• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perilaku Adherensi (Adherence) dan Kaitannya dengan Kualitas Hidup Pasien Asma di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Model Perilaku Adherensi (Adherence) dan Kaitannya dengan Kualitas Hidup Pasien Asma di Kota Medan"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERILAKU ADHERENSI (ADHERENCE) PENGOBATAN DAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN ASMA DI KOTA MEDAN

DISERTASI

ARLINDA SARI WAHYUNI NIM: 078102011

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

MODEL PERILAKU ADHERENSI (ADHERENCE) PENGOBATAN DAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN ASMA DI KOTA MEDAN

DISERTASI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran pada Fakultas

Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A (K)

untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

ARLINDA SARI WAHYUNI NIM: 078102011

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PROMOTOR

Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK Guru Besar Tetap Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan

KO-PROMOTOR

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

Guru Besar Tetap Departemen Ilmu Penyakit Paru dan Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Sumatera Utara Medan

KO-PROMOTOR

dr. Adang Bachtiar, MPH, D.Sc

Staf Pengajar Tetap Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat

(4)

Judul Disertasi : MODEL PERILAKU ADHERENSI (ADHERENCE)

PENGOBATAN DAN KAITANNYA DENGAN

KUALITAS HIDUP PASIEN ASMA DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : ARLINDA SARI WAHYUNI

NIM : 078102011

Program Studi : DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Promotor

Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, SpFK

Ko Promotor

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

Ko Promotor

dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Kedokteran

Prof.dr.ChairuddinP.LubisDTM&H,SpA(K) Prof.dr.GontarA.SiregarD(KGEH)

(5)

Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 9 Oktober 2012

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK Anggota : Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

dr. Adang Bachtiar, MPH, D.Sc

Prof. dr. Faisal Yunus, Ph.D. Sp.P (K) Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD (KGH) Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Arlinda Sari Wahyuni NIM : 078102011

Program Studi : Ilmu Kedokteran Jenis Karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas disertasi saya yang berjudul:

MODEL PERILAKU ADHERENSI (ADHERENCE) PENGOBATAN DAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN ASMA DI KOTA MEDAN

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian penryataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan

Pada Tanggal Oktober 2012 Yang menyatakan

(7)

"Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah

pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya

kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh.

Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya,

dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu

pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di

akhirat." (HR. Ar-Rabii')

(8)

MODEL PERILAKU ADHERENSI (ADHERENCE) PENGOBATAN DAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN ASMA DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang didasari oleh proses inflamasi dan merupakan masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Permasalahan penyakit asma sering dikaitkan faktor penatalaksanaan dimana perilaku pengobatan dari pasien asma dan dokternya belum maksimal. Bauman (2005) mengeluarkan konsep adherensi (adherence) pengobatan sebagai terobosan yang tepat dalam penatalaksanaan asma. Adherensi adalah perilaku kepatuhan pasien terhadap anjuran dokternya, yang disertai pemahaman tentang seluk beluk penyakitnya berkaitan dengan penatalaksanaan penyakitnya, sehingga ia mengikuti anjuran dokter secara konsisten. Pada konsep adherensi ini ditekankan komitmen yang tinggi di antara dokter dan pasien dalam mencapai perilaku pengobatan yang maksimal. Adherensi pengobatan yang baik pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien asma, sesuai dengan tujuan penatalaksanaan asma, yaitu asma yang terkontrol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model adherensi pengobatan pasien asma dan kaitannya dengan kualitas hidup. Selain itu penelitian ini juga untuk mendapatkan alat ukur adherensi dan kualitas hidup yang valid dan reliabel pada pasien asma khususnya di kota Medan.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan instrumen penelitian dengan sumber informasi dari pasien, dokter ahli, dokter umum, dan ahli farmakologi. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan pendekatan crossecsional. Sampel adalah 200 pasien asma dewasa yang menggunakan obat asma standar, pasien asma stabil dan tidak menderita asma berat atau penyakit penyerta lainnya seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, hati dan ginjal. Teknik sampling adalah consecutive sampling data dokter praktek (umum/spesialis paru). Data dianalisis dengan menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat yaitu analisis SEM (Structural Equation Modelling).

Hasil penelitian pada penelitian ini adalah terbentuknya model pengukuran adherensi pengobatan pasien asma di kota Medan yang memiliki nilai psikometrik yang baik (valid, reliabel dan pemodelan fit), yaitu adherensi I (kepercayaan, pengetahuan, dan sikap), adherensi II (komunikasi dokter pasien, tindakan, dan dukungan keluarga), kualitas hidup (aktivitas, emosi, kesehatan, dan lingkungan). Ada hubungan adherensi dengan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan.

(9)

A MODEL OF ADHERENCE BEHAVIOUR TO TREATMENT AND ITS ASSOCIATION WITH THE QUALITY OF LIFE AMONG PATIENTS

WITH ASTHMA IN MEDAN ABSTRACT

Asthma is an airway chronic disease that is due to inflammatory process. It is considered as a worldwide serious health problem. Asthma problems are often linked to treatment management factors which include non-maximal behaviours of the patients and doctors. Bauman (2005) produced a concept of adherence to treatment as an accurate breakthrough for asthma management. Adherence is defined as the patient adhering behaviour towards the doctor’s advices accompanied with a such understanding of the disease aspects related to the disease management/treatment, so that the patients adhere their doctor's advice consistently. The adherence concept emphasizes on a strong commitment between physicians and patients to achieve maximum behaviour towards the treatment. Good adherence of patients with asthma will improve the lung function and their quality of life. This is in accordance to the goal of asthma management itself, a controlled asthma. The purpose of this study was to construct a model of adherence to treatment of patients with asthma and its association with the quality of life. In addition, this study also aimed to set a valid and reliable adherence and the quality of life measurement tool that might be applied to patients with asthma, particularly those who live in Medan.

The study utilized qualitative and quantitative approach as the methodology. The qualitative approach was conducted to develop research instruments in which the patient, specialists, general practitioners, and pharmacologists as the source of information. The quantitative research employed a cross sectional approach. The samples were 200 adult patients with asthma who receive standard asthma medications, patients with stable condition and do not suffer from severe asthma or other comorbidities such as heart disease, hypertension, diabetes mellitus, liver and kidney disease. The study performed a consecutive sampling as the technique which was obtained from physicians’ data (general/lung specialist). Data were analyzed by performing univariate, bivariate and multivariate analysis, through SEM analysis (Structural Equation Modelling).

