• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal, pegadaian, leasing, dan lembaga keuangan mikro syariah. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia ditambah ribuan office channeling atau layanan syare di seluruh kantor pos di Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu hanya ratusan milyard, saat ini assetnya lebih dari Rp 41 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 47an lembaga asuransi syariah.

Sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan lembaga ekonomi dan keuangan syariah tersebut, maka para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator)

membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut.

Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia. DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah (LKS).

Kedudukan Fatwa

Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.

Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis

menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)

Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.

Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.

Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.

Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara. Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah an d ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.

Sejak berdirinya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 61 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, fatwa tentang ganti rugi (ta’widh), pembiayaan multi jasa, Line Fasility, (at-tashilat), pembiayaan rekening koran syari’ah, sejumlah fatwa tentang murabahah, seperti potongan tagihan murabahah, penyelesaian piutang murabahah, rescheduling murabahah dan konversi akad murabahah, mudharabah musyarakah pada asuransi syariah, akad wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi syariah, akad tabarru’ pada asuransi dan reasuransi syariah, L/C dengan akad kafalah bil ujrah, hiwalah bil ujrah, review ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah, Obligasi Syariah mudharabah konversi, penyelesaian piutang dalam ekspor dan penyelesaian hutang dalam impor.dsb. Memperhatikan banyaknya fatwa-fatwa ekonomi syariah tersebut, terlihat bahwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Memiliki kinerja yang baik, dinamis dan aktif meresponi berbagai persoalan yang dihadapi.32

b. Peraturan Perundang-undangan Tentang Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia.

32

Perkembangan Ekomomi Islam di Indonesia banyak diformulasikan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan . Peraturan perundangan-undangan itu adalah :

1) Undang-Undang republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang berisi :

a). Bab I Ketentuan Umum b) Bab II Asas dan Tujuan

c) Bab III Organisasi Pengelolaan Zakat d) Bab IV Pengumpulan Zakat

e) Bab V pendayagunaan Zakat f) Bab VI Pengawas

g) Bab VII Sanksi

h) Bab VIII Ketentuan-ketentuan lain i) Bab IX Ketentuan Peralihan j. Bab X Ketentuan Penutup

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf yang berisi :

a) Bab I Ketentuan Umum b) Bab II Dasar-dasar Wakaf

c) Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf d) Bab IV Perubahan Status Harta Benda wakaf

e) Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda wakaf f) Bab VI Badan Wakaf Indonesia

g) Bab VII Penyelesaian Sengketa Wakaf h) Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan

i) Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif j) Bab X Ketentuan Peralihan

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara yang berisi :

a) Bab I Ketentuan Umum b) Bab II bentuk dan Jenis SBSN c) Bab III Tujuan Penerbitan SBSN

d) Bab IV Kewenangan dan Pelaksanaan Penerbitan SBSN e) Bab V Penggunaan Barang Milik Negara dalam Rangka

Penerbitan SBSN

f) Bab VI Perusahaan Penerbitan SBSN dan Wali Amanat g) Bab VII Pengelolaan SBSN

h) Bab VIII Akuntabilitas dan Transparansi i) Bab IX Ketentuan Pidana

j) Bab X Ketentuan Penutup

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang berisi :

a) Bab I Ketentuan Umum

b) Bab II Asas, Tujuan, dan Fungsi

c) Bab III Perizinan ,Bentuk Badan Hukum, Anggaran Dasar dan Kepemilikan,

d) Bab IV jenis dan kegiatan Usaha , Kelayakan Penyaluran Dana dan Larangan bagi Bank Syariah dan UUS

e) Bab V Pemegang Saham Pengendali, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi, dan Tenaga Kerja Asing

f) Bab VI Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian, dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syariah

g) Bab VII Rahasia Bank

h) Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan i) Bab IX Penyelesaian Sengketa j) Bab X Sanksi Aministratif

k) Bab XI ketentuan Pidana l) Bab XII Ketentuan Peralihan m) Bab XIII ketentuan Penutup

5) Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah.

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 Tentang penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2008 Tentang Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara yang berisi :

a) Bab I Ketentuan Umum

b) Bab II Status, Bentuk dan Pendirian

c) Bab III Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran dasar d) Bab IV Fungsi Perusahaan Penerbit SBSN

e) Bab V Organ Perusahaan Penerbit SBSBN

f) Bab VI Modal dari Kekayaan Perusahaan Penerbit SBSN g) Bab VII Pembiayaan

h) Bab VIII Pertanggungjawaban i) Bab IX Pembubaran

j) Bab X Penutup.

8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2008 Tentang Pendirian Perusahaan Penerbit Surat Berharga syariah Negara. Yang berisi

a) Bab I Ketentuan Umum b) Bab II Pendirian c) Bab III Anggaran Dasar d) Bab IV Pertanggungjawaban e) Bab V Ketentuan Penutup

9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2008 Tentang Besarnya Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan.

10) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 152/PMK.08/2008 Tentang Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Dalam Valuta Asing Di Pasar Perdana Internasional yang berisi :

a) Bab I Ketentuan Umum

b) Bab II Pelaksanaan Penerbitan SBSN c) Bab III Persiapan Penerbitan SBSN d) Bab IV Pelaksanaan Penjualan e) Bab V Dokumen Penerbitan

f) Bab VI Setelmen Hasil Penjualan SBSN g) Bab VII Biaya Penerbitan SBSN

h) Bab VIII Ketentuan Penutup

11) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 Tentang Perubahan Keguatan Usaha Bank Umum Konvesional menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Konvesional

Yang berisi :

a) Bab I Ketentuan Umum

b) Bab II Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

c) Bab III Pembukaaan Kantor yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank

d) Bab IV Ketentuan Peralihan e) Bab V Sanksi

f) Bab VI Ketentuan Penutup

12) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ) yang meliputi :

Buku I Tentang Subyek Hukum dan Amwal Buku II Tentang Akad

Buku III Tentang Zakat dan Hibah Buku IV Tentang Akuntansi Syariah

Itulah beberapa gambaran tentang perkembangan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia insya Allah bisa menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan masyarakat sejahtera menuju Negara Kesejahteraan ( welfare state ) yang kita cita-citakan.

BAB VI

Dokumen terkait