TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN
AKTA PPAT
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)
TESIS
Oleh
ALDI SUBHAN LUBIS 077011004/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN
AKTA PPAT
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)
TESIS
(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)
Oleh
ALDI SUBHAN LUBIS 077011004/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)
Nama Mahasiswa : Aldi Subhan Lubis Nomor Pokok : 077011004
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Sanwani Nasution, SH Ketua
Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum Chairani Bustami, SH, SpN, MKn Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Telah Diuji
Pada tanggal : 19 Januari 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH Anggota : Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum
ABSTRAK
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat suatu akta otentik berupa akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Akan tetapi masih banyak ditemukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum khususnya dalam pembuatan akta jual beli melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena dalam membuat suatu akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh salah satu pihak, yang mana surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak. Hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta PPAT, bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif analisis, di samping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang pejabat pembuat akta tanah apakah kuasa tersebut termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak. Karena hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab yang diakibatkan karena perbuatan yang timbul dengan adanya kesengajaan atau kelalaian baik sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta, maupun sesudah membuat akta. Dengan demikian akibat hukum terhadap akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum dapat menyebabkan akta jual beli tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
ABSTRACT
Constructor officials Land Act is a public official who is authorized by the government to create an authentic act of the deed transfer of land and the imposition of land rights. However, many found a land deed official maker in carrying out their duties and responsibilities as public officials, especially in the purchase and sale deed for it to act against the law that resulted in such act null and void. This is because in making a purchase and sale deed Deed Land Officer makers are using a power of attorney given by one party, in which a power of attorney is an absolute power of attorney. This is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. Based on the above descriptions will be examined how the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the absolute power, how the responsibility of the Land Act Officer makers in the manufacture of PPAT deed, what the legal consequences of PPAT deed made by the Acting Land Deed Builders unlawfully.
This research is a normative legal research materials by examining the law library, complete with descriptive analysis approach, in addition to supporting the results of this research is conducted field research with interviews to the interviewees.
Thus, it can be concluded, that the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the power of the absolute necessity of precision and accuracy of an official certificate of the land if the manufacturer is included in the power of absolute power or not. Because this is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. While the officials responsible for the Deed Land maker who did it against the law in PPAT deed can be a liability resulting from acts that arise with the intent or negligence both before making the deed, at the time of execution of a deed, and after making the deed. Thus the legal consequences of the deed drawn up before the Land Act Officer maker unlawfully cause the certificate of sale null and void as contrary to Article 4 of the 1320 Book of the Law of Civil Law.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat
dan hidayah-Nya, tesis ini telah selesai penulis susun dengan baik.
Penulis menyadari bahwa mulai dari persiapan sampai penulisan tesis ini
penulis sangat berhutang budi kepada semua pihak yang telah membimbing,
mengarahkan, memberi dorongan semangat dan sumbangan pemikiran lain yang
sangat berharga kepada penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih
yang sebanyak-banyaknya kepada yang amat terpelajar Bapak Prof. Sanwani
Nasution, SH, Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum, dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN,
MKn, selaku komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan
dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih ditujukan juga kepada yang terhormat dan terpelajar,
Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Chadidjah Dalimunthe, SH,
MHum, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam
penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai tahap ujian tertutup
sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan para asisten Direktris serta seluruh staf atas
bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan
studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Pada Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik
dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
6. Para pegawai/karyawan pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Kepada keluarga om dan tante yaitu Prof. Dr. Ediwarman, SH, M.Hum dan
Jasmi Rivai, SH, yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan program studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Para sahabat yang berbaik hati, yaitu Debora, Kak Ema, Era, Lia, Adam Malik
Mulia Nasution, AMd, Agung Pranoto, AMd, Safran, SH, Ridwan, SH,
Fahmi Riza, SH dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama masa pendidikan.
Suatu rasa kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut
menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
Ayahanda Dahri Lubis dan Ibunda Hj. Chairani Nasution, Nenekku tersayang
Nurmala Lubis, serta abang dan adik-adik penulis yakni Nurcholis Anhari Lubis,
Ikhsan Damhuri Lubis, ST, Fauzi Ilham Lubis, dan adikku Chairida Maysaroh Lubis,
SE, yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
Serli Dwi Warmi, SH yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta
dorongan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan yang sangat berharga ini
dengan baik.
Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini
tidak luput dari ketidak sempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik
Allah SWT semata. Namun demikian besar harapan penulis semoga tesis ini
bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal Alamin.
