• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan prioritas pembangunan berdasarkan potensi dan tingkat perkembangan kecamatan di kota Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan prioritas pembangunan berdasarkan potensi dan tingkat perkembangan kecamatan di kota Depok"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PERKEMBANGAN

KECAMATAN DI KOTA DEPOK

DINA MARTHA SUSILAWATI SITUMORANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Penentuan Prioritas Pembangunan Berdasarkan Potensi dan Tingkat Perkembangan Kecamatan di Kota Depok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.

Bogor, Maret 2011

Dina Martha Susilawati Situmorang

(3)

Development Based on Potential and Actual Development Level of sub-districts in Depok City. Under direction of ISKANDAR LUBIS and DIDIT OKTA PRIBADI

A Priority Setting of Development is related to Potential and Actual Development Level. Depok City, as hinterland of Jakarta, has high impact of suburbanization where some areas has being converted into some building areas such as industry, trading, and property. Process of urban sprawl is getting worse, and feared it would be come “a waste” of Jakarta development as the impact of crossings and residential location for commuters. Therefore we need to know the development characteristic of Depok City in Jabodetabek Metropolitan Area as macro level, Depok City itself as meso level, and the potential and actual development of each sub-district level. Analysing development characteristic for each level would be conducted by using LQ, SSA, Skalogram, Index Entropy, and PCA analysis. The result showed in macro level, Depok City has a potential sector in the industrial, electricity-gas-water, and trade sector, in meso level, Depok City development policy focus on trade and services sector by considering a sustainable environmental support, though in micro level, each sub-district has various potential sector, such as industry in Sawangan; elctricity-gas-water, industry, and transportation in Pancoran Mas; services and industry in Sukmajaya; industry and trade in Cimanggis, agriculture and construction in Beji, the mining and quarrying, electricity-gas-water, transportation, and financial center in Limo. Whereas based on the actual development by using the PCA analysis, we got three regional typologies such as CBD Region, Under-develop Region, and Residential Region. Pancoran Mas, Sukmajaya and Beji are included in the CBD Region; Sawangan, Beji and Pancoran Mas are included in Under-developed Region; Pancoran Mas, Limo, and Beji are included in the Residential Region. Based on potential sector and regional typology, it can be formulated what became the priority of development in each sub-district, such as agroindustry development in Sawangan and Cimanggis, improvement services function centre of electricity-gas-water in Pancoran Mas, controlling spatial activities in Sukmajaya, strenghtening urban agriculture in Beji, and controlling bussiness property activities in Limo.

(4)

Pembangunan Berdasarkan Potensi dan Tingkat Perkembangan Kecamatan di Kota Depok. Dibimbing oleh ISKANDAR LUBIS and DIDIT OKTA PRIBADI.

Salah satu ciri pembangunan wilayah adalah upaya untuk mencapai pembangunan yang berimbang, yang artinya terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah yang beragam (Rustiadi et al. 2009). Dalam perencanaan pembangunan wilayah, kita perlu memahami kondisi wilayah saat ini (tingkat perkembangannya), potensi dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut, yang dijadikan dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas pembangunan guna mengarahkan dan mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan sesuai dengan dana dan sumberdaya yang ada. Dengan demikian, keterbatasan sumberdaya bukan lagi menjadi faktor kendala dalam pemanfaatan potensi daerah tersebut.

Kota Depok memiliki tingkat perkembangan yang baik, terlihat dari laju pertumbuhan PDRB yang meningkat, namun secara mikro, terkena “penyakit” paradoks pertumbuhan ekonomi, yaitu kurang meratanya distribusi pendapatan masyarakat pada tiap kecamatan (ketimpangan antar kecamatan). Untuk itu perlu diupayakan peningkatan ekonomi masyarakat yang berimbang dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat menuju konsep pengembangan ekonomi berdasarkan potensi lokal. Selain masalah ketimpangan pembangunan, Kota Depok, sebagai hinterland langsung dari DKI Jakarta, terkena dampak suburbanisasi yang tinggi dimana banyak lahan yang terkonversi menjadi lahan terbangun seperti perumahan, industri, dan perdagangan sehingga membentuk pola ruang menyebar berserakan karena penggunaan lahan yang tak terencana (urban sprawl) dan berpengaruh terhadap struktur tata ruang Kota Depok baik secara fisik, kependudukan dan ekonomi. Memperhatikan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan tujuan : (1) Menganalisis karakteristik perkembangan Kota Depok secara makro dalam lingkup Kawasan Jabodetabek, (2) Menganalisis karakteristik perkembangan pembangunan di Kota Depok secara meso, (3) Menganalisis potensi berdasarkan sektor unggulan tiap kecamatan di Kota Depok, (4) Menentukan tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan, dan (5) Merumuskan prioritas pembangunan berdasarkan potensi dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan.

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa Kabupaten/Kota Dalam Angka di Kawasan Jabodetabek, Peta Administrasi Kota Depok, Kota Depok Dalam Angka, Kecamatan Dalam Angka di Kota Depok, PDRB Kota Depok, PODES Kota Depok, Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Kota Depok, dan Indeks Kesejahteraan Masyarakat (Inkesra) Kota Depok. Untuk mencapai tujuan penelitian, metode analisis yang digunakan adalah Location Quotient (LQ) dan

Shift Share Analysis (SSA), Skalogram, Indeks Entropi, statistika deskriptif, deskriptif, dan Principle Components Analysis (PCA).

(5)

Lingkungan, artinya bahwa pengembangan sektor perekonomian di Kota Depok ke depannya diarahkan pada pengembangan sektor tersier yang didukung oleh sektor primer. Pada level mikro, setiap kecamatan memiliki sektor potensial yang beragam, yaitu sektor industri di Sawangan; ligas, industri, dan angkutan di Pancoran Mas; jasa dan industri di Sukmajaya; perdagangan hotel restoran dan industri di Cimanggis; konstruksi dan pertanian di Beji; pertambangan dan penggalian, ligas, angkutan, dan lembaga keuangan di Limo. Sedangkan berdasarkan karakteristik dan tingkat perkembangan kecamatan dengan metode PCA, maka tergambar tipologi kecamatan di Kota Depok, yaitu Kawasan CBD pada Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji; Kawasan Tertinggal pada Kecamatan Sawangan, Beji dan Pancoran Mas; serta Kawasan Permukiman pada Kecamatan Pancoran Mas, Limo, dan Beji. Kecamatan Cimanggis memiliki kecenderungan mengarah ke Kawasan CBD.

Dari hasil analisis di atas terlihat bahwa secara umum sektor yang berkembang di Kota Depok adalah sektor sekunder dan tersier, terlihat dari hasil analisis tingkat perkembangan wilayah pada level makro dan mikro. Ini mengindikasikan bahwa sektor sekunder dan tersier memiliki peluang untuk berkembang. Namun, jika kita perhatikan pada level meso, maka kebijakan pembangunan di Kota Depok cenderung mengakomodir pada pengembangan sektor tersier yang didukung oleh pengembangan sektor primer. Artinya bahwa pengembangan sektor perekonomian di Kota Depok ke depannya diarahkan pada pengembangan sektor tersier yang didukung oleh sektor primer, sedangkan pengembangan sektor sekunder kurang menjadi fokus pengembangan wilayah.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan belum sepenuhnya

mengakomodir pengembangan semua elemen pada sektor perekonomian di Kota Depok. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah Kota Depok mengingat sektor sekunder masih menjadi salah satu sektor potensial hampir di semua kecamatan. Jika sektor potensial ini tidak diperhatikan dan tidak dikembangkan, maka keberadaan pembangunan ke depannya akan hanya terfokus pada pengembangan sektor tersier dan primer, sedangkan sektor sekunder akan cenderung tersingkirkan, artinya potensi-potensi lokal di tiap kecamatan akan dapat semakin termarjinalkan, sehingga konsep pembangunan berimbang, yang menekankan pada pembangunan wilayah berdasarkan potensi dan kapasitas di tiap wilayah tidak akan tercapai dan ketimpangan pembangunan antar kecamatan akan sulit teratasi.