As the result, the study produced a measurement model of asthma patients adherence to the treatment among those who live in Medan. The study found that the asthma patients who live in Medan have a good psychometric values (valid, reliable and fit to model): adherence I (beliefs, knowledge, and attitudes), adherence II (doctor-patient communication, actions, family support), and the quality of life (activity, emotional, physical, and environmental,). It is concluded that there is an association between adherence and quality of life among patients with asthma in Medan.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis telah dapat menyusun dan menyelesaikan penelitian dengan judul “Model Perilaku Adherensi (Adherence) dan Kaitannya dengan Kualitas Hidup Pasien Asma di Kota Medan”. Salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Proses penelitian dan penyusunan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp.PD (KGEH) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3. Prof. dr. Chairuddin P Lubis, DTM&H, MSc, Sp.A (K) dan Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT (KL) selaku Ketua dan Sekretaris Program Doctor (S3) Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 4. Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK selaku Promotor

Disertasi.

5. Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K) dan dr. Adang Bachtiar MPH, D.Sc. selaku Ko-promotor disertasi.

6. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD, (KGH) sebagai mantan Ketua Program Studi S3 Ilmu Kedokteran yang memberikan fasilitas untuk mengikuti pendidikan, dan juga sebagai penguji disertasi ini.

(11)

8. Prof. dr. Luhur Suroso Sp.P (K) sebagai ketua Departemen Penyakit Paru, yang banyak memfasilitasi dan memberikan pengarahan pada penelitian ini.

9. Seluruh dokter umum/spesialis yang bersedia membantu dalam pengumpulan data dan memberikan pengarahan serta masukan pada disertasi: dr. Amira Tarigan Sp.P, dr. Nuryunita Nainggolan Sp.P, dr. Amiruddin Sp.P, dr. Supiono Sp.P, dr. Pandiaman Pandia Sp.P, dr. Fajrinur Sp.P (K), dr. Bintang Sp.P, dr. Noni Suroso SpP, dr. Parluhutan Sp.P, dr. Zainuddin Amir, Sp.P, (K) dr. Widi Raharjo Sp.P. dr. Waluyo Sp.P, dr. Rudi Irawan Sp.P, dr. Sadarita Sitepu Sp.P, dr Jonaidi Sp.P, dr. Nurvida Alrasyid, MKes, dr. Radita, Dr .dr. Imam Budi Putra, Sp.KK, MKed, MHA yang banyak memberikan pengarahan dan masukan pada disertasi ini,

10. Dr. Juliandi Harahap, MA, selaku ketua Departemen IKM/IKP/IKK FK USU yang memberikan izin kepada peneliti untuk mengikuti program S3, dr. Rina Amelia, MARS, dr. Zulkifli MSi, dr.Yuki Yunanda, dr. Isti Ilmiati MKed. CMFM, dr Ismiralda Siregar, Dr. Putri Khairani Eyanoer,M.Ep, Phd, dr. Ivana Alona, MPH, Sri Lestari, SP, dan Dian Irawati, ST, yang banyak mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

11. Prof. Dr. Tulus, MSi, Dr. Sutarman, MSc, Arnita, SSi, MSi, dan Drs. Open Darnius, MSi yang membantu peneliti dalam berdiskusi khususnya mengenai analisis statistik penelitian ini.

12. Suami tercinta Chairul Azhar, SSi, MPd dan ananda tersayang Dinda Rahmayani Azhar yang senantiasa mendoakan, memberi perhatian dan semangat selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesainya pendidikan.

(12)

14. Perawat RS Pirngadi, RS Sari Mutiara, RS Haji Medan, RS Haji Adam Malik Medan, RS Tembakau Deli, RS BP4, RS Columbia, dan Klinik Bunda yang membantu penelitian ini.

15. Pihak Farmasi Glaxo Smith Kline yang membantu dalam memberikan data awal pasien asma di Kota Medan.

16. Para pasien asma yang telah meluangkan waktu untuk penelitian ini.

17. Para Enumerator yang banyak membantu dalam terlaksananya pengumpulan data penelitian ini

18. Para petugas perpustakaan USU yang banyak membantu pengumpulan referensi penelitian ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan disertasi ini masih banyak kekurangan oleh sebab itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bertujuan untuk menyempurnakan disertasi ini. Mudah-mudahan disertasi ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Medan, Oktober 2012,

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR /SKEMA xi DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH xii

DAFTAR LAMPIRAN xiv BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 15

1.3 Tujuan Penelitian 16

1.4 Manfaat Penelitian 17

1.5 Potensi HAKI 18

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 19

2.2. Kualitas Hidup Pasien Asma 47

2.3. Perilaku Kesehatan 55

2.4. Adherensi Pengobatan Pasien Asma 63

2.5. Hubungan Adherensi Pengobatan dengan 73

Kualitas Hidup Pasien Asma BAB III : KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep dengan Model SEM 75

3.2 Hipotesis Penelitian 77

(14)

BAB IV : METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian 81

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 84

4.3 Populasi dan Sampel 85

4.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data 88

4.5 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengukuran 90 4.6 Etika Penelitian 91

4.7 Pengolahan Data 92

4.8 . Analisis Data 93

BAB V : HASIL PENELITIAN 5.1. Hasil Penelitian dengan Pendekatan 110

Kualitatif 5.2. Hasil Penelitian dengan Pendekatan 116

Kuantitatif 5.3. Analisis Data Model Adherensi Pengobatan 126 Pasien Asma 5.4. Analisis Structural Equation Modelling 134

secara Full Model BAB VI : PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Pasien Asma 151

6.2. Adherensi Pengobatan Pasien Asma 155

6.3. Kualitas Hidup Pasien Asma 189

6.4. Analisis Hasil Structural Equation 196

(15)

BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan 202

7.2. Saran-saran 203

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Data Layanan Asma di RS. Persahabatan Jakarta tahun 1998-2001 22

2.2 Faktor Risiko pada Asma 24

2.3 Dosis Glucocorticosteroid Inhalasi dan Perkiraan Kesamaan Potensi 37 2.4 Onset (Mula Kerja) dan Durasi (Lama Kerja) Inhalasi Agonis β2 42

2.5 Tingkat Kontrol Asma (GINA, 2011) 47

3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikator Penelitian 78 3.2 Definisi Operasional Variabel Sosiodemografi Penelitian 80 4.1 Tabel Penilaian Goodness of Fit Index 107 5.1 Distribusi Frekuensi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan

Pendidikan 111

5.2 Rincian Butir Pertanyaan Adherensi Pengobatan 113 5.3 Rincian Butir Pertanyaan Kualitas Hidup Pasien Asma 116 5.4 Karakteristik Demografi Pasien Asma Kota Medan 118 5.5 Karakteristik Adherensi Pengobatan Pasien Asma 120 5.6 Distribusi Dimensi Adherensi Pengobatan Pasien Asma 121 5.7 Karakteristik Kualitas Hidup Pasien Asma Kota Medan 122 5.8 Distribusi Dimensi Kualitas Hidup Pasien Asma Kota Medan 122 5.9 Adherensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi Pasien

Asma 123

5.10 Kualitas Hidup Berdasarkan Karakteristik Pasien Asma 125 5.11 Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Variabel Adherensi 128 5.12 Hasil Uji Signifikansi Bobot Faktor Variabel Adherensi 130 5.13 Standardized Regression Weight Variabel Adherensi 131 5.14 Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Variabel Kualitas Hidup 132 5.15 Hasil Uji Signifikansi Bobot Faktor Variabel Kualitas Hidup 133 5.16 Standardized Regression Weight Variabel Kualitas Hidup 134

