• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut fatwa Dewan Syariah Nasiional MUI 28 yang dimaksud dengan

a. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar

lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.

b. Membership Fee (rusum al-'udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;

c. Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil aldayn);

d. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb alnuqud)

e. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pemba yaran yang akan diakui sebagai dana sosial.

f. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

13. Wakaf

Aset wakaf di Indonesia terbilang besar. Menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI), sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di negeri ini sebanyak

28

366.595 lokasi, dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal. Maka, suatu langkah yang tepat, jika Badan Wakaf Indonesia tahun ini menitikberatkan pada pengelolaan aset-aset wakaf agar bernilai produktif. Ini tercermin dari pernyataan Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia Thalhah Hasan usai bertemu Wakil Presiden Yusuf Kalla, sebagaimana dilansir harian Umum Republika, . mengatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia akan mengembangkan wakaf produktif yang hasilnya untuk kesejahteraan umat.

Gagasan ini 29sangat menarik, sebab selama ini pengembangan wakaf di Indonesia bisa dibilang mati suri. Jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam lain, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif. Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES). WAREES merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, WAREES mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih

29

mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Menarik bukan? Kalau mereka bisa, mengapa negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika benar-benar serius menangani soal ini. Apalagi, pengembangan wakaf di Indonesia kini sudah menemukan titik cerahnya, sejak disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan. Kalau begitu, sekarang tinggal action saja, tak perlu banyak berwacana. Kalau dulu, banyak orang berdiskusi dan berharap adanya lembaga khusus yang menangani perwakafan di Indonesia, kini Badan Wakaf Indonesia disingkat dengan BWI sudah berdiri (sejak tahun 2007). Tinggal bagaimana memaksimalkan lembaga independen30 amanat undang-undang itu. (Bab VI, pasal 7, UU No. 41 tahun 2004).

Untuk bisa mengoptimalakan pengelolaan aset wakaf ke arah produktif, perlu adanya persamaan persepsi atau sudut pandang tentang apa dan bagaimana mengembang perwakafan di Indonesia. Sebab, selama ini pemahaman masyarakat masih berbeda-beda dalam perkara ini. Di samping itu, batu sandungan juga tak jarang melintang di tengah-tengah upaya untuk memajukan perwakafan di Indonesia. Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

30BerdasarkanUndng-UndangNomor 41 tahun 2004 TentangWakaf BWI adalahlembaga independent untukmengembangkanperwakafan di Indonesia .BadanWakaf Indonesia keanggotaanBadanWakaf Indonesia diangkatdandiberhentikanolehPresiden.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi.

Memang secara fikih, ada perbedaan pendapat. Imam Syafii berpendapat bahwa tukar guling harta wakaf itu tidak boleh secara mutlak, apapun kondisinya. Sementara sebagian Ulama Syafiiyah (murid-murid imam Syafii) membolehkan, asal digunakan untuk tujuan produktif. Selain itu, Imam Hambali dan Hanafi juga memperbolehkan tukar guling dengan tujuan produktif. Jadi, tukar guling itu hakikatnya diperbolehkan oleh para fuqaha asal untuk tujuan produktif. Apalagi, kini permasalahan ini sudah diatur secara gamblang dalam Bab VI, pasal 49-51, PP No. 42 tahun 2006.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf itu dipahami masyarakat sebagai ibadah yang pahalanya mengalir (shadaqah jariayah), cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah, jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya. Belum lagi, banyak terjadi kasus penyerobotan tanah wakaf yang tak bersertifikat. Untuk itu, penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikat tanah wakaf perlu digalakkan.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan harta wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid dan kuburan. Secara benefit, apa yang bisa dihasilkan dari masjid dan kuburan? Bisa-bisa tidak dapat keuntungan malah rugi untuk biaya perawatan.

Kemudian pada masa sekarang munculnya istilah wakaf alternatif di Indonesia misalnya wakaf Tunai

Wakaf Tunai31

Dalam catatan sejarah Islam , wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua Hijiriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Bahwa Imam al-Zuhri salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits ( tadwin al Hadits ) memfatwakan , diajurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, social dan pendidikan umat islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun demikian faktor resiko seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar.

Dokumen terkait