• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurva bubur formula tepung emulsi dan glukosa Glukosa

Glukosa

Bubur pati resisten singkong 3 siklus 0 20 40 60 80 100 120 140 0 20 40 60 80 100 120 140 Ka d a r g lu ko sa d a ra h (m g /d L )

Waktu (Menit ke-)

Kurva bubur formula tepung emulsi dan glukosa

Glukosa

Bubur formula tepung emulsi

siklus, lebih tinggi dibandingkan dengan glukosa. Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa rata-rata puncak peningkatan kadar glukosa darah yaitu pada menit ke-15 sampai menit ke-30, setelah itu mengalami penurunan kembali. Nilai Indeks Glikemik Bubur Instan

Nilai indeks glikemik bubur pati singkong, bubur pati resisten singkong 1 siklus, bubur pati resisten singkong 3 siklus, dan bubur formula tepung emulsi disajikan pada gambar berikut ini:

Gambar 22 Nilai indeks glikemik bubur instan pati singkong, bubur pati resisten singkong 1 siklus, bubur pati resisten singkong 3 siklus, dan bubur formula tepung emulsi Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks glikemik bubur instan tersebut selisihnya tidak besar. Menurut Miller et al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), nilai indeks glikemik dibagi menjadi 3 kategori, yaitu IG rendah (IG<55), sedang (IG 55-70), dan tinggi (>70). Berdasarkan pengkategorian tersebut maka semua bubur instan tergolong produk dengan nilai indeks glikemik tinggi karena nilainya >70. Nilai indeks glikemik bubur pati resisten singkong 3 siklus paling tinggi dibandingkan dengan bubur instan lainnya. Nilai indeks glikemik bubur instan yang paling rendah yaitu pada bubur pati resisten singkong 1 siklus. Hasil uji sidik ragam One Way ANOVA menunjukkan bahwa pengolahan pati singkong menjadi pati resisten singkong tidak mempengaruhi nilai indeks glikemiknya (p>0.05). Hasil uji statistik terdapat pada Lampiran 6.

Nilai indeks glikemik yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa faktor. Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik dalam

85 90 95 100 105 110 Bubur pati singkong Bubur pati resisten singkong 1 siklus Bubur pati resisten singkong 3 siklus Bubur formula tepung emulsi 97.74 93.69 106.09 93.96

Nilai Indeks Glikemik Bubur

40

pangan, diantaranya adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, serta zat anti gizi pangan. Proses pengolahan dapat menyebabkan nilai IG pangan meningkat karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah untuk dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar gula naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004).

Ukuran partikel juga akan mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan. Semakin kecil ukuran partikel maka nilai indeks glikemik pangan tinggi. Ukuran partikel ini akan mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Ukuran butiran pati yang semakin kecil mengakibatkan mudah terdegradasi oleh enzim. Proses gelatinisasi pati menyebabkan granula pati mengembang sehingga molekul pati akan lebih mudah dicerna enzim pencernaan pada usus karena mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Hal inilah yang menyebabkan proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan IG pangan (Rimbawan & Siagian 2004).

Berdasarkan hasil analisis, bubur instan memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan ukuran partikel dari pati singkong sebagai bahan utama produk bubur instan. Ukuran granula pati singkong yang terlihat berdasarkan penelitian Anggi (2011), berkisar antara 30-50 µm, nilai ini relatif kecil. Pati merupakan bagian pangan yang memiliki ukuran partikel kecil apabila dibandingkan dengan pangan utuhnya, sehingga kemampuan enzim untuk mencernanya semakin mudah. Oleh karena itu, produk bubur instan ini dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat sehingga nilai indeks glikemiknya tinggi.

Menurut Liljeberg (1992) dalam Rimbawan dan Siagian (2004), struktur pangan dapat mempengaruhi respon postprandial terhadap pangan berpati. Butiran serealia, seperti gandum menghasilkan respon glukosa yang rendah, namun ketika biji gandum tersebut digiling respon glukosa dan insulin postprandial mengalami peningkatan yang bermakna. Selain itu, proses gelatinisasi pada pati yang merupakan salah satu tahapan dalam pembuatan bubur instan menyebabkan granula pati mengembang sehingga mudah dicerna dan dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat.