(17)

5.18 Nilai Zscore Variabel Adherensi dan Kualitas Hidup 139

5.19 Penilaian Multivariate Outlier 140

5.20 Residual Covarianc Matrix 141

5.21 Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Adherensi dengan Kualitas

hidup 142

5.22 Regression Weights Adherensi dan Kualitas Hidup 143 5.23 Standard Regression Weight Adherensi dan Kualitas Hidup 144 5.24 Uji Hipotesis Variabel Adherensi dengan Kualitas Hidup 145

5.25 Tabel Composite Reliability 146

5.26 Tabel Varianced Extracted 147

(18)

DAFTAR GAMBAR/SKEMA

No Judul Gambar/Skema Halaman

2.1 Konsep Perilaku Lawrence Green (Notoadmodjo, 2007) 62 2.2 Terminologi Perilaku Pengobatan Asma (Bauman, 2005) 64 3.1 Kerangka Konsep dengan Model SEM pada Penelitian Ini 76

4.1 Bagan Tahapan Penelitian 83

4.2 Model Struktural Adherensi Pengobatan dengan Kualitas Hidup 101 5.1 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Adherensi (Eksogen) 128 5.2 Analisis Faktor Konfirmatori Variabel Kualitas Hidup (Endogen) 132 5.3 Model Structural Equation Modelling Variabel Adherensi dan

Kualitas Hidup 135

(19)

DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH

AAPQ-Medan : Adherence Asthmatic Patient Medan AGFI : Adjusted Goodness of Fit Index

AIRAPI : Asthma Insight and Reality in Asia Pacific AMOS : Analysis Moment Structure

ANOVA : Analysis of Variance

AQLQ : Asthma Quality of Life Questioner (AQLQ) AQLQ-S : Asthma Quality of Life Standard

CDC : Center for Disease Control CFA : Confirmatory Factor Analysis CFC : Chlorofluorocarbon

CFI : Comparative Fit Index

Cmin/df : the minimum sample discrepancy function CR : Construct Reliability

DPI : Dry Powder Inhaler

dkk : dan kawan-kawan

Dll : dan lain lain

EFA : Exploratory Factor Analysis

FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara GFI : Goodness of Fit Index

GINA : Global Initiative for Asthma

GMSCF : Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor HFA : Hydrofluoroalkane

ICS : Inhaled Corticosteroid IDT : Inhalasi Dosis Terukur IL : Inter Leukin

IRT : Ibu Rumah Tangga ISAAC

:

International Study on Asthma and Allergies in

Childhood

(20)

KDQL : Kidney Disease Quality of Life

Medication Event Monitoring System

Minimum - Maksimum

NHLBI : National Hearth Lung and Blood Institute P : probability

PAQLQ : Paediatric Asthma Quality of Life Questioner PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

PNS : Pegawai Negeri Sipil Polri : Polisi Republik Indonesia

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RMSEA : Roat Mean Square Error of Approximation

RS : Rumah Sakit

SEM : Structural Equation Modelling SF 36 : Short Form Health Survey SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama

TB : Tuberkulosis

TGF : Transforming Growth Factor T-h2 : T helper 2

TLI : Tucker Lewis Index

TNI : Tentara Nasional Indonesia UGD : Unit Gawat Darurat

VE : Variance Extracted

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Lampiran

1 Ethical Clearence

2 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek 3 Surat Pernyataan Bersedia Ikut Penelitian

4 Hasil Kualitatif Pengembangan Instrumen Adherensi dan Kualitas Hidup

5 Kuesioner

6 Hasil Deskriptif Dimensi Adherensi pengobatan dan Kualitas Hidup

7 Out Put Penelitian Kuantitatif

8 Pengujian Construct Reliability dan Varianced Extracted 9 Riwayat Hidup Singkat

(22)

RIWAYAT HIDUP SINGKAT

A. Identitas

Nama : dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes Tempat/Tgl lahir : Lhokseumawe, 9 Juni 1969

Pangkat/GolonganNIP: Pembina Tkt I/IVa/196906091999032001

Agama : Islam

Alamat : Jl Karya Wisata Villa Mutiara Johor I B3 HP/Telefon : 081263634090/0617865144

Email : dr_arlinda_123@yahoo.com Nama Bapak : Ali Umar (Alm)

Nama Ibu : Hj. Yuzarni

Nama Suami : Chairul Azhar SSi, MPd Nama Anak : Dinda Rahmayani Azhar

B. Riwayat Pendidikan

SD Yayasan Pendidikan Harapan : Lulus 1982

SMP Negeri 1 Medan : Lulus 1985

SMA Negeri 1 Medan : Lulus 1988

FK USU : Lulus 1995

FKM UI (Biostatistik) : Lulus 2002

C. Riwayat Pekerjaan

Dokter PTT Puskesmas Sibolangit : 1995-1998

Staf pengajar FK USU : 1999-sekarang

Sekretaris Departemen IKM/IKP/IKK : 2010-sekarang Staf pengajar Magister kedokteran Klinik : 2003-2010 Staf pengajar S2 Biomedik USU : 2003-sekarang Staf pengajar S2 Keperawatan USU : 2011-sekarang

Staf pengajar FK UMSU : 2011-sekarang

(23)

D. Organisasi

PDK3MI Reg I : 2011-sekarang

PDKI (Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia): 2000-sekarang Komisi Etik Penelitian FK USU : 2004-sekarang MRC (Medical Research Center) FK USU : 2010-sekarang YKI (Yayasan Kanker Indonesia) Cab Sumut : 2012-sekarang

E. Training terkait penelitian

Teknik Sampling dan Perhitungan Besar Sampel : 2004 (LPPM-UNAIR)

Training of Teachers in Family Medicine (WONCA, : 2004 Kuala Lumpur)

(24)

MODEL PERILAKU ADHERENSI (ADHERENCE) PENGOBATAN DAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN ASMA DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang didasari oleh proses inflamasi dan merupakan masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Permasalahan penyakit asma sering dikaitkan faktor penatalaksanaan dimana perilaku pengobatan dari pasien asma dan dokternya belum maksimal. Bauman (2005) mengeluarkan konsep adherensi (adherence) pengobatan sebagai terobosan yang tepat dalam penatalaksanaan asma. Adherensi adalah perilaku kepatuhan pasien terhadap anjuran dokternya, yang disertai pemahaman tentang seluk beluk penyakitnya berkaitan dengan penatalaksanaan penyakitnya, sehingga ia mengikuti anjuran dokter secara konsisten. Pada konsep adherensi ini ditekankan komitmen yang tinggi di antara dokter dan pasien dalam mencapai perilaku pengobatan yang maksimal. Adherensi pengobatan yang baik pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien asma, sesuai dengan tujuan penatalaksanaan asma, yaitu asma yang terkontrol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model adherensi pengobatan pasien asma dan kaitannya dengan kualitas hidup. Selain itu penelitian ini juga untuk mendapatkan alat ukur adherensi dan kualitas hidup yang valid dan reliabel pada pasien asma khususnya di kota Medan.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan instrumen penelitian dengan sumber informasi dari pasien, dokter ahli, dokter umum, dan ahli farmakologi. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan pendekatan crossecsional. Sampel adalah 200 pasien asma dewasa yang menggunakan obat asma standar, pasien asma stabil dan tidak menderita asma berat atau penyakit penyerta lainnya seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, hati dan ginjal. Teknik sampling adalah consecutive sampling data dokter praktek (umum/spesialis paru). Data dianalisis dengan menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat yaitu analisis SEM (Structural Equation Modelling).

