• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

TESIS

Oleh

ALDI SUBHAN LUBIS 077011004/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

ALDI SUBHAN LUBIS 077011004/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)

Nama Mahasiswa : Aldi Subhan Lubis Nomor Pokok : 077011004

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Sanwani Nasution, SH Ketua

Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum Chairani Bustami, SH, SpN, MKn Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

(4)

Telah Diuji

Pada tanggal : 19 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH Anggota : Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat suatu akta otentik berupa akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Akan tetapi masih banyak ditemukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum khususnya dalam pembuatan akta jual beli melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena dalam membuat suatu akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh salah satu pihak, yang mana surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak. Hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta PPAT, bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif analisis, di samping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang pejabat pembuat akta tanah apakah kuasa tersebut termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak. Karena hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab yang diakibatkan karena perbuatan yang timbul dengan adanya kesengajaan atau kelalaian baik sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta, maupun sesudah membuat akta. Dengan demikian akibat hukum terhadap akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum dapat menyebabkan akta jual beli tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(6)

ABSTRACT

Constructor officials Land Act is a public official who is authorized by the government to create an authentic act of the deed transfer of land and the imposition of land rights. However, many found a land deed official maker in carrying out their duties and responsibilities as public officials, especially in the purchase and sale deed for it to act against the law that resulted in such act null and void. This is because in making a purchase and sale deed Deed Land Officer makers are using a power of attorney given by one party, in which a power of attorney is an absolute power of attorney. This is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. Based on the above descriptions will be examined how the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the absolute power, how the responsibility of the Land Act Officer makers in the manufacture of PPAT deed, what the legal consequences of PPAT deed made by the Acting Land Deed Builders unlawfully.

This research is a normative legal research materials by examining the law library, complete with descriptive analysis approach, in addition to supporting the results of this research is conducted field research with interviews to the interviewees.

Thus, it can be concluded, that the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the power of the absolute necessity of precision and accuracy of an official certificate of the land if the manufacturer is included in the power of absolute power or not. Because this is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. While the officials responsible for the Deed Land maker who did it against the law in PPAT deed can be a liability resulting from acts that arise with the intent or negligence both before making the deed, at the time of execution of a deed, and after making the deed. Thus the legal consequences of the deed drawn up before the Land Act Officer maker unlawfully cause the certificate of sale null and void as contrary to Article 4 of the 1320 Book of the Law of Civil Law.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat

dan hidayah-Nya, tesis ini telah selesai penulis susun dengan baik.

Penulis menyadari bahwa mulai dari persiapan sampai penulisan tesis ini

penulis sangat berhutang budi kepada semua pihak yang telah membimbing,

mengarahkan, memberi dorongan semangat dan sumbangan pemikiran lain yang

sangat berharga kepada penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih

yang sebanyak-banyaknya kepada yang amat terpelajar Bapak Prof. Sanwani

Nasution, SH, Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum, dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN,

MKn, selaku komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan

dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih ditujukan juga kepada yang terhormat dan terpelajar,

Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Chadidjah Dalimunthe, SH,

MHum, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam

penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai tahap ujian tertutup

sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas

(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, dan para asisten Direktris serta seluruh staf atas

bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan

studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Pada Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik

dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

6. Para pegawai/karyawan pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada keluarga om dan tante yaitu Prof. Dr. Ediwarman, SH, M.Hum dan

Jasmi Rivai, SH, yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga

penulis dapat menyelesaikan program studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Para sahabat yang berbaik hati, yaitu Debora, Kak Ema, Era, Lia, Adam Malik

(9)

Mulia Nasution, AMd, Agung Pranoto, AMd, Safran, SH, Ridwan, SH,

Fahmi Riza, SH dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu

yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama masa pendidikan.

Suatu rasa kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut

menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada

Ayahanda Dahri Lubis dan Ibunda Hj. Chairani Nasution, Nenekku tersayang

Nurmala Lubis, serta abang dan adik-adik penulis yakni Nurcholis Anhari Lubis,

Ikhsan Damhuri Lubis, ST, Fauzi Ilham Lubis, dan adikku Chairida Maysaroh Lubis,

SE, yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada

Serli Dwi Warmi, SH yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta

dorongan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan yang sangat berharga ini

dengan baik.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini

tidak luput dari ketidak sempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik

Allah SWT semata. Namun demikian besar harapan penulis semoga tesis ini

bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Amin ya Robbal Alamin.

