• Tidak ada hasil yang ditemukan

LKM KOPERASI SEJAHTERA BANGSAKU

KUESIONER BOBOT FAKTOR-FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

Identitas Responden Nama Responden : Pendidikan : Jenis Kelamin : Jabatan : Tanggal Pengisian : Alamat dan Tlp : Tujuan

Mendapatkan penilaian para responden terhadap tingkat kepentingan faktor-faktor dalam operasional strategi peningkatan jumlah debitur berbasis analisis penilaian rasio kecukupan modal pada LKM koperasi SEJAHTERA BANGSAKU.

Petunjuk Umum

5. Pengisian kuesioner dilakukan secara tertulis oleh responden.

6. Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.

7. Dalam pengisian kuesioner, responden diharapkan untuk melakukannya

secara sekaligus (tidak tertunda) untuk menghindari inkonsistensi jawaban.

8. Seluruh definisi yang digunakan dalam kuesioner ini sepenuhnya menjadi hak

responden, dalam artian bahwa responden dapat saja memiliki pandangan berbeda mengenai suatu faktor di dalam kuesioner ini, dengan responden lainnya, ataupun dengan peneliti. Hal ini dibenarkan jika dilengkapi dengan alasan kuat.

Petunjuk Khusus

1. Pemberian bobot terhadap faktor-faktor operasional internal dan eksternal yang ada pada kuesioner ini, berarti seperti yang dipaparkan di bawah ini :

1 = Tidak Penting 2 = Agak penting 3 = penting

4 = Sangat Penting

2. Penentuan bobot merupakan pandangan masing-masing responden terhadap

faktor-faktor operasional internal (Strenghts dan Weaknesses) dan eksternal (Opportunities dan Threats) yang telah ada.

3. Penentuan bobot merupakan pandangan masing-masing responden terhadap

faktor-faktor operasional internal (Strenghts dan Weaknesses) dan eksternal (Opportunities dan Threats) yang telah ada.

Lanjutan Lampiran 21

C. Faktor Strategik Internal :

Faktor-faktor internal yang memengaruhi perusahaan dalam srategi

peningkatan jumlah debitur berbasis analisis penilaian rasio kecukupan modal pada LKM Koperasi Sejahtera Bangsaku

No Faktor Internal (Kelemahan) Bobot 1 2 3 4

1 Pengembangan SDM belum terencana

2 Modal kerja untuk Penyaluran Pembiayaan

3 Modal(equity) sulit bertambah

No Faktor Internal (Kekuatan) Bobot 1 2 3 4

1 Metode Grameen yang sudah teruji

2 Dukungan/Support pendiri (termasuk Peramu)

3 Loyalitas SDM Tinggi

D. Faktor Strategik Eksternal :

Faktor-faktor eksternal yang memengaruhi perusahaan dalam srategi

penambahan jumlah debitur berbasis analisis penilaian rasio kecukupan modal pada LKM Koperasi Sejahtera Bangsaku

No Faktor Eksternal (Ancaman) Bobot 1 2 3 4

1 Persaingan dengan lembaga Keuangan Lain (BTPN

dan MBK)

2 Bencana Alam (longsor dan Gempa)

3

No Faktor Eksternal (Peluang) Bobot 1 2 3 4

1 Segmen Pasar Pembiayaan Mikro Masih besar

2 BANK umum Syariah sebagai sumber pendanaan

3 Sedikitnya LKM lain yang beroperasi di Tasik

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 21 Juli 1970 sebagai anak kedua dari pasangan Endang Dunianto dan Nani Supriatin. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah Sekolah Dasar (SD) Persit Kartika Candra Kirana Garut lulus pada tahun 1983. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Garut dan lulus pada tahun 1986. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 adalah persinggahan sekolah berikutnya dari penulis dan lulus tahun 1989. Sempat mengikuti kuliah di Institut Pertanian Bogor Jurusan Statistika FMIPA , penulis menyelesaikan Sarjana Strata -1 di Program Ekstension Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2004. Pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Ilmu Manajemen IPB.

Penulis bekerja selama lebih dari 15 tahun dalam dunia microfinance. Dimulai sebagai Account Officer pada BMT Wihdatul Ummah tahun 1996

selanjutnya menjabat sebagai Manajer BMT yang sama dari tahun 2000 – 2005.

