• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman singkong termasuk tanaman tropis yang berasal dari Brazil (Amerika Selatan). Di Indonesia singkong memiliki peranan penting sebagai makanan pokok ke-3 setelah padi dan jagung. Peranan singkong menjadi semakin besar berkaitan dengan daya gunanya di bidang industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar, tidak terbatas pada industri dalam negeri, tetapi juga di negara lain sebagai komoditas ekspor andalan. Singkong merupakan tanaman multiguna yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, makanan ternak, dan sebagai bahan baku berbagai macam industri (Suprapti 2005).

Berikut ini sistematika (taksonomi) tanaman singkong: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdisivio : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot

Species : Manihot esculenta crantz sin dan Manihot utilisima

Gambar 1 Singkong

Sumber: www.badanpusatstatistik.co.id

Singkong/ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, yaitu ketela pohon, ubi jenderal, ubi inggris, telo puhung, kasape, bodin, telo jenderal (Jawa), sampeu, huwi dang deur, hui jenderal (Sunda), kasbek (Ambon), dan ubi perancis (Padang). Umbi singkong berbentuk akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung cadangan makanan. Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas: kulit luar tipis (ari) berwarna kecoklatan (kering); kulit dalam agak tebal berwarna keputihan (basah); dan daging

berwarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang mengandung sianida dengan kadar yang berbeda-beda. Tanaman yang dikembangkan di Indonesia terdiri dari berbagai jenis/varietas, dengan keunggulan masing-masing. Ada 7 jenis varietas unggul singkong yang digunakan untuk membuat tepung yaitu Adira I, Adira II, Malang I, Malang II, Basiorao, Bogor, dan Mangi (Suprapti 2005). Berikut ini kandungan gizi pada umbi singkong:

Tabel 1 Kandungan gizi singkong

No. Komponen Gizi Kadar per 100 g Bahan

1. Energi 146 Kal 2. Karbohidrat 34.7 g 3. Protein 1.2 g 4. Lemak 0.3 g 5. Mineral 1.3 g 6. Zat Besi 0.0007 mg 7. Kalsium 0.003 mg 8. Fosfor 0.004 mg 9. Vitamin C 0.003 mg 10. Vitamin B 0.006 mg 11. Air 62.5 g

Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan (2007) Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 1992). Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati itu sendiri. Proses utama pemisahan pati dari ubi-ubian melalui ekstraksi terdiri dari perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintergrasi dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Liu 2005 dalam Cui 2005).

Amilosa

Menurut Winarno (1992), amilosa merupakan fraksi pati yang terlarut.

Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-1,4-D-glukosa. Molekul amilosa memiliki sifat hidrofilik yang memiliki afinitas air tinggi. Sifat ini menyebabkan amilosa pati dapat semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Namun, jika afinitas air menurun menyebabkan ukuran pati membesar maksimum dimana presipitasi terjadi pada konsentrasi yang rendah dan pembentukan gel pada konsentrasi yang lebih rendah. Bentuk gel secara 3 dimensi merupakan ikatan hidrogen yang saling terhubung. Hubungan antara

6

molekul amilosa tersebut disebut retrogradasi. Molekul amilosa yang tidak bercabang memiliki sifat kuat dan fleksibel (Furia 1968).

Amilopektin

Menurut Furia (1968), amilopektin merupakan polimer pati selain amilosa yang memiliki struktur bercabang. Amilopektin merupakan polimer terbesar dari pati. Setiap cabang mengandung 15-25 anhidroglukosa yang saling terhubung dengan ikatan 1,4-α-glikosidik. Bagian cabang amilopektin pati dihubungkan dengan rantai karbon 1 dan berakhir di rantai karbon 6. Ukuran dan cabang amilopektin pati mempengaruhi mobilitas molekul dan cenderung menjadi kuat dengan adanya ikatan hidrogen yang dapat teretrogradasi. Molekul amilopektin yang bercabang menyebabkan molekul ini tidak sekuat dan sefleksibel amilosa pati.

Pati Singkong

Ubi singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai komponen utamanya. Kandungan pati dalam singkong (% basis kering) adalah 90 (Liu 2005 dalam Cui 2005). Kandungan pati dalam singkong menurut Winarno (1992) adalah 34.6%. Menurut Wahyu (2009), singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman 1950 dalam Chan 1983). Kandungan total pati pada pati singkong (tapioka merk X) yaitu 91.15% bk. Kadar amilosa dan amilopektin pada pati singkong yaitu 20.12% bk dan 71.03% bk (Anggi 2011). Pati tapioka merupakan granula berwarna putih dengan ukuran diameter yang bervariasi dari 4-35 µm dan rata- rata 20 µm.