Hasil penelitian pada penelitian ini adalah terbentuknya model pengukuran adherensi pengobatan pasien asma di kota Medan yang memiliki nilai psikometrik yang baik (valid, reliabel dan pemodelan fit), yaitu adherensi I (kepercayaan, pengetahuan, dan sikap), adherensi II (komunikasi dokter pasien, tindakan, dan dukungan keluarga), kualitas hidup (aktivitas, emosi, kesehatan, dan lingkungan). Ada hubungan adherensi dengan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan.

(25)

A MODEL OF ADHERENCE BEHAVIOUR TO TREATMENT AND ITS ASSOCIATION WITH THE QUALITY OF LIFE AMONG PATIENTS

WITH ASTHMA IN MEDAN ABSTRACT

Asthma is an airway chronic disease that is due to inflammatory process. It is considered as a worldwide serious health problem. Asthma problems are often linked to treatment management factors which include non-maximal behaviours of the patients and doctors. Bauman (2005) produced a concept of adherence to treatment as an accurate breakthrough for asthma management. Adherence is defined as the patient adhering behaviour towards the doctor’s advices accompanied with a such understanding of the disease aspects related to the disease management/treatment, so that the patients adhere their doctor's advice consistently. The adherence concept emphasizes on a strong commitment between physicians and patients to achieve maximum behaviour towards the treatment. Good adherence of patients with asthma will improve the lung function and their quality of life. This is in accordance to the goal of asthma management itself, a controlled asthma. The purpose of this study was to construct a model of adherence to treatment of patients with asthma and its association with the quality of life. In addition, this study also aimed to set a valid and reliable adherence and the quality of life measurement tool that might be applied to patients with asthma, particularly those who live in Medan.

The study utilized qualitative and quantitative approach as the methodology. The qualitative approach was conducted to develop research instruments in which the patient, specialists, general practitioners, and pharmacologists as the source of information. The quantitative research employed a cross sectional approach. The samples were 200 adult patients with asthma who receive standard asthma medications, patients with stable condition and do not suffer from severe asthma or other comorbidities such as heart disease, hypertension, diabetes mellitus, liver and kidney disease. The study performed a consecutive sampling as the technique which was obtained from physicians’ data (general/lung specialist). Data were analyzed by performing univariate, bivariate and multivariate analysis, through SEM analysis (Structural Equation Modelling).

As the result, the study produced a measurement model of asthma patients adherence to the treatment among those who live in Medan. The study found that the asthma patients who live in Medan have a good psychometric values (valid, reliable and fit to model): adherence I (beliefs, knowledge, and attitudes), adherence II (doctor-patient communication, actions, family support), and the quality of life (activity, emotional, physical, and environmental,). It is concluded that there is an association between adherence and quality of life among patients with asthma in Medan.

(26)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Proses inflamasi kronik yang berlangsung di saluran pernapasan pasien asma, melibatkan banyak sel inflamasi dan elemennya. Kondisi ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga menimbulkan gejala klinis yang berlangsung secara periodik, terutama pada malam hari atau dini hari/subuh. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan. Gejala ini berhubungan dengan luasnya proses inflamasi yang sedang berlangsung, yang akan memicu terjadinya berbagai kondisi (edema, bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar, dan lain-lain). Kondisi ini menyebabkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan, yang akan menimbulkan sesak napas sebagai manifestasi klinis utama, yang sangat mengganggu aktivitas, produktivitas dan kualitas hidup pasien asma (GINA, 2011).

(27)

kombinasi corticosteroid dan agonis β2 bekerja lama/LABA) telah

tersedia. Saat ini, jumlah pasien asma diperkirakan mencapai 300 juta orang, dan jumlah pasien yang meninggal karena serangan asma mencapai 255.000 orang (WHO, 2005). Penyakit sistem pernapasan, merupakan penyebab 17.4% kematian di dunia, dengan urutan sebagai berikut: infeksi paru (7.2%), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (4.8%), tuberkulosis (TB) (3%), kanker paru (2.1%) dan asma (0.3%) (WHO, 2005).

Di Indonesia, prevalensi asma belum didukung oleh data yang pasti (Sundaru, 2007; Mangunegoro, 2004). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi asma di Indonesia sangat bervariasi. Yunus dkk (2011) melakukan penelitian prevalensi asma di Jakarta dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in chilhood/ISAAC pada tahun 2001 dan 2008 dengan prevalensi kumulatif

11.5% tahun 2001 dan 12.2% tahun 2008. Selain itu, hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, menyatakan bahwa prevalensi asma di Jakarta mencapai 2.9%, sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi penyakit asma berkisar antara 3-6.4% (Dinas Kesehatan, 2007).

(28)

Salah satu penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pasien asma pada anak kehilangan 10 juta hari sekolah atau dua kali lebih besar dibandingkan anak yang tidak menderita asma (Taylor, 1992). Selain itu, penyakit asma juga menyebabkan 13 juta kunjungan ke dokter dan perawatan rumah sakit untuk 200.000 pasien pertahun. Di kalangan pasien dewasa, jumlah pekerja yang tidak masuk kerja lebih dari 6 hari pertahun mencapai 19.2% (asma derajat sedang/berat), dan 4.4% (asma derajat ringan). Centers for Disease Control and Prevention/CDC Amerika Serikat juga melaporkan bahwa ada sekitar 2 juta pasien asma yang mengunjungi Unit Gawat Darurat (UGD), dan 500.000 dari padanya harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya.

Ditinjau dari sisi pembiayaan, biaya pengobatan asma di negara maju berkisar antara 300-1300 juta US$/tahun. Di Amerika biaya yang dikeluarkan untuk menangani perawatan penyakit asma di rumah sakit (eksaserbasi asma) sekitar 11 juta dollar pertahun (Putman, 2004). Di Australia, biaya untuk perawatan asma berkisar di antara 585-720 juta dollar/tahun, dan asma adalah satu dari sepuluh alasan pasien mengunjungi dokternya (Bauman, 2005).

