• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAHAN NON TERBANGUN

Danau/Situ 1,05 0,85 0,92 0,96 1,25 0,11 1,85 Sawah Teknis Irigasi 4,37 3,03 1,83 2,94 0,00 0,00 5,34 Sawah Non Teknis

Irigasi 9,49 0,99 0,17 0,80 0,37 4,08 6,35 Tegalan/Belukar/Tan ah Kosong 8,66 18,04 21,30 14,03 8,51 6,51 28,02 Ladang/ Kebun 19,08 7,62 7,17 14,35 12,81 15,59 27,74 Hutan Kota/ Taman 0,00 3,01 0,00 0,20 0,00 0,87 1,25 Lapangan Golf 0,00 0,00 0,00 4,82 0,00 0,00 2,76 Sungai 0,52 0,56 1,04 0,57 0,54 0,55 1,32 Kuburan 0,41 0,50 0,40 0,74 0,46 0,44 1,09 Empang/ Kolam 1,82 2,21 1,03 0,77 1,78 1,45 2,96 Lainnya 11,29 10,20 10,15 10,30 9,80 7,98 21,33 Jumlah 56,71 47,01 44,01 50,49 35,52 37,57 100,00

Rasio lahan non terbangun/total 47,77

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100.00

Sumber : Diolah dari Diperta Kota Depok 2009

Selain menghitung luas lahan dan persentase menurut penggunaannya, juga dilakukan analisis LQ luas lahan menurut penggunaannya seperti tersaji pada Tabel 26, yang menunjukkan bahwa pemusatan penggunaan lahan terbangun pemukiman berada di Kecamatan Limo, Beji dan Pancoran Mas, industri di Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya, perdagangan, jasa dan perkantoran di Kecamatan Beji dan Pancoran Mas, fasum/fasos di Kecamatan Sukmajaya,

Sawangan, dan Beji, GOR di Kecamatan Sukmajaya dan Pancoran Mas, Kawasan Tertentu di Kecamatan Sukmajaya.

Tabel 26. LQ Luas Lahan Menurut Penggunaannya Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2009 Penggunaan Lahan Sawangan Pancoran

Mas

Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Pemukiman 0,81 1,13 0,91 0,95 1,13 1,39

Industri 0,39 0,19 1,31 2,29 0,19 0,21

Perdagangan, Jasa & Perkantoran 0,38 1,02 0,45 0,85 5,39 0,57 Fasum/Fasos 1,41 0,33 1,75 0,75 1,19 0,40

GOR 0,00 2,22 4,01 0,00 0,00 0,00

Kawasan Tertentu 0,00 0,62 5,42 0,00 0,00 0,00 Danau/Situ 1,19 0,96 1,04 1,08 1,42 0,12 Sawah Teknis Irigasi 1,71 1,19 0,72 1,15 0,00 0,00 Sawan Non Teknis Irigasi 3,13 0,33 0,06 0,27 0,12 1,34 Tegalan/Belukar/Tanah Kosong 0,65 1,35 1,59 1,05 0,64 0,49 Ladang/Kebun 1,44 0,57 0,54 1,08 0,97 1,18 Hutan Kota /Taman 0,00 5,05 0,00 0,34 0,00 1,45 Lapangan Golf 0,00 0,00 0,00 3,66 0,00 0,00

Sungai 0,83 0,89 1,64 0,90 0,86 0,86

Kuburan 0,80 0,96 0,78 1,42 0,88 0,84

Empang/Kolam 1,29 1,57 0,73 0,54 1,26 1,03

Lainnya 1,11 1,00 1,00 1,01 0,96 0,78

Sumber : Diolah dari Kecamatan Dalam Angka di Kota Depok 2008

Untuk lahan non terbangun, pemusatan penggunaan lahan untuk danau/situ berada di Kecamatan Beji, Sawangan, Cimanggis, dan Sukmajaya, sawah teknis di Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas, dan Cimanggis, sawah non teknis di Kecamatan Sawangan dan Limo, tegalan/belukar/tanah kosong di Kecamatan Sukmajaya, Pancoran Mas, dan Cimanggis, ladang/kebun di Kecamatan Sawangan, Limo, dan Cimanggis, hutan kota/taman di Kecamatan Pancoran Mas dan Limo, lapangan golf di Kecamatan Cimanggis, sungai di Kecamatan Sukmajaya, kuburan di Kecamatan Cimanggis, empang/kolam di Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas, Beji, dan Limo, lainnya di Kecamatan Sawangan dan Cimanggis.