Gambar 2 Granula pati singkong Sumber: Niba 2006 dalam Wahyu 2009

Modifikasi Pati Secara Fisik

Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor yaitu suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Apabila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, parboiling, steam- cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrothermal treatment, dan autoclaving. Sebagian besar metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006).

Perlakuan fisik lainnya adalah metode autoclaving. Menurut Sajilata et al. (2006), perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving dapat meningkatkan produksi pati resisten sampai 9%. Metode autoclaving dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1:3.5 atau 1:5, kemudian dipanaskan dengan pemanasan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Meningkatkan kadar pati resisten dapat dilakukan dengan menggunakan pengulangan siklus. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-colling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008 dalam Sugiyono et al. 2009).

Pati Resisten

Pada tahun 1992, para peneliti di Eropa melakukan kesepakatan dalam mendefinisikan Resistant starch (RS) sebagai sejumlah serat dan produk hasil degradasinya yang tidak dapat diserap di usus halus pada individu yang sehat (Merendino & Jibrin 2009). Pati resisten dibagi menjadi empat golongan yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 merupakan pati yang resisten secara fisik karena enkapsulasi dalam matriks alaminya seperti dalam biji-bijian yang tidak digiling sempurna. RS2 merupakan pati dengan bentuk granular tertentu dan secara alami lebih resisten terhadap pencernaan enzim, seperti yang ditemukan pada pisang yang belum matang dan pada pati kentang mentah. RS3 merupakan fraksi pati yang paling resisten, terutama berupa amilosa teretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi. RS3 benar-benar resisten terhadap reaksi pencernaan enzim amilase pankreas. RS4 adalah pati resisten

8

seperti dengan garam trimetafosfat yang membentuk jembatan ester fosfat di antara dua molekul pati (Sajilata et al. 2006).

Pati resisten (Resistant starch atau RS) pati juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA). Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan serat pangan konvensional. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan sebagai bagian dari serat pangan (Satriawan 2010). Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006). Penggantian 5.4% total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga mengindikasikan peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang (Higgins et al. 2004 dalam Ma’rifah 2008).

Pati Resisten dan Aplikasinya dalam Produk Pangan

Pati resisten (RS) mempunyai sifat fisikokimia yang dikehendaki seperti penggelembungan (sweeling), peningkatan viskositas, pembentukan gel, dan kemampuan mengikat air sehingga dapat diaplikasikan untuk berbagai macam produk pangan (Zaragoza et al. 2010). Pati resisten dapat digunakan pada pembuatan roti tawar untuk fortifikasi serat pangan. Fortifikasi dengan RS dapat memperbaiki sifat yang kurang menguntungkan dari roti dengan kandungan serat tinggi seperti warna yang gelap, penurunan tingkat pengembangan, mouthfeel yang kurang enak, RS juga dapat ditambahkan untuk memodifikasi tekstur pada pembuatan cake, muffins atau brownies. Selain itu, RS dapat digunakan untuk meningkatkan kerenyahan (crispness) permukaan produk pangan yang diolah menggunakan suhu tinggi seperti waffles dan toasts. Selain perbaikan tekstur, RS dilaporkan dapat meningkatkan ekspansi produk pangan ekstrusi seperti snack dan sereal (Sajilata et al. 2006).

Bahan yang kaya RS atau RS yang sudah diisolasi dapat dijadikan sebagai ingridien untuk memperbaiki sifat fisikokimia dan meningkatkan nilai gizi produk-produk pangan. Bahan pangan yang kaya akan RS diperlukan untuk memberikan karakter fisik yang baik pada makanan seperti tekstur, kapasitas penyerapan air, dan lain-lain. Pati resisten tipe III (RS3) mempunyai sifat yang

sangat menarik karena RS3 stabil terhadap panas. RS3 juga stabil pada proses pengolahan pangan yang biasa dilakukan sehingga memungkinkan digunakan sebagai bahan (ingridien) pada bermacam-macam makanan konvensional. Pangan yang kaya RS dan RS murni dapat digunakan sebagai bahan prebiotik untuk memperkaya gizi dan sifat fungsional suatu produk pangan maupun minuman. Penambahan RS dapat memperbaiki kualitas produk pangan seperti pengembangan, kerenyahan, warna, flavour, dan mouthfeel dibandingkan dengan serat tak larut konvensional sehingga meningkatkan penerimaan konsumen (Harmayani 2008).