Medan, Desember 2009 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Aldi Subhan Lubis

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 2 Januari 1983

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Bilal Ujung Gg. Mesjid No. 38 C Medan

II. KELUARGA

Nama Ayah : Dahri Lubis

Nama Ibu : Hj. Chairani Nasution

Nama Saudara Kandung : 1. Nurcholis Anhari Lubis 2. Ikhsan Damhuri Lubis, ST 3. Fauzi Ilham Lubis

4. Chairida Maysaroh Lubis, SE

III. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1990 s/d 1996

SD Swasta Pertiwi – Medan

- SLTP : Tahun 1996 s/d 1999 SLTP Negeri 7 – Medan

- SMU : Tahun 1999 s/d 2002

SMU Swasta Dharmawangsa – Medan

- Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2002 s/d 2007

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penulisan... 11

F. KerangkaTeori dan Konsep ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Kerangka Konsepsional ... 21

G. Metode Peneltian ... 21

1. Spesifikasi Penelitian ... 21

2. Metode Pendekatan ... 23

3. Alat Pengumpulan Data ... 24

4. Prosedur Pengambilan Data dan Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

BAB II PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA KUASA MUTLAK... 26

A. Latar Belakang Timbulnya Peralihan Hak Atas Tanah ... 26

1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat ... 26

2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA ... 34

(12)

BAB III TANGGUNG JAWAB PPAT YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT ... 67

A. Tinjauan Tentang PPAT... 67

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 67

2. Fungsi dan Tanggung Jawab PPAT ... 73

3. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT... 73

B. Tanggung Jawab Profesi PPAT ... 75

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG DIBUAT DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SECARA MELAWAN HUKUM ... 86

A. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)... 86

B. Perbuatan Melawan Hukum... 92

C. Akibat Hukum Terhadap Akta yang Dibuat Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Secara Melawan Hukum ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

(13)

ABSTRAK

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah seorang pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat suatu akta otentik berupa akta peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Akan tetapi masih banyak ditemukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum khususnya dalam pembuatan akta jual beli melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena dalam membuat suatu akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh salah satu pihak, yang mana surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak. Hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta PPAT, bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif analisis, di samping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang pejabat pembuat akta tanah apakah kuasa tersebut termasuk dalam kuasa mutlak atau tidak. Karena hal ini jelas bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. Sedangkan yang menjadi tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat berupa tanggung jawab yang diakibatkan karena perbuatan yang timbul dengan adanya kesengajaan atau kelalaian baik sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta, maupun sesudah membuat akta. Dengan demikian akibat hukum terhadap akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah secara melawan hukum dapat menyebabkan akta jual beli tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ke-4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(14)

ABSTRACT

Constructor officials Land Act is a public official who is authorized by the government to create an authentic act of the deed transfer of land and the imposition of land rights. However, many found a land deed official maker in carrying out their duties and responsibilities as public officials, especially in the purchase and sale deed for it to act against the law that resulted in such act null and void. This is because in making a purchase and sale deed Deed Land Officer makers are using a power of attorney given by one party, in which a power of attorney is an absolute power of attorney. This is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. Based on the above descriptions will be examined how the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the absolute power, how the responsibility of the Land Act Officer makers in the manufacture of PPAT deed, what the legal consequences of PPAT deed made by the Acting Land Deed Builders unlawfully.

This research is a normative legal research materials by examining the law library, complete with descriptive analysis approach, in addition to supporting the results of this research is conducted field research with interviews to the interviewees.

Thus, it can be concluded, that the role of officials in the Land Deed Builders transitional land rights with the power of the absolute necessity of precision and accuracy of an official certificate of the land if the manufacturer is included in the power of absolute power or not. Because this is clearly contrary to the instructions of the Minister of Home Affairs No. 14 of 1982 dated March 6, 1982 on the Prohibition of Use of Absolute Power. While the officials responsible for the Deed Land maker who did it against the law in PPAT deed can be a liability resulting from acts that arise with the intent or negligence both before making the deed, at the time of execution of a deed, and after making the deed. Thus the legal consequences of the deed drawn up before the Land Act Officer maker unlawfully cause the certificate of sale null and void as contrary to Article 4 of the 1320 Book of the Law of Civil Law.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah bagi manusia memiliki kedudukan yang sangat penting dimana tanah

merupakan kebutuhan primer, hal ini disebabkan karena segala aktivitas manusia

dilaksanakan di atas tanah. Hak atas tanah dapat diperoleh melalui salah satunya

dengan cara jual beli. Manusia dengan tanah mempunyai hubungan bersifat abadi,

karena manusia sebagai makhluk sosial sekaligus pemilik tanah tidak bisa berbuat

semana-mena mempergunakan hak atas tanah tanpa memperhatikan kepentingan

orang lain yang melekat pada haknya yang berfungsi sosial, sebagaimana yang telah

diatur dalam pasal 6 Undang-undang pokok agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960

yang menyatakan :

“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti

bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan, kepentingan

perseorangan harus tunduk pada kepentingan umum”.

Mengingat kebutuhan akan tanah bagi masyarakat Indonesia maupun

masyarakat asing yang ada di Indonesia masih sangat tinggi, maka harus ditingkatkan

jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah. Dengan kata lain meningkat pula

(16)

Berkaitan dengan itu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 telah memerintahkan

diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.

