• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor biofisik laut seperti, cahaya, suhu, salinitas, arus, pasang surut, dan ketersediaan makanan telah dipandang sebagai faktor abiotik dan biotik pada ekosistem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup biota laut termasuk larva ikan bandeng, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Menurut Lee et al. (1986), kelangsungan hidup (survival) larva ikan bandeng banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan habitatnya, seperti; (1) suhu, (2) oksigen terlarut, (3) salinitas, (4) kekeruhan, (4) intesitas cahaya, (5) densitas plankton, (6) fase bulan, (7) cuaca, dan (8) keberadaan ekosistem mangrove.

2.3.1 Suhu Permukaan Perairan

Suhu perairan terutama lapisan permukaan dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari, arus permukaan, keadaan awan, up welling, divergensi dan konvergensi terutama di sekitar estuari dan sepanjang garis pantai (Hela and Laevastu 1970). Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti; penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaman udara, dan kecepatan angin. Oleh sebab itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musim. Contohnya pada musim pancaroba, kecepatan tiupan angin biasanya lemah sehingga permukaan laut tenang dan proses pemanasan sangat tinggi yang mengakibatkan suhu lapisan permukaan mencapai maksimum (Nontji 1986).

Sulliva (1954) in Hayes and Laevastu (1982) menyatakan bahwa, pengaruh suhu terhadap ikan antara lain; (1) sebagai modifier proses metabolik (kebutuhan makan dan pertumbuhan), (2) sebagai modifier bagi aktivitas badan (laju renang), dan (3) sebagai stimulus saraf. Dikatakan oleh Lee et al. (1986), ikan bandeng dapat mentolerir kisaran suhu dari 10 0C hingga 40 0C, hidup sehat pada suhu 15 0C hingga 30 0C, dengan pertumbuhan optimal pada suhu 25 0C hingga 30 0C. Hasil penelitian Villaluz and Unggai (1983) in Watanabe (1986) menemukan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan larva ini cepat pada suhu 28.9 0C hingga 35.2 0C, sedang pada suhu 23.7 0C hingga 28.9 0C, dan lambat pada suhu 17.5 0C hingga 23.6 0C.

Pengkonsentrasian makanan ikan sangat erat hubungannya dengan suhu, disamping beberapa faktor linkungan lain. Dengan mengetahui suhu optimum suatu spesies ikan akan dapat digunakan untuk meramal daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman, dan distribusi atau migrasi ikan (Baskoro et al. 2004). Dari studi kebiasaan makan juvenil milkfish yang diambil dari lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati oleh Luckstadt and Reiti (2002), dimana suhu perairan pada pukul 06.00 adalah 27.2 0C dan 35.2 0C pada pukul 16.00, makanan yang ditemukan mendominasi isi perut juvenil milkfish di perairan tersebut adalah Chlorophycea dan Cyanophycea yang merupakan jenis algae hijau bersel tunggal.

2.3.2 Salinitas

Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam dalam gram yang terdapat didalam satu kilogram air laut. Salinitas bersifat lebih stabil di lautan terbuka, dibanding daerah intertidal (Nybakken 1986). Fluktuasi salinitas di intertidal dapat terjadi karena upwelling, masuknya air tawar dalam debit yang besar, dan atau karena pengaruh hujan yang turun secara terus menerus. Namun demikian, perubahan salinitas ini relatif kecil kecuali daerah dekat sungai yang mengeluarkan debit air tawar dalam jumlah besar (Kinne 1963; Nybakken 1986). Menurut Kinne (1963), fluktuasi salinitas berdampak pada perubahan masa air dan perubahan stabilitas kondisi suatu perairan yang mana dapat mempengaruhi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme perairan. Hal ini disebabkan dalam tahapan pertumbuhan ikan, perubahan salinitas akan mempengaruhi pengaturan osmotik ikan dan menentukan daya apung dari telur-

telur ikan pelagis. Ditambahkan oleh Hayes and Laevastu (1982), salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubunganya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungannya. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik fitoplankton, zooplankton, maupun iktioplankton. Menurut Lignot et al. (2000), meski iktioplankton biasanya dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik, namun cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, sehingga secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusinya.

Beberapa spesies ikan dapat hidup pada salinitas yang berbeda-beda, tetapi ada pula yang hanya dapat hidup pada salinitas tertentu. Duenas and Young (1984) in Watanabe (1986), mendapati larva ikan bandeng pada nol hari sampai hari ke tujuh tergolong euryhaline sedang (8-7 ‰), pada hari ke tujuh hingga ke empat belas stenohaline (27-28 ‰), dan euryhaline tinggi (0-70 ‰) pada hari ke dua puluh satu.

