• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sessi Pertama

3. Kwan Hwie Liong (Yayasan Paramita)

Sebetulnya tendensi penetapan bunga bank yang tinggi dalam penyaluran kredit saat ini masih harus dipertanyakan. Suku bunga KUK sekarang ini saja mencapai 2 % diatas suku bunga komersial, misalnya suku bunga komersial sebesar 19% maka suku bunga untuk KUK adalah 21%. Sebenarnya kecenderungan bunga untuk housing credit sama di setiap negara, tidak hanya di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kelangsungan hidup small bilder tergantung saving dan loan. Dalam kaitannya dengan bank, small bilder diberi kredit berdasarkan project by project. Artinya ialah jika suatu proyek selesai maka dia harus mengajukan proposal baru. Sedangkan untuk perusahaan besar ada tendensi ke arah revolving. Misalnya seorang pengusaha diberi suatu kredit yang sangat besar, maka bila dia tidak sanggup mengembalikan kredit seluruhnya, pihak bank masih tetap dapat menarik dana tersebut meskipun dalam bentuk lain. Tendensi kepercayaan semacam ini masih banyak dilakukan oleh semua bank di dunia termasuk USA yang notabene banking deregulation-nya ketat. Di Indonesia jumlah 2% itu sangat wajar karena untuk risk factor dialokasikan sebesar itu, sebanding dengan default-nya yang mencapai nilai 2%. Di sini dapat dilihat bahwa mereka sudah mulai berpikir, meskipun pemerintah hanya mengalokasikan sebesar 20% dari total dana yang dimiliki oleh bank tersebut. Ternyata di sini momentum pemerintah sangat baik untuk memaksa bank-bank tersebut menyadari bahwa usaha kecil juga mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Untuk memecahkan dilema ini tentu saja bukan hanya merupakan tanggung jawab pihak bank, melainkan tanggung jawab kita bersama.

Ketergantungan terhadap jaminan ataupun prosedur administrasi dan menekankan pada adanya izin-izin formal seperti TJP, NPWP, dsb membuat pemberdayaan kredit kecil semakin sulit. Apalagi kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa biaya prosedural tersebut seringkali melonjak dari harga yang sudah ditetapkan di atas kertas. Sebetulnya jaminan terpenting itu adalah jaminan immaterial, yaitu kepercayaan. Akan tetapi karena untuk mendapatkan kepercayaan tanpa jaminan material itu masih sangat sulit --walaupun kecenderungan ke arah itu sudah mulai tampak-- maka yang diharapkan ialah agar pemerintah melakukan pendampingan terhadap nasabahnya dengan cara tidak mempersulit masalah perizinannya. Kami dari Yayasan Paramita juga sudah melakukan pendampingan, tetapi masih dalam skala yang sangat terbatas. Pendampingan tersebut baru mencakup managerial assistent, marketing, dsb yang tidak mengarah kepada pemberian kredit. Itupun masih dilakukan secara product pieces terhadap 30-an pengusaha kecil, dan secara intensif ke depan mungkin akan diperluas.

Saya setuju dengan Pak Otto bahwa pendampingan itu perlu dan harus bersifat mendidik. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kualitas pembinaannya. Misalnya untuk P4K mungkin PPL-nya, kualitas pengetahuannya bisa dibantu oleh lembaga-lembaga manajemen yang ada. Jangan sampai sistem kelompok justru membuat usaha kecil menjadi tergantung kepada kelompoknya. Karena kalau skalanya membesar, rasanya sudah tidak akan natural lagi untuk menggantungkan diri kepada kelompoknya. Yang menjadi modal utama dari sistem kelompok adalah gotong-royong yang sangat berharga untuk pengembangan di tahap-tahap awal. Untuk selanjutnya, jika memang mau terus seperti itu dan tetap solid, itu tidak ada masalah. Tetapi jika tidak mau terus seperti itu maka usaha kecil tersebut harus mulai menyesuaikan diri ke arah kredit individual.