Selain ukuran partikel, kadar amilosa dan amilopektin juga mempengaruhi nilai indeks glikemikya. Amilosa dan amilopektin ini merupakan komponen yang terdapat dalam pati. Amilosa merupakan bagian pati yang memiliki struktur lurus sedangkan amilopektin strukturnya bercabang. Perbedaan struktur ini bisa mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan berkaitan dengan kemampuan fraksi tersebut dipecah oleh enzim pencernaan. Amilosa yang memiliki struktur lurus memungkinkan enzim pencernaan sulit untuk memecahnya sehingga lambat dicerna dan lambat dalam meningkatkan kadar glukosa darah. Berbeda dengan amilosa, struktur cabang yang dimiliki amilopektin memudahkan enzim pencernaan untuk memecahnya sehingga mudah dicerna dan dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat. Hasil analisis kadar amilosa pada bubur instan menunjukkan bahwa proporsi terbesarnya adalah amilopektin sehingga enzim mudah untuk mencerna dan memungkinkan produk bubur instan ini memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi.

Komposisi zat gizi seperti kandungan lemak dan protein juga dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pangan yang berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memiliki indeks glikemik rendah berkaitan dengan laju pengosongan lambung. Lemak dan protein dicerna lebih lama dibandingkan dengan karbohidrat sehingga laju pengosongan lambungnya lambat. Menurut Wolever dan Bolognesi (1996), ada kecenderungan bahwa protein dan lemak dalam jumlah besar mungkin mempengaruhi perbedaan respon glikemik pada pangan.

Hasil analisis kadar lemak dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semua bubur instan memiliki kadar lemak yang relatif rendah. Hal ini sesuai karena bahan baku produk bubur adalah pati yang komponen utamanya adalah karbohidrat. Kadar lemak produk bubur instan pada penelitian ini berkisar antara 0.94-2.34% bk. Jumlah lemak yang rendah diduga tidak berperan besar dalam memperlambat laju pengosongan lambung. Oleh karena itu, nilai indeks glikemik pada bubur instan tergolong tinggi. Lemak dalam jumlah tinggi saja yang diduga dapat mempengaruhi respon glukosa darah. Menurut Wolever dan Bolognesi (1996), lemak dalam jumlah besar (50 gram lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Menurut Wolever (1994) dalam Wolever dan Bolognesi (1996) penambahan 22 gram lemak pada jagung menunda peningkatan glukosa darah, tetapi secara keseluruhan tidak memiliki efek terhadap luas area respon glikemik.

42

Kadar protein pada bubur formula tepung emulsi paling tinggi dibandingkan bubur instan lainnya. Kadar protein pada bubur formula tepung emulsi yaitu 17.45% bk. Kadar protein bubur lainnya berkisar dari 0.24-0.56 %bk. Meskipun kadar protein bubur formula tepung emulsi lebih tinggi, namun selisih nilai indeks glikemiknya tidak besar dengan bubur instan lainnya. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), tidak semua pangan yang memiliki kadar protein tinggi, nilai indeks glikemiknya rendah. Oleh karena itu, kandungan protein pada bubur formula tepung emulsi tidak menyebabkan nilai indeks glikemiknya rendah. Menurut Nuttall et al. (1994) dalam Wolever dan Bolognesi (1996), konsumsi 50 gram protein pada subjek NIIDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon glukosa. Namun, pada subjek yang normal 16 gram protein saja sudah dapat mempengaruhi respon glukosa dan insulin (Spiller et al. 1987 dalam Wolever 1996).

Respon glikemik sangat bervariasi karena berbagai variasi kandungan lemak dan protein. Studi akhir-akhir ini telah menjelaskan bahwa pengaruh protein dan lemak diabaikan. Hasil penelitian indeks glikemik pada 14 jenis makanan dengan variasi kandungan lemak dan protein tidak menunjukkan korelasi yang berarti dengan kadar glukosa luas area dibawah kurva (AUC). Empat belas jenis makanan yang berbeda kandungan lemak (0-18.2 gram) dan protein (0-17.5 gram) memiliki nilai IG yang bervariasi, yaitu berkisar dari 35-100 (Wolever et al. 2006 dalam Jackson 2007). Chen et al. (2010) menyatakan bahwa protein dan lemak pada makanan yang dikonsumsi pada umumnya tidak mempengaruhi respon glikemik.