Kemudian menjadi Direktur Utama BPRS Rifatul Ummah pada tahun 2006 –

2011. Tahun 2012 menjadi Tenaga Akhli Bidang Manajemen Keuangan pada program pendampingan Koperasi Jasa Keuangan PEMK UPDB DKI Jakarta, tahun 2013 sebagai bagian team Batasa Tazkia mengerjakan konversi koperasi Tunas Artha Mandiri (TAM) menjadi koperasi syariah dan sejak Agustus 2014 menjadi tenaga Akhli Keuangan Mikro Syariah di Konsultan Manajemen Perkotaan 1 PNPM.

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kredit mikro kepada masyarakat miskin dan usaha mikro sangat penting posisinya untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia. Muhamamad Yunus, tokoh dan penemu Grameen Bank mengatakan bahwa salah satu cara pengentasan masyarakat miskin adalah dengan memberikan kredit kepada mereka (Yunus dan Jolis 2007). Data publikasi BPS bulan September 2013 menyebutkan jumlah penduduk miskin sebanyak 28,55 juta orang atau 11,47% dari total penduduk Indonesia. Kementrian Koperasi dan UKM menyebutkan data jumlah pengusaha mikro kecil pada tahun 2012 adalah 55.856.176. Jumlah pengusaha mikro sebanyak 56.536.560 pengusaha atau 98,79% dari total unit usaha.

Pelayanan kredit mikro di Indonesia dilakukan oleh bank dan non bank. Perbankan melalui BPR/BPRS dan berbagai unit mikro bank umum, seperti Danamon Simpan Pinjam, Unit Mikro Bank Mandiri dan Bank Unit Desa BRI. Lembaga non bank dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Badan hukum LKM berbentuk Perseroan Terbatas atau koperasi. LKM ada juga yang berasal dari berbagai program dana bergulir dari pemerintah, seperti Lembaga Pembiayaan Dana Bergulir (LPDB), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) seperti Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Putih, Badan Kredit Desa (BKD) serta Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali. LKM non bank dari kalangan non pemerintah adalah koperasi simpan pinjam, koperasi kredit, Koperasi Baitul Mal Wat Tamwil (KBMT) dan berbagai kredit mikro dari LSM.

Definisi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) jika mengacu pada Undang Undang No.1 tahun 2013 tentang LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan (Baskara 2013).

Tabel 1 di bawah menyatakan jumlah kredit mikro untuk masyarakat miskin 5.83 juta rekening sementara jumlah masyarakat miskin Bulan September 2013 sebanyak 28,55 juta orang, dengan demikian ada sekitar 22,72 juta orang miskin yang belum terlayani kredit mikro. Jumlah pengusaha mikro yang belum dlayani 40,92 juta orang karena baru 14,95 juta rekening kredit mikro untuk pengusaha mikro sementara pengusaha mikro 55,9 juta orang. Dengan kata lain 87,7% orang miskin dan 63,2% pengusaha mikro yang belum tersentuh oleh lembaga keuangan. Ini jelas jauh ketinggalan dengan kredit mikro di kawasan Asia Pasifik. Data yang dipublikasikan Microcredit Summit Campaign tahun 2012, sebanyak 1.746 program pembiayaan mikro telah dilakukan dan mencapai sekitar 169 juta klien pada tahun 2010 untuk kawasan Asia-Pasific saja. Tingkat

jangkauan program yang diberikan LKM atau Micro Finance Institution (MFI)

kawasan ini, 125,53 juta yang mendapat akses dalam program pembiayaan mikro (Baskara 2013).

Tabel 1 . Kredit mikro untuk masyarakat miskin dan pengusaha mikro

Juta rekening

Total Kredit Mikro untuk Masyarakat Miskin 5.83

Kredit Mikro disalurkan oleh LDKP** 1.33

Kredit Mikro disalurkan oleh Program PNPM 3.17

Kredit MiKro oleh PT Mitra Bisnis Keluarga 0.33

Kredit Mikro disalurkan oleh lainnya** 1.00

Total kredit mikro Untuk Pegusaha Mikro 14.95

Kredit Mikro disalurkan oleh Perbankana 10.81*

Kredit Mikro disalurkan oleh KSP 3.05**

Koperasi Syariah (BMT) 1.76 **

Credit Union 0.67***

Sumber : *OJK (2012); **) Siregar (BI 2005) ***)

a

Termasuk kredit kecil dan menengah;

Hambatan intermediasi lembaga keuangan kepada masyarakat miskin dan pengusaha mikro di Indonesia, khususnya oleh bank dan koperasi adalah karena masih adanya anggapan bahwa risiko pada kredit mikro itu besar . Besarnya risiko kredit mikro dikarenakan tidak ada agunan yang bisa dijaminkan oleh pengusaha mikro dan masyarkat miskin. Karena ketiadaan jaminan tersebut, maka cadangan penghapusan piutang (CPP) yang dilakukan lembaga keuangan semakin besar sehingga akan mengurangi rentabilitas lembaga. Faktor inilah yang menyebabkan risiko kredit mikro masih dianggap besar.