Medan, Desember 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Aldi Subhan Lubis
Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 2 Januari 1983
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Bilal Ujung Gg. Mesjid No. 38 C Medan
II. KELUARGA
Nama Ayah : Dahri Lubis
Nama Ibu : Hj. Chairani Nasution
Nama Saudara Kandung : 1. Nurcholis Anhari Lubis 2. Ikhsan Damhuri Lubis, ST 3. Fauzi Ilham Lubis
4. Chairida Maysaroh Lubis, SE
III. PENDIDIKAN
- SD : Tahun 1990 s/d 1996
SD Swasta Pertiwi – Medan
- SLTP : Tahun 1996 s/d 1999 SLTP Negeri 7 – Medan
- SMU : Tahun 1999 s/d 2002
SMU Swasta Dharmawangsa – Medan
- Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2002 s/d 2007
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penulisan... 11
F. KerangkaTeori dan Konsep ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Kerangka Konsepsional ... 21
G. Metode Peneltian ... 21
1. Spesifikasi Penelitian ... 21
2. Metode Pendekatan ... 23
3. Alat Pengumpulan Data ... 24
4. Prosedur Pengambilan Data dan Pengumpulan Data ... 24
5. Analisis Data ... 25
BAB II PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA KUASA MUTLAK... 26
A. Latar Belakang Timbulnya Peralihan Hak Atas Tanah ... 26
1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat ... 26
2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA ... 34
BAB III TANGGUNG JAWAB PPAT YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN
AKTA PPAT ... 67
A. Tinjauan Tentang PPAT... 67
1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 67
2. Fungsi dan Tanggung Jawab PPAT ... 73
3. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT... 73
B. Tanggung Jawab Profesi PPAT ... 75
BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG DIBUAT DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SECARA MELAWAN HUKUM ... 86
A. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)... 86
B. Perbuatan Melawan Hukum... 92
C. Akibat Hukum Terhadap Akta yang Dibuat Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Secara Melawan Hukum ... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108
ABSTRAK
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat suatu akta otentik berupa akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Akan tetapi masih banyak ditemukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum khususnya dalam pembuatan akta jual beli melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena dalam membuat suatu akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh salah satu pihak, yang mana surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak. Hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta PPAT, bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif analisis, di samping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang pejabat pembuat akta tanah apakah kuasa tersebut termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak. Karena hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab yang diakibatkan karena perbuatan yang timbul dengan adanya kesengajaan atau kelalaian baik sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta, maupun sesudah membuat akta. Dengan demikian akibat hukum terhadap akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum dapat menyebabkan akta jual beli tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
ABSTRACT
Constructor officials Land Act is a public official who is authorized by the government to create an authentic act of the deed transfer of land and the imposition of land rights. However, many found a land deed official maker in carrying out their duties and responsibilities as public officials, especially in the purchase and sale deed for it to act against the law that resulted in such act null and void. This is because in making a purchase and sale deed Deed Land Officer makers are using a power of attorney given by one party, in which a power of attorney is an absolute power of attorney. This is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. Based on the above descriptions will be examined how the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the absolute power, how the responsibility of the Land Act Officer makers in the manufacture of PPAT deed, what the legal consequences of PPAT deed made by the Acting Land Deed Builders unlawfully.
This research is a normative legal research materials by examining the law library, complete with descriptive analysis approach, in addition to supporting the results of this research is conducted field research with interviews to the interviewees.
Thus, it can be concluded, that the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the power of the absolute necessity of precision and accuracy of an official certificate of the land if the manufacturer is included in the power of absolute power or not. Because this is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. While the officials responsible for the Deed Land maker who did it against the law in PPAT deed can be a liability resulting from acts that arise with the intent or negligence both before making the deed, at the time of execution of a deed, and after making the deed. Thus the legal consequences of the deed drawn up before the Land Act Officer maker unlawfully cause the certificate of sale null and void as contrary to Article 4 of the 1320 Book of the Law of Civil Law.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah bagi manusia memiliki kedudukan yang sangat penting dimana tanah
merupakan kebutuhan primer, hal ini disebabkan karena segala aktivitas manusia
dilaksanakan di atas tanah. Hak atas tanah dapat diperoleh melalui salah satunya
dengan cara jual beli. Manusia dengan tanah mempunyai hubungan bersifat abadi,
karena manusia sebagai makhluk sosial sekaligus pemilik tanah tidak bisa berbuat
semana-mena mempergunakan hak atas tanah tanpa memperhatikan kepentingan
orang lain yang melekat pada haknya yang berfungsi sosial, sebagaimana yang telah
diatur dalam pasal 6 Undang-undang pokok agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960
yang menyatakan :
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti
bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan, kepentingan
perseorangan harus tunduk pada kepentingan umum”.
Mengingat kebutuhan akan tanah bagi masyarakat Indonesia maupun
masyarakat asing yang ada di Indonesia masih sangat tinggi, maka harus ditingkatkan
jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah. Dengan kata lain meningkat pula
Berkaitan dengan itu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 telah memerintahkan
diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.