Menurut pasal 1 butir 1 peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah menyebutkan :

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi

bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah

susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Adapun yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar

agar dengan mudah dapat membuktikkan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk

(17)

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasinya pertanahan1

Sebagai konsistensi dari peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah, maka peranan pejabat membuat Akta Tanah (PPAT) sangat

diperlukan, baik dalam penyediaan tanah maupun dalam pemutakhiran data

penguasaan tanah. Hal ini disesuaikan dengan peraturan kepada badan pertanahan

nasional republik Indonesia nomor 7 tahun 2007 tentang panitia pemeriksaan tanah.

Menurut peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan

pejabat pembuat akta tanah pasal 1 butir 1, menyebutkan :

PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak

milik atas satuan rumah susun.2

Pejabat pembuat akta tanah diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini badan

pertanahan nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani

kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak

atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undang yang berlaku.

       1

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

2

(18)

Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat, PPAT berkewajiban untuk

memberikan nasehat hukum kepada pihak-pihak yang meminta bantuan jasa, serta

perlindungan atau pengayoman kepada pihak-pihak yang memerlukan bantuannya

khususnya di bidang pertanahan.

Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas

tanah haruslah dihadapan seorang notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang

bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan

akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli atau pengalihan

hak ini dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah, tetapi ada kalanya

pelaksanaan jual beli ini dilakukan dihadapan notaris, yang dinamakan dengan

perjanjian jual beli/perikatan jual beli.

Akta otentik memiliki peranan penting apabila dalam pergaulan hukum di

dalam masyarakat terdapat pelanggaran terhadap norma hukum. Pelanggaran

terhadap hukum perdata akan menimbulkan perkara perdata dan untuk

menyelesaikannya harus sesuai dengan yang diatur dalam hukum acara perdata3.

Keberadaan akta otentik disebabkan karena adanya alat bukti untuk perbuatan hukum

tertentu. Dapat pula karena para pihak menghendaki agar perbuatan hukum yang

mereka lakukan diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Apabila terdapat

       3

(19)

penyimpangan yang menyangkut hal-hal yang bersifat formil maka hilanglah

otensitas dari suatu akta.

Untuk pembuatan akta pemindahan hak, PPAT berhak menolak untuk

membuat akta apabila :

1. Tidak disertai sertifikat asli/sertifikat tidak cocok dengan daftar-daftar yang ada di

kantor pertanahan.

2. Para pihak atau saksi-saksi tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk

bertindak demikian.

3. Salah stu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak.

4. Belum ada izin dari suami/istri.

5. Sedang dalam sengketa/perkara dipengadilan negeri atau tidak dalam sita

jaminan.

Selain itu dalam membuat akta jual beli, PPAT harus memperhatikan

beberapa hal, yang juga merupakan kewenangannya yaitu :4

1. Kedudukan atau status penjual tanah adalah pihak yang berhak menjual tanah.

2. Penjual adalah pihak yang berwenang menjual.

Dalam peraturan kepala badan pertanahan nasional nomor 6 tahun 1989 dan peraturan

pemerintah nomor 37 tahun 1998, telah ditekankan beberapa perbuatan hukum yang

menjadi tanggung jawab PPAT yaitu : 5

       4

(20)

1. Mengenai kebenaran dari kejadian yang termuat dalam akta misalnya mengenai

jenis perbuatan hukum yang dimaksud oleh para pihak, mengenai sudah

dilakukannya pembayaran dalam jual beli dan lain sebagainya.

2. Mengenai objek perbuatan hukum, baik data fisik maupun data yuridisnya.

3. Mengenai identitasnya para penghadap yang merupakan pihak-pihak yang

melakukan perbuatan hukum (seperti KTP, SIM, passport).

Hal penting yang harus diperhatikan di dalam pembuat akta jual beli yang

dibuat oleh PPAT adalah identitas para penghadap dan bukti sah kepemilikan

persil/tanah. Jika dalam hal pelaksanaan transaksi jual beli tanah, salah satu para

penghadap bertindak berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh pemilik persil,

maka PPAT harus teliti melihat tentang keabsahan suatu akta surat kuasa itu, apakah

surat kuasa tersebut belum pernah dicabut atau dibatalkan, selain itu PPAT juga harus

melihat apakah akta surat kuasa yang diberikan pemilik persil tersebut bertentangan

dengan peraturan hukum yang ada atau tidak, sehingga penerima kuasa benar-benar

melindungi si pemberi kuasa atau si pemilik persil.

Sebagaimana diketahui dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998, PPAT telah diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk melaksanakan

sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas

satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

       5

(21)

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, sedangkan sebagian

lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini

Badan Pertanahan Nasional.

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli tanah.

Dalam hukum adat jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak

dalam bentuk penyerahan bidang tanah oleh penjual kepada pembeli untuk

selama-lamanya dan pada waktu itu pula pembeli membayar harga tanahnya kepada penjual.

Perbuatan jual beli tersebut sah apabila si penjual benar-benar orang yang berhak atas

tanah itu atau kuasanya yang sah dan sipembeli juga tergolong orang yang berhak

untuk mempunyai serta menguasai tanah itu.