Jika kita bandingkan antara LQ berdasarkan jumlah penduduk menurut pekerjaan utama di Kota Depok dan LQ berdasarkan penggunaan lahan, maka wilayah yang penggunaan lahannya untuk pertanian bernilai tinggi, maka akan terjadi pula pemusatan aktifitas pertanian, misalnya Kecamatan Sawangan, yang

cenderung memiliki karakterisitik pedesaan dengan aktifitas dominannya berbasiskan sektor pertanian. Ini sesuai pula dengan hasil analisis LQ berdasarkan jumlah penduduk menurut pekerjaan utama di Kota Depok yang mengidentifikasi bahwa sektor pertanian sebagai sektor yang memiliki keunggulan komparatif di Kecamatan Sawangan. Kecenderungan yang sama terjadi pula pada kecamatan lainnya. Kecamatan yang cenderung bersifat urban (misalnya Cimanggis, Sukmajaya, dan Beji) akan memiliki prioritas sektor unggulan di sektor sekunder ataupun tersier, sehingga penggunaan lahan pertanian sebagian besar terkonversi ke lahan non pertanian. Persoalan yang sekarang terjadi adalah nilai tanah (land rent) yang lebih tinggi pada lahan non pertanian dibandingkan dengan pertanian sawah, sehingga diperkirakan konversi lahan ini akan semakin meningkat dan dapat mempercepat terjadinya perubahan lahan menjadi lahan perkotaan.

Pembangunan Manusia

Pembangunan manusia (human development) diartikan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of people) dengan pilihan terpenting adalah agar manusia dapat berumur panjang dan sehat, memiliki ilmu pengetahuan dan mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Dengan terciptanya sumber daya manusia yang unggul akan menghasilkan tatanan kehidupan yang maju di berbagai bidang baik sosial, ekonomi, lingkungan dan mandiri sekalipun pada lingkup global dengan rentang percepatan waktu yang semakin cepat berubah. Oleh karena itu, paradigma pembangunan manusia yang menganut corak produktifitas, pemerataan, berkesinambungan serta pemberdayaan seluruh potensi yang dimiliki, diyakini akan dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia berkaitan erat dengan tingkat pendidikan individu penduduk sehingga merupakan faktor dominan yang perlu mendapat prioritas utama untuk ditingkatkan, karena dapat menimbulkan efek berantai dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri. Dimulai dengan meluasnya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja dalam

menciptakan pendapatan, yang kelanjutannya berpengaruh pada kemampuan daya beli penduduk, sehingga kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak.

Dalam perencanaan pembangunan, Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan untuk mengukur kualitas fisik dan non fisik. Namun perlu diingat bahwa IPM bukanlah satu-satunya alat ukur untuk menilai keberhasilan dalam pembangunan manusia, karena dimensi pembangunan manusia yang diukur hanya meliputi tiga indikator saja, yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Aspek- aspek lain seperti kesehatan jender, tingkat partisipasi masyarakat, kesehatan mental dan lainnya juga dianggap perlu untuk diperhatikan berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Jender (IPJ), Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ), IKM (Indeks Kemiskinan Manusia) dan IMH (Indeks Mutu Hidup) sehingga kesimpulan yang didapat akan lebih mendekati fakta sebenarnya. Namun dalam penelitian ini, kita hanya menggunakan IPM saja, dan data IPM kecamatan menurut kecamatan di Kota Depok disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 IPM Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2008 Kecamatan Angka Harapan Hidup (Tahun) Angka Melek Huruf (%) Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun) Konsumsi Perkapita Disesuaikan (000 Rp) IPM Sawangan 67,67 98,46 9,95 572,24 73,93 Pancoran Mas 68,04 98,78 10,72 574,11 74,92 Sukmajaya 74,46 98,85 11,15 577,02 79,04 Cimanggis 73,66 98,63 10,44 571,83 77,62 Beji 68,76 99,14 10,77 576,55 75,62 Limo 71,44 98,32 10,46 582,78 77,17 Kota Depok 73,10 98,70 10,67 581,22 78,22 Sumber : BPS 2008