Berdasarkan kondisi di atas, maka dalam penetapan prioritas pembangunan di Kota Depok hendaknya mempertimbangkan keterkaitan hasil analisis secara makro, meso, dan mikro sehingga ada sinergi dan sinkronisasi antara kebijakan pembangunan di Kota Depok dengan memperhatikan potensi lokal di tiap kecamatan, dan juga keberadaan Kota Depok dalam cakupan Kawasan Jabodetabek, sehingga pembangunan berimbang di tiap kecamatan dapat terlaksana.

(6)

perkotaan di Kecamatan Beji, pengaturan dan pengendalian tata ruang khususnya pembangunan kawasan permukiman di Kecamatan Limo.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(8)

TINGKAT PERKEMBANGAN

KECAMATAN DI KOTA DEPOK

DINA MARTHA SUSILAWATI SITUMORANG

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : A156090244

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS Didit Okta Pribadi, SP, MSi Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah

(11)

Kupersembahkan Tesis ini

Kepada :

Kedua Orangtuaku terkasih SH. Situmorang dan R.Silalahi

Kedua Mertuaku terkasih G. Sitorus dan R. Ambarita

Suamiku tercinta Ir. John Benson H. Sitorus

Anak - anakku tersayang : Jody Garcia Hartanto Sitorus

Joanne Grace Richita Sitorus

(12)

segala karunianya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak Juli 2010 ini adalah prioritas pembangunan dengan topik Penentuan Prioritas Pembangunan Berdasarkan Potensi dan Tingkat Perkembangan Kecamatan di Kota Depok.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS dan Bapak Didit Okta Pribadi, SP., MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MSi selaku penguji luar komisi yang membantu dalam penyempurnaan tesis ini, kepada segenap pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB, dan pimpinan/staf Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).

Ungkapan terima kasih yang dalam dan tulus penulis ungkapkan kepada kedua orangtua terkasih, suami tercinta, anak-anak tersayang, dan segenap keluarga atas kasih, doa, dukungan dan pengertiannya sehingga penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan rekan-rekan kerja di Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka – Direkorat Jenderal Hortikultura - Kementrian Pertanian. Disampaikan pula terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di PWL 2009 yang begitu kompak, bersahabat, dan begitu mendukung mulai dari perkuliahan hingga selesainya tesis ini (Evi, Ardi, Dian, Gunadi, Tina, DJ, Mira, Yulita, Susanto, Ana, Rierie, Erva, Hafiz, dan Edy), dan semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2011

(13)

SH. Situmorang dan ibu R.Silalahi. Penulis merupakan anak ke enam dari enam bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus dar SMAN 11 Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Saat ini, penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementrian Pertanian.

(14)

DAFTAR ISI

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

Kerangka Pemikiran ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan ... 9

Prioritas Pembangunan... 10

Indikator Pembangunan ... 13

Pengembangan Wilayah ... 16

Disparitas Wilayah ... 18

Analisis Karakteristik Perkembangan Kota Depok Secara Makro dalam Lingkup Kawasan Jabodetabek ... 30

Location Quotient (LQ) ... 30

Shift Share Analysis (SSA) ... 30

Analisis Karakteristik Perkembangan Pembangunan di Kota Depok Secara Meso... 32

Analisis Deskriptif dan Statisitka Deskriptif ... 32

Analisis Potensi Berdasarkan Sektor Unggulan Tiap Kecamatan di Kota Depok ... 32

Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) 32 Penentuan Tipologi Kecamatan di Kota Depok berdasarkan Karakteristik dan Tingkat Perkembangan Masing-Masing Kecamatan ... 32

Skalogram ... 32

Statistika Deskriptif ... 33

Indeks Entropi ... 33

Principle Component Analysis (PCA) ... 34

(15)

Gap Analysis ... 36

Perumusan Prioritas Pembangunan Berdasarkan Potensi dan Tingkat Perkembangan Masing-Masing Kecamatan ... 36

GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

Penggunaan Lahan dan Penataan Ruang ... 41

Penggunaan Lahan ... 41

Penataan Ruang ... 42

Kondisi Perekonomian ... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Perkembangan Kota Depok Secara Makro dalam Lingkup Kasawan Jabodetabek ... 47

Karakteristik Perkembangan Pembangunan di Kota Depok Secara Meso 53 RPJPD dan RPJMD Kota Depok ... 53

Perekonomian ... 59

Tenaga Kerja ... 62

Indeks Pembangunan Manusia ... 64

Potensi Berdasarkan Sektor Unggulan Tiap Kecamatan di Kota Depok 65 Tipologi Kecamatan di Kota Depok Berdasarkan Karakteristik dan Tingkat Perkembangan Masing-Masing Kecamatan ... 73

Sarana dan Prasarana... 73 Indikator Pembangunan ... 88

Keterkaitan Hasil Analisis Kota Depok Secara Makro, Meso, dan Mikro ... 92

Prioritas Pembangunan Berdasarkan Potensi dan Tingkat Perkembangan Masing-Masing Kecamatan ... 93

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 99

Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tujuan Analisis, Variabel Data, Metode, Sumber Data dan Output

Penelitian ... 28 2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk dan Jumlah

Kelurahan Menururt Kecamatan di Kota Depok Tahun 2008 ... 39

3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Depok

Tahun 2004-2008... ... 39

4. PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004-2008 (Juta Rp.) 46

5. LQ Berdasarkan PDRB Jabodetabek Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 ... 48 6. LQ Berdasarkan PDRB Jabodetabek Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008 ... 49

7. SSA Berdasarkan PDRB Jabodetabek Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 dan 2008 ... 50

8. Matriks Analisis Berdasarkan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Titik Tahun 2002 dan 2008 di Kota Depok ... 52 9. PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004-2008 (Juta Rp.) 59

10. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Depok Tahun 2005-2008 ... 60

11. Proporsi PDRB Kota Depok Tahun 2004-2008 ... 60

12. Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Kota

Depok Tahun 2007-2008 ... 62

13. Jumlah dan Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja

Berdasarkan Kelompok Sektor di Kota Depok Tahun 2008 ... 63 14. IPM Kota Depok Tahun 2006-2008 ... 64

15. IPM Jabodetabek Tahun 2008 ... 65

16. Nilai LQ Berdasarkan Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di

Kota Depok Tahun 2008 ... 66 17. Identifikasi Sektor Basis Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja di Kota

(17)

18. Hasil SSA Berdasarkan Data Jumlah Tenaga Kerja di Kota Depok Tahun

2002 & 2008 ... 68

19. Matriks Analisis Berdasarkan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2002 dan 2008 ... 71

20. Hirarki Wilayah Berdasarkan Nilai IPK di Kota Depok ... 75

21. Jumlah Kelurahan dan Proporsi Luasan Kelurahan pada Tiap Hirarki Berdasarkan IPK di Kota Depok ... 78

22. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2008 ... 79

23. Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Berdasarkan Kelompok Sektor di Kota Depok Tahun 2008 ... 80

24. Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kota Depok Tahun 2009 (Ha) ... 81