Serat pangan merupakan komponen yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan. Menurut Silalahi (2006), serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim pencernaan manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh. Kandungan serat dalam pangan akan mempengaruhi nilai indeks glikemiknya. Kandungan serat yang tinggi dapat memperlambat respon glikemik suatu bahan pangan. Menurut Nishimura et al. (1991) dalam Syadiah (2010), serat memiliki efek hipoglikemik yang bekerja dalam lima mekanisme. Mekanisme tersebut yaitu serat dapat menunda pengosongan lambung, memperlambat waktu transisi makanan di dalam lambung, memperlambat kecepatan difusi dari sakarida yang berada di bagian atas duodenum, serta serat

dapat menunda atau memperlambat waktu penyerapan dari monosakarida melewati mikrofili sel epitel jejunum dan bagian atas dari ileum.

Kelima mekanisme tersebut memiliki kaitan dengan nilai indeks glikemik pangan. Karena efek hipoglikemik tersebut maka diduga serat dapat lebih lambat dalam meningkatkan kadar glukosa darah sehingga nilai indeks glikemik pangan menjadi rendah. Hasil analisis kadar serat menunjukkan bahwa kadar serat pada bubur pati singkong, bubur pati resisten singkong 1 siklus, bubur pati resisten singkong 3 siklus, dan bubur formula tepung emulsi yaitu, 1.17% bk, 4.42% bk, 7.50% bk, dan 4.17% bk. Hasil analisis nilai indeks glikemik menunjukkan bahwa nilai indeks glikemik pada bubur pati resisten singkong 1 siklus dengan kadar serat 4.42% bk lebih rendah dibandingkan bubur pati singkong, dan bubur formula tepung emulsi yang memiliki kandungan serat lebih rendah.

Namun, berbeda dengan bubur pati resisten singkong 3 siklus. Kadar serat pangan pada bubur pati resisten singkong 3 siklus lebih tinggi namun nilai indeks glikemiknya juga paling tinggi dibandingkan dengan bubur yang lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan jenis pati yang terkandung di dalam bubur instan tersebut. Menurut Berry (1986) dalam Sajilata et al. (2006), berdasarkan kemampuan dicerna oleh enzim pati diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu RDS (Rapidly Digestible Starch), SDS (Slowly Digestible Starch), dan RS (Resistant Starch). RS dihitung sebagai total serat dikurangi dengan (RDS+SDS). Apabila dikaitkan maka total serat merupakan penjumlahan dari RS, RDS, dan SDS. Berdasarkan perhitungan tersebut, diduga bahwa jenis pati pada bubur instan tersebut proporsi terbesarnya jenis RDS, sehingga cepat dicerna, cepat dalam meningkatkan kadar glukosa darah dan memungkinkan nilai indeks glikemiknya tinggi. Kecepatan RDS dicerna oleh enzim menjadi bentuk molekul glukosa dalam waktu 20 menit.

Selain faktor-faktor tersebut, pengolahan pati menjadi pati resisten mampu mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan. Pengolahan pati menjadi pati resisten merupakan salah satu cara untuk menurunkan nilai indeks glikemik pangan. Pati resisten ini merupakan bagian dari pati yang tidak dapat dicerna, lambat dalam meningkatkan kadar glukosa darah sehingga nilai indeks glikemiknya rendah. Merendino dan Jibrin (2009) mendefinisikan pati resisten sebagai sejumlah serat dan produk hasil degradasinya yang tidak dapat diserap di usus halus pada individu yang sehat. Kadar pati resisten ini memiliki keterkaitan dengan daya cerna patinya. Menurut Sugiyono et al. (2009), pangan

44

yang memiliki kadar pati resisten tinggi cenderung memiliki daya cerna pati yang rendah. Hasil penelitian Sugiyono et al. (2009), menunjukkan bahwa pati modifikasi (pati resisten) pati garut yang mendapatkan perlakuan 5 siklus dengan waktu pemanasan 15 menit memiliki kandungan pati resisten sebesar 12.15% bk, daya cerna patinya relatif menjadi rendah yaitu 28.35% bk. Daya cerna pati ini juga berhubungan dengan nilai indeks glikemiknya. Menurut Sugiyono et al. (2009), pangan yang memiliki daya cerna pati rendah diduga memiliki nilai indeks glikemik yang rendah.

