• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terkontrol Terkontrol

sebagian Tidak terkontrol (Semua dari

tanda-tanda)

Pengukuran pada setiap minggu

Gejala siang Tidak ada > 2 x / minggu Tiga atau lebih gambaran asma terkontrol sebagian ada pada setiap minggu (< 2 x / minggu) Keterbatasan aktivitas

Tidak ada Ada Gejala/terbangun

malam

Tidak ada Ada Penggunaan obat

pelega/agonis β2 Tidak ada

> 2 x / minggu (< 2 x / minggu)

Fungsi Paru Normal < 80 % prediksi atau nilai terbaik individu

(APE atau VEP1)

Eksaserbasi Tidak ada 1 atau lebih/tahun Ada dalam 1 minggu

Sumber: GINA, 2011, Batemen, 2008

2.2 Kualitas Hidup Pasien Asma 2.2.1. Definisi

Kualitas hidup adalah tingkat keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Kualitas hidup dapat dijadikan hasil pengukuran yang menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan penampilannya pada beberapa bidang, misalnya kemampuan fisik, okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi (Hyland, 1997)

Patric dan Ericson menyatakan bahwa kualitas hidup adalah suatu nilai yang diberikan dalam kehidupan yang dimodifikasi oleh adanya penyakit, status fungsional, serta kesempatan sosial dan kualitas hidup dipengaruhi oleh penyakit, perawatan, dan kebijakan kesehatan. Bowling menyimpulkan bahwa kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan adalah konsep yang menggambarkan respons individu terhadap tingkat kepuasan kesehatannya dalam lingkungan kehidupannya (CDC, 2000). Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisinya dalam lingkup budaya dan sistem nilai di tempat mereka hidup, serta dalam hubungan dengan tujuan, harapan, dan standard yang dianut. Definisi WHO ini menggambarkan suatu konsep dengan sebaran yang luas, yang dipengaruhi oleh keadaan kompleks dari kesehatan fisik individu, psikis, derajat ketergantungan, hubungan sosial dan hubungan mereka terhadap kondisi lingkungannya.

Menurut Cummins kualitas hidup adalah kumpulan beberapa hal seperti: kesejahteraan material, kesehatan, produktivitas, keakraban, keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan kesejahteraan emosional yang dinilai baik secara objektif (menurut nilai-nilai kultural) maupun subyektif (kepuasan yang diukur secara individu) (CDC, 2000).

Kualitas hidup ditentukan oleh persepsi individu tentang status mereka dalam hidup, dalam kaitan budaya (sistem nilai) yang dimasuki berbagai ide atau sesuatu yang berhubungan dengan ide, harapan, standar dan keraguan, yang dapat berubah dalam memberikan respon terhadap penyakit. Kualitas hidup juga digunakan untuk

pengkajian/assessment konvensional penilaian keparahan penyakit seperti penyakit asma, berkenaan dengan pengujian faal paru, intensitas dan kehadiran gejala, serta kebutuhan akan pengobatan (Scala, 2005).

Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan berbagai instrumen dan umumnya dilakukan pada berbagai macam penyakit seperti diabetes, gangguan ginjal, hipertensi, asma, AIDS, dan kanker. Terdapat beberapa instrumen untuk menganalisis kualitas hidup yang meliputi persepsi fisik, psikologi, hubungan sosial pasien seperti: Sickness Impact Profile, Karnofsky Scales, Kidney Disease Quality of Life (KDQL) kuesioner dan Medical Outcomes Study 36 item Short-Form Health Survey (SF-36) yang telah banyak digunakan dalam mengevaluasi kualitas hidup pasien penyakit kronis. SF 36 adalah salah satu instrumen untuk menilai kualitas hidup yang sederhana, mudah dan secara luas telah dipakai untuk mengevaluasi kualitas hidup penyakit kronis (Lina, 2008).

