• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada penelitian ini adalah:

a. Menemukan indikator pengukuran perilaku adherensi penatalaksanaan /pengobatan pasien asma

b. Menemukan model prediktif perilaku adherensi penatalaksanaan/ pengobatan pasien asma

c. Menemukan indikator pengukuran kualitas hidup pasien asma

d. Menemukan model prediktif adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya terkait dengan kualitas hidup pasien asma.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, sehingga menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan, dengan gejala klinis utamanya sesak napas. Penyakit ini berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penatalaksanaan asma yang baik akan meningkatkan kualitas hidup pasien asma. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan berbagai hal berkenaan dengan penyakit asma, kualitas hidup dan konsep perilaku, serta adherensi pengobatan pasien asma.

2.1 ASMA

2.1.1. Definisi Asma

Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya

inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).

Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda dengan definisi GINA yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran. Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.

2.1.2 Epidemiologi Asma

Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya.

Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa

prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (GINA, 2011). Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada kelompok anak dan cenderung menurun pada kelompok dewasa (Ratnawati, 2011)

Prevalensi asma antar negara sulit dibandingkan karena belum ada kuesioner baku yang digunakan secara internasional sampai akhirnya Steering Comitte of International Study Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) menyusun kuesioner untuk penelitian prevalensi asma yang dapat digunakan di seluruh dunia baik dengan bahasa maupun kondisi geografis yang berbeda. Penelitian prevalensi asma menggunakan kuesioner ISAAC pada tahap awal sudah dilakukan pada 155 pusat asma di 56 negara termasuk Indonesia. Angka prevalensi asma yang didapatkan bervariasi antara 2.1-32.2% (Rosmarlina, 2010).

Di Indonesia, diperkirakan jumlah pasien asma 2-5% dari penduduk Indonesia (Sundaru, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7.6%. Pada hasil SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan bronkhitis kronik 11/1000 penduduk dan obstruksi paru 2/1000 penduduk (Mangunegoro, 2004). Di Bandung terjadi kenaikan prevalensi gejala asma dari 2.1% pada tahun 1995 menjadi 5.2% pada tahun 2001 (Sundaru, 2007).

Data pasien asma tahun 2001 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta sebagai rumah sakit pusat rujukan penyakit paru nasional di Indonesia, terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Data Layanan Asma di RS. Persahabatan Jakarta tahun 1998- 2001. No Layanan Asma 1998 1999 2000 2001 1 Rawat jalan 898 661 329 397 2 Rawat inap 43 138 60 104 3 Gawat darurat 1653 1537 2210 2210 4 ICU 3 6 10 3 5 CFR 2.32% 2.17% 0 2.90% Sumber: Mangunegoro, 2004

Yunus dkk, pada tahun 2001 melakukan studi prevalensi asma pada 2234 siswa SLTP se-Jakarta Timur melalui kuesioner International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Studi tersebut menghasilkan prevalensi asma (recent asthma) 8.9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11.5%. Hasil penelitian ini lebih banyak dijumpai pada perempuan yaitu 53.8%, laki-laki 46.2%. Tahun 2008 penelitian serupa kembali dilakukan dengan mendapatkan prevalensi asma sebesar 7.1% dan prevalensi kumulatif 12.2% (Yunus, 2011). Rosmalina (2010) melakukan penelitian prevalens asma anak pada 2023 siswa SLTP Jakarta Timur, dengan angka prevalensi 6.3%, dan asma kumulatif 13.4%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi asma di Propinsi Sumatera Utara adalah 3% dengan kisaran prevalensi sebesar 3-6.4%. Kabupaten dengan prevalensi asma tertinggi adalah Kabupaten Mandailing Natal. Di kota Medan, prevalensi asma

mencapai 3.6% (laki-laki 1.9% dan perempuan 1.7%). Di DKI Jakarta, prevalensi asma mencapai 2.9% dengan kisaran prevalensi 2.4-6.6%. Di Jawa Barat prevalensi asma mencapai 4.7% dengan kisaran 1.5-7.7% sedangkan di Jawa Timur mencapai 3% dengan kisaran 0.7-9.8% (Dinas Kesehatan, 2007).