Terdapat tiga jenis bubur instan berbahan dasar pati resisten singkong yang dianalisis nilai indeks glikemiknya dalam penelitian ini. Selain bubur pati resisten, dibuat juga bubur instan yang berbahan dasar pati singkong, hal ini dilakukan untuk melihat apakah proses pengolahan pati singkong menjadi pati resisten singkong dapat menurunkan nilai indeks glikemiknya. Hasil analisis nilai indeks glikemik bubur menunjukkan bahwa bubur pati singkong yang memiliki kadar pati resisten paling rendah, nilai indeks glikemiknya paling tinggi apabila dibandingkan dengan bubur pati resisten singkong 1 siklus maupun bubur formula tepung emulsi.

Begitu juga dengan hasil analisis daya cerna patinya, daya cerna bubur pati singkong lebih besar dibandingkan dengan bubur pati resisten singkong 1 siklus maupun bubur formula tepung emulsi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar pati resisten dapat menurunkan daya cerna patinya. Namun, berbeda dengan bubur pati resisten singkong 3 siklus. Meskipun kadar pati resistennya lebih tinggi dan daya cerna patinya lebih rendah, nilai indeks glikemik bubur pati resisten singkong 3 siklus paling tinggi dibandingkan dengan bubur lainnya.

Hasil penelitian yang mengukur hubungan antara nilai indeks glikemik dengan kandungan pati resistennya disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 6 Hubungan antara indeks glikemik pada beberapa makanan dengan kandungan pati resistennya

Food Glycemic index

(glucose= 100) RS content (% of total starch) Potato 70-98 7 Corn flakes 80 4 Rice 70 1 Bread 69 1 Banana 62 76 Spaghetti 50 6 Legumes 29-40 3-15

Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat variasi nilai indeks glikemik pangan dengan kandungan pati resisten yang berbeda. Berdasarkan hasil tersebut nilai indeks glikemik pada legumes termasuk kategori IG rendah dengan kadar pati resisten berkisar dari 3-15%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada pangan jenis legum dengan kadar pati resisten mencapai 15% yang memiliki nilai indeks glikemik rendah. Kentang yang mengandung kadar pati resisten 7% memiliki nilai indeks glikemik tinggi, nilainya bervariasi dari 70-98. Apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, memungkinkan nilai indeks bubur instan termasuk tinggi karena kadar pati resisten yang terkandung berada pada kisaran 4.46-8.00% bk yang hampir mirip dengan kentang.

Pati singkong diduga memiliki karakteristik yang sama dengan pati kentang. Scoch dan Maywald (1968) dalam Noor (2008), mengelompokan pati berdasarkan profil gelatinisasinya menjadi empat jenis, yaitu tipe A, B, C, dan D. Pati kentang dan tapioka (pati singkong) termasuk pati dengan profil gelatinisasi A, dimana sifatnya memiliki kemampuan mengembang yang tinggi. Sifat pati inilah yang diduga mempengaruhi nilai indeks glikemiknya. Pati yang memiliki kemampuan mengembang tinggi apabila digelatinisasi maka granulanya akan mengembang lebih besar sehingga molekul pati akan lebih mudah dicerna enzim pencernaan dan cepat dalam meningkatkan kadar glukosa darah. Oleh karena itu, memungkinkan nilai indeks glikemik pada bubur tergolong tinggi.

Perbandingan amilosa dan amilopektin dapat mempengaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan. Kadar amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten yang dihasilkan. Hasil penelitian Pratiwi (2008), menunjukkan bahwa kadar pati resisten pada Novelose 330 (pati resisten tipe 3 komersial) cukup tinggi yaitu 20.80% bk, hal ini dimungkinkan terjadi karena kadar amilosa pada Novelose 330 tinggi (32.50% bk).