Penatalaksanaan asma yang benar memerlukan obat yang sesuai

(appropriate treatment) dan tepat (adequate treatment), yaitu tepat dosis,

(29)

benar menurut GINA 2011, adalah melakukan penanggulangan patogenesis dasar penyakit asma, yaitu proses inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan. Penatalaksanaan asma yang sesuai (appropriate teratment), dilakukan dengan memberikan inhalasi kombinasi anti

inflamasi (controller) dan bronkodilator/pelega (reliever) jangka panjang, yang tetap diberikan pada saat stabil (tidak sedang dalam serangan). Pemberian terapi inhalasi kombinasi kedua obat ini harus disertai dengan penilaian objektif terhadap kemampuan aliran udara yang dapat melalui saluran pernapasan, yang secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan peak flow meter, sehingga dapat diketahui pencapaian kemajuan terapi. Pengukuran fungsi saluran pernapasan, dengan peak flow meter sebelum penggunaan obat, perlu dilakukan untuk mengetahui

derajat keparahan penyakit asma yang sedang dialami seorang pasien asma. Terapi inhalasi kombinasi yang dianjurkan untuk penatalaksanaan asma saat ini adalah inhalasi kombinasi corticosteroid dengan agonis β2

kerja lama (Long Acting β2 Agonist/LABA) (GINA, 2011). Kombinasi

corticosteroid dengan agonis β2

(30)

memungkinkan pasien asma dapat melakukan aktivitas kehidupannya seperti orang sehat lainnya. Indikator asma terkontrol adalah tidak adanya gejala, tidak ada keterbatasan aktivitas, tidak ada gejala pada malam hari, tidak perlu obat pelega, fungsi paru normal dan tidak ada serangan asma

sepanjang tahun (GINA, 2011). Penatalaksanaan yang efektif untuk mencapai asma terkontrol, tidak saja menyebabkan pasien asma kembali pada kehidupan normal dengan kualitas hidup yang baik, tetapi

juga menguntungkan secara ekonomi, baik bagi keluarga, masyarakat luas, maupun negara (Sundaru, 2007).

(31)

dokternya. Adherensi adalah perilaku kepatuhan pasien terhadap anjuran dokternya, yang disertai pemahaman tentang seluk beluk penyakitnya berkaitan dengan penatalaksanaan penyakitnya, sehingga ia mengikuti anjuran dokter secara konsisten (Bauman, 2005). Tanggung jawab penerapan adherensi dalam penatalaksanaan asma bukan hanya terletak pada pasien, tetapi juga pada dokternya melalui komunikasi yang baik dan efektif di antara pasien dan keluarganya dengan dokter yang merawatnya (WHO, 2003; Bauman, 2005). Untuk itu, dokter perlu mengembangkan teknik komunikasi kesehatan yang efektif antara dokter dan pasien (Sarwono, 2004).

(32)

penatalaksanaan juga terletak pada dokter yang merawat pasien tersebut (Sarwono, 2004).

Bauman, (2005) dan Mangan (2007) menyatakan bahwa adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan sikap dari pasien mengenai penyakitnya, prioritas kesehatan dalam kehidupan pasien, faktor kepercayaan (health believes), pengalaman sebelumnya, kesulitan dalam hal konsultasi, pemahaman tentang penyakit, dan efektifitas diri (self-efficacy).

(33)

pengobatan pasien. Kondisi ini mungkin dipengaruhi oleh faktor budaya di kalangan komunitas tertentu.

Blum (1974) menyatakan bahwa faktor perilaku memegang peranan penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, keluarga dan individu (dikutip dari: Maulana, 2009). Perilaku merupakan hasil dari seluruh kegiatan manusia, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati (Notoatmodjo, 2007). Secara teoritis, ranah perilaku manusia terdiri dari 3 aspek yaitu: pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Green (1980) menguraikan bahwa ada 3 aspek yang mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors) (dikutip dari: Notoatmodjo, 2007, Maulana 2009). Faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sosiodemografi. Faktor pendukung terwujud dalam lingkungan fisik, tersedianya fasilitas dan sarana seperti obat-obatan, kemampuan membayar, sedangkan faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan (dokter yang menangani penyakit), dorongan keluarga, dan kelompok referensi masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

(34)

penyakitnya. Pasien yang mengerti dan paham tentang penyakitnya, akan meningkatkan adherensi pengobatan sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jarry (2004). Pada pasien asma yang mengerti dan paham tentang penyakitnya, akan terbentuk sikap dan perilaku yang baik terhadap penatalaksanaan penyakitnya. Hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh faktor edukasi kesehatan yang diberikan secara berkesinambungan oleh dokter yang merawatnya (Soetjiningsih, 2002).

Adherensi yang baik dari pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, akan mencapai asma yang terkontrol, yang dengan sendirinya akan meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien asma. Pont (2004), mendapatkan skor pasien asma yang adheren adalah 5.8 sedangkan pada kelompok yang non adheren adalah 5.2. Pont juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan di antara kelompok adherensi dengan yang non adherensi terhadap pengobatan asma, dari aspek aktivitas, gejala klinis dan emosional pasien asma. Syafiuddin (2007) telah membuktikan bahwa kualitas hidup pasien asma semakin baik, bila penerapan konsep adherensi dilaksanakan pada penggunaan kombinasi inhalasi corticosteroid dengan agonis β2 kerja lama (Long

Acting β2

Di sisi lain, pencapaian kualitas hidup yang prima bagi seorang pasien, adalah konsep yang mencakup karakteristik fisik, mental, sosial, emosional, yang mencakup efek dan komplikasi terapi penyakit secara

Agonis/LABA) yang diberikan secara berkesinambungan selama

(35)

luas, yang menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya (CDC, 2000). Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit tertentu dan mendapat penatalaksanaan sesuai dengan pedoman penatalaksanaan penyakit tersebut. Kualitas hidup dapat dijadikan sebagai hasil pengukuran yang meliputi berbagai aspek, yang menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan penampilannya, misalnya kemampuan fisik, okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi (Hyland, 1997). Studi yang dilakukan oleh Spiric (2004), menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma. Adapun faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah: berat penyakit, tempat tinggal dan kondisi cuaca (p< 0.05). Suharto (2005) juga menemukan adanya hubungan antara derajat penyakit, sosial ekonomi, kepadatan rumah dengan kualitas hidup anak.

(36)

digunakan, dan belum ada penelitian mengenai validitas dan reliabilitas alat ukur kualitas hidup untuk pasien asma.

