• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

D. Sisi Kebijakan Makro

1. Perlu dilakukan upaya replikasi model-model finansial inkonvensional yang bisa memperkuat usaha kecil

Menyalurkan kredit berskala kecil kepada jutaan usaha kecil amat kita pahami bukanlah pekerjaan yang mudah dan menarik bagi dunia perbankan. Apabila dibiarkan memilih, perbankan akan lebih senang melayani nasabah besar (pengusaha besar) yang mampu mengadministrasikan usahanya secara baik, memiliki jaminan berupa asset, dan mudah dalam melakukan kesepakatan. Padahal mengandalkan perekonomian nasional hanya pada segelintir pengusaha besar bisa menciptakan keadaan yang sangat rentan terhadap berbagai krisis. Pengalaman Korea Selatan dan Taiwan yang mengandalkan perekonomian nasionalnya pada sekelompok pengusaha besar paling tidak membuktikan ketidakberhasilan pendekatan tersebut. Di sinilah pentingnya komitmen dunia perbankan nasional diuji. Hanya melalui kepedulian atau komitmen dari pelaksana perbankankan itulah, sukses pembinaan usaha kecil melalui skema perkreditan bisa dicapai.

Di samping dibutuhkan komitmen yang kuat, perlu dikembangkan pula berbagai skim kredit yang berorientasi pada pengembangan dan penguatan usaha kecil. Beberapa skim kredit yang telah dikembangkan dan cukup memperlihatkan hasil yang positif di antaranya skim kredit yang dikembangkan oleh Karya Usaha Mandiri sebagai replikasi Grameen Bank, PHBK, atau sistem bagi hasil sebagai sistem yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Meskipun demikian tetap perlu digali model-model finansial yang akan lebih memberdayakan usaha kecil.

Alternatif potensial lain yang bisa dikembangkan adalah model yang dikembangkan oleh Bank Purba Danarta (selanjutnya disingkat BPD). Model kredit yang dikembangkan BPD diorientasikan untuk „memperkuat dan mengembangkan’ usaha kecil dengan menerapkan beberapa prinsip:

1) mengidentifikasi secara spesifik jenis kredit dan kebutuhan pengguna kredit;

2) menentukan keseimbangan antara kemampuan finansial sisi perbankan dengan biaya program;

3) menentapkan bahwa kredit hanya diberikan untuk tujuan produktif;

4) mengembangkan kemampuan menabung untuk berbagai tujuan produktif;

5) menetapkan persyaratan perolehan kredit yang fleksibel;

6) penetapan suku bunga yang tidak harus berdasar pada bunga bank komersil;

7) melakukan pendampingan melalui petugas lapangan dengan biaya yang diperhitungkan pada tingkat bunga yang akan ditetapkan; dan 8) memodifikasi pendekatan individu dan pendekatan kelompok,

meskipun pengalaman BPD selama 35 tahun membuktikan bahwa pembinaan atau pendekatan individual jauh lebih memberi manfaat dan hasil bagi nasabah. Keberhasilan penerapan prinsip-prinsip di atas telah membawa BPD dikenal sebagai „banknya wong cilik’.

Meskipun prinsip-prinsip yang ditegakkan BPD sudah cukup jelas, namun untuk bisa dikembangkan dan direplikasi dalam skala besar dibutuhkan pengujian dan penguatan terhadap beberapa prinsip yang telah diterapkan BPD. Pertama, soal identifikasi kebutuhan usaha kecil. Identifikasi kebutuhan usaha kecil sangat penting dilakukan dan proses menentukan kebutuhan usaha kecil harus melibatkan mereka sebagai kelompok sasaran. Kedua, menganalisis kembali pemberian kredit yang hanya diperuntukkan kebutuhan produktif. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar usaha kecil mikro masih sulit memisahkan antara kebutuhan produktif dan konsumtif. Fakta ini harus menjadi dasar untuk memodifikasi sistem, sehingga dua kebutuhan tersebut masih bisa diakomodir secara proporsional. Ketiga, pendekatan kepada nasabah menjadi penentu bagi usaha kecil untuk bisa mengakses berbagai fasilitas kredit perbankan yang lain. Meskipun pengalaman memperlihatkan bahwa pendekatan individual „lebih berhasil’, namun tetap perlu kembali dikaji keberhasilan tersebut menguntungkan siapa (dalam strata sosial ekonomi). Kebutuhan individual bisa dilihat lebih berhasil bila ditinjau dari sisi

perbankan karena tingkat pengembalian pinjaman dari nasabah relatif „lebih aman’ dan sanksi yang bisa dikenakan untuk nasabah yang „mangkir’ lebih bisa ditegakkan dibandingkan dengan pendekatan kelompok yang lebih mengandalkan pada tanggung renteng kelompok.

Poin-poin kesimpulan di atas bukan merupakan temuan baru dan eksklusif, namun tampaknya tetap relevan dan disetujui oleh peserta diskusi dikemukakan agar menjadi pelajaran sekaligus tantangan untuk mencari sistem alternatif unggulan dari sisi kredit untuk usaha kecil.

Rekomendasi: Pelajaran Dari Pengalaman

Ada beberapa catatan penting yang bisa diambil sebagai bahan pelajaran yang bisa bermanfaat dalam upaya pengembangan sisi finansial usaha kecil pada masa-masa yang akan datang.

