• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.8 Lahan kering

Menurut FAO (2008) lahan kering adalah daerah mencakup yang diklasifikasikan dengan arid (masa pertanaman 1-59 hari), semi arid (masa pertanaman 60-119 hari) dan arid basah (masa pertanaman 120-179 hari). Dengan demikian lahan kering adalah pertanian dengan masa pertanaman 1-179 hari dan tidak memiliki fasilitas pengairan. Sawah tadah hujan juga tidak termasuk dalam lahan kering. Menurut Satari (1977), lahan yang dalam keadaan alamiah, lapisan atas dan bawah tubuh tanah (top soil dan sub soil) sepanjang tahun tidak jenuh air dan tidak tergenang serta kelembaban tanah sepanjang tahun berada dibawah kapasitas lapang. Muljadi (1977) menyatakan lahan kering adalah lahan yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara permanen. Ahli tanah Indonesia memberikan batasan lahan kering adalah lahan dimana kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya air hujan dan tidak pernah tergenang secara tetap. Berdasarkan ketersedian air untuk lahan pertanian, maka lahan budidaya pertanian dibedakan menjadi lahan basah (sawah) dan lahan kering (ladang). Lahan basah atau sawah seringkali diterjemakan sebagai wet land atau low land, sedangkan lahan kering atau ladang diterjemahkan sebagai dry land atau up land. Lahan kering sendiri diartikan sebagai sebidang lahan yang mempunyai keterbatasan sumber air sepanjang tahun dan tidak pernah dalam keandaan tergenang. Akibat keterbatasan air maka kandungan lengas tanah selalu berada di bawah kadar air kapasitas lapangan. Selain itu perbandingan jumlah curah hujan yang tidak dapat diimbangi dengan kebutuhan air untuk evaporasi dan transpirasi sepanjang tahun seringkali juga digunakan sebagai penjelasan istilah lahan kering.

Potensi Lahan Kering. Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman

56 pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Namun tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng < 15 %) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15-30 % lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.

Kondisi luas lahan pertanian di Indonesia (lahan kering dan basah) di Indonesia 59,7 juta Ha sedang di Jawa 9,6 juta Ha. Luas lahan kering di Indonesia 51,7 juta Ha, sedang di Jawa 6,1 juta Ha. Hal ini berarti lahan pertanian berupa lahan kering di Indonesia adalah 86,24 %, sedang di Jawa lahan pertanian berupa lahan kering 63,54%. Potensi lahan kering ini prospek ke dapan menjadi tumpuhan untuk penyediaan lahan di Indonesia.

Kabupaten Malang sebagian bagian kecil dari wilayah Jawa Timur di Indonesia, penataan dan penggunaan wilayah dikembangkan melalui perencanaan dengan ditetapkan melalui Peraturan Daerah tentang RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) PP. No.41/2010. Wilayah Kabupaten Malang dikelompokan menjadi kawasan pertanian sawah, kawasan tegalan (tanah ladang), kawasan pengelolaan lahan kering, kawasan perkebunan, kawasan hortikultura, kawasan peternakan dan kawasan perikanan. Kawasan tegalan (tanah ladang) pengusahaan pertanian mengandalkan air hujan (tadah hujan) seluas 113.582,12 ha atau 32,73% dari luas daerah Kabupaten Malang. Upaya pengelolaan kawasan tegalan meliputi (a) kawasan pertanian lahan kering secara fisik dikembangkan tanaman tahunan dengan dukungan pola tanam tumpangsari palawija dengan hortikultura, (b)

57 pengembangan perkebunan skala kecil, dan (c) dukungan pengembangan ekonomi memungkinkan alih fungsi lahan menjadi area terbangun. Lebih lanjut kasawan pengelolaan lahan kering diarahkan melalui (a) pengembangan palawija dan hortikultura dengan mengutamakan komoditas tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan adaptasi lingkungan dan (b) kawasan ini guna mendukung pengembangan ekonomi pedesaan sehingga alih fungsi lahan pada beberapa area mempunyai nilai tambah pada perkembangan ekonomi pedesaan

Kendala Lahan Kering. Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun akibat intensitas radiasi dan temperatur yang tinggi, penurunan dapat mencapai 30-60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo1990 dalam Suriadikarta et al., 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al., 2002).

Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al., 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering masam diwilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam dicirikan oleh pH rendah (<5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993, Soepardi 2001).

Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15-30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan

58 curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa dan karet.

Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usahatani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal.Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur dan secara temporal terdapat perbedaan distribusi hujan pada musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi 2-2,50 (Las et al., 2000; Amien et al., 2001).

Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70,20 juta ha, sekitar 61,53 juta ha diantaranya berupa lahan kering dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah potensi hasil. Produktivitas padi gogo berkisar antara 2-3 t/ha, padahal potensinya dapat mencapai 4-5 t/ha (Sumarno dan Hidayat, 2007). Demikian juga komoditas lain, seperti kedelai, masih dapat ditingkatkan. Menurut Subandi (2007), peluang peningkatan produktivitas kedelai masih terbuka, karena hasil di tingkat petani (0,60-2 t/ha) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil di tingkat penelitian yang berkisar antara1,70-3,20 t/ha.

Selain meningkatkan produktivitas lahan kering yang sudah ada (existing), produksi bahan pangan dapat pula ditingkatkan melalui perluasan areal tanam pada lahan kering. Dari 76,22 juta ha lahan kering yang sesuai untuk pertanian, lahan yang telah digunakan (tegalan, perkebunan, kayu-kayuan dan pekarangan) baru mencapai 47,76 juta ha, sehingga masih tersedia 28,46 juta ha lahan untuk perluasan areal pertanian, termasuk lahan terlantar 13,77 juta ha.

Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan

59 pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.

Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan airdan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan.

Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapaia dalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi dengan kisaran antara 1,10-13,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson dalam Arsyad 2000). Untuk menekan erosi sampai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan persyaratan teknis (Agus et al., 1999). Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan di Jawa dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara luas sejak tahun 1975 melalui inpres penghijauan (Siswomartono et al., 1990).

Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman juga berperan penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.

Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982;

60 Suwardjo et al. 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al., 2004).

Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan menanam legum penutup tanah atau tanaman penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat insitu seperti alley

cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik

61