Pada sisi yang lain, managemen risiko untuk kredit mikro akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang signifikan. Hal ini terjadi terutama setelah

diperkenalkannya metode Grameen Bank yang berhasil menekan Non

Performing Loan (NPL) kredit mikro untuk masyarakat miskin sampai dibawah 0,5%. Metode Grameen Bank sendiri mengantarkan Muhammad Yunus, penggagasnya mendapatkan nobel perdamaian tahun 2006 (Yunus dan Jolis 2007).

Selain faktor persepsi besarnya risiko kredit pada kredit mikro, faktor yang tidak kalah pentingnya yang menghambat jangkauan pelayanan kredit

mikro adalah ketentuan tentang Minimum Capital Requirement (MCR).

Pembobotan risiko sebesar 100% untuk kredit sebagai salah satu komponen ATMR dalam penghitungan kecukupan modal minimum, menghambat lembaga keuangan mikro untuk melakukan ekspansi kredit mikro.

Penelitian tentang CreditRisk+ menunjukkan bahwa metode ini cukup baik untuk digunakan mengukur risiko kartu kredit dan hasil perhitungan kebutuhan modal minimum menunjukkan bahwa penyediaan modal yang dibutuhkan dengan menggunakan metode ini hanya sebesar 0,51% , jauh lebih rendah dibandingkan metode basic standardised untuk kredit ritel yang menuntut modal sebesar 6,29% dari eksposur (Tjahjowijoyo 2005).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

risiko kredit pada kredit mikro yang dilakukan lembaga keuangan mikro sehingga berdampak positif pada pengukuran kebutuhan modal minimum. Penelitian dilakukan di Lembaga Keuangan Mikro Syariah Koperasi Sejahtera Bangsaku (LKMS KSB), LKMS replikasi Grameen Bank dengan pola syariah di Tasikmalaya dan Ciamis. KSB memiliki nasabah pembiayaan sejumlah 3050 nasabah dengan NPF di bawah 0,5%.

Perumusan Masalah

Berbagai LKM di Indonesia telah berhasil membuktikan bahwa risiko pembiayaan kepada masyarakat miskin dan usaha mikro bisa dikelola dengan baik. Ini ditunjukkan dengan angka NPL dibawah 5%, bahkan untuk LKM dengan model replikasi Grameen Bank, nilai NPLnya rata-rata dibawah 0,5%.

Pengukuran kecukupan modal yang menjadi acuan LKM, baik peraturan Bank Indonesia tentang tingkat kesehatan BPR/BPRS ataupun penilaian kesehatan koperasi dalam Permenkop masih mengacu kepada Basel I, yaitu penerapan bobot risiko kredit sebesar 100% dalam penilaian ATMR. Metode penilaian ini menjadikan LKM yang memiliki kinerja baik dalam pengelolaan risiko kredit tetap dinilai sama dengan LKM lain yang kinerjanya lebih buruk untuk penilaian ATMR . Akibatnya untuk melakukan ekspansi kredit, LKM yang sehat tetap harus melakukan penambahan modal terlebih dahulu, padahal

dengan metode penilaian ATMR dengan cara IRB approach, maka

penambahan modal bisa jadi tidak diperlukan karena modal yang ada sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah Metode CreditRisk+ bisa diterapkan pada LKMS Koperasi

Sejahtera Bangsaku untuk menentukan Minimum Capital Requirement

(MCR)?

2. Strategi apa yang bisa diterapkan untuk meningkatkan ekspansi layanan

pembiayaan mikro pada LKMS Koperasi Sejahtera Bangsaku ?

Tujuan Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis penerapan Metode CreditRisk+ dalam mengukur risiko

pembiayaan mikro pada LKMS Koperasi Sejahtera Bangsaku.