Berdasarkan Tabel 27, angka harapan hidup di enam kecamatan di Kota Depok sangat bervariasi. Angka harapan hidup kecamatan yang paling tinggi berada di Kecamatan Sukmajaya sebesar 74,46 tahun dan yang paling rendah berada di Kecamatan Sawangan sebesar 67,67 tahun. Dari angka harapan hidup ini maka pemerintah Kota Depok dapat menetapkan prioritas kesehatan di Kecamatan Sawangan tanpa meninggalkan kecamatan yang lain. Kemajuan atau peningkatan angka harapan hidup di setiap kecamatan sangat ditunjang oleh adanya peningkatan di bidang kesehatan, terutama usaha untuk menekan angka

kematian bayi. Masyarakat sangat mengharapkan kemudahan dalam pelayanan kesehatan dengan biaya yang serendah mungkin. Faktor lain yang berpengaruh terhadap angka harapan hidup adalah faktor kebersihan lingkungan dan kelengkapan sarana yang menunjang, seperti misalnya ketersediaan jamban keluarga dan tempat pembuangan sampah akhir.

Selain pada bidang kesehatan, peningkatan angka IPM di kecamatan- kecamatan yang ada di Kota Depok sangat tergantung juga pada peningkatan di bidang pendidikan terutama dalam pencapaian rata-rata lama sekolah dan melek huruf. Kecamatan yang memiliki angka melek huruf yang paling tinggi adalah Kecamatan Beji sebesar 99,14 persen dan yang terendah adalah di Kecamatan Limo sebesar 98,32 persen. Sementara rata-rata lama sekolah yang paling tinggi adalah di Kecamatan Sukmajaya sebesar 11,15 tahun, dan yang paling rendah adalah di Kecamatan Sawangan sebesar 9,95 tahun. Untuk meningkatkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di Kota Depok perlu disusun strategi dan kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan layanan pendidikan yang memadai dan mudah dijangkau. Pada kondisi saat ini penempatan guru secara merata masih dianggap cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan layanan pendidikan yang memadai.

Komponen kemampuan daya beli di beberapa kecamatan memiliki angka yang tidak terlalu jauh variasinya. Kecamatan di Kota Depok yang memiliki kemampuan daya beli yang tertinggi adalah Kecamatan Limo sebesar 582,78 ribu rupiah dan yang paling rendah adalah Kecamatan Cimanggis sebesar 571,83 ribu rupiah. Jumlah penduduk yang besar di Kecamatan Cimanggis perlu mendapat perhatian dari pemerintah, karena mempengaruhi rata-rata kemampuan daya belinya. Usaha peningkatan kemampuan daya beli ini dapat diprioritaskan di Kecamatan Cimanggis. Dalam rangka meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, upaya pengembangan usaha skala mikro tampaknya dapat menjadi alternatif pilihan untuk mendongkrak pendapatan masyarakat yang relatif tertinggal. Perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana yang ada di Kota Depok akan sangat mendukung peningkatan kemampuan daya beli masyarakat yang ada di Kota Depok.

Struktur Ekonomi

Perkembangan aktifitas perekonomian pada suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropi. Nilai indeks diversitas entropi ditujukan untuk menghitung tingkat keberagaman dan keberimbangan aktifitas/sektor ekonomi di suatu wilayah. Semakin berimbang (sebaran merata) komposisi berbagai aktifitas/sektor ekonomi tersebut, nilai indeks diversitas entropi juga menjadi semakin besar. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan utama. Semakin besar nilai indeks diversitas entropi tenaga kerja dalam suatu wilayah maka keberagaman aktifitas masyarakat semakin tinggi/sebaran tenaga kerja merata, dan sebaliknya semakin kecil nilai indeks diversitas entropi tenaga kerja, maka aktifitas masyarakat akan cenderung terspesialisasi di satu sektor saja/tidak tersebar merata. Hasil perhitungan indeks entropi kecamatan di Kota Depok pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Indeks Entropi Kecamatan di Kota Depok Tahun 2008 Kecamatan Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Utama