Dalam praktiknya masih saja ditemukan adanya jual beli tanah dengan

menggunakan kuasa mutlak. Tentunya hal ini dapat merugikan pihak pembeli

dikemudian hari, terutama dalam penerbitan surat tanda bukti hak/penyelesaian status

hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak. Seperti yang terjadi dalam

kasus putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JKT.Pst,

antara Tuan Randy dan Tuan Syukri (Penggugat I dan II) melawan Nyonya Ellisa

(Tergugat), Haji Dana Sasmita (Turut Tergugat I) dan Kepala Kantor Pertanahan

Kotamadya Jakarta Pusat (Turut Tergugat II). Dalam hal kasus peralihan hak atas

tanah dengan jual beli yang berdasarkan pada surat kuasa ini berasal dari suatu

perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Tuan Randy dengan Nyonya Elissa yang

(22)

menjalankan usaha penyedia barang dimana Tuan Randy memerlukan sejumlah dana

untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan nyonya Elissa akan

menerima keuntungan beserta penyertaan modal awal tersebut dalam waktu 3 bulan

sejak diberikannya modal awal tersebut. Sebagai jaminan pelaksanaan kerjasama

tersebut, Tuan Syukri memberikan jaminan Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB)

Nomor 2774 atas nama dirinya sendiri dengan disertai membuat akta kuasa menjual

yang diberikan kepada Nyonya Ellisa.

Ternyata Tuan Randy selama dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang

diperjanjikan dalam perjanjian kerjasama, tidak/belum mengembalikan uang beserta

keuntungannya. Dengan adanya wanprestasi yang dilakukan oleh Tuan Randy, maka

Nyonya Ellissa menjual tanah berikut bangunan milik Tuan Syukri kepada dirinya

sendiri yang dilakukan tanpa persetujuan Tuan Syukri dengan berdasarkan surat

kuasa menjual.

Padahal di dalam surat kuasa menjual yang dibuat antara Tuan Syukri dengan

Nyonya Elissa, didalamnya terdapat salah satu syarat bahwa dalam kuasa menjual

Tuan Syukri akan menunjuk property consultant untuk menentukan harga jual tanah

berikut bangunan yang dijaminkan tersebut. Penjualan yang dilakukan oleh Nyonya

Ellissa tanpa persetujuan property consultant menjadikan harga jual tanah berikut

(23)

Namun bila diperhatikan lebih mendalam, pembuatan kuasa menjual tersebut

merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian kerjasama sebelumnya, sehingga

kuasa menjual tersebut ada karena merupakan jaminan dari perjanjian kerjasama.

Didalam kuasa menjual tersebut terdapat klausula-klausula yang di dalamnya

mengandung unsur pengertian kuasa mutlak menurut instruksi menteri dalam negeri

nomor 14 tahun 1982. Walaupun didalam kuasa menjual tersebut tidak ada

pemakaian klausula “tidak dapat dicabut kembali” yang merupakan klausula yang

secara nyata merupakan kuasa mutlak.

Unsur kuasa mutlak yang dimaksud adalah dengan memberikan kewenangan

kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta

melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh

pemegang haknya. Walaupun tidak secara nyata termasuk sebagai kuasa mutlak,

tetapi dengan terkandungnya unsur dari pengertian kuasa mutlak yang telah dilarang

penggunaannya melalui instruksi mendagri, maka kuasa menjual tuan Syukri kepada

Nyonya Ellissa tersebut merupakan kuasa mutlak.

Dengan demikian maka PPAT yang membuat akta jual beli tersebut dapat

dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena dengan adanya

perbuatan pembuatan akta jual beli yang tidak memperhatikan syarat yang terdapat

dalam kuasa menjual dari Tuan Syukri kepada Nyonya Ellissa berupa penunjukkan

pihak agen property consultant sebagai penentu harga. Dalam pembuatan akta jual

(24)

sehingga menimbulkan kerugian pada pihak Tuan Syukri. Sebagai pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, PPAT

bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat sahnya perbuatan hukum yang

bersangkutan.

Dengan demikian PPAT harus memiliki kecermatan, kemampuan dan

kecakapan serta pengetahuan yang luas dalam bidang hukum pertanahan karena

dengan ketidakcermatan atau ketidaktahuan akan berakibat fatal. PPAT juga wajib

memberikan penjelasan kepada pihak yang menghadap, apa yang boleh dan apa yang

tidak boleh dilakukan, apa yang melanggar hukum dan apa yang tidak melanggar

hukum.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam proposal ini adalah :

1. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas

Tanah Dengan Adanya Kuasa Mutlak?

2. Bagaimana tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum

dalam pembuatan akta PPAT ?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara

(25)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengkaji peranan pejabat pembuat akta tanah dalam peralihan hak atas

tanah dengan adanya kuasa mutlak.

2. Untuk mengkaji tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan

hukum dalam pembuatan akta PPAT.

3. Untuk mengkaji akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara

melawan hukum.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di

bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya

mengenai akta jual beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Secara Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang

akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini

dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah

(26)

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik perpustakaan pusat maupun yang

ada di sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan

judul mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT (Studi Kasus Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst).