Menurut pasal 1 butir 1 peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah menyebutkan :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Adapun yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah adalah :
1
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikkan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasinya pertanahan1
Sebagai konsistensi dari peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah, maka peranan pejabat membuat Akta Tanah (PPAT) sangat
diperlukan, baik dalam penyediaan tanah maupun dalam pemutakhiran data
penguasaan tanah. Hal ini disesuaikan dengan peraturan kepada badan pertanahan
nasional republik Indonesia nomor 7 tahun 2007 tentang panitia pemeriksaan tanah.
Menurut peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan
pejabat pembuat akta tanah pasal 1 butir 1, menyebutkan :
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun.2
Pejabat pembuat akta tanah diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini badan
pertanahan nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani
kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak
atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undang yang berlaku.
1
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
2
Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat, PPAT berkewajiban untuk
memberikan nasehat hukum kepada pihak-pihak yang meminta bantuan jasa, serta
perlindungan atau pengayoman kepada pihak-pihak yang memerlukan bantuannya
khususnya di bidang pertanahan.
Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas
tanah haruslah dihadapan seorang notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang
bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan
akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli atau pengalihan
hak ini dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah, tetapi ada kalanya
pelaksanaan jual beli ini dilakukan dihadapan notaris, yang dinamakan dengan
perjanjian jual beli/perikatan jual beli.
Akta otentik memiliki peranan penting apabila dalam pergaulan hukum di
dalam masyarakat terdapat pelanggaran terhadap norma hukum. Pelanggaran
terhadap hukum perdata akan menimbulkan perkara perdata dan untuk
menyelesaikannya harus sesuai dengan yang diatur dalam hukum acara perdata3.
Keberadaan akta otentik disebabkan karena adanya alat bukti untuk perbuatan hukum
tertentu. Dapat pula karena para pihak menghendaki agar perbuatan hukum yang
mereka lakukan diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Apabila terdapat
3
penyimpangan yang menyangkut hal-hal yang bersifat formil maka hilanglah
otensitas dari suatu akta.
Untuk pembuatan akta pemindahan hak, PPAT berhak menolak untuk
membuat akta apabila :
1. Tidak disertai sertifikat asli/sertifikat tidak cocok dengan daftar-daftar yang ada di
kantor pertanahan.
2. Para pihak atau saksi-saksi tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian.
3. Salah stu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak.
4. Belum ada izin dari suami/istri.
5. Sedang dalam sengketa/perkara dipengadilan negeri atau tidak dalam sita
jaminan.
Selain itu dalam membuat akta jual beli, PPAT harus memperhatikan
beberapa hal, yang juga merupakan kewenangannya yaitu :4
1. Kedudukan atau status penjual tanah adalah pihak yang berhak menjual tanah.
2. Penjual adalah pihak yang berwenang menjual.
Dalam peraturan kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1989 dan peraturan
pemerintah nomor 37 tahun 1998, telah ditekankan beberapa perbuatan hukum yang
menjadi tanggung jawab PPAT yaitu : 5
4
1. Mengenai kebenaran dari kejadian yang termuat dalam akta misalnya mengenai
jenis perbuatan hukum yang dimaksud oleh para pihak, mengenai sudah
dilakukannya pembayaran dalam jual beli dan lain sebagainya.
2. Mengenai objek perbuatan hukum, baik data fisik maupun data yuridisnya.
3. Mengenai identitasnya para penghadap yang merupakan pihak-pihak yang
melakukan perbuatan hukum (seperti KTP, SIM, passport).
Hal penting yang harus diperhatikan di dalam pembuat akta jual beli yang
dibuat oleh PPAT adalah identitas para penghadap dan bukti sah kepemilikan
persil/tanah. Jika dalam hal pelaksanaan transaksi jual beli tanah, salah satu para
penghadap bertindak berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh pemilik persil,
maka PPAT harus teliti melihat tentang keabsahan suatu akta surat kuasa itu, apakah
surat kuasa tersebut belum pernah dicabut atau dibatalkan, selain itu PPAT juga harus
melihat apakah akta surat kuasa yang diberikan pemilik persil tersebut bertentangan
dengan peraturan hukum yang ada atau tidak, sehingga penerima kuasa benar-benar
melindungi si pemberi kuasa atau si pemilik persil.
Sebagaimana diketahui dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998, PPAT telah diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
5
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, sedangkan sebagian
lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional.
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli tanah.
Dalam hukum adat jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak
dalam bentuk penyerahan bidang tanah oleh penjual kepada pembeli untuk
selama-lamanya dan pada waktu itu pula pembeli membayar harga tanahnya kepada penjual.