Pada umumnya pengukuran kualitas hidup pasien asma di Indonesia sering disamaartikan dengan terkontrol atau tidaknya penyakit asma dengan menggunakan alat ukur Asthma Control Test (ACT). Meskipun tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur ini cukup tinggi yaitu 0.85 (Schatz, 2006), namun materi dari ACT hanya mengukur aspek klinis semata. Hal ini tentu akan menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi terhadap makna kualitas hidup pasien asma yang sebenarnya. Untuk memperbaiki kualitas penatalaksanaan/pengobatan pasien asma, perlu ditetapkan indikator yang dapat mengukur adherensi pengobatan dan kualitas hidup pasien asma yang bersifat lebih menyeluruh/komprihensif. Namun sampai saat ini belum ada penelitian untuk menetapkan berbagai indikator yang dapat membentuk adherensi terhadap penatalaksanaan pasien asma. Karena itu, diperlukan pengembangan instrumen yang akan menelaah dan menetapkan berbagai indikator yang dapat mempengaruhi terbentuknya adherensi, yang akan mampu memberikan informasi lebih luas/menyeluruh dalam mengekspresikan tingkat adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, sehingga lebih memudahkan/ memungkinkan para dokter dalam upaya pencapaian asma terkontrol dan kualitas hidup yang prima bagi pasien asma.

(37)

antara analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis) (Wibowo, 2006; Santoso, 2007). Dengan menggunakan analisis ini peneliti dapat menemukan faktor determinan perilaku, model struktural dan model pengukuran perilaku adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya. Konsep yang jelas akan menghasilkan model perilaku adherensi yang jelas. Hal ini tentu dapat meningkatkan pemahaman tentang adherensi pengobatan pasien asma dan dapat memperbaiki penatalaksanaan asma di masa yang akan datang. Disamping itu perlu ada kajian yang cermat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit asma yang tepat dan benar, terkait dengan target kurikulum pendidikan dokter (Standar Kompetensi Dokter Indonesia/ SKDI, 2006), yang menetapkan target pembelajaran untuk penyakit asma pada level 4. Hal ini berarti kelak setiap dokter umum harus mampu menatalaksana penyakit asma mulai dari kemampuan mendiagnosis sampai dengan pemberian terapi asma secara tuntas. Saat ini setiap Fakultas Kedokteran di Indonesia wajib menerapkan sistim KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), sehingga adanya instrumen yang akan mengekspresikan tingkat adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran tentang asma pada KBK, yang akan memudahkan aplikasinya untuk pencapaian asma terkontrol dan kualitas hidup yang prima di kalangan pasien asma, khususnya di Indonesia.

(38)

berbagai faktor yang ada dalam kehidupan pasien dan lingkungannya, dan pencapaian asma terkontrol tidak semata-mata tergantung dari obat yang tersedia. Dampak buruk penyakit asma yang sangat merugikan dapat terjadi karena melalaikan keterlibatan faktor-faktor pembentuk adherensi, sehingga penatalaksanaannya menjadi tidak tepat. Rabe (2004) menyatakan bahwa penggunaan obat pengontrol (inhalasi cortikosteroid) pada pasien asma persisten, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropah Barat masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 18-26%. Hasil survei yang dilakukan oleh Asthma Insight and Reality in Asia Pacific (AIRAPI) di berbagai kota besar Asia pada tahun 2003, menunjukkan

bahwa penatalaksanaan penyakit asma belum maksimal dan belum mencapai target yang diinginkan. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa dalam 4 minggu terakhir pengobatan, 51.4% pasien asma masih menunjukkan gejala asma di siang hari, 44.3% mengalami gangguan tidur/terbangun malam hari karena asma. Gangguan aktivitas dan mangkir sekolah di kalangan pasien asma mencapai 36%, dan kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) atau perawatan di rumah sakit dijumpai pada 43.6%, dan 56.3% pasien masih memerlukan agonis β2 kerja singkat, paling tidak tiga kali dalam seminggu. Sementara itu, inhalasi corticosteroid hanya digunakan oleh 13.6% pasien asma (Lai, 2003).

Fakta ini juga terjadi di kalangan pasien asma di Indonesia, penatalaksanaan asma pada umumnya tidak tepat (inappropiate treatment) dan tidak adekuat (inadequate treatment). Hasil penelitian

(39)

dalam Rumah Sakit Muhammad Husni Palembang, menemukan hanya 51.9% pasien asma yang menggunakan obat pengontrol. Pasien asma sering hanya menggunakan bronkodilator saja, tanpa pemberian inhalasi steroid sebagai pengontrol (Marliza, 2005; Syafiuddin, 2007). Dengan demikian, penatalaksanaan asma sering sekali hanya memberikan terapi simptomatik, tanpa mengontrol proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasarnya (Syafiuddin, 2007), sehingga pengobatan asma sering sekali tidak mencapai target yang diharapkan, yaitu asma terkontrol (controlled asthma). Selain itu, hasil penelitian Marliza (2005) di Kota

Medan, juga menemukan bahwa 60% pasien asma masih menggunakan obat oral dan 40% sisanya menggunakan obat inhalasi. Dari penggunaan obat inhalasi, hanya 40% pasien yang patuh, 65% dengan teknik penggunaan terapi inhalasi yang benar, 42.5% dengan dosis obat inhalasi yang sesuai, dan 67.5% menghentikan pengobatan segera setelah keluhan subjektif hilang.

(40)

penatalaksanaan penyakitnya) perlu ditatalaksana dengan baik. Dengan demikian, diperlukan penelaahan terhadap berbagai faktor/unsur yang mempengaruhi pencapaian adherensi pada aplikasi komunikasi efektif di antara dokter-pasien dan juga keluarganya. Melalui penelaahan ini, akan diwujudkan suatu instrumen untuk mengetahui tingkat adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, sehingga sangat membantu dan memudahkan dokter untuk mengetahui dan memperbaiki penatalaksanaan asma yang belum adekuat.

Penelitian mengenai instrumen/model perilaku adherensi penatalaksanaan asma belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti faktor adherensi pada penatalaksanaan/ pengobatan asma, dan keterkaitannya dengan pencapaian asma terkontrol dan kualitas hidup pasien asma yang prima.

1.2. Rumusan Masalah

(41)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan instrumen/model perilaku adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya, dan mengetahui hubungan adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya dengan kualitas hidup pasien asma.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendapatkan instrumen pengukuran adherensi dan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan

b. Untuk menganalisis adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya, dan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan.

c. Untuk menganalisis perbedaan adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya berdasarkan sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, penghasilan dan suku) di Kota Medan

d. Untuk menganalisis perbedaan kualitas hidup pasien asma berdasarkan sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, penghasilan dan suku) di Kota Medan

(42)

g. Untuk menganalisis model pengukuran kualitas hidup pasien asma di Kota Medan

h. Untuk mendapatkan model struktural adherensi terhadap penatalaksanaan dengan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai:

a. Masukan kepada praktisi medis yaitu dokter umum dan dokter spesialis penyakit paru untuk dapat mengetahui dan memahami indikator adherensi penatalaksanaan/pengobatan asma yang sangat diperlukan pada penatalaksanaan asma yang sesuai (appropriate) dan tepat (adequate), erat kaitannya dengan perilaku dokter dan pasien asma.

b. Masukan bagi berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya untuk Departemen Penyakit Paru dan Kedokteran Respirasi, dalam peningkatan mutu pelayanan penatalaksanaan penyakit asma.

c. Masukan bagi institusi pendidikan terutama Fakultas Kedokteran dalam mengembangkan kurikulum khususnya untuk penatalaksanaan penyakit asma.

d. Dasar untuk mengembangkan teori adherensi penatalaksanaan/ pengobatan pasien asma khususnya di Kota Medan

(43)

f. Sumber informasi untuk rencana pembuatan software model adherensi dan kualitas hidup pasien asma di kota Medan pada khususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya.