Penyaluran KUK di bank-bank swasta lebih rendah dibandingkan dengan bank - bank milik pemerintah itu wajar, sebab ini merupakan masalah opportunity cost. Kita tahu bahwa dana yang dimiliki oleh bank umum swasta itu berasal dari saving-nya sendiri, jadi keuntungan yang didapatnya pun akan dipakai untuk kepentingannya sendiri, misalnya disalurkan untuk hadiah-hadiah tabungan, dsb. Sedangkan penyaluran dana di bank-bank milik pemerintah akselerasinya akan lebih tinggi karena dua hal, yang pertama karena opperation cost/cost of fund untuk KUK-nya lebih rendah, juga ada dana-dana bank BUMN yang diendapkan di sana dengan suku bunga rendah. Dengan demikian, dana bebas tersebut bisa disalurkan kepada pengusaha-pengusaha berisiko. Sedangkan untuk bank-bank swasta, dia selalu harus memikirkan bagaimana mengembalikan dana-dana tersebut kepada para deposannya. Alasan yang kedua adalah meskipun sudah ada privatisasi pada bank-bank BUMN, tetapi misi sosialnya masih tetap melekat. Jadi walaupun ada keluhan, mereka tetap akan menyalurkan dana tersebut untuk sarana pembangunan.

4. M. Zainuddin (Yayasan Mitra Usaha)

Kami baru lahir tahun 1993 dan secara efektif memulai program-program kami pada akhir 1994, jadi praktis memang masih sangat singkat. Input yang diberikan Pak Sony (Isono Sadoko) tadi sangat berharga, apa yang kami lakukan sekarang masih berada dalam tahap eksplorasi. Jadi konsepnya sudah ada dan kami coba eksplorasikan. Perlahan-lahan kami melakukan monitoring dan rekonseptualisasi, seperti saat ini yang pada dasarnya kami ingin menginformasikan mengenai apa yang kami lakukan dengan harapan agar yang lain bisa mereplikasinya. Cara kedua adalah penulisan. Seperti seminar ini, finding-nya mungkin adalah penulisan buku yang bisa kita publishing. Jika terjadi replikasi, dan kita mempunyai kesepakatan yang sama, mungkin para pengambil keputusan akan mempertimbangkannya. Saat ini juga kami telah membangun suatu aliansi informal dengan teman-teman CRS untuk bersama-sama ke lapangan. Dengan PT Sarana

Jabar Ventura, teman-teman kami dari LSM di Jakarta sudah membentuk suatu konsorsium LSM bagi pengembangan modal ventura, hanya kebetulan Jabar belum sempat dihubungi.

Harapan Pak Thoha supaya YMU menjadi besar semoga dikabulkan Allah SWT. Untuk itu diperlukan suatu skala ekonomi yang besar untuk kelangsungan hidup YMU, tetapi kami ingin besar bersama rakyat. Contohnya begini, pada sebuah BPR di Bandung kami mengambil porsi besar yaitu sebesar 60% dari saham, karena partner memang tidak mempunyai uang. Untuk sebuah BPR, minimum modal adalah 200 juta rupiah, kurang dari itu akan sulit untuk berkembang. Akan tetapi, kesepakatan pada bulan Februari yang lalu diputuskan bahwa kami tidak akan menambah modal saham. Setoran saham untuk memenuhi modal dasar dipersilahkan untuk diambil oleh LSM mitra dengan cara mengkonfersikan deviden menjadi tambahan saham. Yang kedua dipersilahkan untuk pegawai bank dan KSM untuk juga dikonfersikan seperti Pak Bambang mengilustrasikan Insentif Pengembalian Tepat Waktu (IPTW) bagi kredit yang tepat menjadi saham. Dan itu butuh waktu. Namun, kami mengambil sikap tidak akan menambah, dan saham kami akan kami jual justru pada saat kinerja perusahaan sedang bagus-bagusnya. Pada kasus BPR di Bandung ini, pada bulan ke-7 sudah mencapai BEP, dan pada bulan ke-14 BI sudah memberikan predikat sebagai BPR sehat.

Contoh lain adalah pada kasus pembiayaan ekspor barang kerajinan dari koperasi Manunggal Karsa. Kami bersama pengurus mengkalkulasikan harga, dan ternyata mereka mendapat untung bersih 20%. Mereka mendapat modal dari kami sebesar 4% untuk dikembalikan dan mereka masih menerima 16%; yang 2 persennya kami gunakan untuk biaya pendampingan dan 2persennya lagi adalah market rate untuk kami sendiri. Yang ingin saya tegaskan bahwa core bussines kami adalah di investasi dan tentu saja sebuah yayasan boleh berinvestasi. Akan tetapi, untuk mengelola bisnis seperti itu kami harus mendirikan sebuah PT. Sekarang kami mempunyai PT Mitra Kotama Inti yang bergerak di bidang

jasa konsultasi ekonomi dan manajemen. Bahkan sekarang kami sedang dalam proses diskusi -- dengan pengacara -- mengenai pendirian PT Mitra Investindo yang akan mewadahi kegiatan investasi kami, sehingga kami tidak bisa lari dari pajak dan semua itu butuh waktu yang tidak singkat.