Berikut ini kandungan amilosa dan amilopektin beberapa pati (pati garut, pati kentang, dan pati singkong):

Tabel 7 Kandungan amilosa dan amilopektin pati garut, pati kentang, dan pati singkong

Pati garut a Pati kentang b Pati singkong (Tapioka) c

Kadar amilosa 29.67-31.34 (%bk) 21.00% 20.12 (%bk), 17.10 (%bb)

Kadar

amilopektin 55.81-69.16 (%bk) - 71.03 (%bk), 60.33 (%bb)

Sumber: a Mariati (2001)

b Elliasson (1996) dalam Herawati (2010)

c

46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kadar amilosa pati garut lebih tinggi dibandingkan dengan pati kentang maupun pati singkong. Menurut Juliano (1980) dalam Mariati (2001), kadar amilosa pada pati garut dapat digolongkan kadar amilosa tinggi (high amilose). Berbeda dengan pati kentang dan pati singkong, kadar amilosanya lebih rendah dibandingkan pati garut. Kandungan amilopektin pada pati singkong lebih besar dibandingkan amilosanya sehingga kemungkinan untuk terjadinya pembentukan kembali ikatan yang kompak antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin (retrogradasi) menjadi kecil sehingga kadar pati resisten yang dihasilkan lebih rendah.

Kekurangsesuaian hasil yang diperoleh, terutama mengenai kaitan kandungan pati resisten dengan nilai indeks glikemik diduga berkaitan dengan sifat kekuatan ikatan hidrogen yang terjadi selama proses retrogradasi pada pembuatan pati resisten. Suhu yang dicapai pada proses pendinginan saat pembuatan pati resisten hanya mencapai 8ºC, suhu dapat dicapai 4ºC hanya pada bagian atas pati saat pembuatan pati resisten singkong 3 siklus, sedangkan pada penelitian Sugiyono et al. (2009) suhu saat proses pendinginan mencapai 4ºC.

Menurut Faraj et al. (2004) dalam Herawati (2010), kombinasi perlakuan pada pembuatan pati resisten dengan cara penyimpanan pada suhu 4°C selama 24 jam sebelum pengeringan dapat meningkatkan kadar pati resisten tipe 3. Perbedaan kondisi ini diduga yang menyebabkan sifat kekuatan dari ikatan kompak antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin atau amilopektin- amilopektin menjadi kurang kuat sehingga mudah dipecah oleh enzim pencernaan, oleh karena itu bisa cepat dalam meningkatkan kadar glukosa darah sehingga nilai indeks glikemiknya tinggi.

Perbedaan nilai indeks glikemik bubur instan pada penelitian ini diduga berkaitan dengan perbedaan respon fisiologis masing-masing subjek penelitian. Menurut Argasasmita (2008), nilai indeks glikemik suatu bahan makanan merupakan sesuatu yang unik. Nilai indeks glikemik tidak dapat diprediksi hanya berdasarkan komposisi kimia bahan-bahan yang terkandung di dalamnya saja karena nilai indeks glikemik juga dipengaruhi oleh respon fisiologis masing- masing individu.

Hasil analisis kadar air bubur yang tertinggi yaitu pada bubur pati singkong (9.64% bk), sedangkan yang terendah yaitu pada bubur pati resisten singkong 3 siklus (6.97% bk). Bubur formula tepung emulsi memiliki kadar abu tertinggi (1.98% bk), sedangkan kadar abu terendah yaitu pada bubur pati resisten singkong 3 siklus (0.79% bk). Bubur formula tepung emulsi memiliki kadar lemak tertinggi (2.34% bk), sedangkan bubur pati singkong memiliki kadar lemak yang terendah (0.94% bk). Hasil analisis kadar protein yang tertinggi yaitu pada bubur formula tepung emulsi (17.45% bk), sedangkan yang terendah yaitu pada bubur pati singkong (0.24% bk).

Kadar karbohidrat by difference tertinggi yaitu pada bubur pati singkong (97.25% bk), sedangkan yang terendah pada bubur formula tepung emulsi (80.57% bk). Bubur pati singkong memiliki kadar total pati tertinggi (85.44% bk), sedangkan bubur formula tepung emulsi memiliki kadar total pati terendah (44.7% bk). Kadar amilosa tertinggi yaitu pada bubur pati resisten singkong 3 siklus (25.25% bk), sedangkan yang terendah pada bubur formula tepung emulsi (11.33% bk). Kadar amilopektin tertinggi yaitu pada bubur pati singkong (60.64% bk), sedangkan yang terendah yaitu bubur formula tepung emulsi (33.32% bk).