25. Persentase Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kota Depok Tahun 2009 (%) ... 82

26. LQ Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kota Depok Tahun 2009 ... 83

27. IPM Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2008 ... 85

28. Indeks Entropi Kecamatan di Kota Depok Tahun 2008 ... 87

29. Eigenvalues (Data_rekap.sta); Extraction : Principle Components ... 88

30. Factor Loadings (Varimax normalized)(Data_rekap); Extraction : Principle Components ... 89

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 8

2. Bagan Alir Penelitian ... 29

3. Peta Administrasi Kota Depok ... 38

4. Matriks Analisis Berdasarkan Nilai LQ dan Differential Shift pada SSA Di Kota Depok ... 52

5. Kegunaan Buah Belimbing Dewa ... 58

6. Peta Tematik Keunggulan Komparatif Menurut Kecamatan di Kota Depok 67 7. Matriks Analisis Berdasarkan Nilai LQ dan Differential Shift pada SSA Menurut Kecamatan di Kota Depok ... 72

8. Peta Tematik Prioritas Sektor Keunggulan Menurut Kecamatan di Kota Depok ... 73

9. Peta Hirarki Kelurahan Berdasarkan Infrastruktur di Kota Depok ... 77

10. Scatterflot dari Faktor 1, Faktor 2, dan Faktor 3 ... 90

11. Peta Tematik Tipologi Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Depok ... 91

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Depok Atas Dasar

Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha(Dalam Juta Rupiah) ... 104

2. Produk Domestik Regional Bruto Kota Depok Atas Dasar

Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha(Dalam Juta Rupiah) ... 106

3. PDRB Jabodetabek Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2002 (Juta Rupiah) ... 108

4. PDRB Jabodetabek Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2008 (Juta Rupiah) ... 109

5. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di Kota Depok

Tahun 2002 ... 110

6. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di Kota Depok

(20)

Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai keadaan yang dapat memberikan beberapa alternatif bagi pencapaian aspirasi dan tujuan setiap warga negara yang humanistik (Rustiadi et al. 2009). Pembangunan harus mencerminkan perubahan total dalam masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah dalam pembangunan itu sendiri, yaitu semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi antar wilayah, terjadi kerusakan lingkungan dan semakin besarnya ketergantungan kita akan peranan luar negeri dalam memberikan bantuan modal pembangunan.

Menurut Rustiadi et al. (2009), salah satu ciri pembangunan wilayah adalah upaya untuk mencapai pembangunan yang berimbang (balanced development) yang artinya terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah yang beragam (potensi lokal). Pengembangan wilayah dapat dimulai dengan memahami kondisi wilayah saat ini (tingkat perkembangannya), potensi dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut, yang selanjutnya dijadikan dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas pembangunan. Dengan penggalian dan pengembangan potensi yang ada di daerah tersebut, maka secara langsung ataupun tidak langsung akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta mengurangi ketergantungan bantuan dari luar wilayah (eksternal). Prioritas pembangunan pada dasarnya diperlukan dalam rangka mengarahkan dan mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan sesuai dengan dana dan sumberdaya yang ada, sedangkan aspek dan kegiatan lainnya merupakan faktor penunjang dalam pembangunan. Dengan demikian, keterbatasan sumberdaya bukan lagi menjadi faktor kendala dalam pemanfaatan potensi daerah tersebut.

(21)

Pemukiman, Kota Pendidikan, Pusat Pelayanan Perdagangan dan Jasa, Kota Pariwisata dan sebagai Kota Resapan Air. Ada empat faktor yang memicu perkembangan wilayah Kota Depok, yaitu kedekatan geografis dengan Ibukota Negara, adanya Universitas Indonesia, daya tarik sebagai tempat bermukim, dan otonomi daerah. Keempat faktor ini bekerja simultan mendongkrak ekonomi Kota Depok seperti sekarang. Secara mikro, beberapa komoditas lokal juga ikut berkembang, seperti agribisnis (belimbing, tanaman hias, ikan hias, pengolahan hasil pertanian), produk kerajinan, konveksi, dan lain sebagainya.

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat perkembangan ekonomi suatu daerah adalah dengan mengukur laju pertumbuhan PDRB. Indikator ini menunjukkan naik tidaknya produk yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi daerah tersebut. Selama periode 2008, PDRB Kota Depok yang dihitung atas harga konstan tahun 2000, mengalami peningkatan sebesar 6,42 persen dari Rp 5.422.760,39 juta tahun 2007 menjadi Rp 5.770.827,64 juta di tahun 2008.

(22)

dilakukan identifikasi potensi lokal dan tingkat perkembangan wilayah, sehingga proses pembangunan dapat dilakukan optimal dan efisien guna penciptaan masyarakat yang mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan wilayah lain.

Perumusan Masalah

(23)

pengembangan ekonomi berdasarkan potensi lokal. Untuk itu perlu dilakukan analisa tingkat perkembangan dan pengenalan potensi-potensi di tiap kecamatan.

Selain masalah ketimpangan pembangunan antar kecamatan, urbanisasi dan suburbanisasi menjadi hal yang berpengaruh pada tingkat perkembangan Kota Depok. Salah satu kawasan suburban yang dianggap paling ideal menjadi incaran pencari lahan adalah Kota Depok dengan berbagai deretan keistimewaan yang dimilikinya. Cepat atau lambat Kota Depok akhirnya menjadi alternatif kawasan yang diserbu masyarakat yang berkerja di Jakarta untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan. Kondisi ini menjadi alat perangsang ampuh bagi para pengembang untuk menyediakan lahan–lahan baru. Proses munculnya kecenderungan ini tentu diikuti pula dengan masuknya pengusaha mall dan industri lainnya sebagai konsekuensi pelayanan akan kebutuhan. Laju pertumbuhan ini tentu meneteskan aktifitas yang lebih komplek dan makin hari dirasa semakin tidak terprediksi, dan menimbulkan banyak masalah. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggir kota yang berdampak meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil. Namun disisi lain, ini dipandang sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya yang selalu menimbulkan permasalahan dalam cakupan pelayanan prasarana kota, menurunnya luas ruang publik kota baik berupa ruang terbangun maupun ruang terbuka hijau (RTH), meningkatnya konversi lahan, perubahan pola kegiatan ekonomi. Keadaan ini akan membentuk pola ruang menyebar berserakan karena penggunaan lahan yang tak terencana, yang kita kenal sebagai urban sprawl dan berpengaruh terhadap struktur tata ruang Kota Depok baik secara fisik, kependudukan dan ekonomi.

(24)

menyusut lagi pada tahun 2010 menjadi 9.399,41 ha atau terjadi penyusutan 3,63 persen dari tahun 2005. Dalam perencanaan pembangunan kota sampai tahun 2010, sasaran porsi RTH hanya 50,12 persen dan sama sekali tidak boleh lebih rendah lagi. Namun sayangnya, angka 50,12 persen itu justru telah tercapai sampai akhir tahun 2002, dan pada tahun 2007 porsi nilai RTH sudah tinggal 50 persen dari luas wilyah Kota Depok 200,29 km2. Ini berarti, untuk masa mendatang sudah tidak diperkenankan lagi adanya pembangunan, baik untuk perumahan maupun properti lain. Ini merupakan masalah dalam proses pembangunan di Depok, karena dikuatirkan pada masa mendatang, tingkat konversi lahan ini akan terus semakin meningkat, dan proses urban sprawl akan semakin parah. Lama kelamaam, Kota Depok akan dapat menjadi „sampah pembangunan‟ Jakarta yang artinya hanya sebagai korban dampak perlintasan atau lokasi pemukiman bagi komuter Jabodetabek, sehingga seolah-olah terjadi peningkatan pembangunan di Kota Depok, namun sebenarnya pembangunan itu sendiri bukan benar-benar terjadi di wilayah tersebut, dan akan mematikan potensi-potensi di wilayah Depok itu sendiri. Bila keadaan ini dibiarkan begitu saja, potensi sumberdaya wilayah Depok dapat menjadi hilang dan Kota Depok akan menjadi kota yang tidak mandiri, dan sangat bergantung dengan keberadaan wilayah lain, khususnya Jakarta. Untuk itu, sangat penting dilakukan identifikasi potensi lokal dan tingkat perkembangan wilayah tiap kecamatan di Kota Depok, sehingga proses pembangunan dapat dilakukan optimal dan efisien guna penciptaan masyarakat yang mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan wilayah lain.

