• Tidak ada hasil yang ditemukan

KURSUS PRA NIKAH, PERKAWINAN, DAN PERCERAIAN

A. Kursus Pra Nikah

BP4 ialah lembaga yang mengatur tentang bagaimana menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. BP4 merupakan badan semi resmi yang diakui oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama No. 30 Tahun 1977, dan berkedudukan di bawah otoritas KUA Kecamatan. Walaupun berada dibawah naungan KUA, tetapi BP4 berbeda dengan KUA dengan melihat dari tugas-tugas pokok yang ada dalam masing-masing lembaga tersebut.

Fungsi dan Tugas BP4 tetap konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Perundang lainnya tentang Perkawinan, oleh karenanya fungsi dan peranan BP4 sangat diperlukan masyarakat dalam mewujudkan kualitas perkawinan.

Dijelaskan pula bahwa tugas BP4 berdasarkan hasil Musyawarah Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2004 yang dipimpin oleh ketua sidang H. Imam Masykoer Alie dan sekretaris sidang Drs. H. Zamhari Hasan, MM adalah Menyelenggarakan kursus calon pengantin, penataran/pelatihan ,diskusi, seminar dan kegiatan-kegiatan sejenis yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga

Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa salah satu tugas BP4 ialah menyelenggarakan kursus calon pengantin atau yang biasa kita kenal sekarang dengan istilah Kursus Pra Nikah. Kursus tersebut bukan hanya untuk calon pengantin saja melainkan untuk orang yang sudah masuk usia nikah seperti anak sekolah SMA, mereka-mereka ini sudah perlu untuk diberikan pemahaman tentang keluarga atau rumah tangga, bagaimana dalam menjalani biduk rumah tangga yang baik sehingga dapat tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah dikemudian hari.

Pengertian Kursus Pra Nikah tercantum dalam Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah pada Bab I Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:

Kursus Pra Nikah adalah Pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan penumbuhan kesadaran kepada remaja usia nikah tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga.1

Jadi Kursus Pra Nikah ialah bimbingan kepada calon pengantin (calon suami istri) sebagai bekal pengetahuan untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang diberikan oleh petugas BP4 dalam hal pemberian materi sekitar pernikahan, kesehatan keluarga serta munakahat. Dengan narasumber atau konselor yang telah di latih 3 bulan sekali oleh BP4 yang diadakan oleh Pemerintah Bogor sebagai upaya peningkatan kualitas konselor itu sendiri.

1

Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Nomor DJ.II/372 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kurus Pra Nikah, h. 3

Dan diharapkan dengan pemberian materi tersebut dapat meningkatkan kualitas keluarga atau rumah tangga yang di idam-idamkan oleh para pasangan calon pengantin, yaitu mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.

Pada Bab II Pasal 2 Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor DJ.II/372 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah menjelaskan bahwa tujuan Kursus Pra Nikah adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga.2

Berdasarkan apa yang telah di paparkan diatas, dapat dilihat bahwa tujuan dari Kursus Pra Nikah adalah memberikan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan penumbuhan kesadaran tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga bagi para calon pengantin guna meminimalisir terjadinya perceraian.

Berdasarkan MUNAS BP4 ke XIV/2009 di Jakarta pada 1-3 Juni 2009 yang dipimpin oleh ketua sidang Bapak Drs. H. Moh. Muchtar Ilyas dan sekretaris sidang Bapak Drs. H. Najib Anwar, MH , seperti yang dijelaskan pada pasal 1 bahwa BP4 adalah Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan. Dan pada pasal 6 salah satu upaya dan usaha BP4 adalah memberikan bimbingan, penasehatan dan

2

Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Nomor DJ.II/372 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kurus Pra Nikah, h. 4

penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok.3

Penasehatan yaitu upaya penasehatan atau bimbingan yang diberikan oleh para penasehat kepada yang dinasehati.4 Setelah mencapai usia puber, manusia digerakan oleh keinginan seksualnya untuk mencari pasangan hidup, sebagai tumpuan harapannya. Itu adalah tanggung jawab pertama yang dihadapi manusia, karena sebelum puber seseorang tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya walaupun harus diarahkan agar ia tumbuh dewasa secara terhormat.5 Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bimbingan itu merupakan bantuan yang diberikan kepada individu, untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya dengan baik agar individu itu dapat memecahkan masalahnya sendiri dan dapat mengadakan penyesuaian diri dengan baik.6

Dijelaskan dalam kitab Riyadhu Solikhin dalam bab nasehat:

3

MUNAS BP4 ke XIV/2009, Jakarta, 1-3 Juni 2009, h.5

4

Departemen Agama R.I, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Proyek Peningkatan Keluarga Sakinah Tahun 2001 Tentang Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, h.72