Namun ada penelitian yang menyangkut masalah aspek hukum peralihan hak

atas tanah yang dilakukan oleh :

1. Husna, mahasiswa program pasca sarjana, studi magister kenotariatan Universitas

Sumatera Utara Medan tahun 2003, dengan judul “Analisa Hukum Terhadap

Sengketa Akibat Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai Akta yang dibuat

PPAT di kota Banda Aceh.

2. Kartika Sari, mahasiswa program pasca sarjana, studi magister kenotariatan

Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2004, dengan judul “Pemberian Kuasa

Menjual Tanah Dalam Praktek Notaris (penelitian di Kota Medan)”.

Akan tetapi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dan

penelitiannya berbeda sama sekali. Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli

(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi1, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.2. Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus

atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.3

Teori yang akan dijadikan landasan dalam tesis ini adalah teori sistem hukum

dari Lawrence M. Friedman, yaitu hukum dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri.

Keterkaitan dengan elemen-elemen lain merupakan penanda khas atas sistem hukum

tersebut. Elemen lain yang dimaksudkan friedman adalah ekonomi dan politik.

Gambaran tentang kaitan antar subsistem tersebut tercakup dalam uraiannya

mengenai sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial

masyarakat tersebut. Tiga komponen utama yang dimiliki sistem hukum adalah legal

       1

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta : FE UI, 1996), halaman 203. M. Jolly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian (Bandung CV. Mandar Maju 1994) halaman 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasioal digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkn, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

2

Ibid, halaman 16.

3

(28)

structure, legal substance, and legal culture. Ketiga komponen tersebut saling

menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya.4

Komponen struktur hukum misalnya merupakan representasi dari aspek

institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan

undang-undang. Substansi hukum, sebagai suatu aspek dari sistem hukum,

merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku masyarakat

dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah bagaimana apresiasi

masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang berlaku. Disinilah muncul konsep

hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Oleh karena itu, maka konsep

legal subtance juga meliputi apa yang dihasilkan oleh masyarakat.5

Sedangkan budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi

masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ke dalam komponen tersebut adalah

kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), ide atau gagasannya dan

harapan-harapannya. Dengan kata lain hal itu merupakan bagian dari budaya secara umum

yang diorientasikan pada sistem hukum. Gagasan-gagasan dan opini harus dimengerti

sebagai hal yang berhubungan dengan perkembangan proses hukum.6

Sistem hukum, sebagai bagian dari sistem sosial harus dapat memenuhi

harapan sosial. Oleh karena itu maka sistem hukum harus menghasilkan sesuatu yang

       4

Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London : W.W. Norton & Company, 1984), halaman 5-6.

5

Ibid, halaman 6.

6

(29)

bercorak hukum (output of law) yang pada dirinya signifikan dengan harapan sosial.

Ada empat hal yang harus dihasilkan atau di penuhi oleh suatu sistem hukum: 7

1. Sistem hukum secara umum harus dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan

masyarakat atas sistem tersebut.

2. Harus dapat menyediakan skema normatif, walaupun fungsi penyelesaian konflik

tidak semata-mata menjadi monopoli sistem hukum.Dimana sistem hukum harus

dapat menyediakan mekanisme dan tempat dimana orang dapat membawa

kasusnya untuk diselesaikan.

3. Sistem hukum sebagai kontrol sosial yang esensinya adalah aparatur hukum,

Polisi dan hakim misalnya harus menegakkan hukum.

4. Dalam kaitan dengan fungsi kontrol sosial, desakan kekuatan sosial untuk

membuat hukum, harus direspon oleh institusi hukum, mengkristalkannya,

menuangkannya kedalam aturan hukum, dan menentukan prinsipnya. Dalam

konteks ini, sistem dapat dikatakan sebagai instrumen perubahan tatanan sosial

atau rekayasa sosial.

Hukum pertanahan tidak terlepas dari sistem sosial, yang mana salah satu

syarat untuk memperoleh Hak atas tanah harus melalui prosedur pendaftaran tanah

yang tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hak atas tanah. Dengan kepastian hak

setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Dengan sertipikat tanah, maka

jelaslah tanah tersebut sudah terdaftar di Kantor Pendaftaran tanah, sehingga setiap

       7

(30)

orang dapat mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada pemiliknya. Demikian pula

pendaftaran yang dilakukan atas hak seseorang mencegah klaim seseorang atas tanah

kecuali dia lebih berhak dan dapat mengajukan ke pengadilan negeri setempat dengan

membuktikan tentang kebenaran haknya itu sesuai dengan asas pendaftaran tanah

yang negatif yang dianut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

Pada dasarnya tujuan pelayanan pendaftaran tanah adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran

pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib

hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, dan tertib

pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Catur tertib pertanahan tersebut

merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional

sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib

pertanahan tersebut di atas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut

administrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk

tercapainya tertib administrasi pertanahan.

Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan

Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada

masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong good governance, Badan

Pertanahan Nasional sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparan,

(31)

Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah,

Pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan

pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan

kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah

pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah,

ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya

yang relatif tinggi.8

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan

tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan

secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya9 agar orang

dalam melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah mendapat

jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah.

Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang

berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya

untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara

memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada didalam

menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan

       8

Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanaha, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2009), halaman 2.

9

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

(32)

ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan

penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai.10

Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut maka diperlukan

Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah satu pelaksanaan pendaftaran tanah

dengan membuat akta PPAT, di mana akta PPAT merupakan salah satu sumber

utama kedalam rangka pemilharaan data pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat

sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran

pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.

PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai

tanah tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang

pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan

dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti.

PPAT telah diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan

sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas

satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,11 sedangkan sebagian

lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini

Badan Pertanahan Nasional.       

10

Ibid., halaman 69.

11

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

(33)

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli

tanah12 dengan dibuatkan akta jual beli tanah oleh PPAT yang merupakan transaksi

yang sering terjadi didalam kehidupan bagi setiap orang, tidak hanya untuk tempat

tinggal melainkan juga sebagai investasi atau bisnis yang harganya cenderung

meningkat dari waktu ke waktu, karena tanah semakin banyak dibutuhkan orang.

Perbuatan jual beli adalah sah apabila si penjual benar-benar orang yang berhak atas

tanah itu atau kuasanya yang sah dan si pembeli juga tergolong orang yang berhak

untuk mempunyai serta menguasai tanah itu.

Di dalam praktiknya, tidak sedikit PPAT yang mengalami masalah

sehubungan dengan akta jual beli yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum

oleh suatu putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam

perbuatannya ( setelah akta jual beli tersebut ditandatangani oleh para pihak bahkan

setelah diterbitkan sertipikat oleh kantor pertanahan ) seperti dapat dilihat dalam

kasus putusan nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST, yang terdapat adanya perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh Nyonya Ellisa dan PPAT Haji Dana Sasmita,

SH dalam hal pembuatan akta jual beli yang tidak memenuhi ketentuan isi dari akta

kuasa menjual yang diberikan Tuan Syukri kepada Nyonya Ellisa, dimana isi dari

perjanjian tersebut harga jual tanah dan bangunan sertipikat Hak Guna Bangunan

Nomor 2774 atas nama Tuan Syukri di tentukan melalui property consultan yang

ditunjuk oleh Tuan syukri, akan tetapi Nyonya Elissa justru menentukan harga jual

       12

(34)

tanah dan bangunan tersebut berdasarkan nilai jual objek pajak. Sehingga

mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Hal ini terjadi akibat adanya

kelalaian yang dilakukan oleh PPAT sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian

bagi pihak lain yaitu tuan Syukri sebagai jaminan atas hubungan hukum hutang

piutang dalam bentuk (formalitas) kerjasama dimana tuan Rendi meminjam uang

kepada Nyonya Ellisa untuk menambah modal usaha sebesar Rp 800.000.000.

(delapan ratus juta rupiah) yang harus dikembalikan dalam waktu 3 (tiga) bulan

dengan memberi keuntungan sebanyak Rp 550.000.000 (lima ratus lima puluh juta)

sehingga uang yang harus dikembalikan sebesar Rp. 1.350.000.000 (satu milyar tiga

ratus lima puluh juta rupiah). Disamping itu akta kuasa menjual tersebut dapat

dikualifisir sebagai akta kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali yang nyatanya

bertentangan dengan Intruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.

Dalam menciptakan dan menerapkan hukum, notaris/PPAT haruslah

senantiasa berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dimana

nilai-nilai ini merupakan sumber dari norma bagi penegak hukum dalam menjalankan

fungsinya sebagai aparatur Negara yang dimaksudkan disini adalah norma-norma

atau kaidah-kaidah yang wajib ditaati oleh para penegak hukum atau pemelihara

(35)

menyusun serta memelihara hukum menurut O Notohamidjojo ada empat norma yang

penting dalam penegakan hukum, yaitu :13

1. Kemanusiaan

Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum manusia

senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.

2. Keadilan

Keadilan adalah kehendak yang kekal untuk memberikan kepada orang lain apa

saja yang menjadi haknya.

3. Kepatuhan

Kepatuhan adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang

dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatuhan ini perlu

diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat

kejujuran.

4. Kejujuran

Pemeliharaan hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus

atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya untuk

mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist diharapkan

sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam artinya dan menjauhkan diri dari

perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.       

13

(36)

2. Kerangka Konsep

Beberapa konsep dasar sehubungan penelitian ini dapat di jelaskan sebagai

berikut :

1. Hukum adalah suatu peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan

tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.

2. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum

objektif, hak subjektif perseorangan, kepatutan yang berlaku dalam masyarakat,

tidak mempunyai hak sendiri.14

3. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

otentik mengenai perbuatan melawan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

4. Akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena

dibuat dihadapan seorang pejabat umum.

5. Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu atau akibat

perbuatan yang ditimbulkan dengan adanya kesengajaan ataupun kelalaian.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

       14

(37)

Penelitian mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang

Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT merupakan

penelitian hukum normatif yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau

studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder

yang ada diperpustakaan. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar

ditujukan kepada :

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum. 2. Penelitian terhadap sistematika hukum. 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. 4. Perbandingan Hukum.

5. Sejarah Hukum.15

Dari unsur-unsur penelitian hukum normatif tersebut diatas dikaitkan dengan

judul penelitian tersebut diatas, peneliti lebih memberatkan terhadap menemukan

asas-asas hukum dalam peraturan PPAT mengenai kapan seorang PPAT dapat

dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugasnya

serta sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai perbuatan PPAT ke dalam sistem

hukum nasional di Indonesia.

Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder

atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer. Data sekunder yang diteliti

terdiri atas :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa :       

15

(38)

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun tentang Pendaftaran Tanah.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

d. Intruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum

primer, antara lain :

a. Rancangan peraturan perundang-undangan.

b. Hasil karya ilmiah para sarjana.

c. Hasil-hasil penelitian.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang

bahan primer dan sekunder antara lain :

a. Kamus besar bahasa Indonesia.

b. Ensiklopedi Indonesia.

c. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan PPAT.16

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriptif analisis dengan

pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur

hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang

       16

(39)

diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan

satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

3. Alat Pengumpulan Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpulan data berupa:

1. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study).

2. Wawancara (Interview).

3. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket).

Pada prakteknya ketiga jenis alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan

secara bersama-sama, karena disamping studi kepustakaan, juga peneliti melakukan

wawancara kepada penegak hukum lain dalam kaitannya dengan penelitian ini.

4. Prosedur Pengambil Data dan Pengumpul Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dilaksanakan dua tahap penelitian :

a. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori,

pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok

permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan,

(40)

b. Studi Lapangan.

Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer. Hal ini akan

diusahakan untuk memperoleh data-data dengan mengadakan tanya jawab

(wawancara) dengan penegak hukum.

5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara

kualitatif17 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan

menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan

maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena

penelitian ini normatif , dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik

kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan

penelitian yang ditetapkan.

       17

(41)

BAB II

PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA KUASA MUTLAK

A. Latar Belakang Timbulnya Peralihan Hak Atas Tanah

Sebagaimana dengan timbulnya suatu Peralihan Hak Atas Tanah tersebut,

maka dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyinggung suatu Peralihan

Hak Atas Tanah tersebut, yaitu seperti:

1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci

diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur

khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.

Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita

adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum

dan sistem hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya hukum adat yang telah

di-saneer yang dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli

tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut

hukum adat.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah

Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.

(42)

peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA, dan peraturan-peraturan lama yang masih

berlaku. Adapun sumber-sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma

Hukum Adat yang telah di-saneer dan hukum kebiasaan baru, termasuk

yurisprudensi.18

Dengan demikian ada dua fungsi atau peranan dari Hukum Adat, yaitu

sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelengkap

dari ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak

terjadi kekosongan hukum karena hukumnya belum diatur sehingga kegiatan

masyarakat yang berhubungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.

Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak

atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak

tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang

menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga

perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan

pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena

itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar

sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka

       18

(43)

penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas

dasar hukum utang-piutang.19

Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum

tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang

demikian ini berarti pada saat terjadinya jual-beli, uang pembayaran dari harga tanah

yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum

lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi

pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah

selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap

sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang

piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang

kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah

tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli.

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum benda,

khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan

khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :20

1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga

tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual-beli tersebut.

       19

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), halaman. 211.

20

(44)

2. Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban,

yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi, apabila pembeli

baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual

tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.

Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut

serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak

(konsensus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan Kepala

Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah

oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak

miliknya kepada pembeli. Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah

telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri

yang kedua adalah sifatnya yang terang, Sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala

Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup

sah menurut hukumnya. Adanya tanggungan dari Kepala Persekutuan tersebut

menjadikan perbuatan tersebut terangkat menjadi suatu perbuatan yang mengarah

pada ketertiban hukum umum sehingga menjadikannya di dalam lalu lintas hukum

yang bebas dan terjamin.

Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon

penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang

akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka

(45)

diikuti dengan pemberian uang sebagai jaminan. Pemberian uang sebagai jaminan

tidak diartikan sebagai harus dilaksanakan jual beli itu. Dengan demikian pemberian

uang sebagai jaminan disini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan

dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya pemberian uang sebagi jaminan, para

pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut.

Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi

jaminan, uang tersebut menjadi milik penerima jaminan. Sebaliknya, bila keingkaran

tersebut ada pada pihak penerima jaminan, uang yang menjadi jaminan harus

dikembalikan kepada pemberi jaminan. Jika para pihak tidak menggunakan hak

ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan

calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan

maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual

dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan

tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah

menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan

Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan

jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan

sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut.