(25)

akumulasi keuntungan di wilayah tersebut dan memperbesar ketimpangan spasial. Untuk itu, perlu dilakukan analisis terkait dengan potensi dan perkembangan wilayah, yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam penyusunan strategi, arahan dan prioritas pembangunan Kota Depok.

Dengan demikian, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana karakteristik perkembangan Kota Depok secara makro dalam lingkup Kawasan Jabodetabek?

2. Bagaimana karakteristik perkembangan pembangunan di Kota Depok secara meso?

3. Bagaimana potensi berdasarkan sektor unggulan tiap kecamatan di Kota Depok?

4. Bagaimana tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan?

5. Apa prioritas pembangunan berdasarkan potensi dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah :

1. Menganalisis karakteristik perkembangan Kota Depok secara makro dalam lingkup Kawasan Jabodetabek.

2. Menganalisis karakteristik perkembangan pembangunan di Kota Depok secara meso.

3. Menganalisis potensi berdasarkan sektor unggulan tiap kecamatan di Kota Depok.

4. Menentukan tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan.

5. Merumuskan prioritas pembangunan berdasarkan potensi dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan.

(26)

Kerangka Pemikiran

Penetapan prioritas pembangunan di Kota Depok dilakukan dengan menganalisis karakteristik perkembangan Kota Depok secara makro dalam lingkup Kawasan Jabodetabek, memahami perkembangan pembangunan di Kota Depok secara meso dan potensi berdasarkan sektor unggulan tiap kecamatan di Kota Depok, dan selanjutnya adalah penentuan tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik dan tingkat perkembangan masing-masing kecamatan. Penetapan potensi di tiap kecamatan dilakukan berdasarkan analisis LQ dan SSA, sedangkan untuk melihat tingkat perkembangan di tiap kecamatan dilakukan dengan analisis skalogram untuk melihat hirarki wilayah, analisis diversitas entropi untuk melihat struktur ekonomi, analisis pembangunan manusia dengan data IPM, analisis rasio

(27)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.

Perkembangan Pembangunan

Analisis

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA DEPOK

MAKRO MIKRO

KOTA DEPOK

JABOTABEK KECAMATAN

MESO

Aspek Ekonomi

Indikator Pembangunan

PRIORITAS PEMBANGUNAN

Analisis

Tingkat

Perkembangan Potensi

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pembangunan

Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga negara yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pembangunan merupakan proses memanusiakan manusia (Rustiadi et al. 2009). UNDP juga mendefenisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s

choice), dalam konsep penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhirnya. Ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dalam masyarakat dewasa ini, dimana konsep pembangunan mengalami pergeseran paradigma dari yang berpusat pada produksi ke pembangunan yang berpusat pada manusia/rakyat. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat setempat, selain itu juga risiko atau cost yang akan ditimbulkan oleh upaya pembangunan akan ditanggung oleh masyarakat setempat. Dengan demikian tidak hanya benefit yang harus diketahui semenjak program pembangunan , tetapi juga cost-nya.

(29)

pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi (intergenerational equity) yang kita kenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi et al. 2009). Keberlanjutan pembangunan dinilai dalam 3 (tiga) dimensi keberlanjutan yang dikenal sebagai “a triangular framework”, yakni keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi (Serageldin 1996, diacu dalam Rustiadi et al. 2009).

Sjafrizal (2009) mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) tahap dalam proses pembangunan yang sekaligus menggambarkan tugas pokok badan

perencana pembangunan, yaitu : (1) Penyusunan rencana, (2) Penetapan rencana, (3) Pengendalian pelaksanan rencana, dan (4) Evaluasi keberhasilan pelaksanaan

rencana. Keempat tahap ini berkaitan satu sama lainnya sehingga perlu dijaga konsistensi antara satu dengan lainnya.

Prioritas Pembangunan

Dalam era otonomi daerah, campur tangan pemerintah pusat semakin berkurang, dimana daerah diberi kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri sehingga sistem perencanaan pembangunan daerah yang semula sektoral berubah menjadi lebih bersifat regional, yang lebih memperhatikan potensi dan karakteristik khusus daerahnya. Namun, setiap daerah memiliki keterbatasan tertentu, baik dari segi dana, sumberdaya, tenaga kerja dan lain-lain. Oleh karena itu dalam rangka mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan maka dalam setiap rencana pembangunan perlu ditetapkan prioritas-prioritas tertentu. Tetapi ini bukan berarti bahwa aspek lain di luar prioritas tidak menjadi penting dalam pembangunan, karena prioritas pembangunan pada dasarnya menunjukkan perhatian dan tekanan utama yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran yang digambarkan dalam visi dan misi pembangunan, sedangkan aspek lain adalah penunjang dan pendukung kegiatan utama tersebut.

Sjafrizal (2010) menyatakan bahwa penetapan prioritas ini harus dilakukan dengan penuh pertimbangan tertentu, antara lain :

(30)

- Program dan sektor yang diprioritaskan sebaiknya mencakup sebagian besar dari kehidupan sosial ekonomi pada negara dan daerah bersangkutan;

- Kegiatan dan sektor tersebut merupakan sektor unggulan dan mempunyai keunggulan komparatif tinggi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada negara dan daerah bersangkutan; - Program dan kegiatan tersebut mendukung dan bersinergi dengan kegiatan

lain sehingga proses pembangunan secara keseluruhan akan menjadi lebih maju dan berkembang;

- Program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kondisi sosial ekonomi daerah bersangkutan sehingga tidak mendapat reaksi negatif dari masyarakat setempat.

Prioritas pembangunan seharusnya ditetapkan sesuai dengan potensi, permasalahan pokok wilayah terkait dan tingkat perkembangan pembangunan di suatu wilayah untuk mencapai hasil (outcomes) dan pengaruh (impact) yang diharapkan, sehingga penetapan sasaran pembangunan dalam jangka panjang pun dapat direncanakan dengan efektif dan efisien. Tanpa pemahaman mengenai potensi dan kondisi sumber daya yang dimiliki, prioritas tidak akan dilakukan dengan tepat. Seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi wilayahnya karena terkait dengan kewajibannya dalam menentukan sektor-sektor riil yang perlu dikembangkan. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan akan mampu mendorong sektor lainnya untuk berkembang.

(31)

namun dinamika sosial itu sendiri dipengaruhi pula oleh budaya dan agama yang dianut masyarakat yang mempengaruhi pandangan masyarakat akan proses pembangunan. Sebagai langkah awal dalam penetapan prioritas pembangunan adalah dengan mengkaji terlebih dahulu sistem sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan, lalu dari pengkajian ini akan didapati tingkat perkembangan dan potensi-potensi wilayah, kebutuhan dan keinginan masyarakat dan bagaimana pula interaksinya dengan wilayah lain. Dari sini kita akan melihat struktur keterkaitannya dan dijadikan dasar dalam penentuan prioritas pembangunan. Potensi-potensi wilayah yang ada selanjutnya akan dikembangkan dan dioptimalkan sebaik mungkin sehingga pembangunan dilaksanakan sesuai dengan potensi yang ada sehingga pemanfaatan potensi dari luar wilayah akan dapat dihindari, dalam artian kebocoran wilayah tidak terjadi (Rustiadi et al. 2009)

Sebelum kita menetapkan prioritas pembangunan di suatu wilayah, maka kita perlu menetapkan strategi pembangunan untuk pencapaian tujuan pembangunan. Strategi yang tepat dan terarah akan menghasilkan pencapaian tujuan yang efektif dan efisien, dan tentunya penetapan strategi ini harus sesuai dengan kondisi, potensi, permasalahan pokok, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan. Bahkan dalam perumusan prioritas pembangunan perlu memperhatikan perubahan strategis yang telah dan akan terjadi di masa yang akan datang agar proses pembangunan tersebut dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang mungkin terjadi di masa akan datang. Menurut Rustiadi et al. 2009, skala prioritas pembangunan yang cenderung mengejar sasaran-sasaran makro pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai ketidakseimbangan pembangunan berupa meningkatnya kesenjangan desa-kota, kesenjangan struktural dan sebagainya.