1.5. Potensi HAKI

Potensi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada penelitian ini adalah:

a. Menemukan indikator pengukuran perilaku adherensi penatalaksanaan /pengobatan pasien asma

b. Menemukan model prediktif perilaku adherensi penatalaksanaan/ pengobatan pasien asma

c. Menemukan indikator pengukuran kualitas hidup pasien asma

(44)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, sehingga menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan, dengan gejala klinis utamanya sesak napas. Penyakit ini berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penatalaksanaan asma yang baik akan meningkatkan kualitas hidup pasien asma. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan berbagai hal berkenaan dengan penyakit asma, kualitas hidup dan konsep perilaku, serta adherensi pengobatan pasien asma.

2.1 ASMA

2.1.1. Definisi Asma

(45)

inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).

Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda dengan definisi GINA yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran. Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.

2.1.2 Epidemiologi Asma

Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya.

(46)

prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (GINA, 2011). Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada kelompok anak dan cenderung menurun pada kelompok dewasa (Ratnawati, 2011)

Prevalensi asma antar negara sulit dibandingkan karena belum ada kuesioner baku yang digunakan secara internasional sampai akhirnya Steering Comitte of International Study Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC) menyusun kuesioner untuk penelitian prevalensi asma yang

dapat digunakan di seluruh dunia baik dengan bahasa maupun kondisi geografis yang berbeda. Penelitian prevalensi asma menggunakan kuesioner ISAAC pada tahap awal sudah dilakukan pada 155 pusat asma di 56 negara termasuk Indonesia. Angka prevalensi asma yang didapatkan bervariasi antara 2.1-32.2% (Rosmarlina, 2010).

(47)

Data pasien asma tahun 2001 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta sebagai rumah sakit pusat rujukan penyakit paru nasional di Indonesia, terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Data Layanan Asma di RS. Persahabatan Jakarta tahun 1998- 2001.

No Layanan Asma 1998 1999 2000 2001 1 Rawat jalan 898 661 329 397 2 Rawat inap 43 138 60 104

3 Gawat darurat 1653 1537 2210 2210

4 ICU 3 6 10 3

5 CFR 2.32% 2.17% 0 2.90%

Sumber: Mangunegoro, 2004

Yunus dkk, pada tahun 2001 melakukan studi prevalensi asma pada 2234 siswa SLTP se-Jakarta Timur melalui kuesioner International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Studi tersebut

menghasilkan prevalensi asma (recent asthma) 8.9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11.5%. Hasil penelitian ini lebih banyak dijumpai pada perempuan yaitu 53.8%, laki-laki 46.2%. Tahun 2008 penelitian serupa kembali dilakukan dengan mendapatkan prevalensi asma sebesar 7.1% dan prevalensi kumulatif 12.2% (Yunus, 2011). Rosmalina (2010) melakukan penelitian prevalens asma anak pada 2023 siswa SLTP Jakarta Timur, dengan angka prevalensi 6.3%, dan asma kumulatif 13.4%.

(48)

mencapai 3.6% (laki-laki 1.9% dan perempuan 1.7%). Di DKI Jakarta, prevalensi asma mencapai 2.9% dengan kisaran prevalensi 2.4-6.6%. Di Jawa Barat prevalensi asma mencapai 4.7% dengan kisaran 1.5-7.7% sedangkan di Jawa Timur mencapai 3% dengan kisaran 0.7-9.8% (Dinas Kesehatan, 2007).

2.1.3 Faktor Risiko Asma

(49)

Tabel 2.2. Faktor Risiko pada Asma.

Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma

Alergen dalam ruangan Mite domestic

Alergen binatang Alergen kecoa

Jamur (fungi mold, yeasts) Alergen di luar ruangan Tepung sari bunga

Jamur (fungi mold, yeasts) Bahan di lingkungan kerja Asap rokok

Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap

Alergen di dalam dan diluar ruangan Polusi di dalam dan di luar ruangan Infeksi pernapasan

Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi Perubahan cuaca

Sulfur dioksida

Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan Ekspresi emosi yang berlebihan

Asap rokok

(50)

2.1.4. Patogenesis Asma

Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011). Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan munculnya disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa gejalapun inflamasi telah ada (Surjanto & Martika, 2009).

Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui penglepasan berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T subset T helper-2(Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF). Sitokin

(51)

sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008).

Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi. Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pnemotoraks (Suharto, 2005).

(52)

Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi yang perubahannya bersifat ireversibel disebut proses remodeling (remodelling process). Proses remodeling saluran pernapasan merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran pernapasan melalui proses deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro, 2004). Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast, diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling. Myofibroblast yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran pernapasan dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit (Rahmawati, 2003).

(53)

reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi corticosteroid. Beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, tetapi hal ini mencerminkan adanya remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblast berperan penting dalam terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati, 2003).

2.1.5 Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang ada (sekarang maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan aliran udara dalam saluran pernapasan. Asma harus diduga bila muncul gejala seperti mengi, rasa berat di dada, batuk (dengan atau tanpa dahak) dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Mengi adalah gejala yang sering ditemui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 30% pasien asma, mengi merupakan salah satu keluhan (Mangunegoro, 2004; Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan salah satu faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan atopi, aktifitas fisik yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas (Stark, 2000).

(54)

peak flow meter dan spirometer. Pada kesulitan menegakkan diagnosis

asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan uji provokasi bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktiviti saluran pernapasan, pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart and Blood Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk

menentukan asma, yaitu adanya obstruksi saluran pernapasan yang hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya inflamasi saluran pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai rangsangan.

2.1.6. Diagnosis Banding

Diagnosis banding asma antara lain (Alsagaff, 2010): a. Asma Kardial

b. Bronkitis akut ataupun menahun c. Bronkiektasis

d. Keganasan e. Infeksi paru

f. Penyakit granuloma g. Farmer’s lung disease

h. Alergi bahan inhalan industri

i. Hernia diafragmatika atau esophagus

j. Tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum k. Sembab laring

(55)

n. Aneurisma aorta o. Kecemasan

2.1.7. Penatalaksanaan Asma (Mangunegoro, 2004) Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen: a. Edukasi

b. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

f. Kontrol secara teratur g. Pola hidup sehat

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu:

a. Medikasi (obat-obatan): Obat asma dikelompokkan atas dua golongan yaitu: obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.

b. Pemberian medikasi.

c. Penanganan asma mandiri.

a. Medikasi (Obat Asma)

1). Obat Pengontrol (Controllers)

(56)

proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain:

a) Corticosteroid inhalasi b) Corticosteroid sistemik c) Sodium chromoglicate d) Nedochromil sodium e) Methylxanthine

f) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi g) Leukotriene modifiers

h) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua

2). Obat Pelega (Reliever)

(57)

Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah: a) Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama

b) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-lain)

c) Xanthine (Aminophylline)

d) Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-lain.

b. Pemberian Obat-obatan

Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi (diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena).

Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah:

1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan.

2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.

3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.

Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara, yaitu:

(58)

3) Breath-actuated MDI

4) Dry powder inhaler (DPI)

5) Turbuhaler

6) Nebulizer

Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. Penggunaan alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Spacer lazim digunakan pada penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila menggunakan inhalasi corticosteroid (meskipun hal ini sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis β2 kerja singkat dengan IDT dengan menggunakan spacer memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti memberikan efek bronkodilitasi yang lebih baik daripada melalui Dry Powder Inhaler (DPI) (Mangunegoro, 2004).

(59)

mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan kecepatan aliran udara inspirasi minimal. DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung clorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi.

Saat ini, Chlorofluorocarbon (CFC) pada IDT, telah diganti dengan hydrofluoroalkane (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA

adalah equivalen, tetapi pada inhaler yang mengandung corticosteroid, HFA mengantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru, sehingga selain meningkatkan efikasi obat, juga akan meningkatkan efek samping sistemiknya. Dengan DPI, obat lebih banyak dideposit dalam saluran pernapasan dibanding IDT, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa inhalasi corticosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama dengan cara pemberian melalui DPI. Karena perbedaan kemurnian obat dan teknk penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.

c. Penanganan Asma Mandiri

(60)

sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk mencapai asma terkontrol, karena mereka yang langsung merasakan dampak penatalaksanaan asma yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka faktor edukasi/komunikasi terapeutik di antara dokter dengan pasien asma dan keluarganya merupakan hal yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan asma. Dokter merencanakan pengobatan jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik, sehingga memungkinkan pasien asma mencapai asma terkontrol. Sistem penanganan asma mandiri mengharuskan pasien asma memahami kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Penatalaksanaan ini mengajak pasien memantau kondisinya sendiri, mengidentifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala klinis yang terjadi dan mengetahui bila saatnya pasien asma memerlukan bantuan medis/dokter (Mangunegoro, 2004).

2.1.8. Obat Pengontrol Asma (Mangunegoro, 2004) a. Corticosteroid Inhalasi.

Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa mekanisme yaitu:

1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi produksi leukotriene dan prostaglandin.

(61)

3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel inflamasi

4) Menghambat produksi cytokines

5) Meningkatkan kepekaan reseptor β2 pada otot polos bronkus

Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah: 1) Dosis yang digunakan relatif rendah

2) Efek samping minmal

3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula kerja obat (onset of action) yang cepat.

4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.

Corticosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi, frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup (Tabri, 2010). Pada asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak selamanya sejalan dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian, peningkatan dosis inhalasi corticosteroid tidak memberikan efek lebih baik dibandingkan bila inhalasi corticosteroid dikombinasi dengan agonis β2

(62)

pengobatan asma persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik aman pada dosis yang direkomendasikan. Perkiraan kesamaan potensi beberapa glucocorticosteroid dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Dosis Glucocorticosteroid Inhalasi dan Perkiraan Kesamaan Potensi

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi Obat

Beclomethasone 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug Dipropionat 22-400 ug 400-800 ug >800 ug Budesonide 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug Flinisolide 100-250 ug 250-500 ug >500 ug Fluticasone 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi Beclomethasone 100-400 ug 400-800 ug >800 ug Dipropionate 100-200 ug 200-400 ug >400 ug Budesonide 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ug Flinisolide 100-200 ug 200-500 ug >500 ug Fluticasone 800-1200 ug 800-1200 ug > 1200 ug Sumber: GINA, 2011, Bateman, 2008

(63)

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi corticostreoid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.

b. Corticosteroid Sistemik

(64)

1) Gunakan prednisone atau methylprednisolone, karena mempunyai efek mineralo-corticoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal.

2) Gunakan bentuk oral, bukan parentral.

3) Penggunaan selang sehari (intermitten therapy) atau sekali sehari pagi hari.

c. Methylxanthine

Theophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua golongan bronkodilator lain yaitu agonis β2 dan anticholinergic. Sampai saat ini, theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi pemberian theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik (parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat. Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti inflamasi seperti corticosteroid, pada pasien asma persisten berat dan sedang, bila steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang optimal. Pada pasien asma dengan gejala asma pada malam hari, pemberiannya pada sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul pada malam hari.

(65)

corticosteroid. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian theophylline jangka lama, efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama, sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gejala asma pada malam hari, dikombinasi dengan anti inflamasi yang lazim digunakan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa methylxanthine sebagai terapi tambahan pada pemberian glucocorticosteroid inhalasi dalam berbagai tingkat dosis adalah efektif untuk mengontrol asma. Namun, sebagai terapi tambahan, kombinasi ini tidak seefektif inhalasi kombinasi corticosteroid dengan agonis kerja lama, meskipun masih merupakan obat pilihan, karena harganya yang jauh lebih murah dari sediaan inhalasi.

d. Agonis β2 Kerja Lama Inhalasi

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep dengan Model SEM pada Penelitian ini
Tabel  3.1.  Definisi Operasional Variabel dan Indikator Penelitian
Tabel  3.2.  Definisi Operasional Variabel Sosiodemografi  Penelitian
Gambar 4.1. Bagan Tahapan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 25. Tombol pembuka dan judul aplikasi.. Pada tombol Menu Utama jika dipilih maka akan menuju ke halaman utama dari media pembelajaran ini. Tombol profil jika

[r]

Dari 50 aksesi plasma nutfah ubi jalar yang diuji ketahanannya terhadap hama lanas, tidak diperoleh aksesi yang tahan maupun agak tahan, sebanyak 6 aksesi bereaksi agak peka (12%), 25

Seluruh dosen Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran selama perkuliahan sebagai bekal untuk penulisan

Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Metode penelitian data sekunder yaitu data yang tidak secara langsung dari. objek penelitian yang terdiri

Hendaknya untuk lebih meningkatkan kemampuan pada aspek kognitif, yaitu pada kompetensi Membaca Gambar Teknik, sehingga pada saat melakukan Praktik Pemesinan tidak

KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN ANGGARAN 2012 NOMOR : 602.1/480/IV.32/2011 TANGGAL : 23 November 2011 ALAMAT : Jalan Pulau Sebesi No.. PEKERJAAN