Tani Tamb Ind Ligas Kons Dag Angk Keu Jasa Lain Total S maks. Stot Sawangan 0,36 0,00 0,23 0,01 0,02 0,28 0,10 0,00 0,13 0,37 1,51 2,30 0,65 P.Mas 0,08 0,05 0,35 0,11 0,11 0,30 0,14 0,12 0,30 0,34 1,89 2,30 0,82 Sukmajaya 0,00 0,00 0,22 0,01 0,04 0,18 0,09 0,01 0,20 0,11 0,85 2,30 0,37 Cimanggis 0,13 0,05 0,27 0,04 0,10 0,36 0,11 0,12 0,33 0,33 1,83 2,30 0,80 Beji 0,34 0,00 0,06 0,04 0,26 0,32 0,08 0,24 0,23 0,33 1,88 2,30 0,82 Limo 0,13 0,14 0,07 0,08 0,06 0,20 0,20 0,20 0,14 0,32 1,53 2,30 0,67

Sumber : Diolah dari Kecamatan Dalam Angka di Kota Depok 2002 & 2008

Tabel 28 menunjukkan bahwa nilai indeks entropi tenaga kerja paling besar ada di Kecamatan Pancoran Mas dan Beji dan yang paling kecil ada di Kecamatan Sukmajaya, artinya sebaran tenaga kerja di Kecamatan Pancoran Mas dan Beji lebih merata pada setiap sektor perekonomian sehingga aktivitas setiap sektor lebih beragam dan berimbang, sementara di Kecamatan Sukmajaya memiliki kecenderungan tenaga kerja mengelompok pada sektor tertentu saja, dalam hal ini sektor industri dan jasa.

Tipologi Wilayah Kecamatan Berdasarkan Indikator Pembangunan

Berdasarkan hasil analisis beberapa indikator pembangunan pada level mikro di atas, maka dilakukan integrasi hasil dengan menggunakan Principle Component Analysis (PCA) dengan hasil sebagai berikut :

a. Berdasarkan eigenvalues, dari 20 variabel, maka didapatkan 3 faktor baru dimana masing-masing bersifat ortogonal (tidak saling berkorelasi) dengan keragaman sampai dengan 79,63 persen. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Eigenvalues (Data_rekap.sta); Extraction: Principal components Eigenvalue % Total - variance Cumulative - Eigenvalue Cumulative - %

1 6,904617 34,52308 6,90462 34,52308

2 5,161053 25,80527 12,06567 60,32835

3 3,860858 19,30429 15,92653 79,63264

b. Berdasarkan factor loading, maka didapatkan faktor-faktor utama di Kota Depok yang tersaji pada Tabel 30 :

- Faktor 1 dikelompokkan sebagai indikator Wilayah CBD yang berkorelasi positif dengan kepadatan penduduk, rasio perdagangan, rata-rata Indeks Perkembangan Kelurahan (IPK), Angka Melek Huruf (AMH), dan Rasio Lama Sekolah (RLS), serta berkorelasi negatif dengan rasio sawah. Artinya bahwa semakin besar skor daerah pada faktor ini, maka semakin tinggi kepadatannya, rasio perdagangan, IPK, AMH dan RLS, sementara penggunaan sawah semakin menurun. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh Faktor 1 sebesar 34,52 persen.

- Faktor 2 dikelompokkan sebagai indikator Wilayah Tertinggal yang berkorelasi negatif dengan Angka Harapan Hidup (AHH), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan rasio tenaga kerja pada sektor tersier, serta berkorelasi positif dengan entropi tenaga kerja. Artinya bahwa semakin besar skor daerah pada faktor ini, maka AHH, IPM, tenaga kerja di sektor tersier akan semakin menurun, dan keragaman tenaga kerja pun semakin tinggi (spesialisasi pekerjaan menurun). Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh Faktor 2 sebesar 60,33 persen.

- Faktor 3 dikelompokkan sebagai indikator kawasan permukiman yang berkorelasi positif dengan rasio pemukiman, rasio build up area, dan

konsumsi perkapita, serta berkorelasi negatif dengan rasio agriculture area, entropi landuse. Artinya semakin tinggi skor daerah pada faktor ini, maka pemukiman, build up area akan meningkat sehingga luasan

agriculture area pasti akan menurun. Peningkatan skor daerah pada faktor ini juga berdampak pada peningkatan konsumsi perkapita, dan penurunan keragaman penggunaan lahan karena pembangunan terkonsentrasi pada pemukiman dan build up area lainnya. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh Faktor 3 sebesar 79,63 persen.