Perbuatan jual beli tersebut sah apabila si penjual benar-benar orang yang berhak atas
tanah itu atau kuasanya yang sah dan sipembeli juga tergolong orang yang berhak
untuk mempunyai serta menguasai tanah itu.
Dalam praktiknya masih saja ditemukan adanya jual beli tanah dengan
menggunakan kuasa mutlak. Tentunya hal ini dapat merugikan pihak pembeli
dikemudian hari, terutama dalam penerbitan surat tanda bukti hak/penyelesaian status
hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak. Seperti yang terjadi dalam
kasus putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JKT.Pst,
antara Tuan Randy dan Tuan Syukri (Penggugat I dan II) melawan Nyonya Ellisa
(Tergugat), Haji Dana Sasmita (Turut Tergugat I) dan Kepala Kantor Pertanahan
Kotamadya Jakarta Pusat (Turut Tergugat II). Dalam hal kasus peralihan hak atas
tanah dengan jual beli yang berdasarkan pada surat kuasa ini berasal dari suatu
perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Tuan Randy dengan Nyonya Elissa yang
menjalankan usaha penyedia barang dimana Tuan Randy memerlukan sejumlah dana
untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan nyonya Elissa akan
menerima keuntungan beserta penyertaan modal awal tersebut dalam waktu 3 bulan
sejak diberikannya modal awal tersebut. Sebagai jaminan pelaksanaan kerjasama
tersebut, Tuan Syukri memberikan jaminan Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB)
Nomor 2774 atas nama dirinya sendiri dengan disertai membuat akta kuasa menjual
yang diberikan kepada Nyonya Ellisa.
Ternyata Tuan Randy selama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang
diperjanjikan dalam perjanjian kerjasama, tidak/belum mengembalikan uang beserta
keuntungannya. Dengan adanya wanprestasi yang dilakukan oleh Tuan Randy, maka
Nyonya Ellissa menjual tanah berikut bangunan milik Tuan Syukri kepada dirinya
sendiri yang dilakukan tanpa persetujuan Tuan Syukri dengan berdasarkan surat
kuasa menjual.
Padahal di dalam surat kuasa menjual yang dibuat antara Tuan Syukri dengan
Nyonya Elissa, didalamnya terdapat salah satu syarat bahwa dalam kuasa menjual
Tuan Syukri akan menunjuk property consultant untuk menentukan harga jual tanah
berikut bangunan yang dijaminkan tersebut. Penjualan yang dilakukan oleh Nyonya
Ellissa tanpa persetujuan property consultant menjadikan harga jual tanah berikut
Namun bila diperhatikan lebih mendalam, pembuatan kuasa menjual tersebut
merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian kerjasama sebelumnya, sehingga
kuasa menjual tersebut ada karena merupakan jaminan dari perjanjian kerjasama.
Didalam kuasa menjual tersebut terdapat klausula-klausula yang di dalamnya
mengandung unsur pengertian kuasa mutlak menurut instruksi menteri dalam negeri
nomor 14 tahun 1982. Walaupun didalam kuasa menjual tersebut tidak ada
pemakaian klausula “tidak dapat dicabut kembali” yang merupakan klausula yang
secara nyata merupakan kuasa mutlak.
Unsur kuasa mutlak yang dimaksud adalah dengan memberikan kewenangan
kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta
melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh
pemegang haknya. Walaupun tidak secara nyata termasuk sebagai kuasa mutlak,
tetapi dengan terkandungnya unsur dari pengertian kuasa mutlak yang telah dilarang
penggunaannya melalui instruksi mendagri, maka kuasa menjual tuan Syukri kepada
Nyonya Ellissa tersebut merupakan kuasa mutlak.
Dengan demikian maka PPAT yang membuat akta jual beli tersebut dapat
dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena dengan adanya
perbuatan pembuatan akta jual beli yang tidak memperhatikan syarat yang terdapat
dalam kuasa menjual dari Tuan Syukri kepada Nyonya Ellissa berupa penunjukkan
pihak agen property consultant sebagai penentu harga. Dalam pembuatan akta jual
sehingga menimbulkan kerugian pada pihak Tuan Syukri. Sebagai pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, PPAT
bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat sahnya perbuatan hukum yang
bersangkutan.
Dengan demikian PPAT harus memiliki kecermatan, kemampuan dan
kecakapan serta pengetahuan yang luas dalam bidang hukum pertanahan karena
dengan ketidakcermatan atau ketidaktahuan akan berakibat fatal. PPAT juga wajib
memberikan penjelasan kepada pihak yang menghadap, apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan, apa yang melanggar hukum dan apa yang tidak melanggar
hukum.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam proposal ini adalah :
1. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas
Tanah Dengan Adanya Kuasa Mutlak?