Serat Pangan

Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim pencernaan manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh. Oleh karena itu, kebanyakan serat pangan akan menjadi substrat bagi fermentasi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Serat pangan yang larut dalam air sangat mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lipida. Sementara, serat pangan yang tidak larut, seperti selulosa (bahan dasar dalam kapas), berperan untuk memperbesar volume feses dan mengurangi waktu transitnya di dalam kolon (bersifat laksatif lemah) (Silalahi 2006).

Pencernaan Karbohidrat

Polisakarida dan disakarida dalam makanan diubah menjadi monosakarida oleh enzim (glikosidase) yang menghidrolisis ikatan glikosida antara gula-gula. Enzim ini memperlihatkan sedikit spesifikasi terhadap gula,

ikatan glikosidat (α atau β), dan jumlah unit sakarida dalam rantai tersebut. Monosakarida dipindahkan menembus sel mukosa usus masuk ke dalam cairan interstisium dan selanjutnya masuk ke dalam darah (Mark et al. 2000).

Perubahan amilosa dan amilopektin menjadi glukosa berawal di dalam mulut. Kelenjar liur mensekresikan sekitar 1 liter cairan per hari yang

mengandung musin air liur dan α-amilase liur. Musin liur adalah suatu glikoprotein licin yang penting untuk melumas (lubrikasi) dan menyebarkan

(dispersi) polisakarida. Enzim α-amilase secara acak menghidrolisis ikatan α-1,4 internal antara residu glukosil dalam amilopektin, amilosa, dan glikogen, mengubah polisakarida yang berukuran besar menjadi lebih kecil yang disebut dekstrin (Mark et al. 2000).

10

Proses pencernaan berlanjut sewaktu makanan berpindah dari lambung ke dalam bagian atas usus halus (duodenum). Sekresi pankreas eksokrin (sekitar 1,5 liter per hari) mengandung ion bikarbonat (HCO3- ), yang menetralkan asam

(HCl) dari lambung. Sekresi tersebut juga mengandung α-amilase pankreas, yang terus menghidrolisis ikatan α-1,4 dalam pati. Hasil dari proses ini adalah

disakarida yang mengandung unit glukosil yang dihubungkan dengan ikatan α-

1,4 (maltosa) dan ikatan α-1,6 (isomaltase), dan oligosakarida (dekstrin terbatas) yang mengandung 3-8 residu glukosil, termasuk ikatan cabang α-1,6. Perubahan disakarida dan oligosakarida dalam makanan yang terbentuk dari kanji menjadi monosakarida dilakukan oleh glikosidase di membran brush-border sel absortif dalam vili usus (Mark et al. 2000).

Daya Cerna Pati

Daya cerna adalah bagian dari pangan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan menjadi feses. Daya cerna pati juga menggambarkan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Daya cerna pati membuat bahan baku sumber karbohidrat mempunyai nilai daya cerna karbohidrat yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan pangannya dan bukan hanya oleh rasio amilosa- amilopektin yang menyusun pati bahan dasarnya. Beberapa faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada waktu pengolahan, interaksi antara pati dengan komponen non pati, dan jumlah resistant starch yang terdapat dalam pati (Prangdimurti et al. 2007).

Menurut Berry (1986) dalam Sajilata et al. (2006), berdasarkan kemampuan dicerna oleh enzim pati diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu RDS (Rapidly Digestible Starch), SDS (Slowly Digestible Starch), dan RS (Resistant Starch) RDS terutama terdiri dari bentuk yang amorf dan ditemukan dalam jumlah banyak pada pangan berpati yang dipanaskan seperti roti dan kentang. Seperti halnya RDS, SDS diharapkan dicerna secara komplit dalam usus halus, tetapi satu alasan yang membedakannya yaitu dicerna lebih lambat.

RS merupakan fraksi pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim α-amilase. Indeks Glikemik Pangan

Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Indeks glikemik pangan menggunakan indeks glikemik glukosa murni sebagai pembandingnya (IG glukosa murni adalah 100). IG merupakan suatu cara penatalaksanaan diet bagi penderita diabetes mellitus,

orang yang sedang berupaya menurunkan berat badan dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004). Indeks ini merupakan ukuran seberapa banyak kenaikan kadar glukosa darah seseorang dalam dua atau tiga jam sesudah makan. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki IG tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi, dan mudah dicerna. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti 2008).

Berdasarkan respon indeks glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan ber-IG rendah (IG<55), IG sedang (IG: 55–70), dan IG tinggi (IG>70). Indeks glikemik pertama-tama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins (Profesor Gizi Universitas Toronto, Kanada) untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan karbohidrat dengan kuantitas yang sama akan menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).