Tabel 30 Factor Loadings (Varimax normalized) (Data_rekap) Extraction: Principal components

Factor - 1 Factor - 2 Factor - 3

Kepadatan 0,908369 -0,329804 0,140682 R_mukim 0,082706 0,036349 0,976619 R_industri -0,035721 -0,638130 -0,543881 R_dagang 0,740752 0,397698 0,154112 R_fasum 0,216631 -0,351532 -0,590966 R_sawah -0,790266 0,398857 -0,388609 R_build 0,563930 -0,167929 0,763213 R_agric -0,563930 0,167929 -0,763213 Entropi_lu -0,019815 0,086676 -0,963815 Mean_ipk 0,766344 0,593496 -0,099484 Stdev_ipk -0,046909 0,281327 0,278523 AHH 0,036611 -0,969669 -0,072070 AMH 0,963320 0,103707 -0,217414 RLS 0,781280 -0,522922 0,146471 Konsumsi_kap 0,000881 -0,327530 0,890259 IPM 0,188074 -0,969635 0,098178 R_TK_primer -0,241415 0,675840 -0,199779 R_TK_sekunder 0,412126 0,438706 -0,195940 R_TK_tersier -0,054714 -0,939514 0,323186 Entropi_TK 0,128045 0,713945 0,154760 Expl.Var 5,101940 5,766978 5,057610 Prp.Totl 0,255097 0,288349 0,252881

c. Peta scatterplot yang menjelaskan hubungan antara Faktor 1, Faktor 2, dan Faktor 3 pada tiap kecamatan di Kota Depok (Gambar 10).

3D Scatterplot of Factor against Factor and Factor 3v*6c Beji Sukmajaya Pancoran Mas Cimanggis Limo Sawangan Beji Sukmajaya Pancoran Mas Cimanggis Limo Sawangan

Gambar 10 menjelaskan bahwa wilayah yang termasuk ke dalam Kawasan CBD adalah Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji, artinya bahwa pada kecamatan ini memiliki karakteristik umum kepadatan, perdagangan, IPK, AMH dan RLS yang tinggi. Wilayah yang termasuk ke Kawasan Tertinggal dari sisi SDM adalah Sawangan, Beji, dan Pancoran Mas yang memiliki AHH, IPM, rasio tenaga kerja tersier rendah. Sedangkan untuk Kawasan Permukiman adalah Kecamatan Pancoran Mas, Limo, dan Beji yang memiliki rasio permukiman,

build up area, dan konsumsi perkapita yang tinggi. Kecamatan Cimanggis memiliki kecenderung mengarah ke Kawasan CBD.

Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Beji berimpit antara Kawasan CBD, Tertinggal dari sisi SDM dan Permukiman, artinya bahwa di dalam kecamatan sendiri terjadi disparitas pembangunan antar kelurahan. Perkembangan kecamatan diduga tergantung pada letak dan posisi wilayah apakah berdekatan dengan pusat kota atau tidak. Diperkirakan kelurahan yang

letaknya berdekatan dengan poros Kota (sekitar Jalan Margonda dan Arief Rahman Hakim) akan masuk ke Kawasan CBD, dan kelurahan yang berbatasan dengan wilayah lain (Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang) cenderung masuk ke Kawasan Tertinggal dari sisi SDM (Bappeda Kota Depok 2009). Selengkapnya identifikasi tipologi kecamatan berdasarkan analisis PCA dapat dilihat pada Tabel 31 dan peta tematiknya pada Gambar 11.

Tabel 31 Identifikasi Tipologi Menurut Kecamatan di Kota Depok

Kecamatan Tipologi Wilayah

Sawangan Kawasan Tertinggal

Pancoran Mas Kawasan CBD, Kawasan Tertinggal, dan

Kawasan Permukiman

Sukmajaya CBD

Cimanggis Mengarah ke CBD

Beji Kawasan CBD, Kawasan Tertinggal, dan

Kawasan Permukiman

Limo Kawasan Permukiman

Keterkaitan Hasil Analisis Kota Depok Secara Makro, Meso, dan Mikro

Secara umum sektor yang berkembang di Kota Depok adalah sektor sekunder dan tersier, terlihat dari hasil analisis tingkat perkembangan wilayah pada level makro dan mikro. Ini mengindikasikan bahwa sektor sekunder dan tersier memiliki peluang untuk berkembang.