5

Mahmud Ash-Shabbagh, Keluarga bahagia Dalam islam “Edisi Indonesia”, (Yogyakarta:

CV. Pustaka Mantiq, 1993), cet.5, h. 56

6

Bimo Walgito, Bimbingan & Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), cet 2, h. 3

)

(

Artinya: Allah berfirman: sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, dan Allah berfirman yang dikabarkan dari Nabi Nuh AS: dan saya bernasehat kepada beliau Nabi Hud AS, dan saya bagi kalian adalah penasehat terpercaya dan adapun beberapa hadist, maka yang pertama: dari Abi Ruqoyah Tamim bin Ausindori RA bahwasannya Allah bersabda agama itu adalah nasehat, kami berkata untuk siapa?, dijawab untuk Allah, kitabnya, Rosulnya, umat muslim dan paman mereka. Diriwayatkan oleh Muslim, yang kedua dari Jarir ibn Abdillah RA berkata: Rosulullah SAW menjelaskan kepadaku tentang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan bernasehat bagi setiap muslim. Diriwayatkan Muttafaqun Alaih.7

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penasehatan ialah hal yang paling penting untuk menciptakan kemandirian seseorang, dengan adanya penasehatan diharapkan orang yang dinasehati atau dibimbing dapat mengetahui hal yang baik dan buruk serta dapat mengatasi sendiri hal yang buruk tersebut.

7

Syehk Al-Islam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya ibn Sarf Nawawiyah, Riyadhu Sholihin

Min Kalami Sayyidi Al-Mursalin, (Syria-Indonesia: Maktaba Salim ibn Sa‟ad ibn Sya‟ban Wa‟khihi

B. Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna

al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u, atau „ibarat „an al-wath’ wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilihah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.8

Menurut Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. Definisi yang dikutip Zakian Daradjat ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.9

Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. 10

Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakian Daradjat ialah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan

8

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet 3, h. 38

9

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet 1, h.8

10

wanita dan mengadakan tolong menolong dan member batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.11

Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami istri), dimana status kepemilikan akibat aqad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam term fikih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.

Bagi perempuan (istri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara biologis atas diri sang suami bersama perempuan lainnya (istri suami yang lain). Sehingga kepemilikan disini merupakan hak berserikat antara para istri. Jelasnya, poliandri haram hukumnya dan sebaliknya poligami dibolehkan secara syara‟.12

Selayaknya seorang mukmin mencari calon istri yang ditentukan dengan Islam, sehingga akan mendapatkan rumah tangga yang damai, sakinah, penuh ridha Allah.13

11

Ibid, h. 9

12

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab,

(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 1

13

Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, 40 Kiat Islami Membina Rumah Tangga Ideal

Didalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai:

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pencantuman Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyaihubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani.14

Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar’i) dan makna fiqhi (hukum). Terutama dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum).15

Islam menghendaki dicapainya suatu makna yang mulia dari suatu perkawinan atau kehidupan rumah tangga. Disini lembaga perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang bernilai luhur dan harus dicari makna dan esensinya, seperti halnya ketenangan dan ketentraman hidup. Kecuali itu, harus pula diingat

14

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet 3, h. 42-43

15

Muhammad Amin Suma, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.

kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan, seperti kesetiaan dan kasih sayang.16 Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum dan berlaku bagi semua makhluk termasuk didalamnya hewan dan tumbuh-tumbuhan serta keberadaan malam berganti siang. Allah berfirman:

















.

:تايرازلا(

)

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami jadikan berpasang-pasangan, agar kalian mau

berfikir” (Q.S: Adz-Dzariyaat: 49)















































.

:دعرلا(

)

Artinya: “Dan sesungguhnya kami mengutus beberapa Rasul sebelum engkau dan Kami memberikan kepadanya mereka istri-istri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)”. (Q.S: Ar-Ra’d: 38).

 

































.