Hasil studi Lin et al. (2003), tentang expresi Natrium (Na), Kalium (K), dan Adenosin Tri Phospat (Na,K-ATPase) insang juvenil milkfish terhadap penyesuaian salinitas, menunjukkan bahwa aktivitas NKA meningkat bersamaan dengan meningkatnya protein. Peningkatan NKA pada insang juvenil di perairan tawar lebih tinggi dibanding pada air payau sedang pada juvenil di air laut sangat kecil. Hasil studi ini menunjukkan, perubahan salinitas yang sangat ekstrim akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan protein yang lebih banyak untuk meningkatkan NKA sebagai upaya osmoregulator untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang hiposaline. Dengan kata lain, peningkatan osmoregulasi terhadap perubahan salinitas yang sangat ekstrim, akan menyerap sebagian besar protein guna meningkatkan aktivitas NKA dengan maksud menyediakan energi untuk bergerak dibandingkan untuk pertumbuhan. Oleh sebab itu dapat dikatakan juga bahwa meski ikan bandeng adalah spesies euryhaline namun perubahan salinitas yang sangat ekstrim dapat menghambat pertumbuhannya.

2.3.3 Arus

Arus berperan dalam transportasi ikan dan larvanya di laut. Karakter arus bervariasi setiap tahun dan berperan penting dalam migrasi musiman ikan pelagis dan semi pelagis. Anomali arus permukaan dapat mempengaruhi distribusi

iktioplankton, juwana, dan juga migrasi pemijahan ikan (Laevastu and Hayes 1982). Menurut Wahbah et al. (2001), adanya arus yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di laut. Pola aliran arus mempengaruhi pola penyebaran nutrient, transport sedimen, plankton, ekosistem laut, dan geomorfologi pantai. Sverdrup et al. (1972), membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu :

1. Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut, dimana arus dengan densitas lebih berat akan mengalir ke tempat air berdensitas lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan sejumlah besar massa air ke tempat lain.

2. Arus yang ditimbulkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air ke satu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu.

3. Arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus jenis ini mengalir bolak balik dari dan ke pantai atau berputar.

Pada daerah teluk, pola arus lebih didominasi oleh pasang surut dan angin. Pengaruh gaya pasang surut untuk membangkitkan arus jauh lebih besar dibanding yang dibangkitkan oleh gaya gesek angin pada permukaan air laut.

2.3.4 Ketersediaan Makanan

Di perairan, keberadaan makanan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik seperti; suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan. Selanjutnya jenis makanan ikan dipengaruhi oleh umur, tempat, dan waktu (Effendi 1997). Suresh et al. (2006) menyatakan bahwa, jenis makan yang dimakan oleh ikan berbeda menurut spesies dan umur. Jenis makan pun dapat berbeda pada spesies yang sama tetapi berbeda tempat. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan suatu jenis makan di habitat tersebut.

Umumnya makanan yang pertama kali dimakan oleh semua ikan dalam mengawali hidupnya (fase larva dan juvenil) adalah plankton bersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Dapat berupa fitoplankton atau zooplankton (Sverdrup et al. 1972; Nybakken 1986; Odum 1993). Dari hasil studi kebiasaan makan juvenil milkfish di lagoons payau Tarawa Selatan Kiribati, yang dilakukan oleh Luckstadt and Reiti (2002), ditemukan makanan yang dominan dalam saluran pencernaan

juvenil milkfish adalah jenis algae hijau bersel tunggal yang terdiri dari Chlorophycea dan Cyanophycea yang mencapai 60 % dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari. Sementara itu Diatome, Copepoda, Phyleeopod, dan Naupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka.

Komunitas fitoplankton akan mengalami suatu suksesi dominasi jenis secara terus menerus, yang dipengaruhi oleh; cahaya, konsentrasi dan rasio unsur hara, serta bentuk-bentuk kimia unsur hara (Goldman and Carpenter 1974). Menurut Sanders et al. (1987), peningkatan unsur hara yang terus menerus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan struktur komunitas fitoplanton. Karena setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan kebutuhan untuk berbagai nutrien. Perubahan pada struktur komunitas terjadi karena perubahan fluks dan konsentrasi relatif unsur hara. Dikatakan oleh Effendi (1997), dengan mempelajari kebiasaan makan ikan, dapat mengetahui kandungan gisi alami, dapat digunakan untuk mempelajari hubungan ekologis antara keberadaan suatu populasi organisme dengan lingkungannya, misalnya; bentuk pemangsaan, persaingan makanan, dan rantai makanan.

2.3.5 Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi 1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Detritus mangrove yang terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al. 1984; Hatcher et al. 1989; Fleming et al. 1990; Marguillier et al. 1997). Ekositem mangrove juga merupakan tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal (Robertson and Duke 1987). Oleh karena ekositem mangrove berperan dalam menstimulasi produktivitas pantai, maka daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994). Keberadaan ekosistem mangrove bagi sumberdaya larva ikan bandeng adalah sebagai daerah asuhan untuk menjadi ikan muda (Lee et al. 1986; Watanabe 1986; Bagarinao 1991).

Melena et al. (2000) menyatakan bahwa, ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi bagi kehidupan di bumi. Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

1. Menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang, dan kepiting, serta mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

2. Menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.

3. Melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut, dan topan.

4. Menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah perairan pesisir dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan tersebut.

5. Menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

6. Menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak untuk budidaya perikanan.

2.4 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng

Dokumen terkait