(32)

dan Bratakusumah 2004). Jadi perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.

Indikator Pembangunan

Pengalaman menunjukkan bahwa di berbagai negara bahwa ada salah satu syarat yang diperlukan untuk menunjukkan tingginya tingkat keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah yaitu dimulai dari mantapnya pemahaman dari para aparat terkait tentang makna indikator-indikator dan variabel-variabel pembangunan serta pengertian kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, dimana kedua kebijaksanaan tersebut harus saling melengkapi atau searah. Pemahaman yang memadai tentang indikator pembangunan daerah ini akan mengakibatkan semakin terarahnya pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan dan semakin tingginya respon masyarakat dalam menyukseskan dan mencapai sasaran yang telah ditargetkan.

(33)

terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara keseluruhan. Karena itu disamping aspek efisiensi keuangan, indikator kinerja juga mencakup aspek pemuasan kebutuhan masyarakat secara luas. Karena itulah maka indikator kinerja tidak semuanya dapat diukur secara kuantitatif, namun juga kualitatif yang tentunya lebih bersifat subjektif.

Sjafrizal (2010) menjelaskan manfaat, fungsi dan peranan indikator kinerja. Adapun manfaatnya adalah sebagai alat penilaian terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan suatu negara atau daerah baik pada tahap perencanaan (ex-ante), pelaksanaan (on-going) maupun setelah program pembangunan selesai dilaksanakan (ex-post). Selanjutnya fungsi dan peranan dari indikator kinerja adalah :

1. Memperjelas tentang what, how, who and when suatu program dan kegiatan dilakukan;

2. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh pihak yang berkepentingan dengan pembangunan (stakeholder);

3. Membangun landasan yang jelas untuk pengukuran dan analisis pencapaian sasaran pembangunan;

4. Alat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pembangunan yang telah dapat dilaksanakan dalam periode waktu tertentu.

Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa beberapa pertimbangan dalam indikator pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah : (1) Sederhana, (2) Skop nya harus meliputi seluruh aktifitas manusia, (3) Elemennya harus dapat diukur, (4) Elemennya harus dapat dipantau untuk menunjukkan kecenderungan, (5) Sensitif terhadap perubahan, dan (6) memiliki batas waktu dalam pelaksanaan program.

Indikator kinerja ini baru memiliki arti jika dikaitkan dan dibandingkan dengan target kinerja, dimana target ini ditentukan dengan memperhatikan capaian yang diraih pada masa lalu dan kemampuan sumberdaya wilayah tersebut pada masa yang akan datang. Dalam penetapan indikator pembangunan, menurut Rustiadi et al. (2009), ada 3 (tiga) pendekatan yang dilakukan, yaitu :

(34)

2. Kapasitas sumberdaya yakni berdasarkan sumberdaya alam, manusia, buatan dan modal sosial;

3. Proses pembangunan yakni harus mengarahkan pada peningkatan kapasitas dari sumberdaya-sumberdaya pembangunan.

Indikator kunci pembangunan sosial ekonomi lainnya versi United Nations

Research Institute on Social Development (UNRISD) yang dikeluarkan pada tahun 1970, terdiri atas 7 indikator ekonomi dan 9 indikator sosial, masing-masing: 1. Harapan Hidup

2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih 3. konsumsi protein hewani per kapita per hari

4. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah 5. Rasio pendidikan luar sekolah

6. Rata-rata jumlah orang per kamar 7. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk

8. Persentase penduduk usia kerja dengan listrik, gas, air dan sebagainya 9. Produksi pertanian per pekerja pria di sektor pertanian

10.Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian 11.Konsumsi listrik, kw per kapita

12.Konsumsi baja, kg per kapita

13.konsumsi energi, ekuivalen kg batu bara per kapita 14.Persentase sektor manufaktur dalam GDP

15.Perdagangan luar negeri per kapita

16.Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja.

(35)

per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing negara dan asumsi menurunnya utilitas marginal penghasilan dengan cepat. Sedangkan untuk PQLI komponen utamanya yaitu : 1) Tingkat Harapan Hidup, 2) Angka Kematian, dan 3) Tingkat Melek Huruf

.

Pengembangan wilayah

Wilayah adalah kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUD RI 1945 (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). Pengertian wilayah sangat penting diperhatikan apabila kita berbicara tentang program-program pembangunan yang

terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan.

Pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan. Menurut Rustiadi et al. (2009), konsep wilayah dikenal sebagai : (1) Wilayah homogen yaitu lebih menekankan aspek homogenitas (kesamaan) dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan hubungan fungsional, (2) Wilayah fungsional yaitu menekankan pada adanya hubungan fungsional antar wilayah ( nodes-hinterland), dan (3) Wilayah perencanaan yaitu wilayah yang tidak selalu berwujud wilayah administratif, tapi wilayah yang dibatasi atas sifat-sifat tertentu sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

(36)

Pengembangan wilayah pada dasarnya bertujuan agar suatu wilayah berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan ini dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi, dan terpadu melaui pendekatan terpadu, komprehensif. Keterpaduan ini mencakup bidang ilmu, sektoral, spasial, dan hirarki pemerintah. Komprehensif terhadap aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup (Djakapermana 2010). Aspek-aspek ini saling berinteraksi satu sama lain dan saling mempengaruhi, artinya peningkatan ataupun penurunan salah satu aspek akan mempengaruhi aspek lainnya. Rustiadi et al. (2009) menambahkan pula bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial, dan antar pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan. Pendekatan sektoral dapat memacu pertumbuhan beberapa sektor yang potensial melalui berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah terhadap rangsangan untuk percepatan perkembangannya. Sedangkan pendekatan spasial lebih ke arah penggunaan ruang saat ini, analisis aktifitas yang mengubah penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk pada masa yang akan datang. Kedua pendekatan ini harus saling sinergis dan terpadu dalam pendekatan pengembangan wilayah sehingga tercipta keberimbangan pembangunan wilayah.

Adisasmita (2008) mengemukakan bahwa dalam suatu perencanaan pengembangan wilayah, kita mengenal istilah perencanaan kegiatan yang diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah dan perencanaan penggunaan ruang (termasuk perencanaan pergerakan, diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang). Dalam perencanaan pembangunan wilayah, maka kita mengenal Konsep Wilayah Pengembangan, yang selanjutnya di dalamnya dibentuk satu atau lebih Pusat Pengembangan (Growth Poles) yang berfungsi sebagai “penggerak”

(37)

Strategi pengembangan suatu wilayah ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, sebelum kita melakukan perumusan kebijakan pembangunan, maka kita perlu memahami tipe wilayahnya terlebih dahulu. Menurut Adisasmita (2010) secara umum ada 4 (empat) kelompok tipe wilayah dalam suatu negara yaitu :

1. Wilayah berpendapatan per kapita rendah dan kurang berkembang atau low per capita and stagnant regions (LS)

2. Wilayah berpendapatan per kapita tinggi tetapi kurang berkembang atau high per capita and stagnant regions (HS)

3. Wilayah berpendapatan per kapita rendah tetapi berkembang atau low per capita and growing regions (LG)

4. Wilayah berpendapatan per kapita tinggi dan berkembang atau high per capita and growing regions (HG)

Perlu dipahami bahwa pengelompokan ini bersifat dinamis karena sangat bergantung pada tingkat perkembangan pembangunan di wilayah tersebut dan sangat berperan dalam pertimbangan perumusan kebijakan dan program pembangunan daerah.