2. Bagaimana tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum
dalam pembuatan akta PPAT ?
3. Bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji peranan pejabat pembuat akta tanah dalam peralihan hak atas
tanah dengan adanya kuasa mutlak.
2. Untuk mengkaji tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan
hukum dalam pembuatan akta PPAT.
3. Untuk mengkaji akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara
melawan hukum.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di
bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya
mengenai akta jual beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Secara Praktis
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang
akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini
dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik perpustakaan pusat maupun yang
ada di sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan
judul mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan
Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst).
Namun ada penelitian yang menyangkut masalah aspek hukum peralihan hak
atas tanah yang dilakukan oleh :
1. Husna, mahasiswa program pasca sarjana, studi magister kenotariatan Universitas
Sumatera Utara Medan tahun 2003, dengan judul “Analisa Hukum Terhadap
Sengketa Akibat Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai Akta yang dibuat
PPAT di kota Banda Aceh.
2. Kartika Sari, mahasiswa program pasca sarjana, studi magister kenotariatan
Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2004, dengan judul “Pemberian Kuasa
Menjual Tanah Dalam Praktek Notaris (penelitian di Kota Medan)”.
Akan tetapi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dan
penelitiannya berbeda sama sekali. Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi1, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.2. Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus
atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.3
Teori yang akan dijadikan landasan dalam tesis ini adalah teori sistem hukum
dari Lawrence M. Friedman, yaitu hukum dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri.
Keterkaitan dengan elemen-elemen lain merupakan penanda khas atas sistem hukum
tersebut. Elemen lain yang dimaksudkan friedman adalah ekonomi dan politik.
Gambaran tentang kaitan antar subsistem tersebut tercakup dalam uraiannya
mengenai sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial
masyarakat tersebut. Tiga komponen utama yang dimiliki sistem hukum adalah legal
1
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta : FE UI, 1996), halaman 203. M. Jolly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian (Bandung CV. Mandar Maju 1994) halaman 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasioal digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkn, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
2
Ibid, halaman 16.
3
structure, legal substance, and legal culture. Ketiga komponen tersebut saling
menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya.4
Komponen struktur hukum misalnya merupakan representasi dari aspek
institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan
undang-undang. Substansi hukum, sebagai suatu aspek dari sistem hukum,
merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku masyarakat
dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah bagaimana apresiasi
masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang berlaku. Disinilah muncul konsep
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Oleh karena itu, maka konsep
legal subtance juga meliputi apa yang dihasilkan oleh masyarakat.5
Sedangkan budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi
masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ke dalam komponen tersebut adalah
kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), ide atau gagasannya dan
harapan-harapannya. Dengan kata lain hal itu merupakan bagian dari budaya secara umum
yang diorientasikan pada sistem hukum. Gagasan-gagasan dan opini harus dimengerti
sebagai hal yang berhubungan dengan perkembangan proses hukum.6
Sistem hukum, sebagai bagian dari sistem sosial harus dapat memenuhi
harapan sosial. Oleh karena itu maka sistem hukum harus menghasilkan sesuatu yang
4
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London : W.W. Norton & Company, 1984), halaman 5-6.
5
Ibid, halaman 6.
6
bercorak hukum (output of law) yang pada dirinya signifikan dengan harapan sosial.
Ada empat hal yang harus dihasilkan atau di penuhi oleh suatu sistem hukum: 7
1. Sistem hukum secara umum harus dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan
masyarakat atas sistem tersebut.
2. Harus dapat menyediakan skema normatif, walaupun fungsi penyelesaian konflik
tidak semata-mata menjadi monopoli sistem hukum.Dimana sistem hukum harus
dapat menyediakan mekanisme dan tempat dimana orang dapat membawa
kasusnya untuk diselesaikan.
3. Sistem hukum sebagai kontrol sosial yang esensinya adalah aparatur hukum,
Polisi dan hakim misalnya harus menegakkan hukum.
4. Dalam kaitan dengan fungsi kontrol sosial, desakan kekuatan sosial untuk
membuat hukum, harus direspon oleh institusi hukum, mengkristalkannya,
menuangkannya kedalam aturan hukum, dan menentukan prinsipnya. Dalam
konteks ini, sistem dapat dikatakan sebagai instrumen perubahan tatanan sosial
atau rekayasa sosial.