Indeks Glikemik Singkong

Singkong adalah salah satu sumber karbohidrat dan seringkali digunakan sebagai makanan pokok. Dilihat dari pemanfaatannya dalam skala besar, ubi kayu umumnya diolah menjadi tapioka dan gaplek. Rendemen yang diperoleh adalah 20-30% tapioka dan onggok sekitar 10%. Produk lain dari ubi kayu dalam skala kecil adalah pangan tradisional seperti tiwul dan gatot. Di beberapa daerah produk ini sudah dibuat instan atas binaan industri pangan dan peran pemerintah. Bentuk olahan lainnya adalah kerupuk dan berbagai camilan. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung singkong relatif mudah dan dapat ditangani oleh kelompok tani. Rendemen yang diperoleh berkisar 27-30% (Prabawati 2005 dalam Hall 2006). Menurut Waspadji et al. (2003) singkong memiliki nilai IG 94.46.

Kadar Glukosa Darah dan Mekanisme Pengaturannya

Menurut Krause’s (2004), kadar glukosa darah di dalam tubuh harus

dipertahankan pada batas normal yaitu 70-100 mg/dL untuk menyediakan energi bagi otak, saraf pusat, dan sel lainnya yang membutuhkan glukosa. Jika glukosa dalam darah meningkat secara kronis dari normalnya akan merusak sel dan sistemnya. Piliang dan Djojosoebagio (2006) menyebutkan bahwa kadar gula dalam darah diatur oleh beberapa mekanisme. Dalam keadaan puasa, yaitu

12

sebelum makan pagi, atau sekurang-kurangnya 12 jam sesudah makan, konsentrasi gula normal berada dalam kisaran 70-100 mg/dL. Kadar gula dalam darah akan meningkat apabila mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat mencapai kira-kira 140 mg/dL dan akan turun kembali mencapai kadar gula normal setelah 1 atau 2 jam setelah makan. Kadar gula darah 70-100 mg/dL (dalam keadaan puasa) disebut normoglycemia (yaitu kadar gula normal dalam darah).

Insulin merupakan hormon yang mengatur proses anabolisme, dimana akan bertanggungjawab mengatur cadangan energi bagi tubuh. Insulin diproduksi oleh sel β pankreas. Insulin dikeluarkan ke dalam pembuluh darah sebagai respon adanya peningkatan kadar glukosa darah setelah makan (postprandial). Insulin dalam hati memfasilitasi oksidasi glukosa dan mensintesis glikogen. Glukagon merupakan hormon yang disekresikan oleh sel α pankreas. Hormon ini dalam hati menstimulasi pemecahan glikogen menjadi glukosa untuk mempertahankan kadarnya dalam darah. Jika tidak ada insulin maka glukagon akan menghambat oksidasi glukosa di hati dan meningkatkan glukoneogenesis sehingga glukosa dalam darah bisa menjadi normal (Krause’s 2004).

Bubur Instan

Istilah bubur instan lebih dikenal dengan sebutan pure (asal kata dari bahasa Inggris yakni puree). Pengertian pure berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) adalah pangan atau bahan pangan yang dilembutkan. Bubur termasuk salah satu bentuk olahan pangan yang mudah dikonsumsi masyarakat. Bubur instan merupakan bubur yang telah mengalami proses pengolahan lebih lanjut sehingga dalam penyajiannya tidak diperlukan proses pemasakan. Penyajian bubur instan dapat dilakukan hanya dengan menambahkan air panas ataupun susu, sesuai dengan selera (Fellows & Ellis1992 dalam Hendy 2007).

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu dimulai pada bulan Februari sampai dengan bulan Juli 2011 di Kampus IPB, Darmaga, Bogor. Kegiatan pembuatan pati resisten singkong dilakukan di Laboratorium SEAFAST CENTRE IPB. Adapun pembuatan bubur instan, analisis komposisi zat gizi, serat pangan, total pati, amilosa dan amilopektin, kadar pati resisten, daya cerna pati in vitro, serta pengukuran respon glukosa darah dilakukan di beberapa laboratorium, di lingkungan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, yaitu Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Analisis Zat Gizi, serta Teaching Cafetaria.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan untuk membuat pati resisten, bubur instan, bahan untuk analisis komposisi zat gizi, serat pangan, total pati, amilosa dan amilopektin, kadar pati resisten, serta daya cerna pati in vitro bubur instan, dan bahan untuk pengujian nilai indeks glikemik bubur instan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan pati resisten adalah pati singkong komersial merek X (kandungan total pati 91.15% bk). Bahan yang digunakan dalam pembuatan bubur instan diantaranya adalah pati singkong komersial merek X, pati resisten singkong, sukralosa, garam, dan flavor melon. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis terdiri dari aquades, selenium mix, asam borat, buffer fosfat 0.08 pH 6 dan pH 7, asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), etanol 95% dan etanol 78%, enzim amilase, enzim amiloglukosidase, enzim termamyl, enzim protease, pepsin, larutan iod, asetat, amilosa murni, larutan dinitrosalisilat (DNS), natrium hidroksida (NaOH), indikator metil merah biru, aseton, kertas saring Whitman 40, kertas Holles, kanji, larutan tio sulfat, dan larutan Luff Schroll. Bahan yang digunakan untuk pengujian respon glukosa darah yaitu glukosa murni.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan untuk membuat pati resisten singkong, bubur instan, peralatan untuk analisis komposisi zat gizi, serat pangan, total pati, amilosa dan amilopektin, kadar pati resisten, serta daya cerna pati in vitro bubur instan, dan alat untuk mengukur respon glukosa darah subjek. Alat yang digunakan untuk membuat pati resisten terdiri dari baskom alumunium, loyang, pemanas, autoklaf, drum dryer, dan refrigerator. Beberapa alat yang digunakan untuk analisis komposisi zat gizi, serat pangan,