Disparitas Wilayah

(38)

di negara berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang yang kondisi pembangunannya lebih baik, sementara daerah yang terbelakang masih memiliki keterbatasan baik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya sehingga terjadi ketimpangan antar wilayah karena pertumbuhan ekonomi di daerah yang kondisinya lebih baik akan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang terbelakang tadi. Ketimpangan ini akan menimbulkan permasalahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan.

Menurut Rustiadi et al. (2009), terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah, dimana faktor-faktor ini terkait dengan variabel-variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah, antara lain :

1. Faktor Geografis

Suatu wilayah yang luas akan menimbulkan variasi dalam keadaan fisik seperti iklim, kemiringan, curah hujan dan lain-lain.

2. Faktor Historis

Sejarah menjadi faktor penting dalam sistem yang terkait dengan insentif terhadap kapasitas kerja.

3. Faktor Politis

Terkait dengan stabilitas dan kenyaman orang untuk melakukan investasi atau berusaha di suatu wilayah

4. Faktor Kebijakan

Kebijakan yang desentralisasi akan cenderung mengurangi kesenjangan karena tingginya kewenangannya sendiri dalam mengelola dan mengatur kapasitas fiskal dan non fiskal wilayahnya. Kewenangan sentralistik menyebabkan kesenjangan yang besar antar daerah

5. Faktor Administratif

Terjadi karena perbedaan dalam pengelolaan administrasi. Wilayah yang mampu mengelola administrasinya dengan baik akan cenderung lebih maju 6. Faktor Sosial

(39)

7. Faktor Ekonomi

Faktor yang menyebabkan kesenjangan ekonomi adalah : - Perbedaan kualitas dan kuantitas faktor produksi

- Terkait akumulasi dari berbagai faktor diantaranya lingkaran kemiskinan, konsumsi rendah, pendapatan rendah, investasi rendah, standar hidup rendah, dan pengangguran yang tinggi pada wilayah yang tidak berkembang. Sedangkan wilayah yang berkembang adalah kebalikannya. - Kekuatan pasar bebas.

Kebijakan dan upaya dalam menangulangi masalah ketimpangan pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor yang menentukan ketimpangan tersebut.

Sjafrizal (2008) mengemukakan bahwa diperlukan kebijakan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah dalam penanggulangan ketimpangan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah, diantaranya :

1. Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan sehingga mendorong kelancaran mobilitas barang dan faktor produksi antar daerah;

2. Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan sehingga kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang dapat diatasi;

3. Pengembangan pusat pertumbuhan (growth poles) sehingga menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sekaligus;

4. Pelaksanaan otonomi daerah sehingga aktifitas pembangunan dapat dilakukan sesuai dengan potensi dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut

Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2009), untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah, maka secara umum dapat dilakukan secara simultan antara lain :

(1) Mendorong pemerataan investasi pada semua sektor dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah berkembang;

(2) Mendorong pemerataan permintaan (demand) dengan pengembangan setiap industri dan wilayah secara simultan sehingga dapat menciptakan demand

untuk tiap-tiap produk;

(40)

Suburbanisasi

Kota didefenisiskan sebagai permukiman yang berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada umumnya bersifat nonagraris, kepadatan penduduk relatif tinggi, tempat sekelompok orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah geografis tertentu, dan cenderung berpola rasional, ekonomis dan individualis (Ditjen Cipta Karya 1997, diacu dalam Pontoh dan Kustiawan 2009). Pembangunan perkotaan diarahkan untuk mewujudkan pengelolaan kota yang berkualitas, menciptakan kawasan perkotaan yang layak huni, berkeadilan, berbudaya dan sebagai wadah bagi peningkatan produktifitas dan kreatifitas masyarakat, serta mewujudkan pusat pelayanan sosial ekonomi dan pemerintahan.

Pembahasan mengenai kota dan perkembangannya tidak akan terlepas dari pembahasan proses migrasi sebagai suatu fenomena global. Oleh sebab itu, kita perlu memahami apa yang menjadi pendorongnya dan bagaimana proses itu berlangsung dalam suatu negara. Migrasi pada dasarnya suatu upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan berpindah ke wilayah lain. Menurut Rustiadi et al. (2009) terdapat 3 (tiga) jenis proses perpindahan penduduk (migrasi), yaitu :

1. Urbanisasi adalah proses berkembangnya penduduk di daerah urban, bukan berarti perpindahan penduduk dari desa ke kota;

2. Suburbanisasi adalah proses perpindahan penduduk dari kota menuju penggiran kota;

3. Kontra urbanisasi adalah proses perpindahan masyarakat kota menuju pedesaan.

Dalam skala wilayah metropolitan, kecenderungan migrasi yang terjadi adalah migrasi lapisan masyarakat atas (middle and upper classes) ke wilayah pinggiran (suburbanisasi) untuk menghindari dampak negatif sosial dan lingkungan sebagai akibat aglomerasi aktifitas ekonomi. Kota-kota metropolitan terus bertumbuh, dan proses suburbanisasi terus berlangsung dengan pola distribusi yang semakin menyebar (dispersed) secara spasial.

(41)

dipandang sebagai perluasan daerah urban ke wilayah pinggir kota yang berdampak meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil. Di lain pihak, proses ini dinilai kontradiktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif, akulturasi budaya, dan spekulasi lahan. Proses suburbanisasi dinilai pula sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan juga kawasan industri di pinggir wilayah perkotaan sebagai akibat dampak urbanisasi.

Di negara-negara dunia ketiga, proses urbanisasi dan suburbanisasi dipandang sebagai suatu pengulangan proses yang sudah berlangsung di negara maju. Kota-kota utama di negara berkembang banyak mengalami kedua proses ini dan bahkan berlebihan (over urbanization) yang disebabkan karena tidak siapnya kota dalam menyediakan fasilitas pelayanan pokok dan kesempatan kerja yang memadai (Rustiadi et al. 2009).

Pontoh dan Kustiawan (2009) menjelaskan faktor yang mempengaruhi suburbanisasi adalah daya sentripetal dan daya sentrifugal. Daya sentripetal ( ke dalam  urbanisasi) adalah tekanan dari desa dan tarikan dari kota. Daya sentrifugal (ke luar  suburbanisasi) adalah (1) tekanan berupa masalah lingkungan, kepadatan tinggi, pencemaran, dan (2) daya tarik kawasan pinggiran dalam hal ini luas lahan. Tumbuhnya kawasan pinggiran karena proses suburbanisasi dan redistribusi kegiatan ekonomi dalam kota dapat mendorong tumbuhnya pusat-pusat kegiatan baru di kawasan pinggiran yang ditandai dengan 2 (dua) ciri utama yaitu : (1) terbentuknya pola tata ruang wilayah suburban sprawl, dan (2) ketergantungan kawasan pinggiran yang baru tumbuh terhadap kawasan pusat.

Urban sprawl

(42)

membentuk pola ruang menyebar berserakan karena penggunaan lahan yang tak terencana. Urban sprawl berpengaruh terhadap struktur tata ruang dapat dilihat dari 3 (tiga) struktur yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi. Pengaruh

urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran permukiman yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi, dengan kata lain terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah tertentu. Dari struktur kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihatkan dengan penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar ke samping kiri kanan jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh sprawl adalah terjadinya perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri dan jasa).