Pada level makro, Kota Depok dalam lingkup Kawasan Jabodetabek, sektor unggulannya ada pada sektor sekunder dan tersier, yaitu sektor industri, ligas, dan perdagangan hotel restoran, sedangkan secara mikro, tiap kecamatan memiliki sektor potensial yang beragam mencakup sektor primer, sekunder, dan tersier. Namun, jika dilihat dari tingkat perkembangan di tiap kecamatan, sektor yang berkembang cenderung pada sektor sekunder dan tersier yang terlihat dari dominasi karakteristik kecamatan sebagai kawasan permukiman dan perdagangan.

Jika kita perhatikan pada level meso, maka kebijakan pembangunan di Kota Depok cenderung mengakomodir pada pengembangan sektor tersier yang didukung oleh pengembangan sektor primer. Hal ini sesuai dengan visi RPJPD Kota Depok, yaitu Menjadikan Depok sebagai Kota Niaga dan Jasa yang Religius dan Ramah Lingkungan, dan misi RPJMD Kota Depok, khususnya pada misi kedua dan ketiga, yang menekankan pada pengendalian tata ruang dengan salah satu strateginya menjaga keseimbangan kawasan terbangun dengan ruang terbuka hijau, meningkatkan agribisnis perkotaan dan pelayanan bidang pertanian. Artinya bahwa pengembangan sektor perekonomian di Kota Depok ke depannya diarahkan pada pengembangan sektor tersier yang didukung oleh sektor primer, sedangkan pengembangan sektor sekunder kurang menjadi fokus pengembangan wilayah. Ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan belum sepenuhnya mengakomodir pengembangan semua elemen pada sektor perekonomian di Kota Depok. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah Kota Depok mengingat sektor sekunder masih menjadi salah satu sektor potensial hampir di semua kecamatan. Jika sektor potensial ini tidak diperhatikan dan tidak dikembangkan, maka keberadaan pembangunan ke depannya akan hanya terfokus pada pengembangan sektor tersier dan primer, sedangkan sektor sekunder akan cenderung tersingkirkan, artinya potensi-potensi lokal di tiap kecamatan akan dapat semakin termajinalkan, sehingga konsep pembangunan berimbang, yang

menekankan pada pembangunan wilayah berdasarkan potensi dan kapasitas di tiap wilayah tidak akan tercapai dan ketimpangan pembangunan antar kecamatan akan tetap terjadi dan sulit teratasi .

Dengan demikian, perlu adanya sinergi dan sinkronisasi antara kebijakan pembangunan di Kota Depok dengan memperhatikan potensi lokal di tiap kecamatan, dan juga keberadaan Kota Depok dalam cakupan Kawasan Jabodetabek, sehingga pembangunan berimbang di tiap kecamatan dapat terlaksana. Dengan demikian Kota Depok akan menjadi kota yang lebih mandiri, dimana pembangunan tidak bergantung sepenuhnya dengan keberadaan wilayah lain, khususnya Jakarta (demand side) dan mampu memperhatikan potensi dan kebutuhan masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Depok menjadi lebih baik.

Prioritas Pembangunan Berdasarkan Potensi Dan Tingkat Perkembangan Masing-Masing Kecamatan

Potensi dan tingkat perkembangan di suatu wilayah memiliki kaitan yang erat dengan perumusan prioritas pembangunan di dalam wilayah itu sendiri. Merumuskan prioritas bukanlah hal yang mudah karena sering terbatasi oleh sumberdaya-sumberdaya yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan terlebih dahulu analisis potensi dan tingkat perkembangan di wilayah tersebut.

Menurut Sjafrizal (2010), penetapan prioritas pembangunan harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya :

- Visi dan Misi pembangunan dalam wilayah terkait;

- Kegiatan dan sektor tersebut merupakan sektor unggulan dan mempunyai keunggulan komparatif tinggi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di wilayah terkait;

- Mampu mendukung dan bersinergi dengan kegiatan lain, sehingga proses pembangunan secara keseluruhan akan menjadi lebih maju dan berkembang; - Sesuai dengan permasalahan pokok, potensi dan dan tingkat perkembangan

pembangunan di wilayah terkait untuk mencapai hasil (outcomes) dan pengaruh (impact) yang diharapkan, sehingga penetapan sasaran

pembangunan dalam jangka panjang pun dapat direncanakan dengan efektif dan efisien.