Hukum pertanahan tidak terlepas dari sistem sosial, yang mana salah satu
syarat untuk memperoleh Hak atas tanah harus melalui prosedur pendaftaran tanah
yang tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hak atas tanah. Dengan kepastian hak
setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Dengan sertipikat tanah, maka
jelaslah tanah tersebut sudah terdaftar di Kantor Pendaftaran tanah, sehingga setiap
7
orang dapat mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada pemiliknya. Demikian pula
pendaftaran yang dilakukan atas hak seseorang mencegah klaim seseorang atas tanah
kecuali dia lebih berhak dan dapat mengajukan ke pengadilan negeri setempat dengan
membuktikan tentang kebenaran haknya itu sesuai dengan asas pendaftaran tanah
yang negatif yang dianut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Pada dasarnya tujuan pelayanan pendaftaran tanah adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran
pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib
hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, dan tertib
pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Catur tertib pertanahan tersebut
merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional
sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib
pertanahan tersebut di atas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut
administrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk
tercapainya tertib administrasi pertanahan.
Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan
Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada
masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong good governance, Badan
Pertanahan Nasional sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparan,
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah,
Pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan
kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah
pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah,
ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya
yang relatif tinggi.8
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan
tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan
secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya9 agar orang
dalam melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah mendapat
jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah.
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang
berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya
untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara
memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada didalam
menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan
8
Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanaha, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2009), halaman 2.
9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan
penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai.10
Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut maka diperlukan
Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah satu pelaksanaan pendaftaran tanah
dengan membuat akta PPAT, di mana akta PPAT merupakan salah satu sumber
utama kedalam rangka pemilharaan data pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.
PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai
tanah tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang
pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan
dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti.
PPAT telah diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,11 sedangkan sebagian
lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional.
10
Ibid., halaman 69.
11
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli
tanah12 dengan dibuatkan akta jual beli tanah oleh PPAT yang merupakan transaksi
yang sering terjadi didalam kehidupan bagi setiap orang, tidak hanya untuk tempat
tinggal melainkan juga sebagai investasi atau bisnis yang harganya cenderung
meningkat dari waktu ke waktu, karena tanah semakin banyak dibutuhkan orang.
Perbuatan jual beli adalah sah apabila si penjual benar-benar orang yang berhak atas
tanah itu atau kuasanya yang sah dan si pembeli juga tergolong orang yang berhak
untuk mempunyai serta menguasai tanah itu.
Di dalam praktiknya, tidak sedikit PPAT yang mengalami masalah
sehubungan dengan akta jual beli yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum
oleh suatu putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam
perbuatannya ( setelah akta jual beli tersebut ditandatangani oleh para pihak bahkan
setelah diterbitkan sertipikat oleh kantor pertanahan ) seperti dapat dilihat dalam
kasus putusan nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST, yang terdapat adanya perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Nyonya Ellisa dan PPAT Haji Dana Sasmita,
SH dalam hal pembuatan akta jual beli yang tidak memenuhi ketentuan isi dari akta
kuasa menjual yang diberikan Tuan Syukri kepada Nyonya Ellisa, dimana isi dari
perjanjian tersebut harga jual tanah dan bangunan sertipikat Hak Guna Bangunan
Nomor 2774 atas nama Tuan Syukri di tentukan melalui property consultan yang
ditunjuk oleh Tuan syukri, akan tetapi Nyonya Elissa justru menentukan harga jual
12
tanah dan bangunan tersebut berdasarkan nilai jual objek pajak. Sehingga
mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini terjadi akibat adanya
kelalaian yang dilakukan oleh PPAT sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian
bagi pihak lain yaitu tuan Syukri sebagai jaminan atas hubungan hukum hutang
piutang dalam bentuk (formalitas) kerjasama dimana tuan Rendi meminjam uang
kepada Nyonya Ellisa untuk menambah modal usaha sebesar Rp 800.000.000.
(delapan ratus juta rupiah) yang harus dikembalikan dalam waktu 3 (tiga) bulan
dengan memberi keuntungan sebanyak Rp 550.000.000 (lima ratus lima puluh juta)
sehingga uang yang harus dikembalikan sebesar Rp. 1.350.000.000 (satu milyar tiga
ratus lima puluh juta rupiah). Disamping itu akta kuasa menjual tersebut dapat
dikualifisir sebagai akta kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali yang nyatanya
bertentangan dengan Intruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.
Dalam menciptakan dan menerapkan hukum, notaris/PPAT haruslah
senantiasa berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dimana
nilai-nilai ini merupakan sumber dari norma bagi penegak hukum dalam menjalankan
fungsinya sebagai aparatur Negara yang dimaksudkan disini adalah norma-norma
atau kaidah-kaidah yang wajib ditaati oleh para penegak hukum atau pemelihara
menyusun serta memelihara hukum menurut O Notohamidjojo ada empat norma yang
penting dalam penegakan hukum, yaitu :13
1. Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum manusia
senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.
2. Keadilan
Keadilan adalah kehendak yang kekal untuk memberikan kepada orang lain apa
saja yang menjadi haknya.
