• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM

B. Kuasa Mutlak

Menurut pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan”. Akan tetapi, tidak semua hal dapat dikuasakan kepada pihak lain. Perbuatan seperti antara lain membuat testamen, melangsungkan perkawinan (kecuali ada alasan kuat untuk itu), dan pengangkatan anak tidak dapat diwakilkan kepada pihak lain.

Surat Kuasa ini dapat berbentuk akta autentik (akta notaris), secara di bawah tangan, secara biasa/lisan dan secara diam-diam (pasal 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHPerdata). Akta kuasa yang harus dibuat secara autentik antara lain Kuasa untuk melangsungkan Perkawinan (pasal 79 KUHPerdata), kuasa untuk menghibahkan (pasal 1683 KUHPer-dengan berlakunya UUPA sepanjang

menyangkut tanah sudah dicabut, sedangkan di luar itu belum dicabut), dan Kuasa untuk memberikan Hak Tanggungan dan Kuasa untuk menjual barang tidak bergerak (tanah).

Ada satu jenis kuasa yang tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat yaitu yang disebut dengan Surat Kuasa Mutlak. Pelarangan kuasa mutlak ini khususnya dalam hubungannya dengan Tanah (benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 nomor 14/1982 jo Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 14 April 1988 nomor 2584. Pembuatan kuasa mutlak ini sebelumnya banyak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain kuasa mutlak ini merupakan jual beli tanah secara terselubung, dimana didalam klausul kuasa mutlak tersebut selalu dicantumkan “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali” dan si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apapun juga baik itu tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud. Sedangkan kuasa mutlak dalam transaksi selain jual beli tanah masih dimungkinkan mengingat Hukum Perjanjian itu sifatnya mengatur dan terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak.

Pengertian kuasa mutlak menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur :68

       68

Departemen Dalam Negeri, Instruksi Menteri Dalam Negeri Tentang Larangan

1. Tidak dapat ditarik kembali oleh penerima kuasa.

2. Memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.

Latar belakang dikeluarkannya Instruksi tersebut adalah adanya penyalahgunaan kuasa mutlak diantaranya terhadap ketentuan mengenai penetapan luas tanah pertanian yang tercantum di dalam Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960, pemilikan atas tanah hak oleh subyek hukum tertentu menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yaitu larangan pemilikan tanah terhadap orang asing atas Hak Milik (Pasal 21 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 30 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 36 UUPA), atau ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah.69

Oleh karenanya Pemerintah telah melarang camat dan kepala desa atau pejabat yang setingkat dengan itu, untuk membuat atau menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah dan juga melarang pejabat-pejabat agraria untuk melayani penyelesaian status hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian pemindahan hak atas tanah.70

       69

Herlien Budiono, Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Mutlak, Renvoi (Maret 2004), halaman 60.

70

Departemen Dalam Negeri, Instruksi Menteri Dalam Negeri Tentang Larangan

Kuasa adalah wewenang yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk dan atas namanya melakukan tindakan hukum dan/atau menerima pernyataan.71 Pemberian kuasa atau lastgeving adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan sepucuk surat atau pun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.72

Suatu pemberian kuasa atau lastgeving pada umumnya merupakan suatu perjanjian sepihak, kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja yaitu pada penerima kuasa. Unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah :73

1. Persetujuan.

2. Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa.

3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan, hal ini dimaksudkan penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut demi kepentingan dan untuk dan atas nama pemberi kuasa baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

       71

Effendi Perangin-Angin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta : CV. Rajawali, 1987), halaman 97.

72

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 27, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1995), Pasal 1792 dan Pasal

1793.

73

Penerima kuasa diberikan wewenang untuk mewakili pemberi kuasa, akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Ada 2 (dua) macam dalam pemberian kuasa, yaitu : 74

1. Pemberian kuasa secara umum, yang mengenai kepentingan dari si pemberi kuasa (hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan). Contohnya mengurus pembayaran listrik, telepon, air, penghunian dan pemeliharaan.

2. Pemberian kuasa secara langsung, yang hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, sebagai contoh kuasa untuk mengalihkan suatu barang bergerak dan kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan, kuasa untuk mewakili klien berpekara di Pengadilan bagi seorang Pengacara.

Dalam perkembangan praktik hukum, kuasa yang berdiri sendiri dengan obyek bidang tanah dilarang jika memuat klausula :75

1. Kuasa tersebut tidak akan berakhir karena sebab-sebab apapun menurut hukum termasuk sebab-sebab tercantum dalam Pasal 1813 KUHPerdata.

2. Kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa.

3. Penerima kuasa dibebaskan dari pertanggung jawaban kepada pemberi kuasa. 4. Penerima kuasa diberi wewenang untuk menjual/mengalihkan bidang tanah

tersebut kepada penerima kuasa sendiri.       

74

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Jakarta : Sumur Bandung, 1981), halaman 153.

75

Tujuan dibuatnya kuasa mutlak dan sebab tidak dibuat akta jual beli adalah :76

1. Agar sertipikat tanah itu tetap tertulis atas nama si penerima kuasa dan secara hukum terlihat, bahwa bukan si penerima kuasa yang tercatat oleh Kantor Pertanahan sebagai pemilik, maka mungkin ketahuan si penerima kuasa memiliki tanah terlalu luas, bahkan mungkin melewati batas maksimum yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan.

2. Agar tidak perlu membayar biaya jual beli, termasuk biaya pendaftaran tanah. Karena jual beli tidak dilakukan, maka pemberi kuasa tidak perlu membayar honorarium PPAT, biaya balik nama (pendaftaran) dan uang saksi.

3. Agar si penerima kuasa dapat menguasai tanah itu sebagaimana layaknya seorang pemilik. Sehingga si penerima kuasa dapat mempergunakan, menjual, menjaminkan, dan berbuat sesukanya atas tanah itu, tanpa harus mempertanggung jawabkan tindakannya kepada pemiliknya (si penerima kuasa).

4. Agar terhindar dari larangan pemilikan tanah secara absentee.

Transaksi berdasarkan kuasa mutlak bertentangan dengan ketertiban umum dan telah jelas dilarang. Akibat lebih lanjut atas pelanggaran tersebut adalah :

1. Perjanjian transaksi batal demi hukum dan dapat dikualifikasikan sebagai transaksi illegal.

2. Akibat batalnya perjanjian maka para pihak harus mengembalikan keadaan seperti semula.

       76

Dengan demikian, maka dalam hal ini peran pejabat pembuat akta tanah sangat dibutuhkan khususnya dalam peralihan hak atas tanah. Hal ini mengingat masih banyaknya pihak-pihak yang dalam melakukan peralihan hak atas tanah masih menggunakan akta kuasa mutlak. Padahal sudah jelas penggunaan kuasa mutlak untuk peralihan hak atas tanah itu dilarang sebagaimana yang terdapat dalam Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982. maka dari itu, diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang PPAT apakah kuasa yang diberikan pemberi kuasa kepada penerima kuasa dalam hal peralihan hak atas tanah itu termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak.

 

BAB III

TANGGUNG JAWAB PPAT YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA PPAT