Ruchyat (2010) menjelaskan urban sprawl merupakan suatu proses perubahan fungsi dari wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan, sedangkan Yudhistira dan Harmadi (2008) memandang urban sprawl sebagai proses pertumbuhan kota yang ditandai dengan pertumbuhan inti kota yang meluber ke daerah sekitarnya sehingga memunculkan daerah kekotaan baru di daerah tersebut, yang membentuk kota dengan banyak pusat (Kota Polisentris). Selain itu, Nechyba dan Walsh (2004) mengemukakan akan pengaruh sprawl yang dapat menimbulkan eksternalitas negatif di lingkungan perkotaan (misalnya kebisingan dan polusi udara), dimana terdapat hubungan antara polusi udara dan urban sprawl yaitu dapat meningkatkan emisi per mil perjalanan karena besarnya kemacetan lalu lintas dan peningkatan mil perjalanan kendaraan karena keberadaan pembangunan transportasi yang rendah.

Menurut Staley (1999), diacu dalam Pontoh dan Kustiawan (2009), ada 4 (empat) faktor sebagai karakteristik urban sprawl yaitu :

1. Pengembangan perumahan berkepadatan rendah;

2. Pengembangan kawasan komersial di sepanjang jalur transportasi;

(43)

4. Leap frog developments yaitu terdapatnya lahan yang tidak terbangun dengan rentang jarak yang jauh diantara kawasan-kawasan terbangun.

Suburbanisasi dan sprawl berhubungan satu sama lain. Jika suburbanisasi itu terjadi berulang-ulang dan acak, tidak berpola dalam suatu wilayah, maka akan membentuk urban sprawl, dan ini hanya dapat dihindari melalui perencanaan yang komprehensif.

Fenomena urban sprawl ditinjau dari prosesnya, secara garis besar terdapat 3 (tiga) macam proses (Pontoh dan Kustiawan 2009) yaitu :

1. Perembetan konsentris (concentric development) merupakan perembetan areal kekotaan yang paling lambat;

2. Perembetan memanjang (ribbon development) merupakan perembetan areal kekotaan ke semua bagian sisi luar kota utama;

3. Perembetan meloncat (leap frog development) merupakan perembetan berpencar secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.

Selain faktor penyebab di atas, Pontoh dan Kustiawan (2009) menambahkan faktor penyebab proses urban sprawl lainnya yaitu :

1. Kebijakan perencanaan dari pemerintah, terutama kebijakan pembangunan transportasi dan perumahan

- Pembangunan jalan besar antarkota sehingga mendorong munculnya lokasi pemukiman baru.

- Pemberian subsidi bagi perumahan yang tidak memandang lokasi sehingga banyak real estate dibangun secara lompat katak.

2. Spekulasi tanah karena pengaruh pembangunan lompat katak tadi dimana mereka menunggu harga tanah naik terlebih dahulu baru mulai melakukan pembangunan

3. Peraturan guna lahan yang ketat di kota sehingga mengundang para investor mencari tanah di luar kota

4. Perhitungan beban biaya layanan fasilitas perkotaan yang mahal.

(44)

sosial di kota-kota pusat dan kebijakan pertanahan dianggap penyebab utama

urban sprawl. Sprawl juga mengarah pada pola penggunaan lahan yang tidak menguntungkan bagi pengembangan model transportasi berkelanjutan dan karenanya, meningkatkan penggunaan mobil pribadi yang pada gilirannya mengakibatkan kemacetan, peningkatan konsumsi bahan bakar dan polusi udara.

(45)
(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan

Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2007, dan baru aplikasi pada Oktober 2009, telah dibentuk 11 Kecamatan Kota Depok hasil pemekaran pada 6 kecamatan sebelumnya. Namun dalam penelitian ini, data yang digunakan masih berdasar 6 kecamatan (sesuai data dari Bappeda Kota Depok yang masih menggunakan data dari 6 kecamatan sampai dengan tahun 2009).

Kota Depok memiliki luas area hanya 200,29 km2 dengan jumlah penduduk 1.503.677 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 7.507,50 jiwa/km2 di tahun 2008. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2010.

Metode Pengumpulan Data

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Kabupaten/Kota Dalam Angka di Kawasan Jabodetabek, Peta Administrasi Kota Depok, Kota Depok Dalam Angka, Kecamatan Dalam Angka di Kota Depok, PDRB Kota Depok, PODES Kota Depok, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Depok, dan Indeks Kesejahteraan Masyarakat (Inkesra) Kota Depok.

Sumber data yang digunakan adalah sekunder antara lain adalah Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Depok, Dinas Pertanian (Diperta) Kota Depok. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah ArcGIS versi 9.3 dan Statistica 8.

(47)

Tabel 1 Tujuan Analisis, Variabel Data, Metode, Sumber Data dan Output Penelitian

No. Tujuan Analisis Variabel

(48)

Gambar 2 Bagan Alir Penelitian.

Indikator Pembangunan

TINGKAT PERKEMBANGAN

MIKRO

Prioritas Pembangunan Kebutuhan Pembangunan

Gap Analysis

RPJPD dan RPJMD, PDRB, Tenaga

Kerja, IPM

Deskriptif

PDRB

LQ, SSA

MESO MAKRO

Sarana dan Prasarana

Struktur Ekonomi Penduduk Landuse IPM

Tenaga Kerja Menurut Pekerjaan

Utama

LQ, SSA

POTENSI

PCA

Skalogram Indeks

(49)

Metode Analisis

Analisis Karakteristik Perkembangan Kota Depok Secara Makro dalam Lingkup Kawasan Jabodetabek

Analisis ini dilakukan untuk melihat bagaimana Kota Depok dapat berperan dari segi comparative maupun competitive advantage dengan menggunakan data PDRB Kawasan Jabodetabek dengan metode LQ dan SSA.

Location Quotient (LQ)

Metode LQ digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas dan dapat mengidentifikasi keungulan komparatif suatu wilayah dengan asumsi (1) kondisi geografis relatif sama, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama.

Rumus umum dari persamaan Location Quotient adalah sebagai berikut :

Dimana :

LQij = Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di wilayah ke-i

Xij = Nilai aktivitas ke-j di wilayah ke-i

Xi. = Nilai total aktivitas di wilayah ke-i

X.j = Nilai aktivitas ke-j di total wilayah

X.. = Nilai total aktivitas di total wilayah

Dari persamaan di atas maka nilai LQ yang dihasilkan untuk tiap aktivitas di tiap wilayah beserta interpretasinya adalah sebagai berikut :

- Nilai LQij > 1, menunjukkan terjadinya konsentrasi aktifitas ke-j di wilayah

ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah

- Nilai LQij = 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas setara dengan

pangsa total

- Jika nilai LQij < 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil

dibandingkan dengan aktifitas yang ditemukan diseluruh wilayah.

Shift Share Analysis (SSA)

(50)

lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah tersebut. Juga mengetahui sektor atau wilayah mana yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan di wilayah Kota Depok dalam cakupan wilayah Jabodetabek.

Teknik analisis ini juga bertujuan untuk menganalisa pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran.

Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu :

- Komponen share, menunjukkan kontribusi pergeseran total seluruh sektor di total wilayah agregat yang lebih luas

- Komponen proportional shift, menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas

- Komponen differential shift, menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu

Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu wilayah dianggap memiliki keunggulan kompetitif karena secara fundamental masih memiliki potensi untuk terus tumbuh meskipun faktor-faktor ekternal (komponen

share dan proportional shift) tidak mendukung.