1. Pengujian kembali efektivitas kebijakan finansial untuk usaha kecil

Langkah awal yang paling penting dilakukan adalah melakukan pengujian kembali efektivitas kebijakan finansial untuk usaha kecil yang selama ini ada. Artinya, mencoba melihat kembali posisi usaha kecil dalam perekonomian nasional secara kritis agar kita tidak terjebak dalam berbagai political jargon. Lebih jauh, diperlukan suatu penelitian untuk melakukan pemetaan mengenai dinamika perkreditan dan usaha kecil berdasarkan karakteristik dan kebutuhan yang dimilikinya. Peta kredit dan usaha kecil ini merupakan masukan yang akan digunakan dalam proses pembentukan kebijakan untuk kemudian bisa menghasilkan output kebijakan dan implementasi yang relatif sejalan dan cukup memberikan peluang besar pada usaha kecil untuk dapat berkembang. Kebijakan finansial untuk usaha kecil tidak dapat dibuat secara general dan berlaku untuk seluruh kondisi sosial budaya.

2. Konsistensi penerapan kebijakan berorientasi pada permintaan Perlu menerapkan secara konsisten kebijakan yang berorientasi pada permintaan. Ini bisa dimulai dari upaya pengenalan pasar kredit usaha kecil, karakteristik usaha kecil dan karakteristik permintaan kredit usaha kecil. Secara prinsip kebijakan ini perlu disusun berdasarkan dan mengacu pada dinamika usaha kecil, sehingga kebijakan ini bisa menuju pada satu posisi demand creates its own supply. Identifikasi permintaan ini berarti pula merupakan langkah untuk mengenali variabel-variabel di belakang perkembangan usaha kecil, baik bersifat eksternal, internal maupun supply determined, termasuk pula institusi pendukungnya. Sehingga secara potensial keraguan atas default risk dapat diminimalisir. Dalam kaitan dengan pernyataan diatas menarik untuk menggaris bawahi ungkapan yang dikemukakan oleh Prof. M. Yunus, --pendiri dan pengelola Grameen bank-- dalam berbagai makalah dan tulisannya “Jangan takut memberikan kredit kepada orang miskin. Karena pada orang-orang yang demikian terdapat tanggung jawab besar dan pada mereka jarang dikenal kredit macet”. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengalaman PHBK selama ini yang memperlihatkan bahwa kredit yang „diragukan’ pengembaliannya hanya berjumlah 3% dari seluruh dana yang dialirkan.

3. Perancangan dan pengimplementasian kebijakan finansial yang integratif

Kebijakan finansial yang diorientasikan untuk usaha kecil perlu dirancang dan diimplementasikan secara integratif. Artinya kebijakan kredit untuk usaha kecil tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dilengkapi atau dintegrasikan dengan berbagai jenis kebijakan maupun pembinaan dalam bentuk yang lain (pasar, iklim persaingan, peningkatan sumber daya manusia, promosi, dll). Ini berarti membutuhkan koordinasi dan kerjasama antarlembaga pemerintah dan lembaga perkreditan yang lebih jelas. Pembentukan lembaga baru belum tentu akan memecahkan persoalan ketidakjelasan dan miskoordinasi yang selama ini terjadi. Upaya yang paling tepat adalah mendorong munculnya lembaga-lembaga perantara yang bisa menjembatani antara kebijakan-kebijakan finansial yang bersifat makro dan kebutuhan-kebutuhan kredit usaha kecil yang bersifat

mikro. Dalam kaitan dengan ini, peran LSM dapat ditingkatkan dengan memperbesar model-model kredit sejenis PHBK atau melibatkan LSM sebagai pendamping maupun perantara antara lembaga-lembaga formal perbankan dengan usaha kecil sebagai sasaran. Meskipun agak disayangkan bahwa modifikasi program PHBK yang saat ini dikembangkan sudah tidak lagi berorientasi pada pengembangan institusi perantara (LSM) dan lebih menekankan pada pendekatan individu yang tergabung dalam kelompok. Untuk bisa melakukan fungsinya, LSM perlu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dengan kemampuan merancang rencana kegiatan yang mengakomodasi kepentingan usaha kecil tetapi juga tidak mengabaikan kepentingan pihak perbankan, merancang sistem manajemen dan administrasi yang mudah untuk usaha kecil juga membantu pihak perbankan, mengeksplorasi potensi-potensi pendanaan masyarakat yang bisa mempertahankan keberlangsungan pendanaan untuk usaha kecil, dan melakukan modifikasi yang tepat sekaligus luwes sehingga kontrakdiksi antara pendekatan kelompok dan individu tidak terjadi. Artinya sebagai lembaga perantara mampu menjembatani atau mengidentifikasi kelompok sasaran dengan pendekatan yang paling tepat untuk kelompok sasaran yang dimaksud.

4. Reorientasi struktur dan penajaman kemauan politik

Penciptaan skim-skim kredit barupun bukan jaminan bagi usaha kecil bisa mengakses berbagai fsilitas kredit perbankan. Justru yang paling penting dilakukan adalah mengefektifkan skim-skim kredit yang telah ada dengan memperjelas dan memperkuat komitment pada pengembangan usaha kecil. Hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan berusaha memperkecil distorsi dalam perekonomian nasional yang selama ini terjadi --yang ternyata hanya menguntungkan segelintir usaha besar-- dan cenderung menciptakan ketidakadilan bagi usaha kecil. Penciptaan iklim usaha yang memberi kesempatan pada usaha kecil untuk berkembang dengan menghapus struktur pasar yang monopoli dan pemberian insentif berupa kemudahan sepihak kepada usaha besar. Kejelasan aturan berupa peraturan pemerintah yang benar-benar melindungi usaha kecil sudah tidak bisa ditunda lagi.

Pemberian berbagai kemudahan khususnya keringanan pajak yang selama ini hanya dinikmati oleh usaha besar, sudah saatnya juga dinikmati oleh usaha kecil, sehingga proses akumulasi kapital di tingkat usaha kecil bisa berjalan. Keringanan pajak dapat diberikan pada unit-unit usaha besar yang menyalurkan sebagian dananya pada usaha kecil.