbeda-beda tentang Desa.7 Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 huruf (o) yang bunyinya,”Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.” Dengan demikian, otonomi desa diberikan bukan lagi secara simbolik dari negara kepada desa, tetapi sudah mencapai tahap substantif.

Dalam undang-undang tersebut telah terpenuhi sendi-sendi otonomi, yaitu: pembagian kekuasaan (sharing of power), pembagian pendapatan (distribution of income) dan kemandirian administrasi pemerintah daerah (emporing).8 Hal tersebut berimplikasi pada pemecahan kekuasaan yang dulunya hanya berpusat di Kepala Desa menjadi terbagi tiga, yaitu Kepala Desa, Mahkamah Adat Desa dan Badan Perwakilan Desa. Semangat dan ide dasar munculnya regulasi ini didasari pada semangat keanekaragaman, partisipasi masyarakat, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Desentralisasi dibuka seluas-luasnya pada era ini.

6 HAW Widjaja. (2008). Dalam Kadesa.id. (2016). Diakses dari laman http://kedesa.id/id_ID/wiki/pendahuluan/1-dinamika-pengaturan-desa-dalam-tata-hukum-indonesia/

7 Ateng Syafruddin dan Suprin Na’a. (2010). Dalam Muhammad Sholahuddin. (2016). Hal 13.

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi yang di gunakan dalam upacara adat Suku Betawi dalam konteks ini adalah penggunaan Roti Buaya dalam pernikahan adat di kampung Petukangan Utara, Jakarta

[16] telah merurnuskan kesan dari penyalutan sebagai berikut: (1) mereduksi gesekan, haba, dan gaya potong; (2) mereduksi difusi antara geram dan permukaan pahat pemotong,

Mulai dari Siam Paragon yang dinobatkan menjadi The Most Instagrammed , pertunjukkan Muay Thai di Bangkok, dan informasi mengenai tempat-tempat untuk merayakan

22 Tahun 1999 antara lain menyatakan bahwa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan, untuk penjaminan mutu akeditasi, yang belum dilaksanakan SMA 1 Kudus adalah belum memenuhi standar nasional pendidikan yang

Strategi Rapid Penetration yaitu Strategi ini dijalankan dengan menetapkan harga produk yang rendah dan kegiatan promosi yang tinggi dapat menjadi suatu solusi dalam

 Mengembangkan dan memantau anggaran kegiatan dan berbagai acara, serta secara proaktif menyediakan update dan mengecek dengan anggota team terkait arus

Dalam mewujudkan kemandirian politik di tingkat lokal dan mewujudkan oto- nomi ditingkat desa salah satu yang telah diatur oleh pemerintah Kabupaten Sangihe adalah pelak-