2.1.3 Faktor Risiko Asma

Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti/hiperesponsif bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga (Mangunegoro, 2004). Tabel faktor risiko terjadinya asma, dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Faktor Risiko pada Asma. Faktor Pejamu

Predisposisi genetik Atopi

Hiperesponsif saluran pernapasan Jenis kelamin

Ras/Etnik

Faktor Lingkungan

Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma

Alergen dalam ruangan Mite domestic

Alergen binatang Alergen kecoa

Jamur (fungi mold, yeasts) Alergen di luar ruangan Tepung sari bunga

Jamur (fungi mold, yeasts) Bahan di lingkungan kerja Asap rokok Polusi udara Infeksi pernafasan Infeksi parasit Status sosioekonomi Besar keluarga Diet dan obat Obesitas

Faktor lingkungan

Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap

Alergen di dalam dan diluar ruangan Polusi di dalam dan di luar ruangan Infeksi pernapasan

Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi Perubahan cuaca

Sulfur dioksida

Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan Ekspresi emosi yang berlebihan

Asap rokok

Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray) Sumber: Mangunegoro, 2004

2.1.4. Patogenesis Asma

Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011). Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan munculnya disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa gejalapun inflamasi telah ada (Surjanto & Martika, 2009).

Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui penglepasan berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T subset T helper-2(Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF). Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi, sehingga menimbulkan proses inflamasi yang kompleks, yang menyebabkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran pernapasan, sebagai salah satu penyebab hipereaktiviti saluran pernapasan. Hal ini diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi otot polos bronkus,

sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008).

Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi. Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pnemotoraks (Suharto, 2005).

Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot pernapasan dan masukan kalori yang berkurang. Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan kemungkinan terjadinya atelektasis (Suharto, 2005).

Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi yang perubahannya bersifat ireversibel disebut proses remodeling (remodelling process). Proses remodeling saluran pernapasan merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran pernapasan melalui proses deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro, 2004). Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast, diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling. Myofibroblast yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran pernapasan dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit (Rahmawati, 2003).

Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet, kelenjar sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada pasein asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi, yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran pernapasan. Selama ini asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran pernapasan yang bersifat

reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi corticosteroid. Beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, tetapi hal ini mencerminkan adanya remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblast berperan penting dalam terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati, 2003).

2.1.5 Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang ada (sekarang maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan aliran udara dalam saluran pernapasan. Asma harus diduga bila muncul gejala seperti mengi, rasa berat di dada, batuk (dengan atau tanpa dahak) dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Mengi adalah gejala yang sering ditemui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 30% pasien asma, mengi merupakan salah satu keluhan (Mangunegoro, 2004; Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan salah satu faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan atopi, aktifitas fisik yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas (Stark, 2000).

Di sisi lain, pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari gambaran obstruksi jalan napas. Keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dapat diketahui melalui uji faal paru dengan menggunakan

peak flow meter dan spirometer. Pada kesulitan menegakkan diagnosis asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan uji provokasi bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktiviti saluran pernapasan, pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart and Blood Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk menentukan asma, yaitu adanya obstruksi saluran pernapasan yang hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya inflamasi saluran pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai rangsangan.

2.1.6. Diagnosis Banding

Diagnosis banding asma antara lain (Alsagaff, 2010): a. Asma Kardial

b. Bronkitis akut ataupun menahun c. Bronkiektasis

d. Keganasan e. Infeksi paru

f. Penyakit granuloma g. Farmer’s lung disease h. Alergi bahan inhalan industri

i. Hernia diafragmatika atau esophagus

j. Tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum k. Sembab laring

l. Tumor trakeo-bronkial m. Tumor atau kista laring

n. Aneurisma aorta o. Kecemasan

2.1.7. Penatalaksanaan Asma (Mangunegoro, 2004) Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen: a. Edukasi

b. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

f. Kontrol secara teratur g. Pola hidup sehat

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu:

a. Medikasi (obat-obatan): Obat asma dikelompokkan atas dua golongan yaitu: obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.

b. Pemberian medikasi.

c. Penanganan asma mandiri.

a. Medikasi (Obat Asma)

1). Obat Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi

proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain: a) Corticosteroid inhalasi b) Corticosteroid sistemik c) Sodium chromoglicate d) Nedochromil sodium e) Methylxanthine

f) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi g) Leukotriene modifiers

h) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua

2). Obat Pelega (Reliever)

Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi, rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas.

Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah: a) Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama

b) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-lain)

c) Xanthine (Aminophylline)

d) Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-lain.

b. Pemberian Obat-obatan

Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi (diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena).

Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah:

1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan.

2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.

3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.

Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara, yaitu:

1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI) 2) IDT dengan alat bantu (spacer)

3) Breath-actuated MDI 4) Dry powder inhaler (DPI) 5) Turbuhaler

6) Nebulizer

Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. Penggunaan alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Spacer lazim digunakan pada penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila menggunakan inhalasi corticosteroid (meskipun hal ini sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis β2 kerja singkat dengan IDT dengan menggunakan spacer memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti memberikan efek bronkodilitasi yang lebih baik daripada melalui Dry Powder Inhaler (DPI) (Mangunegoro, 2004).

Kelebihan DPI adalah karena DPI tidak menggunakan campuran propelan freon, yang dapat merusak ozon lingkungan dan relatif lebih

mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan kecepatan aliran udara inspirasi minimal. DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung clorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi.

Saat ini, Chlorofluorocarbon (CFC) pada IDT, telah diganti dengan hydrofluoroalkane (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah equivalen, tetapi pada inhaler yang mengandung corticosteroid, HFA mengantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru, sehingga selain meningkatkan efikasi obat, juga akan meningkatkan efek samping sistemiknya. Dengan DPI, obat lebih banyak dideposit dalam saluran pernapasan dibanding IDT, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa inhalasi corticosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama dengan cara pemberian melalui DPI. Karena perbedaan kemurnian obat dan teknk penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.

c. Penanganan Asma Mandiri

Penanganan asma mandiri sering disebut pelangi asma. Khusus untuk upaya penanganan asma mandiri, para dokter yang merawat pasien asma harus benar-benar menyadari bahwa pasiennya adalah mitra dalam usaha pencapaian keberhasilan terapi asma, karena pasien merupakan

sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk mencapai asma terkontrol, karena mereka yang langsung merasakan dampak penatalaksanaan asma yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka faktor edukasi/komunikasi terapeutik di antara dokter dengan pasien asma dan keluarganya merupakan hal yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan asma. Dokter merencanakan pengobatan jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik, sehingga memungkinkan pasien asma mencapai asma terkontrol. Sistem penanganan asma mandiri mengharuskan pasien asma memahami kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Penatalaksanaan ini mengajak pasien memantau kondisinya sendiri, mengidentifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala klinis yang terjadi dan mengetahui bila saatnya pasien asma memerlukan bantuan medis/dokter (Mangunegoro, 2004).

2.1.8. Obat Pengontrol Asma (Mangunegoro, 2004) a. Corticosteroid Inhalasi.

Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa mekanisme yaitu:

1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi produksi leukotriene dan prostaglandin.

3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel inflamasi

4) Menghambat produksi cytokines

5) Meningkatkan kepekaan reseptor β2 pada otot polos bronkus

Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah: 1) Dosis yang digunakan relatif rendah

2) Efek samping minmal

3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula kerja obat (onset of action) yang cepat.

4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.

Corticosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi, frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup (Tabri, 2010). Pada asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak selamanya sejalan dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian, peningkatan dosis inhalasi corticosteroid tidak memberikan efek lebih baik dibandingkan bila inhalasi corticosteroid dikombinasi dengan agonis β2 kerja lama (LABA) (GINA, 2011). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi

pengobatan asma persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik aman pada dosis yang direkomendasikan. Perkiraan kesamaan potensi beberapa glucocorticosteroid dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Dosis Glucocorticosteroid Inhalasi dan Perkiraan Kesamaan Potensi

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi Obat Beclomethasone 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug Dipropionat 22-400 ug 400-800 ug >800 ug Budesonide 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug Flinisolide 100-250 ug 250-500 ug >500 ug Fluticasone 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi Beclomethasone 100-400 ug 400-800 ug >800 ug Dipropionate 100-200 ug 200-400 ug >400 ug Budesonide 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ug Flinisolide 100-200 ug 200-500 ug >500 ug Fluticasone 800-1200 ug 800-1200 ug > 1200 ug Sumber: GINA, 2011, Bateman, 2008

Beberapa glucorticosteroid yang digunakan di sistem pelayanan kesehatan memberikan potensi dan bioavaibiliti setelah inhalasi yang berbeda. Pada tabel 2.4 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glucorticosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif saluran pernapasan), bahkan meningkatkan risiko timbulnya efek samping.

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi corticostreoid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.

b. Corticosteroid Sistemik

Obat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5–7 hari biasa digunakan sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu membeli steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek samping obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat secara sistemik. Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka

Dokumen terkait