2.2.2. Penilaian Kualitas Hidup Pasien Asma

Kualitas hidup pasien asma merupakan ukuran penting karena berhubungan dengan keadaan sesak yang akan menyulitkan pasien asma melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status fungsionalnya seperti merawat diri, mobiliti, makan, berpakaian, dan aktivitas rumah tangga. Kualitas hidup pasien asma dapat dinilai dengan menggunakan kuesioner kesehatan Short Form-36 (SF 36) dan Asthma Quality of Life Questioner (AQLQ).

a. Short Form-36 (SF 36)

Short Form-36 (SF 36) merupakan skala untuk mengukur fungsi kesehatan fisik dan mental. SF 36 terdiri dari 36 butir pertanyaan yang menggambarkan 8 sub skala (Lina, 2008):

1). Fungsi Fisik (Physical Functioning)

Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas fisik seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat dan gerak badan. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan berat.

2). Keterbatasan Akibat Masalah Fisik (Role Of Physical)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan fisik dapat mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap pekerjaan ataupun aktivitas sehari-hari.

3). Perasaan Sakit/Nyeri (Body Pain)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal, baik di dalam maupun di luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat dan sangat membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri.

4). Persepsi Kesehatan Umum (General Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan saat ini dan ramalan tentang kesehatan serta daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang rendah menunjukkan memburuknya perasaan terhadap kesehatan diri sendiri. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri sendiri yang sangat baik.

5). Energi/Fatique (Vitality)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, capek, dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek, dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh semangat dan berenergi.

6). Fungsi Sosial (Social Functioning)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik atau masalah emosional yang mengganggu aktivitas sosial normal. Nilai

yang rendah menunjukkan gangguan yang sering. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan.

7). Keterbatasan Akibat Masalah Emosional (Role Emotional)

Terdiri dari 3 pertanyaan atau aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan masalah emosional yang mengganggu aktivitas, termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas, pekerjaan menjadi kurang sempurna, bahkan tidak dapat bekerja sepertinya biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan aktivitas karena masalah emosional.

8). Kesejahteraan Mental (Mental Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental secara umum termasuk depresi, kecemasan dan kebiasaan mengontrol emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan tenang dan bahagia dan penuh kedamaian.

Skala SF 36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu: persepsi kesehatan umum, energi, fungsional sosial dan keterbatasan akibat masalah emosional disebut sebagai dimensi Kesehatan Mental (Mental Component Scale), sementara fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik, perasaan sakit/nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut sebagai dimensi ”Kesehatan Fisik” (Physical Component Scale).

Masing-masing skala dinilai 0-100, dan skor yang lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih baik.

b. Asma Quality of Life Questioner (AQLQ).

Selain SF 36 kuesioner, untuk penilaian kualitas hidup pasien asma dapat juga digunakan Asma Quality of Life Questioner (AQLQ). AQLQ dikembangkan untuk mengukur gangguan fungsional yang dialami oleh orang dewasa ≥17 tahun. Kuesioner ini memiliki 32 item dalam empat domain (gejala, aktivitas keterbatasan, fungsi emosional dan rangsangan lingkungan) (Junifer, 2005).

Kuesioner berasal dari Juniper Elisabeth ini dapat lebih spesifik digunakan pada pasien asma. AQLQ terdiri dari 32 item yang mengukur 4 dimensi kesehatan: 12 item menilai gejala, 5 item mengukur fungsi emosional, 4 item menilai paparan terhadap rangsangan lingkungan dan 11 item fokus pada pembatasan aktvitas (Spiric, 2004). Pasien memberi skor item pada suatu skala ordinal 7 butir (point). AQLQ nilai 1 menunjukkan kualitas hidup yang sangat buruk dan 7 tidak ada ganggan kualitas hidup (Spiric, 2004 dan Scala, 2005). Spiric (2004) mendapatkan nilai aplha cronbachs 0.93 pada penggunaan kuesioner AQLQ yang berarti validitas dan reliabilitas kuesioner ini sangat baik untuk digunakan.

Sementara itu di Australia digunakan AQLQ-Sydney. Kuesioner kualitas hidup yang dikembangkan adalah terdiri dari 20 butir pertanyaan. Hasil uji validitas dan reliabilitas AQLQ-Sydney dengan nilai alpha cronbach 0.97 (Miedingera, 2006). Miedingera, 2006, melakukan

penelitian hasil validasi AQLQ-Sydney setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach adalah 0.94 (sekitar 0.83-0.94).