3. Kepatuhan
Kepatuhan adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang
dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatuhan ini perlu
diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat
kejujuran.
4. Kejujuran
Pemeliharaan hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus
atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya untuk
mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist diharapkan
sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam artinya dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.
13
2. Kerangka Konsep
Beberapa konsep dasar sehubungan penelitian ini dapat di jelaskan sebagai
berikut :
1. Hukum adalah suatu peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan
tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.
2. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum
objektif, hak subjektif perseorangan, kepatutan yang berlaku dalam masyarakat,
tidak mempunyai hak sendiri.14
3. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan melawan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
4. Akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena
dibuat dihadapan seorang pejabat umum.
5. Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu atau akibat
perbuatan yang ditimbulkan dengan adanya kesengajaan ataupun kelalaian.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
14
Penelitian mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang
Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT merupakan
penelitian hukum normatif yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau
studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder
yang ada diperpustakaan. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar
ditujukan kepada :
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum. 2. Penelitian terhadap sistematika hukum. 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. 4. Perbandingan Hukum.
5. Sejarah Hukum.15
Dari unsur-unsur penelitian hukum normatif tersebut diatas dikaitkan dengan
judul penelitian tersebut diatas, peneliti lebih memberatkan terhadap menemukan
asas-asas hukum dalam peraturan PPAT mengenai kapan seorang PPAT dapat
dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugasnya
serta sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai perbuatan PPAT ke dalam sistem
hukum nasional di Indonesia.
Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder
atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer. Data sekunder yang diteliti
terdiri atas :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa :
15
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun tentang Pendaftaran Tanah.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
d. Intruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum
primer, antara lain :
a. Rancangan peraturan perundang-undangan.
b. Hasil karya ilmiah para sarjana.
c. Hasil-hasil penelitian.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan primer dan sekunder antara lain :
a. Kamus besar bahasa Indonesia.
b. Ensiklopedi Indonesia.
c. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan PPAT.16
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriptif analisis dengan
pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur
hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang
16
diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan
satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
3. Alat Pengumpulan Data
Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpulan data berupa:
1. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study).
2. Wawancara (Interview).
3. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket).
Pada prakteknya ketiga jenis alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan
secara bersama-sama, karena disamping studi kepustakaan, juga peneliti melakukan
wawancara kepada penegak hukum lain dalam kaitannya dengan penelitian ini.
4. Prosedur Pengambil Data dan Pengumpul Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,
dilaksanakan dua tahap penelitian :
a. Studi Kepustakaan.
Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori,
pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok
permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan,
b. Studi Lapangan.
Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer. Hal ini akan
diusahakan untuk memperoleh data-data dengan mengadakan tanya jawab
(wawancara) dengan penegak hukum.
5. Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara
kualitatif17 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan
menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan
maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena
penelitian ini normatif , dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik
kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan
penelitian yang ditetapkan.
17
BAB II
PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA KUASA MUTLAK
A. Latar Belakang Timbulnya Peralihan Hak Atas Tanah
Sebagaimana dengan timbulnya suatu Peralihan Hak Atas Tanah tersebut,
maka dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyinggung suatu Peralihan
Hak Atas Tanah tersebut, yaitu seperti:
1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat
Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci
diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur
khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.
Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita
adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum
dan sistem hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya hukum adat yang telah
di-saneer yang dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli
tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut
hukum adat.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah
Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA, dan peraturan-peraturan lama yang masih
berlaku. Adapun sumber-sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma
Hukum Adat yang telah di-saneer dan hukum kebiasaan baru, termasuk
yurisprudensi.18
Dengan demikian ada dua fungsi atau peranan dari Hukum Adat, yaitu
sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelengkap
dari ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak
terjadi kekosongan hukum karena hukumnya belum diatur sehingga kegiatan
masyarakat yang berhubungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.
Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak
atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak
tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang
menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga
perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena
itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar
sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka
18
penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas
dasar hukum utang-piutang.19
Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum
tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang
demikian ini berarti pada saat terjadinya jual-beli, uang pembayaran dari harga tanah
yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum
lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi
pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah
selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap
sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang
piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang
kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah
tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli.
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum benda,
khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan
khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :20
1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga
tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual-beli tersebut.
19
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), halaman. 211.
20
2. Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban,
yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi, apabila pembeli
baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual
tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.
Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut
serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak
(konsensus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan Kepala
Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah
oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak
miliknya kepada pembeli. Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah
telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri
yang kedua adalah sifatnya yang terang, Sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala
Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup
sah menurut hukumnya. Adanya tanggungan dari Kepala Persekutuan tersebut
menjadikan perbuatan tersebut terangkat menjadi suatu perbuatan yang mengarah
pada ketertiban hukum umum sehingga menjadikannya di dalam lalu lintas hukum
yang bebas dan terjamin.