2. Menganalisis strategi bagi koperasi Sejahtera Bangsaku untuk

meningkatkan layanan pembiayaan mikro berdasarkan hasil penerapan

metode CreditRisk+ dalam pengukuran MCR.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dengan penerapan metode Credit Risk+ untuk mengukur risiko kredit,

maka LKMS Koperasi Sejahtera Bangsaku dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan metode CreditRisk+ dalam mengukur risiko pembiayaan di lembaganya.

2. Apabila metode ini telah diterapkan pada banyak lembaga keuangan mikro, maka bisa menjadi saran bagi Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk menyusun peraturan pengelolaan risiko kredit yang lebih berpihak kepada lembaga keuangan dengan tetap mengedepankan asas prudensial sehingga jangkauan layanan kredit miro untuk masyarakat miskin dan pengusaha mikro bisa meningkat.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada penggunaan metode CreditRisk+ untuk mengukur kebutuhan modal minimum yang diperlukan dalam menutup risiko pembiayaan pada Koperasi Sejahtera Bangsaku dan menghitung CAR serta melakukan analisa SWOT untuk menemukan strategi ekspansi layanan kredit Koperasi Sejahtera Bangsaku.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Keuangan Mikro

Craig dan Cheryl dalam ‗Making Microfinance Work (2006) berpendapat bahwa: Microfinance is the provision of finansial services to the poor on a sustainable basis. it embodies, like few development strategies, a viable combination of equity and efficiency because acces to financial services both protected and empowers the poor by giving them choices.

Target jangkauan pelayanan keuangan mikro mencakup 6 hal (Schreiner 2006) yaitu :

1. Worth to Client

Manfaat tergantung kepada desain pinjaman atau tabungan, maupun preferensi nasabah, hambatan dan kemudahan. Untuk pinjaman, manfaat bertambah bila nilai pinjaman mendekati permintaan. Bagi tabungan, manfaat bertambah bila bagi hasil/bunga semakin meningkat dan mudahnya akses kepada produk tabungan, seperti kemudahan membuka rekening tabungan serta menyetor dan menarik tabungan.

2. Cost to Client

Biaya bagi nasabah mencakup sejumlah suku bunga, seperti bunga/margin, fee, dan biaya transaksi. Biaya transaksi meliputi opportunity cost seperti waktu terbuang untuk pertemuan kelompok, dan biaya akses langsung seperti biaya transportasi, dokumen dan pungutan yang diperlukan untuk mendapat akses pinjaman dan tabungan.

3. Depth

Kedalaman jangkauan merujuk pada tingkat kemiskinan nasabah LKM. Seperti pemilihan desa, kaum perempuan, berpendidikan rendah, etnis minoritas, perumahan kecil, plafond pinjaman kecil sebagai sasaran utama kriteria nasabah LKM.

4. Breadth

Keluasan jangkauan adalah jumlah nasabah. Ini penting, karena adanya keterbatasan anggaran di satu sisi, sementara kebutuhan dan keinginan masyarakat miskin melebihi anggaran yang tersedia.

5. Length

Keberlanjutan jangkauan jangka waktu beroperasinya LKM. Kriteria keberlanjutan dipenuhi apabila LKM dapat menyediakan jasa keuangan untuk periode yang panjang. Laba yang diperoleh LKM menunjukkan kemampuan dari LKM untuk terus bisa beroperasi dalam jangka waktu lama.

6. Scope

Menunjukkan berbagai jenis jasa keuangan yang ditawarkan LKM. Produk yang disediakan LKM tidak terbatas pada pinjaman untuk usaha saja, tetapi juga bisa untuk pinjaman darurat/konsumtif, pinjaman perumahan, sewa, tabungan, asuransi, jasa pembayaran dan jasa non keuangan.

Lembaga Keuangan Mikro

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Bab 1 Pasal 1, LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. LKM didirikan dengan tujuan meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat dan membantu peningkatan pendapatan

dan kesejahteraan masyarakat; terutama masyarakat miskin dan/atau

berpenghasilan rendah. Badan hukum LKM adalah koperasi atau Perseroan Terbatas.

Keuangan Mikro dan LKM di Indonesia

Jumlah LKM menurut Aries Mufti dalam Gerakan bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia (Gema PKM 2003) menyebutkan ada 5345 BKD, 2272 LDKP dan 2914 BMT sebagai penyedia kredit mikro pada tahun 2000. Jumlah LKM di Indonesia ada 637.838 LKM yang terbagi menjadi 31.363 LDKP, BKD dan LKM yang didirikan atas inisiatif masyarakat serta 606.475 LKM pendukung program pemerintah (Siregar 2014).