- Untuk wilayah berkembang, alternatif prioritas pembangunan cenderung diletakkan pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

- Diselaraskan dengan dinamika sosial terutama karakteristik penduduk dan besarnya intensitas interaksi dengan wilayah lain yang dapat memacu perkembangan suatu wilayah. Tanpa pemahaman mengenai potensi dan kondisi sumber daya yang dimiliki, prioritas tidak akan dilakukan dengan tepat.

- Memperhatikan perubahan strategis yang telah dan akan terjadi di masa yang akan datang agar proses pembangunan tersebut dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang mungkin terjadi di masa akan datang. Berdasarkan hasil analisis di tingkat makro, meso dan mikro, maka prioritas pembangunan di Kota Depok adalah :

a. Secara makro, Kota Depok dalam lingkup Kawasan Jabodetabek memiliki potensi untuk mengembangkan sektor perdagangan hotel dan restoran.

b. Secara meso, berdasarkan karakteristik perkembangan pembangunan di Kota Depok, maka prioritas pembangunan ada pada sektor perdagangan dan jasa yang didukung oleh kondisi lingkungan yang nyaman.

c. Secara mikro, dengan memperhatikan potensi dan tingkat perkembangan tiap kecamatan, maka disarankan prioritas pembangunan sebagai berikut :

1. Kecamatan Sawangan yang memiliki karakteristik sebagai Kawasan Tertinggal dengan IPM rendah, kawasan permukiman rendah, kawasan CBD rendah, luas lahan pertanian besar, penduduk yang bekerja pada sektor pertanian besar, dan sektor potensial adalah industri, maka kebijakan pembangunan diprioritaskan kepada :

- Pengembangan sektor industri berbasiskan pertanian (agoindustri) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian lokal, sehingga sektor pertanian akan dapat bertumbuh seiring dengan sektor industri;

- Menjalin linkage dengan kecamatan lain di Kota Depok, terutama kecamatan yang memiliki keunggulan di sektor industri dan perdagangan;

- Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia sehubungan dengan rendahnya nilai IPM, diantaranya pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) khususnya terkait dengan sistem agribisnis sehingga pengetahuan & keterampilan petani meningkat.

2. Kecamatan Pancoran Mas yang memiliki karakteristik sebagai Kawasan CBD, Kawasan Permukiman, dan Kawasan Tertinggal, memiliki IPM tergolong rendah, dengan sektor potensial adalah ligas, industri, dan angkutan, maka kebijakan pembangunan diprioritaskan kepada :

- Perbaikan fasilitas dan pelayanan ligas karena sektor ini termasuk pada sektor yang berperan sebagai supporting system bagi pengembangan aktivitas sektor perekonomian lainnya baik di wilayah itu sendiri maupun wilayah lain, diantaranya dengan mendorong investasi. Selain itu, perbaikan ini juga diarahkan untuk mendukung pengembangan sektor industri mengingat sektor ini sebagai sektor basis wilayah;

- Peningkatan pembangunan manusia dengan mempertimbangkan

pengembangan sektor basis;

- Pengaturan dan pengendalian tata ruang sehingga pembangunan lokasi pusat perdagangan dan pemukiman tetap memperhatikan aspek lingkungan;

- Penataan kawasan permukiman dan transportasi.

3. Kecamatan Sukmajaya yang memiliki karakteristik sebagai Kawasan CBD, kawasan permukiman rendah, IPM paling tinggi dengan sektor potensial adalah jasa dan industri, maka kebijakan pembangunan diprioritaskan kepada :

- Pengembangan sektor jasa dan industri yang didukung oleh pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal guna efisiensi dan produktifitas pengembangan pembangunan mengingat kecamatan ini memiliki nilai IPM yang tinggi;

- Pengaturan dan pengendalian tata ruang sehingga pembangunan pusat- pusat perdagangan (CBD) mampu menghindari terjadinya urban sprawl

4. Kecamatan Cimanggis yang memiliki karakteristik mengarah ke Kawasan CBD, kawasan permukiman rendah, luas lahan pertanian besar, dengan sektor potensial adalah perdagangan hotel dan restoran, dan industri, maka kebijakan pembangunan diprioritaskan kepada :

- Pengembangan sektor industri berbasiskan pertanian (agoindustri) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian lokal, sehingga sektor pertanian lebih berkembang mengingat masih besarnya luasan lahan pertanian di kecamatan ini;

- Pengaturan dan pengendalian tata ruang sehingga pembangunan pusat-

Dokumen terkait