Rumus umum dari persamaan SSA adalah sebagai berikut :

SSA =

a b c

dimana :

a : komponen share

b : komponen proportional shift

c : komponen differential shift

X.. : Nilai total aktifitas/sektor dalam total wilayah yang terjadi Xi. : Nilai aktifitas/sektor ke-i dalam total wilayah

Xij : Nilai aktifitas/sektor ke-i dalam unit wilayah ke-j

t1 : titik tahun akhir t0 : titik tahun awal

Harapannya komponen differential shift memiliki nilai positif yang berarti kinerja aktivitas/sektor di level lokal memiliki potensi yang masih bisa dikembangkan, terlepas dari kontribusi yang disumbangkan oleh faktor-faktor eksternal (komponen share dan proportional shift). Apabila komponen

(51)

terjadi bersifat semu karena lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (komponen share dan atau proportional shift). Ilustrasinya, apabila wilayah tersebut seolah-olah berdiri sendiri, tanpa komponen share dan proportional shift, wilayah tersebut akan mengalami kemunduran.

Dari hasil LQ dan SSA, ditetapkan sektor unggulan dalam suatu wilayah yaitu jika memiliki LQ > 1 dan differentialshift nya > 0 pada SSA.

Analisis Karakteristik Perkembangan Pembangunan di Kota Depok Secara Meso

Analisis Deskriptif dan Statistika Deskriptif

Untuk melihat keunggulan, peluang, tantangan, dan hambatan bagi

pengembangan wilayah Kota Depok dilakukan analisis deskriptif berupa peringkasan

dan penyajian dalam bentuk gambar terhadap RPJPD/RPJMD Kota Depok dan

analisis statistika deskriptif meliputi tabulasi, perhitungan, dan peringkasan untuk variabel data tenaga kerja, perekonomian (PDRB), dan IPM.

Analisis Potensi Berdasarkan Sektor Unggulan Tiap Kecamatan di Kota Depok

Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA)

Menggunakan LQ dan SSA dengan data jumlah tenaga kerja per lapangan usaha di setiap kecamatan di Kota Depok.

Penentuan Tipologi Kecamatan di Kota Depok berdasarkan Karakteristik dan Tingkat Perkembangan Masing-Masing Kecamatan

Skalogram

Data yang digunakan adalah data Potensi Desa 2008, dengan parameter yang diukur meliputi bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perekonomian, dan aksesibilitas. Prosedur kerja penyusunan hirarki daerah berdasarkan sarana dan prasarana dengan menggunakan Skalogram sebagai berikut :

- Melakukan pemilihan terhadap data Podes tahun 2008 sehingga yang tinggal hanya data yang bersifat kuantitatif;

(52)

- Melakukan seleksi data hasil rasionalisasi hingga diperoleh data yang mencirikan tingkat perkembangan desa di Kota Depok;

- Melakukan standarisasi data terhadap variabel-variabel tersebut dengan menggunakan rumus :

y

ij

=

dimana :

y

ij= variabel baru untuk kecamatan ke-i dan jenis sarana ke-j

xij = jumlah sarana untuk kecamatan ke-i dan jenis sarana ke-j

µj = nilai minimum untuk jenis sarana ke-j

sj = simpangan baku untuk jenis sarana ke-j

Menentukan Indeks Perkembangan Kelurahan (IPK) dan kelas hirarkhinya : - Hirarki 1 (Tingkat Hirarki Tinggi) : Nilai Selang x ≥ (median + St Dev)

- Hirarki 2 (Tingkat Hirarki Sedang) : Nilai Selang <x < (median + St Dev) - Hirarki 3 (Tingkat Hirarki Rendah) : Nilai Selang x ≤ median

Selanjutnya berdasarkan jumlah kelurahan di tiap kelas hirarki, maka dapat

ditentukan hirarki kecamatan di Kota Depok

Statistika Deskriptif

Untuk melihat aspek kependudukan, pembangunan manusia, dan landuse di tingkat kecamatan digunakan analisis statistika deskriptif meliputi tabulasi, peringkasan, perhitungan, penyajian dalam bentuk gambar. Untuk data aspek kependudukan digunakan data kepadatan penduduk dan jumlah penduduk yang bekerja menurut kelompok sektor di tiap kecamatan, untuk aspek landuse

digunakan data luasan lahan area terbangun/tidak terbangun, dan seberapa besar ruang yang diberikan oleh tiap kecamatan di Kota Depok dalam pengembangan sektor. Selanjutnya untuk data pembangunan manusia digunakan data IPM kecamatan

Indeks Entropi

(53)

jenis pekerjaan semakin besar atau aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah semakin beragam, dengan persamaan sebagai berikut :

S = -

∑∑ P

ij

ln P

ij

dimana :

S: nilai entropi

Pij : nilai rasio frekuensi kejadian pada kategori ke-i di sub wilayah ke-j

i : kategori aktivitas ekonomi ke-i

j : kategori wilayah ke-j

Principle Component Analysis (PCA)

PCA digunakan untuk mengetahui faktor-faktor utama penentu tingkat perkembangan suatu wilayah dan menemukan suatu variabel baru (komponen utama yang tidak saling berkorelasi), yang mewakili variabel–variabel indikator pembangunan, dimana komponen utama tersebut masih mencerminkan informasi data aslinya sebab pada dasarnya merupakan kombinasi linear dari variabel asal. Komponen utama terbentuk dari satu, dua atau lebih sesuai dengan keragaman dan peragam variabel asal dengan aplikasi software statistica 8. Dari PCA akan muncul bobot masing-masing variabel (factor loading) setiap komponen utama yang dihasilkan. Semakin tinggi bobot satu atau lebih variabel asal dalam suatu faktor, maka faktor tersebut mewakili variabel-variabel yang berbobot tinggi.

Menurut Saefulhakim (2006), tujuan dari PCA :

1. Ortogonalisasi Variabel : mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor yang tidak saling berkorelasi).

2. Penyederhanaan variabel : banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asal, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah.

Gambar

Tabel 1  Tujuan Analisis, Variabel Data, Metode, Sumber Data dan Output Penelitian
Gambar 2   Bagan Alir Penelitian.
Gambar 3  Peta Administrasi Kota Depok.
Tabel 4  PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004-2008 (Juta Rp.)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.7 Input nama pemenang Score bonus akan tampak dillihat setelah pemain mengisi nama, jika sebelumnya sistem menampilkan score 873, ketika pemain bisa menyelesaikan

Pelayanan nifas oleh tenaga 100% 100% 25% 25% 19,1% 19,1% Belum tercapai Belum tercapai Secara Secara estimasi estimasi belum belum Data Data sasaran sasaran BPJS

Meskipun demikian sehubungan dengan peranan penegakkan disiplin yang diwujudkan dalam tugas-tugas Inspektorat Daerah dan Kantor Satuan Polisi Pamong Praja yang diberi kewenangan

Hasil analisis terhadap jumlah nematoda betina yang menempel di akar tanaman kentang aki- bat perlakuan FMA menunjukkan bahwa pemberian spora FMA pada dosis tertinggi (150

kemudian dikemas dalam bentuk permainan yang menyenangkan. Permainan akan menambah semangat belajar siswa, karena dengan pembelajaran yang bervariasi anak

dari 3 kegiatan yaitu perencanaan pembelajaran guru mempersiapkan rancangan pembelajaran yang disesuaikan dengan media dan strategi untuk mempermudah proses

Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur, yaitu di Jember (Mayang: MY), Malang (Lawang: LW, Kalipare: KP), Blitar (Brongkos: BL), Nganjuk (KPH tritik: TR), Madiun (Klangon: KL,

Direct Instruction yang terdiri dari beberapa fase. Pada fase pertama, Guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Yaitu dengan cara menjelaskan tujuan; mengingatkan