Beberapa program kredit mikro diantaranya sebagai berikut :

1. Program PNPM kepada masyarakat miskin yang disalurkan dengan dana

IDB dan Word Bank pada Desember 2013 telah mencapai 3.167.599 orang

dengan saldo kredit sebesar Rp1,109 trilyun dengan sasaran masyarakat miskin 94,9 %.

2. Mitra Bisnis Keluarga (MBK) ventura , pada bulan Desember 2013

memiliki saldo pembiayaan sebesar Rp475 milyar dengan jumlah nasabah 330.354 orang.

3. Koperasi Baitul Ikhtiar selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan

2013 telah menyalurkan pembiayaan mikro kepada 73.485 orang posisi saldo pembiayaan pada bulan Desember 2013 Rp17,49 milyar.

4. Credit Union, pada bulan Juni 2006 melalui 1011 unit mempunyai anggota

668.346 orang dengan saldo pinjaman Rp 1,866 trilyun.

Kredit

Kata kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Credete” berarti

kepercayaan. Dalam Ensiklopedia Umum, kredit dijelaskan sebagai sistem keuangan untuk memudahkan pemindahan modal dari pemilik kepada pemakai

dengan harapan akan mendapat keuntungan. Menurut Undang–Undang RI No

7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian baku tentang kredit seperti tercantum dalam Pasal 1 Butir 12 adalah penyediaan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dalam terminologi keuangan syariah, istilah kredit digantikan dengan istilah pembiayaan. Pendapat ini disampaikan oleh Syafi‘i Antonio (2001) sebagai berikut : “dalam perbankan syari'ah sebenarnya penggunaan kata pinjam meminjam kurang tepat digunakan disebabkan dua hal : pertama, pinjaman merupakan salah satu metode hubungan finansial dalam Islam. Kedua, pinjam meminjam adalah akad non komersial yang artinya bila seseorang meminjam sesuatu ia tidak boleh diisyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya, karena setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Oleh karena itu dalam perbankan syari'ah, pinjaman tidak disebut kredit tapi disebut pembiayaan”.

Klasifikasi kredit dibagi menurut berbagai hal, berdasar besar plafond atau pagu kredit, berdasarkan jangka waktu dan berdasar pengunaanya. Bank Indonesia membagi kredit berdasarkan plafond, sektor ekonomi dan jenis pengunaan. Pendapat lain tentang penggolongan kredit adalah menurut jangka waktu (maturity), barang jaminan (collateral) , segmen usaha, tujuan kredit dan penggunaan kredit (Siamat 2005).

Kategori kredit menurut Bank Indonesia (2012) diantaranya sebagai berikut:

1. Berdasarkan besar plafond:

Kredit digolongkan menjadi 4 jenis kredit yaitu:

a. Kredit mikro, yaitu kredit dengan plafon sampai dengan Rp50 juta.

b. Kredit kecil, yaitu kredit dengan plafon diatas Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta.

c. Kredit menengah, yaitu kredit dengan plafon diatas Rp500 juta sampai dengan Rp5 milyar.

d. Kredit besar, yaitu kredit dengan plafon kredit lebih dari Rp5 milyar.

2. Berdasarkan klasifikasi usaha:

a. Kredit usaha mikro

b. Kredit usaha kecil

c. Kredit usaha menengah

3. Berdasarkan sektor ekonomi digolongkan menjadi Kredit Sektor

Pertanian, Perburuan dan Kehutanan, Sektor Perikanan, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas dan Air, Sektor Kontruksi, Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Sektor Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum, Sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi, Sektor Perantara Keuangan, Sektor Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan, Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib, Sektor Jasa Pendidikan, Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan dan Perorangan Lainnya, Sektor Jasa Perorangan yang Melayani Rumah Tangga , Sektor Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya dan sektor lain-lain. Adapun penggolongan kredit menurut Siamat (2005) diantaranya :

1. Kredit dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Kredit jangka pendek (short term loan) yaitu kredit yang jangka

b. Kredit jangka menengah (medium term loan) yaitu kredit yang jangka

waktu pengembaliannya antara 1 sampai dengan 3 tahun.

c. Kredit jangka panjang (long term loan) yaitu kredit yang jangka

waktu pengembaliaanya atau jatuh temponya lebih dari 3 tahun.