:رونلا(

٣

)

Artinya: “Dan nikahkanlah orang yang sendirian diantara kalian, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki juga perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan

16

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami dalam Islam vs

karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberiannya) lagi maha mengetahui”

(Q.S: An-Nuur: 32)17

Terhadap persoalan seputar hukum nikah, ulama fiqih (fuqaha) berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Secara umum ada pendapat tentang hukum nikah seperti sunnah menurut kelompok Jumhur dan wajib menurut kelompok Zahiriyah. Kelompok pengikut madzhab Malik yang belakangan merinci kedudukan hukum nikah berdasarkan kondisi, yaitu: hukum wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian lainnya dan dapat juga berhukum mubah bahkan haram, tergantung pada keadaan masing-masing sesuai kemampuan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.18

Dalam kehidupan berumah tangga, setiap suami isti mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:

a. Pengertian Hak

Yang dimaksud dengan hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Misalnya ia hendak mempertahankan haknya. Maka berdasarkan ini dapat juga dikatakan hak itu adalah sesuatu yang harus diterima. Jadi yang dimaksud hak disini adalah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suani atau istri yang diperolehnya dari hasil perkawinan. Hak ini hanya dapat

17

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab,

(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 2-3

18

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab,

dipenuhi dengan menunaikan atau membayarkannya atau dapat juga lepas seandainya yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi oleh pihak lain.

b. Pengertian Kewajiban

Kewajiban berasal dari kata wajib ditambah awalan ke dan akhiran an yang berarti sesuatu yang wajib diamalkan atau dilakukan. Misalnya jangan melalaikan kewajibanmu.

Bicara tentang kewajiban, semua manusia yang hidup didunia ini tidak terlepas dari padanya, dan setiap kewajiban itu menimbulkan tanggung jawab. Yang dimaksud disini adalah hal-hal yang wajib dilaksanakan dan yang merupakan tanggung jawab suami dan istri.19

Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Oleh karena itu, antara hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur oleh Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI).

Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan menyatakan: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar

19

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 7-8

dari susunan masyarakat. Selain itu , Pasal 77 ayat (1) KHI berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

1. Kewajiban Suami

Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur oleh Pasal 80 dan 81 KHI yang diungkapkan sebagai berikut.

Pasal 80 KHI

(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.

(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

c. Biaya pendidikan bagi anak.

(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. (6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya

sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

Pasal 81 KHI

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.

(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.

Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan

serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. 2. Kewajiban Istri

Selain kewajiban suami yang merupakan hak istri, maka hak suami pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam Pasal 34 Undang-UndangPerkawinan secara umum dan secara rinci (khusus) diatur dalam Pasal 83 dan 84 KHI.

Pasal 83 KHI

(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.

(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baiknnya.

Pasal 83 KHI

(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.

(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.

(4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.20

Kalau kita kembali kepada pokok syari‟at untuk menafsirkan makna

kewajiban didalam kehidupan suami-istri, yang terlihat oleh kita adalah kewajiban

20

seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, yang tidak mampu mencari rizki.21

Apa yang menjadikan kewajiban suami terhadap istrinya adalah merupakan hak bagi istri dan begitu sebaliknya. Apa yang menjadi kewajiban istri terhadap suaminya adalah merupakan hak suami.22

C. Perceraian

“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU

Perkawinan untuk menjelaskan “Perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan

antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.23

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.24

Menurut Abu Zakaria Al-Anshari talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang yang semacamnya.

21

Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1993), cet.4, h. 65

22

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 12-13

23

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia “Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.2, h.189

24

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet 3, h. 206-207

Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal lagi bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba‟in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yang terjadi dalam talak raj‟i.25

Mengikuti ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka penggunaan hak talaq oleh suami hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan sebagai berikut.

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan:

(a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

(b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

(c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

(d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

(e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

(f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan persengketaan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari alasan-alasan yang ditentukan Pasal 19 ini dapat dipahami bahwa ikatan nikah yang idealnya kekal abadi diberi peluang terputusnya dengan perceraian. Salah satu bentuk perceraian adalah dengan talaq dari suami.

25

Istri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut adalah khul’un

namanya.

Unsur pokok yang menentukan bentuk perbuatan hukum ini adalah adanya kesediaan pihak istri membayar sejumlah harta kepada pihak suami. Bayaran ini disebut „iwad.

Putusnya ikatan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebut dengan kata

“Perceraian”. Sehingga sama dengan penggunaan hak talaq oleh suami, penggunaan

hak khulu’ oleh istripun hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan seperti yang tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu.26Dari berbagai macam definisi diatas, pada dasarnya pengertian talak satu sama lain tidak terlalu berbeda, dimana talak adalah menghilangkan atau memutuskan tali perkawinan yang sah dan mengakhiri hubungan suami isteri.

Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan yang halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:

“Suatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah

talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah dan Al-Hakim).

26

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.

Berdasarkan hadist tersebut, menunjukan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian dinatar kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alquran dan Alhadis.27

Perceraian (Thalak) dalam agama Islam diatur dalam Al-Qur‟an dan Al -Hadits Nabi SAW. Dengan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian dalam Islam dibolehkan atau halal dilakukan bagi pasangan suami istri sebagaimana

Dokumen terkait