14

total pati, amilosa dan amilopektin, kadar pati resisten, dan daya cerna pati in vitro bubur instan diantaranya timbangan, cawan alumunium, cawan porselen, gelas piala, gelas arloji, tabung reaksi, pipet volumetri, pipet mohr, pipet mikro, gelas ukur, labu erlenmeyer, labu kjedahl, labu lemak, buret, desikator, tanur, soxhlet, dan spektrofotometer UV-VIS. Alat yang digunakan untuk pembuatan bubur instan yaitu plastik berukuran 5 kg. Alat yang digunakan untuk mengukur respon glukosa darah subjek yaitu Glukometer One Touch Ultra, kapas swab, dan lanset.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yang dilakukan yaitu pembuatan pati resisten singkong, pembuatan bubur instan pati singkong dan pati resisten singkong, serta analisis komposisi zat gizi, serat pangan, total pati, amilosa dan amilopektin, kadar pati resisten, serta daya cerna pati in vitro bubur instan. Penelitian utama yaitu pengukuran nilai indeks glikemik bubur instan.

Pembuatan Pati Resisten Singkong (Modifikasi Lehnman 2003)

Berbeda dengan Lehnman (2003) yang menggunakan suhu penyimpanan 4ºC selama 24 jam setelah proses menggunakan autoklaf, pada penelitian ini suhu penyimpanan yang digunakan adalah 8ºC selama 72 jam (pembuatan pati resisten 1 siklus) dan suhu 4-7ºC selama 24 jam (pembuatan pati resisten 3 siklus). Hal ini menyesuaikan dengan kondisi peralatan yang tersedia di laboratorium.

a. Pembuatan Pati Resisten Singkong 1 Siklus

Pembuatan pati resisten menggunakan autoclaving-cooling, yaitu perlakuan pemanasan suhu tinggi dan pendinginan. Pembuatan pati resisten dalam penelitian ini yaitu dilakukan 1 siklus dan 3 siklus. Sampel pati disuspensikan dalam air (20% b/v), kemudian dipanaskan sampai homogen dan mengental pada suhu 70-80ºC. Selanjutnya, proses autoklaf selama 30 menit dengan suhu 121ºC, didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam. Selanjutnya penyimpanan pada suhu 8ºC selama 72 jam dan dikeringkan dengan drum dryer T=80ºC, 6 rpm, kemudian digiling dan diayak 60 mesh. Diagram alir proses pembuatan pati resisten pati singkong disajikan pada Gambar 3:

Gambar 3 Pembuatan pati resisten singkong 1 siklus b. Pembuatan Pati Resisten 3 Siklus

Sampel pati disuspensikan dalam air (20% b/v), kemudian dipanaskan sampai homogen dan mengental pada suhu 70-80ºC. Selanjutnya, proses autoklaf selama 15 menit dengan suhu 121ºC, didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam. Penyimpanan pada suhu 4ºC selama 24 jam dan dikeringkan dengan drum dryer T=80ºC, 6 rpm, kemudian digiling dan diayak 60 mesh. Proses pemanasan dengan autoklaf dan pendinginan pada 4ºC diulangi sebanyak 2 kali. Setelah itu dikeringkan, digiling, dan diayak 60 mesh. Diagram alir proses pembuatan pati resisten pati singkong 3 siklus disajikan pada Gambar 4:

Pati Singkong

Disuspensikan dalam air (20% b/v)

Dipanaskan sampai homogen dan mengental (70-80ºC)

Diautoklaf selama 30 menit, suhu 121ºC