2. Berdasarkan tujuan

Kredit dibagi menjadi :

a. Kredit komersil

Kredit yang diberikan untuk memperlancar usaha di bidang

perdagangan. Seperti kredit ekspor dan kredit leverensir.

b. Kredit Konsumtif

Kredit untuk memenuhi keperluan konsumtif. Misalnya kredit perumahan rakyat (KPR) dan kredit pembelian mobil atau motor.

c. Kredit Produktif

Kredit untuk memenuhi kebutuhan modal kerja.

3. Berdasarkan penggunaan

a. Kredit modal kerja

Kredit untuk menambah modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha. Seperti kredit untuk kontraktor bangunan.

b. Kredit investasi

Kredit yang digunakan untuk berinvestasi dengan membeli barang- barang modal.

4. Berdasarkan barang jaminan

Kredit dibagi menjadi :

a. Kredit dengan jaminan (secured loan)

b. Kredit dengan tanpa jaminan (unsecured loan)

Risiko

Ada berbagai macam definisi risiko. Djohanputro (2006) menjelaskan risiko sebagai ketidakpastian hasil sebagai akibat keputusan, atau situasi saat ini. Risiko merupakan ukuran kuantitas, atau ukuran empiris yang dapat mengukur kemungkinan nilai suatu kejadian dengan fluktuasinya. Risiko memiliki data pendukung (pengetahuan) mengenai kemungkinan kejadian. Hanafi (2012) menjelaskan risiko sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi negatif, kejadian yang merugikan dan muncul karena ada kondisi ketidakpastian. Hal ini bisa tercermin dari fluktuasi pergerakan yang tinggi. Semakin tinggi fluktuasi semakin besar tingkat ketidakpastiannya.

Hanafi (2012), membagi risiko ke dalam risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang memungkinkan kerugian ada, tetapi kemungkinan keuntungan tidak ada. Risiko spekulatif adalah risiko saat kita mengharapkan keuntungan dan juga kerugian.

Risiko Kredit

Menurut Coyle (2000), risiko kredit adalah suatu kerugian yang berpotensi menimbulkan penolakan, atau ketidakmampuan konsumen kredit untuk membayar hutangnya secara penuh dan tepat waktu. Hanafi (2007),

mendefinisikan risiko kredit sebagai risiko karena counter party gagal memenuhi

kewajibannya kepada perusahaan. Djohanputro (2006), mendefinisikan risiko kredit sebagai risiko ketika debitur atau pembeli secara kredit tidak dapat membayar utang dan memenuhi kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan, atau turunnya mutu debitur atau pembeli, sehingga persepsi mengenai kemungkinan gagal bayar semakin tinggi. Definisi yang agak berbeda dikemukakan Crouhy (2001), yang mendefinisikan risiko kredit sebagai berikut:

credit risk is the risk that a change in the credit quality of a counterparty will

affect the value of a bank’s position”, disini Crouhy melihat risiko kredit dari

dampaknya terhadap posisi nilai suatu bank.

Ada tiga jenis risiko dalam risiko kredit (Djohanputro 2006) yaitu :

a. Risiko gagal bayar, adalah probability terjadinya gagal bayar pada periode tertentu.

b. Risiko exposure,adalah risiko yang melekat pada besarnya kredit yang akan

memasuki risiko gagal bayar.

c. Risiko recovery, adalah risiko berkaitan dengan terjadinya gagal bayar dari

konsumen. Bila kredit memasuki risiko gagal bayar, maka perusahaan akan berupaya agar ada pengembalian sehingga nominal kredit berkurang. Jaminan biasanya dijadikan sebagai alat bayar untuk mengurangi nominal kredit yang macet. Risiko recovery dinyatakan dalam bentuk persentase kemungkinan recovery dari kredit macet.

Pengukuran Risiko Kredit

Salah satu pilar yang harus dilakukan dalam managemen risiko kredit adalah bagaimana mengukur risiko kredit itu sendiri. BI tidak menetapkan secara spesifik pendekatan pengukuran risiko kredit yang harus dijalankan oleh bank.

Meskipun demikian, BI mengacu kepada Basel Comimitee Accord sebagai

kesepakatan internasional dalam melakukan pengaturan operasional bank.

Dokumen terkait