Hasil analisis kadar serat total yang tertinggi yaitu pada bubur pati resisten singkong 3 siklus (7.50% bk), sedangkan yang terendah pada bubur pati singkong (1.17% bk). Bubur pati resisten singkong 3 siklus memiliki kadar pati resisten tertinggi (8.00% bk), sedangkan bubur pati singkong memiliki kadar pati resisten terendah(4.46% bk). Daya cerna pati bubur yang tertinggi yaitu pada bubur pati singkong (83.76% bk), sedangkan yang terendah pada bubur pati resisten singkong 3 siklus (76.63% bk). Pengolahan pati singkong menjadi pati resisten singkong dapat meningkatkan kadar pati resisten, dan menurunkan daya cerna patinya.

Nilai indeks glikemik keempat bubur instan tergolong tinggi. Nilai indeks glikemik bubur pati singkong, bubur pati resisten singkong 1 siklus, bubur pati resisten singkong 3 siklus, dan bubur formula tepung emulsi, yaitu 97.74, 93.69, 106.09, dan 93.96. Proses pengolahan pati singkong menjadi pati resisten singkong dapat menurunkan nilai indeks glikemiknya pada bubur pati resisten singkong 1 siklus dan bubur formula tepung emulsi. Namun, hasil uji statistik

48

menunjukkan bahwa pembuatan pati resisten tidak mempengaruhi nilai indeks glikemiknya (p>0.05).

Saran

Perlu ada penelitian lanjut untuk melakukan proses pengolahan pati singkong yang menghasilkan pati resisten singkong yang lebih tinggi sehingga pengaruh modifikasi pati singkong terhadap daya cerna dan nilai indeks glikemik dapat dipelajari secara jelas. Kondisi perlakuan dari setiap siklus sebaiknya seragam baik dari waktu pemanasan maupun penyimpanan agar dapat diketahui dengan pasti bagaimana pengaruhnya terhadap kadar pati resisten yang dihasilkan.

singkong (manihot esculenta crantz) [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

[AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of the Association AnalyticalChemist. Inc., Washington D.C. [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 2006. Official Methods of

Analysis of the Association Analytical Chemist. Inc., Washington D.C. Apriyantono A, Fardiaz D, Nilen P, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk

Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press.

Argasasmita TU. 2008. Karakteristik sifat fisikokimia dan indeks glikemik varietas beras beramilosa rendah dan tinggi [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bekkum HV, Roper H, Voragen F. 1994. Carbohydrates as Organic Raw Materials III. New York: VCH Verlagsgesellschaft mbH, Weinheint (Federal Republic of Germany), VCH Publisher Inc, New York.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Singkong solusi bangsa. www.bps.go.id. [17 Oktober 2010].

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1994. SNI Tapioka. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Brouns et al. 2005. Glycemic index methodology. Nutrition Research Reviews Vol 18: 145-171.

Chan HT,JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc, New York and Bassel.

Chen YJ, Sun FH, Wong SH, Huang YJ. 2010. Glycemic index and glycemic load of selected chinese traditional foods. World journal gastroenterology Vol. 16(12): 1512-1517.

Cui SW. 2005. Food Carbohydrat Chemistry, Physical Propertis, and Application. Boca Raton, London, New York, Singapore: CRC Press.

Faridah DN et al. 2010. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Furia TE. 1968. Handbook of Food Additives. The Chemical Rubber Co Ohaio. Hall J. 2006. Diet Pantang Karbohidrat Setelah Jam 5 Sore. Jakarta: Gramedia

50

Harmayani E. 2008. Resistant starch?mengapa dilirik. http://www.foodreview.biz [20 September 2011].

Hendy. 2007. Formulasi bubur instan berbasis singkong (Manihot esculenta crantz) sebagai pangan pokok alternatif [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Herawati H. 2010. Potensi pengembangan produk pati tahan cerna sebagai pangan fungsional. Jurnal Litbang Pertanian Vol.30 (1).

Jackson AC. 2007. Glycemic response to fast and slow digestible carbohydrate in high and low aerobic. faculty of [thesis]. the College of Health and Human Services of Ohio University Fitness Men.

Kim, SK, JE, Kwak, WK Kim. 2003. A simple method for estimation of enzyme- resistant starch content Vol. 55: 336-368.

Koswara S .1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Krause’s. 2004. Food Nutrition and Diet Therapy. Elsevier: USA.

Lehmann U, Jacobasch G, Schmiedl D. 2003. Characterization of resistant starch