Juniper (2005) kemudian mengembangkan kuesioner yang diperuntukkan untuk remaja dan dewasa dengan nama AQLQ (S) yaitu Asma Quality of Life Questioner (Standard). Namun kuesioner inipun dimodifikasi dengan nama AQLQ 12+. Hal ini dikarenakan batas usia klinis penderita asma diturunkan yaitu 12 tahun. Terdapat sedikit perubahan antara AQLQ (S) dengan AQLQ 12+. Dalam penelitiannya Juniper (2005) mendapatkan hasil pengukuran yang sama atara usia 12-17 tahun dengan usia.12 tahun. Hal ini berarti AQLQ 12+ dapat digunakan pada usia 12 tahun ke atas (cocok untuk usia remaja > 12 tahun dan usia dewasa).

Selain kuesioner untuk remaja dan dewasa, Juniper sebelumnya telah mengembangkan kuesioner pengukuran untuk anak-anak dengan nama PAQLQ (Paediatric Asma Quality of Life Questioner) (Scala, 2001). PAQLQ digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien asma usia 7 s.d 17 tahun. Scala (2001) mengembangkan kuesioner PAQLQ-A dengan menterjemahkan kuesioner PAQLQ ke dalam bahasa Portugis. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach adalah 0.909.

2.2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Asma Faktor utama yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma adalah penatalaksanaannya. Apabila penatalaksanaannya sudah apropiate dan adekuat tentu akan meningkatkan kualitas hidup pasien asma. Hasil penelitian Syafiuddin (2007) membuktikan ada perbedaan kualitas hidup yang dinilai dari aspek kesehatan seperti gejala batuk, sesak napas dan gangguan tidur antara kelompok pengobatan apropiate dan adekuat. Studi yang dilakukan oleh Spiric (2004) menghasilkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma. Adapun faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah: berat penyakit, tempat tinggal dan kondisi cuaca (p<0.05). Selain itu Spiric menemukan tidak adanya hubungan antara jenis penyakit asma, jenis kelamin dan polusi udara dengan kualitas hidup pasien asma.

2.3. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayan kesehatan, makanan minuman serta lingkungan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku, yaitu:

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.

b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas.

a. Domain Perilaku

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia ke dalam 3 domain/ranah/kawasan yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya teori Bloom ini dimodifikasikan untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni (Notoatmodjo, 2007):

1). Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan datang dari pengalaman, dan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, buku, surat kabar, media masa, dan media elektronik.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui penyuluhan, baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan, yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Pengetahuan mempunyai enam tingkatan (Notoadmodjo, 2007; Maulana, 2009), yaitu:

1) Tahu

Tahu diartikan mengingat suatu materi yang diketahui sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari atau rangsangan, antara lain dapat menyebutkan, mendefinisikan dan mengatakan.

2). Memahami (comprehension)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar. Orang telah memahami suatu objek, dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyampaikan, dan meramalkan objek yang dipelajari.

3). Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

4). Analisis (analysis)

Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5). Sintesis (synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya terhadap teori dan rumusan-rumusan yang telah ada.

6). Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

2). Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap yang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Alport (1954) dalam Notoadtmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok:

1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

3) Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Sikap terdiri dari empat tingkatan (Notoatmodjo, 2007; Maulana, 2009), yaitu:

1) Menerima (receiving)

Menerima, diartikan bahwa seorang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap.

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga

4) Bertanggung Jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risikonya, dan merupakan sikap yang paling tinggi.

3). Praktik atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungknkan seperti fasilitas.

Praktek mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu:

1) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, dan merupakan praktik tingkat pertama.

2) Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

3) Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4) Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikan tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

b. Determinan Perilaku

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku secara umum termasuk adherensi pasien menurut Lawrence Green (Notoadmodjo, 2007) adalah:

1) Faktor Predisposisi

2) Faktor Enabling/pemungkin 3) Faktor Reinforcing

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya dari seseorang.

2) Faktor-faktor penunjang (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik.

3) Faktor-faktor pendukung (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-petugas lainnya, termasuk di dalamnya keluarga dan teman sebaya.

4) Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Konsep Perilaku Lawrence Green (Notoadmodjo, 2007)

Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan, juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan lainnya.

Predisposing factors

Enabling factors

Reinforcing factors

Dokumen terkait