Transaksi tanah, di lapangan hukum harta kekayaan merupakan salah satu

bentuk perbuatan tunai dan berobjek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai

(46)

kadang-kadang sebagian, selaku kontra prestasi). Perbuatan menyerahkan itu

dinyatakan dengan istilah jual (Indonesia), adol, sade (Jawa).21

Transaksi jual tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan,

yakni : 22

a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan

hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang

pernah dibayarnya.

b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli

kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya.

c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian bahwa

setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan

kembali.

Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem Hukum Adat sebagai

berikut :

1. Yang mengakibatkan pemindahan hak milik untuk selama-lamanya

a. Jual lepas

       21

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta : Liberty, 1981), halaman. 28.

22

(47)

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang

dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas

sama sekali.23

Biasanya, pada jual lepas, calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi

sebagai pengikat yang disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan

uang di muka, perjanjian pokok belum terlaksana hanya dengan uang sebagai jaminan

semata-mata. Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya hanya sebagai

tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada panjer, konsekuensinya

manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan ada dua kemungkinan, yaitu bila

yang ingkar si calon pembeli, maka uang sebagai jaminan tersebut menetap pada si

calon penjual, bila keingkaran itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus

mengembalikan panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat

nilainya dari uang muka semula.

Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam jual lepas adalah :

1) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu kewajiban.

Tetapi adakalanya janji lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu

(uang/benda) dapat menimbulkan suatu kewajiban, namun hanya ikatan moral

untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau untuk membeli.

       23

(48)

2) Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan uang sebagai

jaminan orang merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang

ditentukan dalam janji tersebut (pada angka 1 diatas).

3) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian uang

sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh para pihak, jual beli

baru dapat dilaksanakan.

2. Yang mengakibatkan pemindahan hak milik yang bersifat sementara

a. Jual gadai

Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas

tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa,

sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus

kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas tanah pada jual

gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai

sifat sementara waktu tersebut.24

Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai) berhak :

1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik.

2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah tersebut

kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia tidak dapat memaksa

si penjual gadai untuk menebus tanahnya.

       24

(49)

3) Mengadakan perjanjian bagi hasil.

Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :

1) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang

membeli gadai.

2) Tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan

pembeli gadai.

b. Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak

atas sebidang tanah tertentu kepada subjek hukum lain, dengan menerima sejumlah

uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu tertentu, maka tanah

tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu.

Dalam hal ini, terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.25

Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah,

menanami dan memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya

sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

Selain dari 3 bentuk jual tanah di atas, Prof. Soerjono Soekanto menambahkan

bentuk jual gangsur. Menurutnya, pada jual gangsur ini, walaupun telah terjadi

pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di

       25

(50)

tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai, yang

bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli.26

2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA

Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang

menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata

yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan

menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas

tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat.

Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya

adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.

Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara

jelas, akan tetapi mengingat dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah

Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita mnggunakan konsepsi, asas-asas,

lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Maka pengertian jual beli tanah menurut

Hukum Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat.

Hukum Adat yang dimaksud pasal 5 UUPA tersebut adalah Hukum Adat yang telah

di-saneer yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/Hukum Adat yang sudah

       26

(51)

disempurnakan/Hukum Adat yang telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi

sifat nasional.

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan

pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa

penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil

berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah terjadi

jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan

No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual

beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah

yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.27 Sifat terang dipenuhi

pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa,

karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan kehadiran Kepala

Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat terang berarti jual beli

itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.

Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli

dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan

dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan

hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang

ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual

       27

(52)

kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat

tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang

bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah

dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran

harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum

pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli)

sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh

para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli

warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.28

Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.

1. Syarat materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara

lain sebagai berikut :

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat

untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau

tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung

pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna

bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik

       28

(53)

atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum

yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai

kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesianya atau

kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka

jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26

ayat (2) UUPA).

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari

hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah

hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi,

bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah

kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak

<

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, pembaharuan pembuktian dalam alat bukti dalam penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dimasa yang akan datang dapat dilakukan, seperti LHA

(2010) melaporkan terdapat hubungan linier antara konsumsi BK dan emisi gas metana pada sapi, karena semakin meningkat konsumsi BK akan meningkatkan fermentasi BO

Karena metode ini biasanya pendidik mula-mula mengajarkan kata-kata dan kalimat- kalimat sederhana yang dapat dimengerti dan diketahui oleh peserta didik dalam bahasa

adanya keinginan untuk ekspresi diri, maka terwujudlah bahasa sebagai alat komunikasi1.  Hakikat komunikasi dalam bahasa

3.32 Standar Sarana dan Prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat

Konsep diri akademik adalah penilaian seseorang terhadap kemampuan akademiknya, yang meliputi kemampuan dalam mengikuti kuliah/pelajaran, kemampuan dalam meraih prestasi di bidang

Misalnya dampak negatif dari penggunaan jejaring sosial bagi para pelajar antara lain dapat mengurangi tingkat prestasi pelajar, karena mereka lebih fokus bermain dengan

Berdasarkan teknik analisis data statistik inferensial yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peranan guru mata pelajaran aqidah akhlak dalam mengembangkan