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon
penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang
akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka
diikuti dengan pemberian uang sebagai jaminan. Pemberian uang sebagai jaminan
tidak diartikan sebagai harus dilaksanakan jual beli itu. Dengan demikian pemberian
uang sebagai jaminan disini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan
dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya pemberian uang sebagi jaminan, para
pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut.
Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi
jaminan, uang tersebut menjadi milik penerima jaminan. Sebaliknya, bila keingkaran
tersebut ada pada pihak penerima jaminan, uang yang menjadi jaminan harus
dikembalikan kepada pemberi jaminan. Jika para pihak tidak menggunakan hak
ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan
calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan
maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual
dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan
tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah
menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan
Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan
jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan
sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut.
Transaksi tanah, di lapangan hukum harta kekayaan merupakan salah satu
bentuk perbuatan tunai dan berobjek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai
kadang-kadang sebagian, selaku kontra prestasi). Perbuatan menyerahkan itu
dinyatakan dengan istilah jual (Indonesia), adol, sade (Jawa).21
Transaksi jual tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan,
yakni : 22
a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan
hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang
pernah dibayarnya.
b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli
kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya.
c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian bahwa
setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan
kembali.
Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem Hukum Adat sebagai
berikut :
1. Yang mengakibatkan pemindahan hak milik untuk selama-lamanya
a. Jual lepas
21
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta : Liberty, 1981), halaman. 28.
22
Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang
dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas
sama sekali.23
Biasanya, pada jual lepas, calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi
sebagai pengikat yang disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan
uang di muka, perjanjian pokok belum terlaksana hanya dengan uang sebagai jaminan
semata-mata. Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya hanya sebagai
tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada panjer, konsekuensinya
manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan ada dua kemungkinan, yaitu bila
yang ingkar si calon pembeli, maka uang sebagai jaminan tersebut menetap pada si
calon penjual, bila keingkaran itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus
mengembalikan panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat
nilainya dari uang muka semula.
Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam jual lepas adalah :
1) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu kewajiban.
Tetapi adakalanya janji lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu
(uang/benda) dapat menimbulkan suatu kewajiban, namun hanya ikatan moral
untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau untuk membeli.
23
2) Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan uang sebagai
jaminan orang merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang
ditentukan dalam janji tersebut (pada angka 1 diatas).
3) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian uang
sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh para pihak, jual beli
baru dapat dilaksanakan.
2. Yang mengakibatkan pemindahan hak milik yang bersifat sementara
a. Jual gadai
Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas
tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa,
sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus
kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas tanah pada jual
gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai
sifat sementara waktu tersebut.24
Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai) berhak :
1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik.
2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah tersebut
kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia tidak dapat memaksa
si penjual gadai untuk menebus tanahnya.
24
3) Mengadakan perjanjian bagi hasil.
Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :
1) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang
membeli gadai.
2) Tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan
pembeli gadai.
b. Jual tahunan
Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak
atas sebidang tanah tertentu kepada subjek hukum lain, dengan menerima sejumlah
uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu tertentu, maka tanah
tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu.
Dalam hal ini, terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.25
Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah,
menanami dan memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya
sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.
Selain dari 3 bentuk jual tanah di atas, Prof. Soerjono Soekanto menambahkan
bentuk jual gangsur. Menurutnya, pada jual gangsur ini, walaupun telah terjadi
pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di
25
tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai, yang
bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli.26
2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata
yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan
menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas
tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat.
Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya
adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.
Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara
jelas, akan tetapi mengingat dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah
Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita mnggunakan konsepsi, asas-asas,
lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Maka pengertian jual beli tanah menurut
Hukum Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat.
Hukum Adat yang dimaksud pasal 5 UUPA tersebut adalah Hukum Adat yang telah
di-saneer yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/Hukum Adat yang sudah
26
disempurnakan/Hukum Adat yang telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi
sifat nasional.
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan
pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa
penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil
berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah terjadi
jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan
No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual
beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah
yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.27 Sifat terang dipenuhi
pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa,
karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan kehadiran Kepala
Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat terang berarti jual beli
itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.
Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli
dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan
dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan
hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang
ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual
27
kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat
tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang
bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah
dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran
harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli)
sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh
para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli
warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.28
Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.
1. Syarat materiil
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara
lain sebagai berikut :
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat
untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau
tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung
pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna
bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik
28
atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum
yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai
kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesianya atau
kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka
jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26
ayat (2) UUPA).
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari
hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah
hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi,
bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah
kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak
<